Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tawa Seolah Tanpa Luka

Haloha.... ada yang nungguin lanjutan cerita ini? 🤗🤗🤗

hehehehe... akhirnya bisa update juga... 😁😁😁

Jadi, sebenarnya, Guys. aku tu bertanya-tanya apa mungkin dulu Bapak aku itu mau anak cowok. soalnya dari kecil aku tu udah diajakin nonton bola... eh, kebablasan sampe sekarang... 😅😅😅

mungkin buat sebagian dari kalian agak susah mengikuti cerita aku pas bagian pertandingan ya... tapi, makasih banyak karena memilih bertahan untuk tetap membaca... 😘😘😘

so, aku tunggu vote dan komennya di sini... 😋😋😋

===========================================================================

"Astaga!"

Jack mendesis kaget ketika keluar dari kamar mandi, ia mendapati Edelia di seberang pandangannya.

Setelah menonton pertandingan Kenan, Edelia mengajak mereka untuk mampir ke bedengannya. Dan karena itulah Jack pun permisi menggunakan kamar mandi Edelia. Sedangkan Edelia berinisiatif membuatkan mereka teh.

"Kamu ngintip saya di kamar mandi ya?" tanyanya dengan raut curiga.

Edelia mengatupkan mulutnya dan menggeleng. "Nggak, Bos. Ini saya lagi buatin teh untuk Bos, Pebri, dan Galih."

Dengan nyengir, Jack mendekati Edelia di meja dapur. Tepat ketika ia selesai mengaduk teh itu.

"Padahal ya kalau kamu mau ngintip juga nggak apa-apa sih. Hehehe."

"Bos!" desis Edelia dengan mata melotot.

"Sorry sorry," kata Jack. "Sebenarnya nggak becanda sih."

Mata Edelia tambah melotot.

"Eh! Ini mulut dasar ya. Tau aja yang jujur." Jack menepuk mulutnya sekali dengan jenaka. "Maksudnya becanda, Del."

Edelia beranjak mengambil nampan dan berkata. "Bos nggak pernah cerita kalau dulu pemain sepakbola."

"Ehm... kamu nggak nanya," kata Jack. "Lagipula, kapan hari itu kan saya pernah nanya apa kamu familiar dengan wajah saya atau nggak di berita olahraga. Eh malah kamu ngira saya presentar acara olahraga."

"Kan saya nggak tau, Bos," kata Edelia seraya meletakkan cangkir teh di atas nampan.

Jack menarik napas dalam-dalam. Bersedekap dan sedikit menyandar di dinding ketika berkata.

"Tapi, rasanya menyenangkan juga. Untuk pertama kali seumur saya hidup saya menemukan orang yang nggak membahas sepakbola saat melihat saya untuk pertama kalinya."

Edelia menoleh ke belakang. "Maaf, Bos."

"Untuk apa minta maaf? Kaki saya juga udah baik-baik aja kok. Asal nggak dipake buat lari kencang dan syok gitu, rasanya biasa aja."

Lalu, sesuatu melintas di benak Edelia. Pada dua minggu yang lalu. Ketika malam di mana Jack menarik dirinya keluar dari pantai. Matanya membesar.

"Ma-Malam itu..." Edelia tergagap. "Waktu malam Minggu waktu Bos ngira saya mau bunuh diri..."

Jack menganga. "Aaah." Ia tergelak. "Nggak apa-apa kok."

"Bos beneran nggak apa-apa?" tanya Edelia khawatir. Ia mendekat dan menundukkan kepalanya. "Saya beneran minta maaf, Bos."

"Aduh!" Jack menggaruk kepalanya. Melihat Edelia menundukkan kepala seperti itu tangannya terasa gatal. Seakan ada dorongan untuk mengelus-elus kan. Tapi, Jack pikir kalau ia mengelus-elus kepala Edelia sekarang, ia malah khawatir kalau nanti Edelia malah ndusel-ndusel ke dia. Kan gawat. Jadi ia hanya berkata pelan. "Ya nggak apa-apa dong. Lagian kalau ini kaki bermasalah lagi, ya pasti aku udah operasi lagi sekarang."

Edelia tertegun untuk beberapa saat. "Rasanya pasti sakit banget ya, Bos?"

"Kayak yang saya bilang, Del. Kaki saya udah baik-baik aja. Udah nggak sakit lagi. Bene---"

Kepala Edelia menggeleng. "Bukan karena itu," katanya. "Tapi, rasanya menyakitkan mendapati hidup kita hancur berantakan hanya karena takdir yang nggak adil."

"Eh?" Jack berkedip-kedip menatap perubahan pada raut wajah Edelia. "Kamu ke---"

"Pemain U-13 terbaik sekota Bengkulu tiba!"

"Beri tepuk tangan yang meriah!"

Jack dan Edelia seketika menoleh ke arah yang sama. Dari depan terdengar tepuk tangan berulang kali.

"Hahaha. Om lihat kan tendangan aku tadi? Keren kan?"

"Super keren, Ken."

"Heran, padahal badan kurus gini eh..., tapi bisa nendang kencang banget."

"Iya dong. Siapa dulu? Kenan!"

Mendengar suara itu, Edelia dengan segera menyiapkan semua cangkir teh di atas nampan. Ia tampak menarik napas dalam-dalam. Seakan tengah menenangkan dirinya.

"Nanti, Om, aku bakal jadi pemain sepakbola internasional."

Edelia tersenyum mendengar perkataan itu seraya meraih setoples camilan.

"Tapi, sebelumnya aku bakal masuk ke timnas junior dulu. Pelan-pelan. Nanti orang bakal kagum dengan permainan aku."

"Hahaha."

"Eh, kamu tau nggak? Sore ini fans kamu nambah seorang, Ken."

Jack mengerjap. Sudut bibirnya naik sedikit. Mengerti dengan jelas maksud perkataan Pebri.

"Oh ya? Siapa?"

Dan tepat di saat itu, Jack memutuskan untuk keluar dari dapur. Berjalan di lorong sempit yang pendek. Dan tatapannya langsung bertemu dengan cowok kecil itu.

Jack yang memang telah melepas masker dan jaket hoodie-nya setelah di bedengan Edelia, mengangkat satu tangannya. Melambai dan tersenyum.

"Hai."

Kenan yang masih berdiri di ambang pintu sontak kaku seluruh badan. Tas sepakbola di pundaknya jatuh merosot ke lantai. Beberapa saat mulutnya hanya membuka besar sebelum berkata lirih.

"Ini pasti nggak mungkin kan?"

Tenggorokan bujang kecil itu yang bahkan belum menunjukkan sedikit pun tonjolan bakal jakun, tampak naik turun.

"Ini pasti mata aku salah ngeliat." Kenan mengucek-ucek matanya berulang kali. Lalu, mengerjap-ngerjap. "Nggak mungkin ada Jack di sini..."

Pebri dan Galih cengar-cengir melihat reaksi Kenan.

"Katanya kamu ngefans sama dia," goda Galih.

"Dia juga suka permainan kamu tadi loh," tambah Pebri.

Mendengar perkataan itu, Kenan panik. Kedua tangannya mengusap wajah dan rambutnya yang masih basah karena keringat.

"Ya Tuhan. Kalau aku tau ada Jack yang nonton, tendangan bebas terakhir tadi pasti aku yang ambil. Biar kamu liat betapa kerennya tendangan bebas aku, Jack. Argh! Seharusnya aku yang nendang tadi."

Jack tersenyum lebar.

"Aku udah belajar ratusan kali lewat video kamu, Jack." Kenan menutup mulutnya ketika menyadari sesuatu. "Apa aku panggil Om?"

Jack mengangkat bahunya sekilas. "Terserah. Kamu mau manggil Jack atau Om juga nggak ada bedanya."

"Oh, sial!" Kenan tampak berputar-putar di tempatnya berdiri. Seakan bingung. Atau linglung. "Ya Tuhan. Ini beneran kamu kan? Bukan halusinasi aku kan?"

Jack tergelak dan melangkah mendekat.

"Astaga! Ini beneran Jack!" Kenan tampak mengusap-usap tangannya ke bajunya. Meneguk ludah berkali-kali, ia mengulurkan tangan. "Boleh aku salaman, Jack?"

Dengan senang hati Jack menyambut uluran tangan itu dan berkata. "Permainan yang bagus, Ken."

Mata Kenan berbinar-binar. Ia menoleh pada Galih dan Pebri. "Om dengar itu? Jack bilang permainan aku bagus."

"Hahaha."

"Aku menonton semua video kamu di YouTube, Jack. Aku belajar tiap sore. Tapi, tendangan bebas aku belum bisa melengkung. Bagaimana bisa kamu melakukannya?"

Jack tersenyum geli di saat Kenan mengajaknya untuk duduk di lantai. Ia menggaruk kepala. "Ehm... itu perlu teknik dan feel yang khusus."

"Aku tau!" kata Kenan. "Itu pasti sulit kan?"

"Tapi, kamu pasti bisa melakukannya," jawab Jack. "Seperti flip-flap yang kamu lakukan tadi."

"Kamu benar-benar menonton pertandingan aku," simpul Kenan tak percaya. "Ya Tuhan. Ini benar-benar seperti mimpi bisa ngeliat kamu di sini Jack. Aku memang dengar katanya kamu di Bengkulu sekarang, tapi aku nggak pernah bermimpi bisa ketemu kamu. Bahkan dalam mimpi sekalipun."

Jack nyengir. "Untuk apa ketemu di mimpi kalau bisa ketemu di dunia nyata?"

Kenan tergelak. "Apa aku boleh berfoto dengan kamu?" tanyanya dengan penuh semangat. "Ah! Apa aku bisa minta tandatangan kamu juga? Aku punya jersey timnas kamu."

"Tentu saja boleh."

"Tunggu sebentar. Aku ambil dulu di lemari." Kenan beranjak berdiri. "Aku ambil sekalian spidol."

Jack mengangguk-angguk.

Ketika Kenan akan beranjak, Edelia keluar dengan nampannya. Terdengar suara Edelia menegur.

"Gimana kalau kamu mandi dulu, Ken? Badan kamu keringatan banget."

Jack menoleh. "Nggak apa-apa, Del. Lagipula cowok yang keringatan itu terlihat lebih keren."

Kepala Kenan mengangguk. "Bener, Jack. Aku setuju," katanya. Ia kembali beralih pada Edelia. "Aku juga cuma sebentar. Ya?"

Bola mata Edelia berputar. "Terserah."

Kenan tersenyum seraya mendekati Edelia. Ia tampak menjinjitkan kaki ketika berusaha mencium pipi Edelia. "Makasih, Ma. Mama memang paling baik sedunia."

Petir seolah menyambar di hadapan Jack.

A-Apa tadi?

Mama?

*

Jack merasa separuh rohnya terbang entah pergi ke mana. Sekilas tadi waktu pertama kali ia masuk ke rumah Edelia, ia sempat melihat beberapa bingkai foto yang terpampang di dinding. Foto Edelia dan Kenan.

Dari beberapa potret itu Jack bisa melihat betapa dekatnya hubungan mereka. Ada foto di mana mereka berjalan bersisian seraya berpegangan tangan. Ada foto mereka sedang piknik di pantai. Dan foto Kenan memeluk Edelia dari belakang juga ada terpampang di sana.

Melalui itu, Jack menduga-duga sedekat apa hubungan Edelia dan Kenan. Tapi, Mama?

Jack meneguk ludahnya.

Telinga aku nggak salah dengar kan?

Itu Kenan tadi jelas-jelas manggil Edelia dengan sebutan Mama kan?

Belum hilang kebingungan Jack, Edelia justru tampak santai menyajikan teh dan camilan ke meja bundar di tengah-tengah mereka.

"Diminum, Bos."

Jack tergagap. Bingung. Tapi, mengangguk. "Ya."

Edelia menarik napas, jelas menyadari bahwa Jack kaget dengan perkataan Kenan tadi. Dalam diam seraya menyesap tehnya masing-masing, Galih dan Pebri saling lirik dengan penuh arti. Sekejap mereka bahkan lupa bahwa apa tujuan mereka di awal.

Kenan keluar dengan membawa jersey merah Indonesia dan spidol di masing-masing tangannya. Ia mendekati Jack seraya berkata pada Edelia.

"Ma, minggir dikit, Ma. Aku mau minta tandatangan Jack."

Napas Jack terasa terhenti di pangkal tenggorokan. Paru-parunya terasa hampa udara. Perkataan Kenan terdengar jelas di telinganya. Seolah meyakinkan dirinya secara tak langsung.

Edelia bergeser. Kenan segera duduk di sebelah Jack.

Jack menyambut jersey itu. Menarik napas dalam-dalam ketika melihat ke bagian punggungnya. Di sana tertulis nomor punggung dan nama belakangnya. 10 dan Rhodes.

Entah kenapa, semua terasa kacau balau sekarang.

Ini benar-benar hal yang tak ia prediksi.

Tangan Jack bergetar ketika mengusahakan dirinya untuk menandatangi jersey tersebut. Kenan melihat tandatangan itu dengan penuh kekaguman.

Dengan mata yang berbinar-binar, Kenan menatap pada Jack.

"Boleh kita foto, Jack?"

Jack tersenyum. Ia mengangguk. "Tentu saja."

Kenan dengan segera menyerahkan ponselnya pada Galih, sedang ia mengambil tempat yang pas di sebelah Jack yang telah berdiri. Ia membentangkan jersey Jack dan memamerkan tandatangan pria itu.

Jack merangkul pundak Kenan. Lalu, kebersamaan mereka diabadikan oleh beberapa kali jepret kamera.

Kenan melihat foto-foto itu dengan penuh kebahagiaan. Ia menunjukkannya pada Edelia dengan penuh semangat.

"Ma! Lihat, Ma! Foto kami keren banget!" kata Kenan. Satu per satu ia memerhatikan foto itu dengan senyum mengembang. "Ya Tuhan. Ini kayak mimpi aku bisa foto dengan Jack. Makasih, Jack."

"Oh! Sama-sama," kata Jack dengan suara parau. "Aku juga senang bisa foto dengan calon pemain internasional."

Kenan tergelak. "Kamu dengar omongan aku tadi?"

Jack mengangguk. "Kalau kamu latihan dengan tekun, kamu pasti bisa jadi pemain internasional."

Lalu, Kenan menunjukkan fotonya pada semua orang di sana seraya berkata. "Lihat! Sekarang aku merasa beruntung punya rambut pirang. Aku jadi terlihat seperti Jack."

"Kelihatan mirip ya?" tanya Jack.

Kenan mengangguk. Ia beralih pada Edelia. "Aku lebih milih dibilang mirip dengan Jack, Ma. Daripada dibilang mirip dengan Kakek."

Wajah Edelia seketika berubah. Tapi, ia tetap tersenyum tipis.

"Jack, apa kalau aku minta diajari sekaliii saja dengan kamu..." Kenan mengatupkan kedua tangannya, "kamu mau mengajari aku?"

Kali ini Edelia segera bertindak. Meraih anaknya dan berkata. "Ken, jangan. Ngajari sepakbola kan pasti susah."

Kenan cemberut.

"Kamu latihan sama temen-temen kamu aja."

"Nggak apa-apa, Del."

Perkataan Jack membuat yang di sana kompak menatap dirinya.

"Nggak usah," kata Edelia. "Lagipula nanti kalau cederanya kambuh lagi gimana?"

Kenan tersentak. Seolah baru tersadar sesuatu. "Maaf, Jack. Aku lupa kalau kaki kamu cedera. Itu karena hampir tiap hari aku nonton video kamu, jadi aku nggak pernah ngerasa kamu udah nggak main bola lagi."

Jack menggaruk kepalanya. "Sesekali aku memang masih main kok. Tenang saja. Kaki aku udah kuat. Kalau untuk ngajari anak 12 tahun latihan bentar, nggak bakal ngaruh."

"Sungguh?"

Jack mengangguk mantap.

Kenan terlihat begitu senang hingga kemudian mereka bercengkerama membicarakan banyak hal. Hingga langit menggelap, mereka kemudian makan bakso bersama. Kebetulan yang tepat karena ada gerobak bakso yang melintas di depan bedengan Edelia.

"Tolong yang aku telurnya dua ya," kata Jack ketika Edelia dan Galih tampak akan beranjak memesan.

Edelia dan Galih saling pandang.

"Kenapa?" tanya Jack seraya sedikit menyembunyikan diri di balik pintu.

Kenan muncul. "Aku juga pesan dua telur, Jack."

Jack menoleh. Ia mengangguk-angguk. "Cowok memang harus makan banyak." Ia menyeringai. "Mungkin pengaruh rambut jadi ngebuat kita punya selera yang sama."

Dari tempat mereka berdiri, sedikit menjaga jarak dari gerobak bakso, Galih berkata lirih pada Edelia. "Kamu harusnya ngomong dulu ke kami siapa yang bakal datang."

Edelia menarik napas dalam-dalam.

"Aku nggak kebayang gimana perasaan dia pas nonton tadi," lanjut Galih.

"Aku juga nggak ngira jadinya begini. Mana aku tau kalau dia itu pemain bola," desah Edelia. "Awalnya aku kan cuma ingin..."

"Aku tau." Galih memotong perkataan Edelia. "Tapi, ya ampun. Tunggu! Apa ini artinya..." Mata Galih membesar. "Kamu nggak becanda?"

Edelia menggigit bibirnya. "Dia pernah ngajak aku pacaran. Dan gilanya malah mau ngelamar aku."

"Ya Tuhan."

"Itu nggak mungkin kan? Masa pria kayak dia mau dengan cewek rendahan kayak aku?"

Galih berkali-kali menarik napas dalam-dalam. "Astaga, Del. Aku nggak tau harus ngomong apa lagi saat ini." Ia menatap Edelia. "Antara nggak percaya kalau dia naksir temen aku dan nggak percaya gimana kacaunya perasaan dia sekarang."

Edelia tertegun.

Dengan jelas merasa bahwa tindakannya kali benar-benar di luar perkiraannya. Ia telah membawa kembali ingatan Jack dan kemudian menutup semuanya dengan kejutan dengan statusnya.

Tapi, ketika ia menoleh ke bedengannya. Jack terlihat tertawa bersama Kenan dan Pebri.

Ia tertawa seolah tak ada luka.

*

Jack membaringkan tubuhnya yang terasa lemas di atas kasur.

Mengatakan bahwa perasaannya sekarang hancur lebur, kacau balau, dan berantakan tentu tak berlebihan. Bahkan mungkin itu masih belum cukup untuk mengambarkan semuanya.

Jack membawa tangan kanannya untuk memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terasa pusing. Dadanya terasa sesak. Dan entah mengapa dari tadi ia merasa matanya panas.

Ia menarik napas dalam-dalam.

Ingatannya kembali pada tendangan Kenan tadi. Jujur saja, itu membawa dirinya terbanting pada kenangan beberapa tahun yang lalu. Ketika ia merasakan sendiri bagaimana sensasi kakinya yang menendang bola dengan kuat hingga menjebol gawang lawan.

Perasaan yang ia rindukan, tapi justru juga menyakitkan.

Melihat Kenan berlari, berkeringat, dan berteriak di lapangan membuat ia tersadar pada perkataan Edelia tadi.

Rasanya menyakitkan mendapati hidup kita hancur berantakan hanya karena takdir yang nggak adil.

Jack menutup matanya erat-erat.

Bayangan ketika agensi salah satu klub bergengsi di Spanyol mendatangi dirinya, menawarkan dirinya untuk bergabung di sana, muncul.

Bayangan dirinya mengangkat piala untuk Indonesia, muncul.

Ironis, semua hanya muncul dalam bayangannya. Bukan muncul sebagai kenyataan yang akan mampu ia kenang di dalam hidupnya.

Air matanya mengalir.

Seandainya aku nggak cedera, Tuhan, seandainya.

*

tbc...

yak, silakan tumpahkan perasaan kalian, Guys... 😭😭😭

sampai berjumpa di part 20 besok... 😫😫😫

Pkl 22.17 WIB...

Bengkulu, 2020.06.08...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro