Terdakwa Yang Diinterogasi
Selamat menikmati rintik-rintik hujan... eh, di tempat aku lagi gerimis mengundang sih soalnya... di tempat kalian gimana? 🤗🤗🤗
ehm... jadi, sejauh ini kalian pada geregetan ya dengan sifat Edel yang polos-polos dodol gitu? tenang aja, aku yang ngetik aja geregetan... sepertinya sejauh ini, baru sekali ini deh aku buat karakter cewek rada polos kayak gini... hahahaha... 😂😂😂
jadi, nikmati aja ya... aku juga rada nggak percaya loh. padahal dia udah punya anak bujang kayak gitu... ehm... 😅😅😅
==========================================================================
Edelia menyiapkan sarapan Kenan pagi itu seperti biasanya ketika ia melihat sesuatu yang tampak berbeda dari Kenan. Ia mengelap tangan di celemek yang ia kenakan. Menghampiri bujang kecilnya itu yang tengah becermin di kamarnya.
"Ken..."
Kenan menoleh. "Ya, Ma?"
Edelia semakin mendekati Kenan. Secara tidak sengaja turut becermin di belakang tubuh Kenan.
"Kayaknya kamu agak beda deh."
Dahi Kenan berkerut. "Beda apa, Ma?"
Edelia tampak berpikir. "Kamu apa potong rambut ya?"
"Aaah!" Kenan menyugar rambutnya dengan kelima jari tangannya. "Keliatan cakep nggak, Ma?"
Edelia mengamati dan manggut-manggut. "Ya cakep. Anak Mama ya pasti cakep."
Kenan tersenyum lebar.
"Potong rambut kemaren?" tanya Edelia.
Kenan mengerjapkan mata. "Oh... iya... kemaren aku potong rambut. Katanya rambut aku mulai panjang."
"Bener itu. Tumben temen kamu perhatian sama rambut kamu. Bukannya terakhir kali kalian pada lomba rambut yang paling panjang?"
"Ehm... katanya, cewek nggak terlalu suka sama cowok rambut panjang, Ma. Takut berebut ikat rambut."
Edelia tertawa. "Pergi sama siapa kamu potong rambut kemaren?"
"Sama temen, Ma."
Wanita itu mengangguk-angguk, tepat ketika menyadari sesuatu. "Astaga!" seru Edelia menepuk dahinya. "Mama hampir lupa mau ngomong."
"Eh? Apa, Ma?"
Edelia keluar, diikuti oleh Kenan.
Ketika Edelia duduk untuk mendampingi Kenan sarapan, ia berkata.
"Sebenarnya, sebanyak apa sih teman yang kamu bawa ke rumah kalau Mama kerja?"
"Cuma seorang kok, Ma," jawab Kenan seraya menyuap nasi dan tumisan sayur bayam ke mulutnya. "Emangnya kenapa?"
"Tiap Mama pulang malam, nasi dan lauk semuanya pasti habis nggak tersisa."
"Pruuuttt!!!"
Nasi tersembur dari mulut Kenan. Seketika ia terbatuk-batuk. Sayur bayam menyangkut di tenggorokannya. Antara akan tertelan atau justru termuntahkan. Rasanya membuat Kenan mengap-mengap.
"Aduh ini anak!"
Edelia dengan segera menyodorkan segelas air pada Kenan. Ia menepuk-nepuk punggung Kenan.
"Makanya, kalau makan itu jangan lupa baca doa. Kesedak kan?"
Kenan meneguk minumnya hingga nyaris tandas. Dengan tissue, ia mengelap mulutnya yang basah.
"Ma-Mama marah kalau teman aku makan banyak?"
Edelia meringis. "Bukannya marah, tapi khawatir kalau-kalau malah kurang." Ia merapikan wajah Kenan. "Teman kamu suka makan apa? Biar Mama masak nanti untuk kalian makan."
Kenan memutar-mutar bola matanya. "Ehm... itu... Katanya dia suka sup ikan mujair Mama."
Dahi Edelia mengerut. "Apa akhir-akhir ini Mama ada masak sup ikan mujair?" tanya Edelia lirih. Lalu, ia manggut-manggut seraya berdiri meninggalkan Kenan. "Mudah-mudahan aja nanti tukang sayur bawa ikan mujair yang bagus."
Kenan melanjutkan makannya tanpa menimpali perkataan ibunya.
"Selain itu, dia suka apa lagi?"
Terdengar suara Edelia bertanya dari dalam kamar.
"Ehm..." Kenan mendehem sebelum menjawab. "Pie strawberry."
"Pie strawberry?"
Kenan mengembuskan napas panjang ketika mendengar suara ibunya yang terdengar heran. Ia hanya geleng-geleng kepala.
Kenapa Mama nggak nanya nama temen aku itu coba?
*
"Jadi? Kamu nggak ngasih tau sama Mama kalau aku yang datang?" tanya Jack. "Ah! Apa-apaan ini. Aku berasa kayak jadi istri simpanan pejabat aja."
Kenan duduk di atas bola dan geleng-geleng kepala. "Terakhir kali aku ngomong sama Mama mau minta diajarin bola sama kamu, Mama nggak nyuruh."
Jack duduk di hadapan Kenan. "Kenapa?"
Bahu Kenan naik sekilas. "Nggak tau. Cuma Mama bilang nggak enak gitu. Dan... nggak tau ah."
"Apa? Mentang-mentang mantan pemain terkenal gitu? Makanya nggak enak?" tanya Jack dengan over percaya dirinya seraya menyentuh sedikit rambutnya di atas dahi. Bibirnya sedikit menyeringai.
"Ehm... mungkin," kata Kenan. "Tapi, mungkin lebih karena kamu cowok."
Jack tercengang. "Jadi Mama lebih nyuruh kamu latihan bola dengan cewek? Wah!" Jack geleng-geleng kepala. "Pemikiran macam apa itu?"
"Eh! Bukan gitu, cuma... Mama nggak terlalu suka kalau aku dekat dengan cowok dewasa."
Mata Jack menyipit. "Masa?"
Kenan mengangguk. "Selama ini kan aku juga mainnya sama Om Galih dan Om Pebri aja. Mama juga temenan cuma sama mereka."
"Ehm..." Jack tampak berpikir seraya mengusap-usap dagunya. "Apa Mama lagi ngejaga perasaan Papa kamu?" tanya Jack hati-hati. Sebenarnya, ia tidak ingin menanyakan hal itu. Tapi, mendadak saja ia penasaran.
Jangan-jangan penolakan Edelia ada kaitannya dengan bapak ini anak. Mantan ngajak balikan? Ho-ho. Itu serangan yang dahsyat, Bung! Godaan mari melanjutkan kisah indah masa lalu yang tertunda adalah taktik yang sangat mematikan. Mayoritas wanita akan luluh dengan rayuan semacam ini. Apalagi kalau sudah menyangkut: demi anak kita.
Jack berusaha mengusir bayangan itu dari benaknya dan menunggu jawaban Kenan dengan jantung yang berdebar-debar.
Dan kali ini, Kenan menggeleng. "Nggak ada kaitannya dengan itu, Jack."
"Kenapa? Ya siapa tau kan Mama takut kalau sewaktu-waktu Papa kamu muncul ngeliat kamu main sama cowok dewasa, terus jadi buat masalah gitu."
Kenan mengangkat wajahnya dan menatap mata Jack. "Masalahnya, seumur aku hidup... aku nggak tau Papa aku."
"Eh?" Mata Jack melotot. Lalu, matanya mengerjap berkali-kali. "Ka-Kamu nggak tau?"
Kenan kembali menggeleng. "Pokoknya aku sama sekali nggak tau tentang Papa dan keluarga Papa." Bujang kecil itu tampak menarik napas panjang sekali. "Selama ini aku cuma hidup berdua dengan Mama. Nggak pernah ada Papa. Nggak ada siapa-siapa."
Jack menutup mulutnya. Seketika saja merasa bahwa tindakannya sore itu sudah keterlaluan.
Argh! Aku nggak seharusnya nanya hal sepribadi ini dengan Kenan. Jangan-jangan Edel ditinggal pas lagi hamil gede lagi.
"Dulu waktu aku umur enam tahun, aku baru masuk SD, ada kakek dan nenek yang datang ke rumah."
Jack melirik dengan rasa tak enak hati.
"Ternyata mereka orang tua Mama," lanjut Kenan. "Aku dulu sering bertanya-tanya kan kenapa rambut aku pirang gini." Kenan menyentuh-nyentuh rambutnya. Warna pirang gelap itu tampak berkilau di bawah sinar matahari.
"Terus?"
"Kamu tau, Jack? Ternyata itu karena kakek aku."
Jack melongo dan manggut-manggut.
"Nenek bilang aku mirip sekali dengan kakek. Rambut kami sama, badan kami sama, dan mungkin tinggi kami sekarang juga sama."
Jack mendengarkan dengan saksama, sambil tangannya yang jahil sekali-kali mencabut rerumputan di lapangan.
"Tapi, Mama bilang kami nggak mirip."
"Mama ribut ya dengan Kakek dan Nenek?"
Kenan mengangguk. "Aku ingat dulu Mama bilang pokoknya Kakek dan Nenek nggak boleh nyentuh aku." Wajah Kenan tertunduk. "Sudah itu, mereka nggak pernah lagi datang. Terus nggak pernah ada lagi keluarga yang datang menemui kami. Yaaah! Selama ini cuma ada Om Galih dan Om Pebri. Ah, benar! Itu Jack... yang rumahnya di sana..."
Jack menoleh pada rumah yang ditunjuk oleh Kenan. Rumah kedua dari Puskesmas yang berada persis di seberang jalan dari lapangan sepakbola.
"Itu rumah Bu Mega. Itu mamanya Om Galih."
"Ehm... rumah kalian dekat berarti ya?" tanya Jack dengan penuh rasa penasaran.
Apa Galih memang sebatas teman saja? Ehm... sebelum janur melengkung, jangan turunkan kewaspadaan, Jack.
Kenan mengangguk. "Bu Mega itu bidan yang nolong aku lahir. Tiap bagi rapot, Bu Mega selalu ngasih hadiah untuk aku."
Jack menarik napas dalam-dalam.
Cowok baik dan orang tua yang juga baik. Ehm... wanita mana yang bisa menolak rezeki nomplok kayak gini?
Jack memutuskan untuk menaikkan level kewaspadaannya.
Bujang kecil itu menoleh pada Jack, kembali bicara. "Oh iya. Pacar Om Galih cantik banget dan mereka katanya udah pacaran dari SMA. Sebentar lagi mereka bakal nikah. Tiga bulan lagi."
Rasanya ada hujan yang membasahi Gurun Sahara. Hingga Jack berkata.
"Syukurlaaah..."
Kenan mengerjap mendapati Jack yang mendadak menghela napas panjang dan bersyukur.
"Syukur apa?" tanya Kenan bingung.
"Ha-Ha. Ya syukur karena cowok baik akan segera mendapatkan pasangan." Jack tertawa. "Hahaha. Semoga hubungan mereka langgeng sampai kakek nenek."
Kenan terkekeh.
"Yah! Siapa tau Mama kamu juga kan? Hahaha."
"Mama kenapa, Jack?"
"Ehm... siapa tau nanti Mama juga dapat cowok yang baik."
Kenan memainkan mulutnya. "Mama bilang Mama nggak mau cari pacar."
"Eh? Serius?" tanya Jack melongo.
Wah! Ini kucing beneran keras kepala ya! Padahal kecil juga.
"Iya. Kata Mama biar Mama bisa puas-puasin sayang aku selama-lamanya."
Entah sadar entah tidak, Jack cemberut. "Tapi, kan kalau Mama kamu punya seseorang gitu... ehm... artinya yang sayang sama kamu jadi bertambah, Ken."
Kenan mendehem. Lalu, bahunya naik sekilas. "Argh! Nggak tau. Mama sendiri yang bilang."
Jack geleng-geleng kepala, memutuskan untuk tidak akan terlalu kentara mendesak Kenan untuk hal yang satu itu. Alih-alih, ia berkata. "Tapi, mungkin nanti suatu saat kamu perlu ngomong deh ke Mama kalau kamu latihan sama aku. Nanti kalau Mama tau sendiri, bisa ngomel-ngomel dia."
"Iya sih." Wajah Kenan terlihat lesu. "Mama kadang-kadang memang suka ngomel."
"Dan kalau udah ngomel, kayak yang nggak takut sama orang aja."
"Bener itu, Jack. Eh?" Kenan menoleh. "Apa kamu pernah diomel Mama?"
"Ya?"
"Kok tau Mama suka ngomel-ngomel sampai nggak takut sama orang?"
"Aaah... itu..."
Jack bingung harus menjelaskan seperti apa kepada Kenan sehingga ia tau sifat Edelia yang satu itu. Ya, bagaimana juga Jack tidak tau kalau dari kali pertama mereka bertemu wanita itu langsung mengomeli dirinya?
Kenan beranjak mendekati Jack dengan menggulirkan bola yang ia duduki perlahan menuju pria itu.
"Ehm... kalau aku pikir-pikir..." Kenan memandang Jack lekat-lekat. "Ngapain kamu sampe nonton pertandingan aku kemaren?"
"Aaah..." Jack bingung mendapat pertanyaan itu tiba-tiba.
"Kamu diundang Mama buat nonton?" tanya Kenan lagi.
Jack meneguk ludahnya. Sial! Kenapa justru aku yang diinterogasi ini bocah?
"Kok bisa?" desak Kenan.
"Sebenarnya..." Jack menarik napas dan berpikir untuk sedikit berdusta. "Aku nggak sengaja aja tau kalau Mama punya anak yang suka main bola. Makanya, Mama nyuruh aku datang."
Kenan tampak diam mempertimbangkan jawaban Jack. "Ehm..."
Jack membuang napas lega ketika Kenan sedikit memundurkan bola yang ia duduki.
"Yah... lagipula, aku kan memang sering ngumpul di dapur. Jadi sering ngobrol dengan chef, yah termasuk dengan Mama."
"Ehm... Pertama kali kamu ngeliat Mama, apa yang kamu pikirin?"
Kali ini Jack yang mendehem seraya mengingat Edelia untuk pertama kali. Wanita nggak tau terima kasih? Tukang mengumpat? Atau makhluk tanpa otak?
"Ehm... Mama itu penuh semangat..." Jack berkata pelan seraya benaknya teringat sesuatu.
Kamu pikir kamu ngapain?! Kamu mau nyium aku?
"Juga wanita yang sopan tutur bahasanya..."
Jadi orang kok sok tau!
"Baik hatinya..."
Mentang rambut dicat pirang terus dari tadi ngomong pake gaya bule-bule kesasar.
"Yang pastinya wanita yang sangat menakjubkan."
Maaf saja ya, Tuan, kalau imajinasi kamu untuk menjadi pahlawan penyelamat wanita yang ingin bunuh diri gagal.
Jack merasa sesak napas ketika berkata. "Pokoknya, Mama itu nggak ada tandingannya."
Kenan tersenyum lebar. "Itu memang Mama, Jack."
"Y-Y-Yaaa.. bisa dibilang gitu."
"Oh ya, kamu pertama kali ketemu Mama emangnya di mana?"
Jack benar-benar penasaran. Ini Kenan nggak ada yang mendadak curiga ke aku terus niat buat menginterogasi aku beneran kan?
Meneguk ludahnya dan menyadari keringat mengalir di pelipisnya, Jack menjawab. "Kami ketemu pertama kali malam itu di pan---" Jack mengerjap. "Di hotel aku di pantai itu. Hari pertama Mama jadi asisten chef."
"Oooh..."
Jack mengembuskan napas panjang. Apa lagi, Ken? Kamu mau nanya apa lagi? Ayoh! Sini! Aku jawab semuanya.
"Ah, bener!" Kenan bertopang dagu di puncak lututnya ketika menatap Jack dengan raut yang benar-benar penasaran.
"Ya?"
"Sejak kapan kamu manggil Mama aku dengan panggilan Mama?"
Jack terdiam. Menyadari kesalahan fatal yang ia perbuat.
Ya nanyanya nggak kayak gini juga kali, Ken. Lagipula, ngapain juga aku keceplosan nyebut Edel dengan panggilan Mama?
"Sepertinya dari tadi kamu ngomong Mama terus."
Mata Jack mengerjap, menyadari dirinya yang tak bisa mengelak. "A-Apa iya?"
Kenan mengangguk.
Rasa-rasanya ada biji kedondong yang menyumpal di pangkal tenggorokan Jack. Ia kehabisan kata-kata dan otaknya mendadak buntu, tidak bisa berpikir.
Jadi, Jack hanya tersenyum di balik maskernya. "Aku ajari tendangan pisang mau, Ken?"
*
Edelia memberikan semangkok wortel yang telah ia iris dengan bentuk bunga pada Chef Junan. Berikutnya lobak dengan ukiran yang sama.
Chef Junan tampak tersenyum. "Yah! Asisten saya memang harus seperti ini. Kerja kamu bagus."
"Idih! Chef muji-muji Edel bukan karena Bos yang suka sama Edel kan?" celetuk Vindy dari seberang ruangan.
Chef Junan mengangkat irus di tangannya. "Ini anak ya ampun!" geramnya. "Gas! Bagas!"
Bagas terlihat tergopoh meninggalkan ikannya yang tengah ia kuliti. "Iya, Chef?"
"Please. Itu Vindy kapan mau kamu lamar coba? Seseorang perlu membuat kurungan buat itu cewek."
Tawa meledak.
"Chef... kalau mau nyariin saya jodoh ya jangan yang kepalanya botak dong, Chef," kata Vindy cemberut.
"Memangnya kenapa dengan kepala botak?" tanya Bagas tampak tersinggung.
"Eh! Ini Bagas emang cakep kalau kepalanya botak!" kata Agung.
Chef Junan membenarkan. "Nggak liat gitu Vin Diesel? Cakep kan? Ya karena kepalanya botak."
Edelia dan Rara hanya tertawa-tawa.
"Perasaan ini tadi mau ngegoda Edel," rutuk Vindy. "Tapi, kenapa malah aku yang kena?"
"Lagian... ngapain juga kamu ngegoda Edel?" tanya Chef Junan. "Kayak yang kurang kerjaan aja."
"Soalnya, Chef. Dari hari pendeklarasian perasaan itu, Bos nggak ada muncul-muncul lagi di dapur. Nggak ada nemui Edel lagi."
Semua mata dalam hitungan yang kompak, tampak menoleh serempak pada Edelia. Wanita itu hanya cengar-cengir.
"Ha-ha... kan sudah aku bilang. Bos nggak mungkin serius."
"Ih! Bos nggak mungkin becanda soal gituan," kata Chef Junan.
Entah bagaimana ceritanya, tapi mereka justru dengan langkah teratur mendekati Edelia perlahan. Edelia dengan terpaksa memundurkan tubuhnya selangkah demi selangkah. Bersiap untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang akan ia dapatkan.
"Bos nggak ada ngasih tau dia ke mana?"
Edelia menggeleng.
"Tapi, masih ngirim pesan kan?"
Edelia menggeleng.
"Ehm... ini aneh."
"Tapi, bukannya Bos emang kadang aneh ya?"
"Eh, ngomong-ngomong soal aneh, bukannya semenjak ada Edel... Bos emang aneh?"
"Ah! Bener-bener! Bos tambah aneh."
"Dan yang lebih aneh lagi, ternyata Bos udah lama nggak main drone kan?"
Mata Edelia mengerjap-ngerjap. Ia merasa seperti manusia terakhir yang sedang dikelilingi zombie kelaparan.
Lagipula, apa coba hubungan keanehan Bos, drone, dan dirinya?
"Ya... sebenarnya nggak aneh sih kalau Bos nggak main drone lagi semenjak ada Edel."
"Karena?"
"Karena yang mau dia lihat kan udah ada di depan mata!"
"Cieee!"
Seketika saja wajah Edelia terasa bagai berada di atas kompor. Memanas dalam suhu tertinggi.
Gawat!
*
tbc...
siapa yang nyadar kalau Jack udah lama nggak main drone coba? hahahah... mau ah, ntar kapan-kapan buat scene dia main drone lagi... 😅😅😅
btw. jangan lupa vote dan komennya, Guys...
Pkl 19.27 WIB...
Bengkulu, 2020.06.17...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro