Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kembali oleh Sofia Amalia

k e m b a l i
Penulis: Sofia Amalia

"Meski ia sering membuatmu sebal, tetapi ia selalu ada untukmu di saat terpuruk. Ya, dia sahabatmu."


Bising kendaraan melintas di jalan raya, acap kali klaksonnya memekakkan telinga manusia bumi. Mengesalkan memang, tapi apa boleh buat jika kita sedang ada di perkotaan, khususnya di negara Indonesia.

Sementara itu...

"Ana! Anaaa!" Sayup-sayup teriakan dari pita suara gadis di seberang jalan teredam bising kendaraan motor.

Yang dipanggil terhenti sejenak dari langkahnya. Ia mencoba mencari sumber suara, dilihatnya Sintha, sahabatnya sedang melambai dari seberang trotoar dekat sebuah halte bus. Ana lantas tersenyum sumringah, ikut melambai padanya. Tak lama kemudian Sintha ada di depannya setelah menyebrangi lautan kendaraan.

"Pagi, Sin!" Dirangkulnya bahu Sintha, lantas keduanya berjalan beriringan di bawah jajaran pohon yang menaungi trotoar. "Nggak diantar Papamu lagi? Kok masih naik bus?" tanyanya basa-basi.

Sintha mengedikkan dua bahunya sambil menaikkan alis. "Ya gitu deh, Papa masih kerja di luar kota. Belum pulang."

Mendengar hal itu, Ana tersenyum tipis. "Jangan terlalu manja, Sin—"

"Hassshh! Mulai ceramah, mulai ceramah!" Sintha melepas rangkulan Ana di bahunya, kemudian berjalan cepat mendahuluinya masuk gerbang SMA Cakrawala. Ana tertawa kecil, lantas menyusul langkah cepatnya.

***

"Sin, PR Matematikamu udah?" Ana berhenti sejenak menyendok kuah baksonya di mangkuk, lalu menatap Sintha yang lahap mencomot cilok di depannya.

"Udah dong... kenapa nanya? Belum ngerjain?" tanya Shinta balik dengan mulut penuh kunyahan cilok.

Ana mengibaskan tangan ke mukanya, "Nggaklah! Nanya doang atuh mah. Eh, Sin, btw, sebulan lagi kan ada bazar Go Green di sekolah—"

"OMEGAT! Iya sampe kelupaan," Potong Sintha, mukanya mendadak nampak frustrasi saat mendengar Ana bicara tentang bazar ekskul mereka yang hampir mendekati hari H.

"Oh, iya, ntar sore kan ada rapat persiapan acara bazar. Terus... beberapa anak Lensa Cakrawala ada yang datang rapat tuh! Kata Kak Aron kita bakal sewa beberapa anak Lensa ngisi divisi dokumentasi buat acaranya ntar," jelas Ana panjang lebar. "Soalnya Chia sama Kak Aron nge-chat aku kemarin, katanya nanti pas abis rapat aku disuruh ngurus koordinasi sama anak Lensa." lanjutnya sambil nyengir pada Sintha yang ikut sejenak terhenti dari acara mengunyah cilok.

"Terus kenapa?"

Tiba-tiba Ana nyengir, "Wah...tumben kamu kok kudet info cowok ganteng di sekolah?" Ia mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Sintha, "Cowok Lensa itu ganteng-ganteng. Grab it fast!"

"What?!" Mendadak gadis rambut sebahu itu berseru membelah bising kantin. Hening, sorot mata pengunjung kantin mengarah padanya. Ia menutup bibirnya sambil memelototi Ana yang sedang tertawa kecil, buru-buru beranjak dari duduknya sambil mengangkat mangkuk bakso dan membawanya ke kios Bu Retno di sudut kantin, mengabaikan Sintha yang sedang mati penasaran.

Sorenya, keduanya menghadiri rapat acara bazar Go Green yang dihadiri seluruh anggota; mulai kelas satu dan dua, dan tiga. Juga beberapa dari anak Lensa Cakrawala. Rapat ini dilaksanakan di gazebo yang menyatu dengan alam.

Sintha yang duduk di samping Ana, menyenggol bahunya. "Ssst! Itu anak Lensa?" bisiknya di telinga Ana.

Arah pandang Ana melirik ke arah beberapa anak Lensa yang duduk agak jauh dari duduk mereka berdua. Lalu dianggukkanlah kepalanya, dan kembali menatap Kak Aron—ketua pelaksana acara bazar yang tengah memaparkan diskusi di depan.

"Jadi, opsi terakhir untuk tempatnya, kita akan melaksanakan bazar ini di taman sekolah." Kak Aron menggarisbawahi kata 'taman' di papan tulis kecil sampingnya dengan spidol hitam. "Nah, untuk anak Lensa, kita berharap banyak dari kalian semua agar bisa bekerja sama dengan baik. Ana dan Chia dari angkatan 11 nanti bakal bimbing kalian buat koordinasi gimana-gimana pas hari H."

Sintha mendadak bergejolak, ia jingkrak-jingkrak dalam duduknya sambil merangkul lengan kanan Ana. Lalu berbisik, "Na, jangan lupa ntar bagi WhatsApp anak Lensa atuh!"

Memutar bola mata malas, Ana lantas mengangguk sok mengiyakan pintanya.

***

Ponsel di nakas berdenting mersik, membuat Ana menghentikan gerakan bolpoinnya di atas buku catatan Fisika. Diraihnya ponselnya, lalu membuka jendela notifikasi WhatsApp-nya.

Uknown
Hai?
Anastasia Go Green 'kan?

Dahi lebarnya mengernyit, ragu-ragu ia membalas isi pesan itu.

Anastasia
Iya, ini Anastasia
Btw, ini siapa ya


Belum juga satu detik berlalu, si lawan chat-nya sudah membalas dari seberang sana.

Uknown
Risal
Anak Lensa Cakrawala
Jadi, kita kapan bisa koordinasi bareng?

Dua mata Ana membulat dengan bibir ternganga kecil. Mendadak ia jadi penasaran darimana si Risal anak Lensa Cakrawala ini bisa dapat nomor WhatsApp-nya. Ingin ia tanyakan padanya, tapi ia urungkan karena terkesan tak penting.

Anastasia
Ohh, aku tanyain temenku yang satu dulu, ya
Namanya Chia. Kalau udah ntar, aku balik WA kamu


Hening, jemarinya mengetuk-ngetuk layar ponselnya, memasukkan nomor Risal ke dalam kontak barunya sebelum Risal membalas chat-nya lagi.

Risal
Ok! Siap

Dari luar kamar, desau dedaunan yang tertimpa rintik hujan mengalun ritmis. Ia terhenyak untuk beberapa saat setelah menaruh kembali ponsel di atas nakas. Kakinya melangkah ke arah jendela kamarnya yang tertutup tirai peach, kemudian membukanya.

Ia tersenyum tipis, kala melihat tetes-tetes air membasahi jendela kamarnya. Disandarkan dagunya pada dua lengannya yang menyilang di atas kusen jendela.

"Risal," gumamnya lirih. "Nama itu kedengarannya nggak asing," tambahnya.

***

Seperti biasanya, kantin selalu ramai saat jam istirahat. Beruntunglah kemarin mereka dapat tempat duduk karena datang lebih awal setelah bel istirahat berbunyi. Namun, kali ini nampaknya keapesan menghampiri Ana dan Shinta.

"Ashh... kamu sih, Na. Udah kubilang jangan ke kamar mandi dulu tadi." Shinta menaikkan bibir bawahnya tatkala melihat kantin sudah penuh dengan lautan manusia kelaparan.

Ana memutar bola mata malas, sembari membuang napas pelan. "Yaudah sih, kita tinggal pesan makanan aja terus bawa ke taman. Makan di sana."

"Kamu mah gitu—" Shinta berusaha mencelotehnya lagi, namun terputus kala Ana terburu menghampiri kios-kios kantin yang tengah padat pelanggan. Ia hanya mendesah lemah, lantas memilih untuk mengekor di belakangnya.

Usai menghabiskan beberapa menit memesan cilok, keduanya mendudukkan diri di bawah pohon rindang dan beralas rerumputan hijau yang telah cepak dipotong tukang kebun tiga hari lalu.

"Jadi, kemarin kamu di-WA sama anak Lensa? Cowok?" Sintha menaruh seplastik cilok di atas rumput, matanya membulat dengan mulut terperangah. Sementara Ana di sampingnya hanya mengangguk sembari asyik mengunyah cilok. Lantas ia menaruh ponselnya di atas telapak tangan Shinta, bermaksud membagi nomor Risal anak Lensa padanya.

"Gila... ini mah ganteng, pake banget!" Shinta membuka foto profil Risal di WhatsApp Ana. Dua matanya berbinar-binar, sesekali berdecak kagum tatkala menilik garis tegas yang terukir dalam sosok Risal di foto tersebut.

"Na, dengerin aku, ya!" Shinta kembali menaruh ponsel itu pada empunya. "Na, rasanya aku jatuh cinta ke dia. Aku suka dia! Aku suka... Risal. Aku boleh PDKT-in dia 'kan?" Binar-binar dalam dua matanya makin bersinar.

Mendengar hal konyol itu, Ana hanya mengedikkan dua bahunya. "Yah... terserah juga sih. Ngapain juga kamu izin ke aku?"

Shinta mengangguk cepat, "Na, janji ya, jangan pernah jatuh cinta ke Risal. Biar aku aja."

Berdecih lirih, "Hei, ngapain juga aku naksir cowok yang disukain sahabat sendiri? Lucu." Ana tertawa kecil melihat reaksi berlebihan Shinta barusan.

***

Risal
Hai, Ana

Gerakan bolpoin di atas kertas itu terhenti beberapa jeda. Gadis dengan rambut panjang terurai sepunggung itu hanya menatap layar ponselnya sekilas. Rupanya Risal kembali menghubunginya. Namun, sayangnya saat ini fokusnya masih setia pada lembaran PR Kimia di depannya.

Risal
Besok pas pulang boleh ketemu di gerbang?

Denting ponselnya kembali bergema dalam senyap. Risal kembali mengiriminya pesan, namun ia hanya menggeleng dan kembali melanjutkan PR Kimianya.

Risal
Udah lama nggak ketemu nih!
Btw, sekarang kamu tambah cantik, ya

Degup gugup mendadak menyerang dadanya, kedua matanya mengerjap kebingungan dahinya mendadak mengernyit. Segera ia angkat ponselnya, membuka chat-chat dari Risal. Namun, pandangannya terhenti pada chat terakhirnya.

Apa arti chat terakhirnya tadi?

"Udah lama nggak ketemu?" Ana menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Tambah cantik? Hah? Emang dia siapa sampai berani bilang hal konyol kayak gitu?" Ia membuang napas kesal, lalu dilemparnya ponsel itu ke atas kasur. Diikuti dirinya yang berbaring bersama bantal gulingnya.

Pandangannya menyapu langit-langit putih kamar. "Mungkinkah dulu kita pernah ketemu?" Dahinya masih mengernyit, memikirkan berbagai spekulasi baru tentang chat terakhir Risal.

Dan chat itu sukses membuat tidur Ana berkurang 2 jam karena terlalu sibuk memikirkannya. Ia terbangun pukul 3 pagi dengan PR Kimia yang belum terselesaikan. Untung saja alarm ponsel membangunkannya. Cekatan gerak tangannya meraih tumpukan kertas di atas meja, dan segera ia selesaikan PR itu dengan jalur patas.

Sementara di sekolah ia mendadak jadi super pendiam, lesu, dengan dua kantung mata menghitam. Shinta menggeleng keheranan kala melihatnya salah membuang sampah plastik ke tong sampah organik.

"Hei, salah tempat itu teh!"

"Apa?" Ana bertanya dengan ekspresi tak bersalah.

"Kamu buang sampah plastik di tong sampah organik."

Ana terdiam beberapa jeda, lantas memasukkan tangannya ke dalam tong sampah untuk mengambil sampah plastik yang kemudian ia masukkan ganti ke tong sampah anorganik. Shinta geleng-geleng kepala sambil melipat dua lengannya.

"Anak Go Green tuh seharusnya paham bedanya sampah organik sama anorganik," celetuknya sok-iya, lantas berlalu pergi meninggalkan Ana sendiri di depan dua tong sampah itu.

Memang, seharusnya kemarin ia tak terlalu memikirkan chat terakhir Risal. Sampai-sampai ia kehilangan 2 jam tidurnya. Ketulalitan dan ketidakkonsentrasiannya muncul ketika semalam jadi kalong.

***

Bel pulang sekolah berdering lantang di koridor sekolahnya, memekak keras. Bagai serdadu semut, murid-murid yang telah tak sabar menunggu jam pulang akhirnya berhamburan keluar membanjiri koridor, halaman, dan trotoar luar sekolah.

Sementara Ana dan Shinta tengah berjalan santai di samping kanan-kiri kerumunan murid yang terburu berjalan keluar gerbang.

"Oh, bukannya itu mobil Papamu, Shin?" Dua alis Ana terangkat kala mendapati tumpangan Shinta sudah menunggu di luar gerbang sedari tadi.

"Iya, akhirnya aku nggak naik bus lagi. Soalnya kemarin Papa baru pulang dari luar kota," balasnya, "Mau bareng pulang?" tawarnya.

Cepat-cepat Ana menggeleng, "Oh oh, nggak usah. Tadi aku di-SMS sama Ibu, katanya mau jemput aku pas pulang."

Shinta menaikkan satu alisnya. "Hmm, nggak biasanya." Tatapan itu menjurus pada kecurigaan, karena ia tahu seumur-umur Ana selalu jalan kaki dari rumah ke sekolah, dan memang rumahnya tak sampai satu kilometer dari sekolah.

"Ok, yaudah aku pulang dulu ya. Take care, Na!"  Shinta tersenyum, lantas melenggang pergi ke arah mobil Papanya yang sudah terparkir sedari tadi.

Tak lama setelah kepergian mereka, mendadak Ana celangak-celinguk menatap sekitar. Memastikan Risal berada di antara murid-murid berseragam putih abu-abu yang tengah berdiri di depan gerbang.

Mendadak, dari salah satu mereka melambai padanya. Dia seorang cowok dengan tubuh tinggi tegap, wajah cakepnya paripurna dengan kulit kuning langsat khas Indonesia. Ia tersenyum padanya dan perlahan melangkah mendekatinya.

"Anastasia!" Cowok itu tersenyum lebar, mengulur tangan kanannya untuk menawari jabat tangan padanya.

Sejenak Ana membeku di tempat, pandangannya mendadak tak dapat teralihkan dari sosok baru itu. Namun, beberapa jeda berikutnya ia menyadari uluran tangannya, lantas menyambutnya dengan gugup.

"Risal 'kan?" Ia memastikan.

Cowok itu tersenyum lagi sembari mengangguk singkat. Dibalas Ana dengan senyum maaf. Setelah itu keduanya berjalan beriringan di sepanjang trotoar. Berbincang ringan sesekali menyelipkan topik koordinasi acara Go Green beberapa minggu kedepannya. Namun, dalam diam Ana merasa ada yang aneh dengan sosok cowok yang ada di sampingnya ini.

Ekor matanya melirik garis wajah rupawan itu yang dilumat sorot senja yang mulai membentang di langit Bandung.

"Btw, Sal, apa alasanmu ngajak aku ketemuan di gerbang tadi?" Ana mendadak melempar pertanyaan yang sedari tadi disimpannya erat.

Yang ditanya tergagap, suasana jadi canggung seperti semula. "A-ah, itu... nggak penting sih alasannya. Pengen aja ketemu kamu lagi."

"Ketemu aku lagi?" Satu alis Ana terangkat.

Sejenak Risal tersenyum tipis, "Jadi, kamu nggak ingat aku sama sekali ya?" tanyanya.

"Memangnya... dulu kita pernah ketemu?" Raut penasarannya makin kentara.

Mendadak cowok itu tertawa kecil, "Pernah, dulu pas kita jadi rival lomba olimpiade Matematika di SMPN 2 Bogor. Yang paling berkesan, kamu berhasil aku kalahin."

Bak diseret lorong nostalgia, sejenak Ana terdiam sesekali menggerakkan bola mata ke atas, berusaha mengingat-ingat momen yang diceritakan Risal barusan. Setelah beberapa jeda berlalu, ia berseru lemah dengan mulut ternganga kecil. Sementara Risal hanya tertawa kecil melihat reaksinya.

"Kamu berubah drastis banget ya! Dulu rambutmu seingatku pendek banget, tapi sekarang panjang," katanya sembari menaruh telapak tangan kirinya di puncak kepala Ana. "Kamu juga... tambah cantik." Senyumnya tak kalah dari sorot senja. Mata Ana telah terbius oleh pesona cowok di sampingnya.

Dengan cepat Ana menepis tangan yang tengah bertengger di atas kepalanya, lantas mempercepat langkahnya meninggalkan Risal yang menatapnya bingung.

Jantungnya sudah tak tahan ingin melompat keluar dari rongga dadanya. Entah mengapa sosok Risal yang baru pertama kali ia temui ini mampu melumpuhkan amunisinya. Oh salah, ini bukan pertemuan mereka yang pertama, tapi untuk yang ketiga kali; dalam olimpiade, rapat Go Green, dan... saat ini.

Dan hari ini adalah momentum dari awal puing cinta keduanya bersemayam dalam lembah kasih.

***

Risal
Lagi apa, Na?
Eh, nanti pas sebelum pulang bisa lah ketemu di taman
Ada yang mau aku bicarain

Anastasia
Lagi makan bakso sama temen
Ok, nanti pas pulang sekolah

Risal
Di kantin dong? :)

Anastasia
Iya, tapi jangan ke sini ya!

Risal
Kenapa?

"Woi! Sibuk WA-an sama siapa nih? Gebetan baru?" Shinta menceletuk Ana yang ada di sampingnya. Sedari tadi memang ia sedang sibuk membalas chat dari Risal yang entah sekarang ada di mana.

"Chat dari Chia mah. Jangan curigaan atuh!" Ana menimpuk sebungkus kerupuk pada Shinta dengan gemas.

"Ya tumben gituh, nggak biasanya kamu makan sambil main hape." Shinta menyobek plastik kerupuk, lalu memakan dari salah satu mereka. "Eh, eh! Na!" Ia menepuk bahunya tiba-tiba.

"Apa?" balas Ana sembari menyendok kuah baksonya.

"Masih ingat Risal 'kan? Anak Lensa yang koordinasi sama kamu dan Chia itu!"

"Hmm," balasnya ber-hmm-ria.

"Dia tuh kalau ku-chat cuek banget masa! Aku sering nanya 'lagi apa?' dijawab 'gpp', ya pokoknya garing banget deh. Padahal aku 'kan suka banget sama dia..." Mengerucutkan bibir bak moncong bebek, Shinta menaruh dagunya di atas meja.

Mendengar hal itu dari bibirnya, Ana jadi mengernyit heran. Akhir-akhir ini ia dan Risal sering sekali chat, namun berbeda dengan Shinta. Risal kepadanya malah terkesan sangat peduli. Tapi kepada Shinta... mengapa Risal menjadi sosok yang tak acuh?

Usai jam pelajaran di sekolah usai, Ana bergegas tanpa pamit ke Shinta menuju taman sekolah. Ia sudah tak sabar ingin bertemu lagi dengan sosok rupawan itu. Kakinya berjalan cepat menyusuri jalan setapak beralas kerikil putih dan hitam di antara rerumputan hijau cepak.

Dilihatnya Risal sedang duduk di bangku taman, melambai riang padanya dari jauh. Ia tersenyum lugas dan balas melambai padanya.

Sore itu, keduanya tengah mendiskusikan beberapa hal peting terkait dengan acara bazar Go Green yang mulai mendekati hari H.

"Na, aku bawa ciloknya kantin," kata Risal menawari sebungkus cilok padanya.

"Makasih, hehe," balasnya langsung melahap jajan yang diberikannya barusan.

Risal tersenyum tipis tatkala melihatnya makan dengan lahap tak tersisa. Dan baru ia sadari jika dilihat-lihat ternyata Ana cukup imut dengan cilok memenuhi mulutnya. Diam-diam ia mengarahkan lensa kameranya tanpa Ana sadari.

Satu,
Dua,
Tiga,
Em..pat...

Oh tidak! Ia tertangkap basah memotretnya diam-diam.

Ana segera merebut kamera SLR yang bertengger dalam genggamannya, lantas melihat-lihat foto jepretan diam-diamnya dan terhenyak. Bibirnya melongo kecil kala melihatnya begitu lucu di hasil jepretan cowok ini.

"Nggak salah Go Green koordinasi sama kamu, terutama tim Lensa Cakrawala," Ana tersenyum maaf, mengembalikan kamera SLR kepada empunya.

"Ah, karena kamu udah terlanjur ketahuan, sekarang coba kamu ngefotoin aku di sana!" Telunjuknya mengarah pada padang rumput yang cukup luas di taman. Ia langsung melompat dari duduknya dan berlari ke sana. Risal tersenyum lebar, memfokuskan lensanya menjepret Ana di sana.

Selang beberapa menit gadis itu kembali ke tempat duduk mereka. Keduanya saling menatap hasil jepretan apik tersebut. Ana bertepuk tangan pelan, kagum dengan skill Risal. Namun, ditengah-tengah kegiatan mereka, Ana mendadak teringat dengan chat pertama Risal tadi, jika ia ada perlu untuk dibicarakan dengannya.

"Oh, Sal! Katamu tadi di chat, kamu mau bilang sesuatu ke aku sekarang?"

Dua bahu Risal terhela, ia tersenyum kaku, ditaruhnya kamera SLR itu di atas bangku taman. Ana yang ada di depan menunggu sepatah kata yang hendak terucap darinya.

"Sebenarnya, aku mau ngomong soal ini ke kamu dari kemarin-kemarin," katanya gagu.

"Iya apa?" Ana menaikkan dua alisnya antusias.

"Aku suka kamu, Anastasia," balasnya lugas.

Seketika, dua pipi Ana menghangat dengan mata membulat, serta bibir mungilnya yang ternganga kecil. Degup-degung jantungnya serasa mengajaknya lari marathon 10 putaran. Ia hanya tersenyum kaku, sambil mengatupkan bibirnya rapat sebelum ia balas ucapan Risal.

"Aku... sebenarnya juga suka kamu, Sal. Dari pertemuan ketiga kita di gerbang, aku jatuh cinta ke kamu," ungkapnya dengan tersipu. Sementara Risal tersenyum lebar, puas mendengar jawabannya barusan.

Namun, hal yang tak terduga terjadi

"Ana!"

Ana terlonjak kaget ketika mendapati Shinta berdiri tak jauh dari mereka duduk. Gadis dengan rambut sebahu itu terlihat mengernyit, dua sorot matanya tersirat sebuah kekecewaan. Jeda berikutnya, ia pergi meninggalkan keduanya. Ana berseru memanggil-manggil namanya di belakang, mencoba menghentikan langkah Shinta yang kian menjauh.

"Shinta! Please dengerin penjelasanku dulu!" Ana berseru, berlari, dan meraih lengan kanannya dari belakang.

Langkah keduanya terhenti, Shinta melempar senyum sinis padanya sembari berusaha melepas genggaman tangan Ana di lengannya.

"Aku pengen sendiri dulu, Na," pungkasnya lalu beranjak pergi dari hadapan Ana.

Embusan angin menerbangkan anak-anak rambutnya lembut. Ia menengok ke belakang, melihat Risal yang berjalan ke arahnya. Ia tersenyum masam, dengan dahi berkerut dan mata yang mulai berair karena tangis yang ingin membuncah keluar.

Jarak keduanya menipis, Risal menatapnya dengan tanda tanya mengambang di atas kepalanya. Namun, saat menatap kaca-kaca dalam mata Anastasia, ia jadi mengurungkan untuk bertanya basa-basi perihal kejadian tadi padanya.

Sejak sore itu, hubungan persahabatan Ana dan Shinta patah. Rasa penyesalan menyelimuti hari-hari Ana. Ia mulai mendapati Shinta menjauhinya, bahkan sengaja menghindarinya di kelas.

Saat melewati kantin Ana terdiam sejenak menatap kerumunan manusia-manusia kelaparan yang berdesakan antri memesan makan. Mendadak ia rindu sekali dengan momennya bersama Shinta yang selalu nongkrong di kantin di jam istirahat. Ingatan itu membuat dua sudut bibirnya perlahan terangkat.

Tak disangka, Shinta ingin berada di zona nyamannya sangat lama. Mungkin baginya ini terasa sedikit sulit saat mendapati sahabatnya menyukai cowok yang ditaksirnya. Hingga pekan bazar Go Green berlalu pun keduanya masih renggang.

***

"Kamu kenapa akhir-akhir ini kelihatan sedih terus, Na?" Risal mendudukkan diri di kursi panjang taman sekolah. Sementara Ana hanya berdiri, diam, dan menatap cowok itu datar. Namun, tak lama kemudian ia ikut duduk bersamanya.

Napasnya terembus berat, Risal menengok padanya. Ia tahu Ana ada masalah, dan semua ini dimulai dari sore itu. Namun, entah mengapa ia merasa bila permasalahan ini ada kaitan dengannya. Mungkin itu hanya intuisinya, namun mengapa ia benar-benar ikut merasakan kegundahan Anastasia.

Tak lama, akhirnya Ana bersuara dengan suara paraunya. "Aku ada masalah, Sal."

"Cerita."

Sejenak Ana menatap ragu Risal. Namun, jeda berikutnya ia mulai menceritakan kegundahan dan kesedihannya mulai dari awal hingga akhir secara runtut. Hingga membuat cowok itu termangu, dengan perasaan bersalah yang mulai membanjiri benaknya.

Setelah ia bercerita panjang lebar, Risal mengerti jika posisinya saat ini hanya seperti duri dalam hubungan persahabatan mereka.

"Ana, jika aku jadi kamu. Mungkin saat ini aku akan memilih untuk menjauhi cintaku daripada sahabatku." Ia membuang napas beratnya, tatapannya kepada Ana mendadak sendu. "Aku tidak bisa jadi duri dalam persahabatan kalian," lanjutnya.

"Maksudmu?" Ana terdiam setelahnya dengan dahi mengernyit.

"Sebaiknya kita tak usah saling dekat lagi."

Keduanya terdiam cukup lama, hingga Ana tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangan untuk Risal.

"Mari kita akhiri kedekatan ini dengan damai. Aku siap menyesal melepasmu." Ana tersenyum dengan sendu dalam sorot matanya. Sedang Risal mengangguk dan membalas uluran tangan itu.

"Senang bisa bertemu dengamu. Aku siap menyesal merelakanmu pergi."

Keduanya saling lempar senyum perpisahan dibarengi senja yang mulai menyapa malam. Sebentar lagi langit akan pekat, dan kedekatan mereka akan resmi berakhir.

Namun, meski keduanya sudah tak lagi sejalan, ada kabar baik yang segera menghampiri.

Dan bagaimana dengan hubungan Ana dan Shinta? Mungkinkah mereka akan kembali merajut tali persahabatan lagi?

"Shinta!" Ana berlari terburu menghampiri Shinta yang tengah membereskan sampah-sampah plastik di basecamp Go Green.

"Shinta, aku mau bicara bentar sama kamu di luar," ujarnya lagi.

Shinta membuang napas, sejenak menatap sorot kesungguhan dalam mata Ana. Lantas mengiyakannya. Mereka memilih bicara empat mata di koridor sepi. Shinta menyilangkan dua lengannya di dada, menatap datar Ana yang ada di depannya.

"Jadi, apa lagi, Na?" tanyanya jutek.

"Aku sama Risal udah nggak deket lagi," balas Ana sembari menyunggingkan senyum.

Sontak, hal itu membuat Shinta mengernyit bingung. Ia menurunkan dua lengannya lagi. "Kenapa bisa gitu? Dia yang sempurna itu kenapa kamu lepas? Rugi."

Ana menggeleng, "Lebih baik aku melepas cinta daripada melepas sahabatku, Shin. Bagiku, kehilangan sahabat seperti kamu itu jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan cowok sesempurna Risal."

"Kenapa?" Dua mata Shinta berkaca-kaca, hatinya berdebar tatkala mendengar Ana bicara seperti itu padanya.

"Karena selama ini kamulah orang pertama yang selalu ada di saat aku terpuruk. Jika kamu dibandingkan dengan Risal, Risal tidak ada apa-apanya. Kamu yang paling utama."

Setitik air jatuh dari sudut mata Shinta. Dan seketika itu ia menghambur ke dalam pelukan Ana, mendekapnya erat. Ana tersenyum lebar, matanya membasah karena dirinya terlalu bahagia saat ini.

[Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro