🌟DELAPAN🌟
Rachmi Pradila
Happy reading
.
.
.
.
🌟Rachmi POV
Aku hari ini menginap di rumah Savita. Gadis baik yang mau berteman denganku tanpa bertanya lebih jauh tentang latar belakang keluarga ku. Gadis yang selalu terlihat ceria dan humble.
"Mi, lo gak mau nikah sama tentara gitu?"
"Hah?" Aku bingung apa yang Savita tanyakan. Belum pernah ada niatan diriku untuk menikah dengan tentara.
"Kalau lo mau, kalau abang gue udah putus dari ceweknya, gue kenalin lo ke abang gue ya?"
Aku hanya menanggapinya dengan tertawa. Aku belum ada pikiran untuk menikah muda. Tapi kalau Allah sudah berkehendak, mau gimana lagi.
"Mana mau abang kamu sama aku"
Bagaimanapun Savita harus tahu siapa orang tua asliku dan dengan siapa dia berteman. Dia gadis yang baik, takutnya nanti keluarga Savita tidak ingin dirinya berhubungan denganku.
"Lha? Kenapa dah?"
"Saya yatim-piatu. Orang tua kandungku sudah meninggal sejak aku masih bayi. Yang sekarang merawatku ini, orang tua angkatku"
"Maaf ya. Tapi harusnya lo gak perlu katakan tentang orang tua angkat lo kayak gitu. Mereka pasti sayang sama lo, lo harus berbakti sama mereka Mi. Bagaimanapun mereka juga yang merawat elo dari bayi"
Aku memeluknya erat. Ya Allah, ada ya gadis manis dan baik seperti Savita ini. Sungguh hamba sangat berterimakasih Engkau telah mengenalkan hamba dengannya.
"Dan kalau yang lo takutin masalah keluarga gue, lo salah besar kalau menilai keluarga gue orang yang memandang status dan nama baik. Keluarga gue gak pernah permasalahin itu semua. So, enjoy it"
Kan, baik sekali gadis ini. Ku peluk dia yang sangat baik hati sekali.
"Gue berdoa, semoga gadis sebaik lo bisa berjodoh dengan abang gue"
⭐⭐⭐
Liburan kali ini, aku memilih pulang ke Jogja naik kereta. Aku memilih pulang, karena aku sudah kangen dengan Umi dan Abi.
Ku berjalan menuju bangku tempatku duduk sesuai dengan tiket yang tertera disini.
Disana, duduk seorang lelaki yang menghadap ke jendela. Tempat dudukku ada di dekat jalan.
"Permisi"
Dia menoleh sekilas lalu mengangguk, dan kembali memandang keluar jendela.
Aku sangat bersyukur karena lelaki ini memilih memandang jendela daripada harus memandangku.
Banyak orang yang lewat dengan membawa barang dan selalu mengenai lenganku. Aku hanya menringis dan mereka meminta maaf padaku.
"Pindah"
Ku mengadahkan wajahku dan melihat lelaki itu sudah berdiri di depanku. Membuatku gugup setengah mati.
"Pindah ke dalam, biar saya yang di sini. Kamu perempuan, kamu harusnya duduk di tempat yang aman"
Aku ragu
"Saya gak akan ngapa-ngapain kamu. Ini tempat umum. Saya juga punya adik perempuan sebaya kamu"
Dengan ragu, aku memilih pindah kesana, benar kata lelaki ini, aku aman disini tidak akan berdesakan disana. Lelaki itu menempatkan ranselnya di tengah kami, tanpa ku minta.
"Bukan mahramnya. Saya menghargai kamu sebagai perempuan"
Subhanallah.. lelaki ini baik sekali Ya Allah.
"Terimakasih mas"
Dia mengangguk, lalu kembali berkutat dengan hapenya. Aku memilih memandang ke luar jendela, sangat menyejukkan hati bisa melihat suasana di luar sana.
Aku hampir saja tertidur, kalau tidak kaget dengan benda dingin yang menempel di pipiku ini.
"Maaf membangunkan kamu. Inj buat kamu"
Dia menyodorkan sebotol minuman dingin yang masih tersegel. Aku menerimanya.
"Terimakasih mas"
"Kamu gak makan siang?"
Aku menggeleng, aku memilih berhemat. Abi memang mengirimi aku uang jajan, dan Pakde Kiki juga mengirimi aku uang jajan dan uang kuliah serta uang untuk kehidupan aku di ibu kota. Aku harus berhemat, tidak mau membuat menambah beban mereka.
"Makan" dia menyodorkan kotak makan siang yang berisi nasi goreng dan ayam krispi kearah ku yang tak kunjung aku terima.
"Astaghfirullah. Ini aman, saya baru saja beli sama pramugari itu. Ayo ambil, temani saya makan siang"
Aku ambil dan dia tersenyum manis kearahku.
Deg
Jantungku kenapa bisa berdetak seperti ini lihat dia tersenyum.
"Terimakasih mas--"
"Saya Zaqi, kamu?" Tanyanya padaku, tapi dia sibuk dengan membuka kotak bekal makan siang itu. "Saya gak akan bersalaman dengan kamu, karena kita bukan mahramnya"
Subhanallah. Lelaki ini baik sekali.
"Saya Rachmi, mas"
Dia mengangguk, lalu menyemprotkan antiseptik di tangannya sebelum dia makan. Ah seperti Savita sekali. Ku amati wajahnya yang mirip-mirip dengan Savita.
"Di makan, saya gak nyaman kalau kamu pandang saya seperti itu"
Blussh
Kurasakan pipi ku merona malu. Astaghfirullah, maafkan aku Ya Allah.
"Maaf mas. Maaf kalau saya lancang, wajah mas, mirip dengan teman saya"
"Oh ya? Pacar kamu?"
"Bukan. Sahabat baik saya, dia perempuan"
Dia tertawa, lalu meminum air mineral dingin yang sama seperti yang dia berikan padaku tadi.
"Apa saya secantik itu?"
Aku ikut tersenyum saat melihatnya tersenyum lagi. Lagi-lagi jantungku berdetak tak keruan.
"Bukan. Cuma mirip beneran. Sebentar mas" ku ambil hapeku yang ada di tas kecil yang selalu aku bawa.
Ku perlihatkan foto Savita yang sedang memegang minuman dan jajan waktu itu di bazar kampus.
"Ya Allah Vita, dia suka jajan seperti ini dikampus?"
"Mas kenal Vita?"
"Iya. Savita ini adek kandung saya. Dia suka jajan sembarangan seperti ini di kampus?"
"Itu kebetulan ada bazar di kampus. Dia dikasih sama Avi"
"Eh biang keladinya dia toh" aku mengangguk. "Menurut kamu Avi itu seperti apa?"
"Avi?" Dia mengangguk. "Dia sahabat yang baik. Awalnya saya kira kalau mereka berdua itu pacaran, tapi ternyata teman baik?"
"Avi cinta sama Vita, tapi si Vita gak peka"
"Kenapa gak langsung lamar aja ke orang tua mas? Biar savita bisa tahu keseriusan Avi"
"Hmm bener juga. Ntar deh aku yang ngomong sama dia"
⭐⭐⭐
Aku berada di rumah Umi dan Abi, rumah yang sudah ku tinggali sejak aku bayi.
Aku kini sedang duduk di meja belajarku, memperhatikan foto diriku dari kecil hingga aku wisuda SMA. Umi, Abi, Maulana, Aiza,Pakde Kiki dan Budhe Tiara hadir dan foto denganku.
"Mbakkk"
"Masuk dek"
Aiza dan Maulana masuk ke kamarku dengan wajah khawatir, ada apa ini. Umi dan Abi belum pulang dari rumah sakit saat ini.
"Yangkung, kritis mbak. Ayo mbak kita ke rumah sakit sekarang" jelas Maulana.
Aku langsung menyambat tas kecilku dan segera berangkat ke rumah sakit bersama kedua adikku ini, naik taxi online.
Disana kami berlari menuju ruang ICU yang dikasih tahu oleh Umi. Disana sudah ada Umi, Abi, Pakde Kiki dan Budhe Tiara sudah ada disana.
Aku berlari memeluk yangkung yang hanya menatapku dengan mata sayunya. Aku takut kejadian saat Yangti meninggal itu akan terulang kembali.
"Naak, maafkan yangkung ya. Bahagialah nak"
Aku menangis saat Yangkung mengucapkan itu padaku. Aku mendengar Yangkung mengucapkan kalimat syahadat di bimbing oleh Pakde Kiki. Dan mata Yangkung tertutup selamanya.
Innalilahi wa innailaihi rojiun.
Aku menangis di pelukan Umi. Umi tidak melepaskan aku karena aku sedang terpukul.
Selamat jalan yangkung, semoga bisa berkumpul dengan Yangti, Ayah dan Ibu di surga.
⭐⭐⭐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro