Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kelam Malam Menenggelamkan

Kelam Malam Menenggelamkan
Oleh Nurul Maratus Sholihah
[skr22__]


Semakin malam semakin tenggelam, semakin larut semakin hanyut. Malam sepi yang sunyi akan kehidupan, membawa imaji berlari. Dibawah terang lampu kamar, duduk meringkuk memeluk diri sendiri yang mencintai sunyi tetapi membenci sendiri. Tidak terhitung berapa lamanya, dia terlalu lelah untuk mengingat sejak kapan matanya terpaku pada cahaya yang menyilaukan. Ketika setitik dirinya sadar dan beralih pandang, waktu tak lagi sama, gelap semakin menggelap, angin dingin telah membangunkan tubuh yang menggigil bahkan selimut longgar semakin rapat membungkus erat. Netranya bergerak gelisah menilik sekitar, segalanya sesuatau yang terlihat menjadi samar-samar gelap. Matanya mengerjap beberapa kali, tetapi remang-remang penglihatan tidak akan menghilang dalam pandangannya dengan begitu mudahnya, matanya terlalu lama melihat terang. Bahkan dia tidak menyadari telah menyakiti matanya sendiri. Netra itu terpejam, menikmati keheningan. Untuk beberapa saat paras dengan mata tertutup itu terlihat menenangkan dan terlalu sayang untuk berpaling ke yang lain.

Terang lampu kamar selalu sepadan setiap harinya, namun bayangan dirinya yang terbentuk terlihat berbeda malam ini. Matanya yang telah terbuka terus menatap bayangan hitam dirinya. Semakin lama dipandang semakin terlihat menghitam. Tatapan itu terlihat nanar, seperti menyimpan beban yang tak tertangguhkan untuk ditahan lagi. Paras menenangkan yang beberapa waktu lalu terlihat bahkan telah lenyap sepenuhnya, berganti dengan raut kesedihan dan kegelishan yang tak terucapkan. Setelah cukup lama dalam posisi itu, mata itu akhirnya sedikit menunjukkan pergerakan ke samping. Respon tubuhnya memperlihatkan seperti tengah berfokus pada sesuatu. Jarum jam yang menyerukan suara beriramanya berbaur dengan bebunyian suara alam seperti backsound penenang dalam proses terapi. Perlahan pudar, menghilang dan tergantikan. Terdengar samar suara ketukan. Perlahan berkembang menjadi jelas dan terdengar seperti suara ketukan tangan yang beradu dengan pintu.
Tempo ketukan perlahan bertambah, memantik rasa penasaran yang wajar terlahir di situasi yang sangat mendukung ini. Pikirannya berperang. Dua kubu berseberangan saling beradu tanpa malu, lagipula hanya dirinya dan Tuhan yang tau perseteruan menggebu itu. Memang benar kata orang, rasa penasaran dapat mengalahkan segala macam rasa lain yang menjadi lawan.
Dia berjalan menuju suara ketukan itu berasal. Jengkal demi jengkal, bunyi yang terdengar perlahan teredam oleh suara riuh yang saling tumpang tindih. Suara-suara acak itu terdengar semakin gaduh tepat ketika kedua kaki milik gadis itu berdiri di depan pintu yang menjadi pembatas sekaligus penghubung dirinya dengan sesuatu yang ada disana. Cukup lama dia berdiam diri disana, masih meyakinkan dirinya untuk mengikuti intruksi dari rasa penasarannya. Badannya terlihat sedikit gemetar menahan segala gejolak penolakan untuk melanjutkan. Seluruh panca inderanya sedang dalam mode siaga akan segala kemungkinan.

Kehati-hatian dan ketakutannya dalam mengambil Langkah terlihat sekali dari tangannya yang mulai menunjukkan pergerakan lambat mendekat, seakan-akan segalanya dapat berubah dalam satu kedipan mat ajika sedikit saja dia menyentuh pintu hitam itu.

“Anna...ikut kakak yuk?” ucap suatu suara.

“Kemana, Kak?” respon suara lainnya.

“Ada deh, ikut aja dulu.” Pemilik suara pertama kembali menjawab.

Gadis berpiama gelap itu kembali menyimpan tangannya yang hampir menyentuh pintu hitam itu. Dia memilih mendengarkan lebih lama lagi suara-suara yang semakin jelas untuk dinilai sebagai suatu percakapan itu. Namun yang didengarnya selanjutnya hanyalah hening, hingga beberapa saat kemudian akhirnya muncul kembali suara lirih. Suara lirih itu terdengar seperti suara tangis yang ditahan karena takut terdengar oleh orang lain. Tak berlangsung lama, suara tangisan itu serta merta menghilang setelah teredam oleh suara ketukan pintu yang tiba-tiba terdengar.

“An, udah belum? Ayo cepetan, kasian yang udah ngantri.” Hening beberapa saat. Tidak segera mendapat respon, orang itu kembali bersuara.

“Anna...jawab kakak, jangan diem aja,”

“Hmm, iya bentar,”

“An, kamu nangis ya?”

Orang yang dipanggil Anna itu mendiamkan pertanyaan yang barusan disuarakan oleh kakaknya. Tidak mendapat jawaban dari sang adek, Sang kakak kembali bersuara.

“Anna, jawab kakak. Kamu kenapa? Are you okey? Please jawab kakak. Jangan bikin kakak khawatir. An... Annaa, buka pintunya, Dek. Anna... kamu kenapa nangis? Ada apa? Ayo keluar sini.”

Mendengar suara kekhawatiran dari balik pintu hitam, tangan gadis berpiamaa itu spontan menyentuh dadanya yang terasa agak sakit. Dia seperti mengenali suara itu, akan tetapi entah kenapa ingatannya tidak mengenali siapa pemilik suara itu. Lalu, kenapa nama salah satu pemilik suara itu sama seperti dirinya. Gadis berpiama itu sedikit hilang keseimbangan karena merasa pusing. Dia mencoba membenahi dan dan menguatkan posisi kakinya sebelum kembali menyimak suara di balik pintu itu.

“Anna...jangan langsung main air kaki kamu bisa keram nanti”

“Iya...”

“Anna, yang serius kalua pemanasan,"

“Iya iya... bawel ah,”

Gadis dengan piama itu masih menerka-nerka, siap gerangan orang-orang dibalik pintu hitam ini. Haruskah dirinya membuka pintu itu sekarang agar semua kegelisahan dan rasa penasarannya terbayar. Namun, ketika kedua mendekat kembali diam merasakan ketakutan yang menguat, seakan membelenggunya untuk tetap diam bersama ketidaktahuan. Gadis itu memejamkan mata, memaksa mengingat apa yang dia lupakan. Samar-samar dia melihat bayangan dua gadis yang terlihat begitu bahagia bersama kemudian berganti dengan gambaran dua gadis yang saling berpelukan diantara banyak kerumunan orang. Semakin dalam dia menekan, semakin keras pantulan rasa pusing yang menguar. Suara tangisan dan sesunggukan yang menyesakkan dibalik pintu mengintrupsi aksinya. Tidak lagi peduli dengan rasa pusing yang menyerangnya dirinya. Dia memfokuskan diri.

“Tenang, Anna... kakak disini oke. Cup cup cup...oke. kakak disini jangan takut, ada kakak disini. Udah-udah gapapa, tenang ya...”

Dua suara dominan ditengah suara latar bisik-bisik yang barusan terdengar ditelinga gadis piama itu, seakan sejalan dengan gambaran yang beberapa saat lalu terlintas dipikirannya. Gadis itu tersentak kaget. Gadis itu ingat, milik siapa suara tangis itu dan milik siapa suara memenangkan yang barusan terdengar itu. Ketakutan dan keraguan yang sebelumnya mendomasi menguap entah kemana. Tangannya sudah menggengam gagang pintu hitam itu dan langsung membukanya.

Cahaya menyilaukan yang pertama kali menyambutnya. Refleks lengannya mengintruksikan untuk memayungi matanya yang memejam karena merespon atas cahaya silau itu. Perlahan kedua netra itu membuka sedikit demi sedikit. Namun, yang dilihatnya saat ini bukanlah seperti yang diharapkannya. Tidak ada pemandangan dua gadis yang saling berpelukan dan diapit kerumunan.
Sosok Anna yang berpiama itu melihat kondisi sekitar. Wajahnya yang kebingungan itu perlahan memucat. Dia mengenali tempat berdirinya saat ini, dia mengingat betul kejadian apa yang terjadi akan terjadi. Hari paling menakutkan yang hingga saat ini menjadi hantu yang terus membayangi dirinya.

Dia mencoba menolak melihat kembali setiap momen yang mengantarkannya pada kejadian menyakitkan hari itu. Namun, seberapapun usahanya memejamkan mata dan menolak melihat reka ulang adegan, ingatannya justru menyeangannya dengan senjata menolak lupa. Ingatan tentang hari itu terlalu melekat dalam memori otaknya.

“Anna, ayo sini. Jangan disitu mulu, sia-sia uang karcisnya kalau kamu kesini cuma merendam kaki.”

“Siapa suruh nyeret aku kesini, aku kan udah bilang lagi males,”

“Jadi cewek tu jangan malesan, jadi apa nanti kamu kalua udah besar.”

“Kan aku besarnya masih lama, masih ada kakak juga,”

“Dasar bocah! Dibilangin malah ngeles mulu. Yaudah sana beli jajan dulu. Uangnya tau kan dimana.”

“Tau dong, kalua masalah perduitan mana pernah lupa aku hahaha...”

Setelah suara sumringah itu terjeda lama. Suara lantang Sang kakk menyerukan perintahnya.

“Anna... jangan lupa satu es krim vanilla buat kakak,”

Meski dengan mata terpejam suara-suara itu tetap dapat mempengaruhi Anna. Suara yang terdengar itu mendukung pemutaran pentas memorial yang berlangsung di panggung kepalanya. Dia mengingat, saat itu dia hanya tersenyum menyeringai dengan perintah kakaknya. Jangankan untuk menoleh ke belakang, dia bahkan sekalipun mengangguk maupun mengiyakan perintah itu. Dia masih menolak percaya perintah yang diabaikannya dengan sengaja akan menjadi menjadi kalimat terakhir yang akan didengarnya dari sang kakak yang paling disayanginya, kakak yang selalu menjadi teman dan juga pelindungnya ketika dia tidak bisa menguatkan diri untuk menghadapi segala macam kesulitan hidup. Dia masih menolak percaya dengan apa yang diperbuatnya saat itu. Dia membenci dirinya yang terlalu kekanakan saat itu. Dia selalu berharap bahwa doraemon tidak hanya sebuah sosok khayalan dalam dunia imajinasi nobita yang selalu menuruti kehendaknya.DIa berharap doraemon itu memanglah ada dan bisa memberinya mesin waktu.
Anna berpiama terduduk lemas, tersiska dengan suara yang tidak dapat dienyahkan olehnya dengan mudah. Dia menangis menahan sesak dada yang mulai menyerang. Dia Sesak itu semakin menjadi saat banyak suara minta tolong menyerbu indera dengarnya. Dia tidak kuat lagi, tapi dia belum bisa melawan ingatan ini.Suara riuh dan kepanikan itu semakin menggila. Begitupun dia yang menggila akan tingkahnya yang saat itu begitu cuek dan bodo amat dengan lingkungan sekitar tanpa tau bahwa kecuekannya begitu mebahayakan.

Anna semakin kalut ketika momen puncak itu terjadi. Matanya yang sembab, terbuka dan melihat duplikat dirinya yang memakai pakaian renang berdiri mematung dengan tangan menenteng plastik berisi dua eskrim vanilla dan stoberi. Dia histeris melihat kebodohan sosok itu. Tangisnya semakin menjadi-jadi, tapi hanya dirinya yang mendengar suara menyakitkan ini. Kedua tanganya belum berhenti memukul dadanya mencoba mengusir sesak yang sanag menyakitkan itu, meski hanya sebuah kesia-siaan belaka. Anna berpiama meringkung menolak untuk terus melihat. Kedua tanganyya telah beralih memukuli kepalanya. Dia sudah tidak tahan dengan siksaan ini. Dia pun menjerit meluapkan segala kesakitan yang sedari tadi tidak bisa dilawannya.

Anna teregeletak lemas di lantai tepat di sebelah kaki ranjangnya. Untuk sesaat dia hanya terdiam dengan napas putus-putus yang begitu mengerikan. Dia tau sesak itu akan terus ada jika dia tidak mengalihkan fokus pikirannya pada rasa sakit yang lain. Tubuhnya yang lemah menolak untuk terus diam dan memilih melawan sesak yang tak kunjung hilang itu. Sisa-sisa tenaga yang tidak seberapa itu dijadinnya penopang untuk menyeret tubuhnya mendekat ke lemari tempatnya menyimpan barang yang sekuat tenaga dihindarinya. Namun keadaannya memaksanya untuk mengambil langkah itu.

Sesampainya didepan pintu lemari, kedua tangannya bergerak aktif mencari barang yang diinginkannya itu. Segala sesuatu yang menjadi pengghalang diambilnya secara acak lalu dilemparakan ke sembarang arah. Dengan kekuatan yang entah didapatnya dari mana, Anna kembali menggila ketika barang yang dicarinya begitu sulit ditemukan oleh tangnnya. Kedua netranya yang masih buram oleh air mata tidak dapat membantunya dalam situasi saat ini.

Setelah beberapa saat bergulat dengan segala macam kain dan barang-barang di lemari, akhirnya Anna menemukan kotak kayu berkunci yang dijadikannya untuk menyimpan benda itu. Tangannya bergetar takut saat memegangnya. Diameletakkannya kotak persegi panjang itu di lantai sebelum beralih mengalihkan tanganya untuk mengambil kunci kecil yang selalu tergantung di leher bersama kalung peninggalan dari kakaknya. Keduanya tangannya terus bergetar dan semakin menjadi seiring bertambahanya mendalam rasa sakit yang menembus dadanya. Hal itu membuatnya terus-menerus mengalami kegagalan ketika mencoba memasukkan kunci dalam lubang di kotak itu. Dipengulangan yang entah ke berapa, kunci itu akhirnya berhasil memenuhi lubang kotak.

Keberhasilan itu diikuti oleh bunyi klik yang menjadi tanda kota itu telah berhasil terbuka.

Terlihat kain merah hati menutupi yang sedikit menonjol di slaah satu sisinya.Salah satu tangan Anna menyngkap kain penutup itu. Tersingkaplah kilau perak dari pisau kecil yang begitu indah bentuk gagang pegangannnya, tapi begitu mengerikan jika mengalihkan pandang ke bagian tajam di sis lainnya. Tidak menunggu lama lagi, tangan kanannya yang gemetar itu memegang gagang pisau itu dan mengarahkan ujung bagian yang tajam untuk mendekat ke lengan kirinya.

Anna yang kalut dan terlalu fokus untuk menyayat lengannya sendiri menulikan kedua telinganya dari segala sesuatu yang terdengar di sekitarnya. Dia tidak berniat untuk mendengarkan apapun. Bahkan gedoran pintu kamarnya yang sangat keras itu dianggapnya angin lalu. Penampilannya yang sangat acak-acakan menambah kesan kegilaan yang tak tertahankan. Dia terlihat begitu menyedihkan pada detik ini. Namun, pada detik berikutnya senyum lega yang terpancar dari bibirnya memberi kesan horror bagi siapapun yang melihat. Seakan belum puas dengan sakit dan aliran suangai merah di lengannya, Anna kembali menyayat lengannya. Dia berpikir sakit di lengannya tidaklah menjadi masalah baginya selagi sesak dadanya yang menyakitkan itu hilang.

Anna terdiam setelah sayatan ketiganya menikmati tersamarkan sesak dadanya oleh sakit di lengan yang berdarah itu. Dia duduk bersandar pada lemari di sampingnya. Membiarkan lengan kirinya yang terluka tergeletak di pangkuannya, selagi tangan yang satunya lagi masih menggengam lemah pisau yang tidak lagi menguarkan kilau peraknya karena telah terselimuti oleh darah.
Keterdiamannya pun menyadarkan akan suara gedoran dari pintu. Anna melirik lemah ke arah pintu. Tubuhnya yang sudah lemah bertambah melemah karena luka sayatannya terus mengalirkan dara keluar dari tubuhnya. Jangankan untuk berdiri, bersuarapun dia sudah tidak sanggup. Perlahan kedua netranya juga ikut melemah dan tidka sanggup untuk tidak segera terpejam. Tepat disaat matanya terpejam, tubuhnya yang kacau pun merosot dan berekahir tergeleteak lemah di lantai. Diujung kesadrannya yang masih tersisa seujung, dan mendengar suara kunci pintu berbunyi. Kemudian disusul oleh suara pintu terbuka. Samar-samar dia masih dapat menangkap suara kekhawatiran sosok yang dia tau mendekat ke arahnya.

Tubuh lemahnya terasa terangakat. Tangan lembut ibunya menarik khawatir tubuh lemahnya ke dalam dekapan hangatnya. Dalam kesadaran yang hampir menghilang dia berusah menujukkan ekspresi syukurnya lewat senyum tipis karena dianugerahi sosok-sosok hebat dalam hidpnya. Meskipun salah satu sosok itu telah pergi meninggalkan rasa penyesalam dan luka mendalam untuknya. Selesai.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro