Tak Mengerti
Selamat tengah hari... 👋🏻👋🏻👋🏻
jangan lupa makan dan beristirahat... 🤗🤗🤗
===========================================================================
Abraham garuk-garuk kepala. Benci melihat tatapan mengiba ibunya. Terutama karena tatapan itu khusus tertuju pada dirinya.
"Mom... Jack udah besar. I'm pretty sure he knows every consequences of his choice. Ya?"
Ayuhdia menarik napas dalam-dalam. "Kamu nggak tau kekhawatiran Mommy, Ab," lirihnya. "Please..."
Abraham memandang Ayuhdia dengan sorot yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. "Mom, aku tau adik aku seperti apa. Jack udah besar dan dia pasti tau wanita seperti apa yang ia pilih."
"Dan kamu juga tau kan Mommy kamu seperti apa?" balas Ayuhdia dengan pertanyaan yang tepat menohok Abraham. "Apa mungkin Mommy bakal menjerumuskan anak Mommy sendiri?"
Abraham menggeram. Ia kembali menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal. "Argh! Aku paling nggak suka situasi kayak gini," gerutunya.
"Please, Ab..."
Dan Abraham akhirnya menyerah. "Malam ntar aku bakal berusaha buat ngomong ke Jack, Mom. Tapi, aku nggak menjanjikan apa-apa."
Ayuhdia tersenyum lebar dan mengangguk. Kedua tangannya terkembang. "Kamu memang andalan Mommy, Ab."
Membiarkan dirinya dipeluk Ayuhdia, Abraham hanya bisa bersungut-sungut. "Aku paling nggak suka mendengar kata-kata itu, Mom."
Ayuhdia terkekeh.
Malam harinya, Abraham berniat untuk mengajak Jack bicara. Karena itu satu-satunya waktu yang ia miliki. Tadi siang, setelah makan siang Jack langsung ditarik oleh Claressa. Dan Abraham tau pasti bahwa Jack memang memanfaatkan Claressa agar selamat dari dirinya. Tapi, ketika malam? Jack justru tidak turun untuk makan malam. Di pintu kamarnya tertempel pemberitahuan: sakit perut, mau tidur.
Abraham meringis. Jack sakit perut? Tapi, rumah hening? Itu bullshit. Anak itu kalau sakit pasti heboh. Terus akhir-akhirnya minta tidur sambil diurusin Mommy. Dasar anak bungsu.
Jadi, Abraham tau dengan pasti kalau rencananya sudah terendus oleh Jack. Adiknya itu sengaja menghindari dirinya. Membuat pria itu kesal. Nggak cukup ngurus Claressa, aku juga harus ngurusin Mommy dan Jack?
Abraham kemudian menyerah. Ia bertahan menunggu Jack, tapi pria itu benar-benar tidak keluar dari kamarnya. Dan ketika sudah jam sepuluh malam, Abraham memutuskan untuk menyerah. Masuk ke kamarnya dan berencana untuk tidur saja.
Apa mau dikata? Toh dia sudah berusaha.
Tapi, sepertinya Dewi Fortuna sedang menaungi Abraham. Ketika ia baru saja keluar dari kamar mandi, ia berniat untuk menutup tirai di jendela yang tersingkap. Dan ketika itulah Abraham melihat pemandangan yang ganjil. Seorang pria berjaket hodie tampak mengendap-ngendap keluar dengan begitu perlahan melewati pintu pagar.
Abraham bahkan geleng-geleng kepala. Ternyata adik aku ada bakat jadi maling. Ckckckck.
Tak butuh waktu lama, kemudian akhirnya Abraham turun. Secepat mungkin untuk mengejar Jack ketika tadi ia lihat naik ke motor ojol.
Ke mana Jack akan pergi?
Abraham menyeringai.
Ke mana lagi kalau bukan menemui cewek itu.
Tapi, ketika ia akan keluar dari rumah, ia justru berpapasan dengan Ayuhdia.
"Kamu mau ke mana?"
Abraham bingung harus menjawab apa.
Ayuhdia membawa tatapannya ke lantai atas, lalu kembali pada Abraham. "Jack keluar?"
Abraham masih tak menjawab.
"Mommy mau tau dia ngapain semalam ini keluar."
Abraham mengangguk cepat. "Aman, Mom, aman. Ntar aku buat video biar Mommy tau, Jack nggak bakal berbuat aneh-aneh. Oke?"
Muram, tapi Ayuhdia mengangguk.
"Aku pergi dulu, Mom." Abraham mencium pipi Ayuhdia sekilas.
Pria itu dengan cepat menyalakan mobil. Bertanya-tanya ke mana tepatnya Jack akan pergi menemui wanita itu. Mencoba peruntungannya, Abraham menaikkan laju mobilnya. Berharap ia tak terlalu jauh tertinggal di belakang. Mujur, dari kejauhan Abraham melihat Jack.
Abraham mengemudi dengan menjaga jarak yang cukup agar tidak ketahuan oleh Jack. Namun, pria itu seketika terheran-heran mendapati Jack yang kemudian memasuki kawasan hotel miliknya sendiri.
Setelah menunggu beberapa saat, Abraham kemudian turut masuk ke sana. Memarkirkan mobilnya dan turun. Ketika ia masuk, resepsionis langsung menyapa dirinya.
"Selamat malam, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Abraham mengeluarkan dompetnya. Menarik selembar kartu nama di sana dan berkata. "Saya kakak kandung Jack. Saya ada perlu penting dengan dia, tapi ponsel dia nggak aktif. Apa dia tadi datang ke sini?"
"Oh. Iya, Pak. Tadi Bos memang baru datang. Beliau ada di ruangan."
Abraham menyeringai. "Thank you."
Pria itu dengan cepat berjalan menuju ke ruangan Jack. Tak lupa menyalakan kamera untuk merekam perjalanan dirinya ketika menuju ke sana. Di depan pintu, Abraham mengedip-ngedipkan mata mendengar suara kekehan lirih hingga membuat pria itu panas dingin. Tanpa kata-kata, Abraham langsung saja membuka pintu itu.
"Kreeekkk!"
Abraham terbengong. Tadi apa yang aku lihat?
Yang pasti adalah Jack dan Edelia sama-sama terlonjak kaget. Abraham yang seolah terpaku hanya bisa terdiam di tempat ketika mendengar jeritan panik Edelia. Begitupun ketika wanita itu tanpa permisi langsung saja kabur dari sana. Meninggalkan dirinya dan Jack yang menatap murka padaya.
"Mas mau nangkap basah aku buat laporan ke Mommy?"
*
Abraham mengelak. Menjaga ponselnya aman di dalam saku celananya, seraya bertahan di balik meja Jack. Di hadapannya, terpisah meja kerja itu, Jack menggeram. Persis seperti singa yang ingin menerkam.
"Aku nggak maksud banget buat ngerekam yang tadi itu!"
"Tapi, udah terekam kan? Jadi, hapus."
Abraham mengejek. "Memangnya dulu video aku apa kamu hapus?"
"Balas dendam?"
"Nggak sama sekali!" tukas Abraham. "Mommy cuma perlu bukti kamu ke mana malam ini."
"Eh?"
Jack mendadak terdiam. Abraham menarik napas dalam-dalam. Mengusap peluh di wajahnya karena dari tadi harus berlari menghindari Jack. Tapi, ya ampun. Tenaga mantan atlit tidak bisa diremehkan.
"Mas mau ngadu ke Mommy?"
Abraham berkacak pinggang. Tersenyum. "Mana mungkin aku ngaduin kamu ke Mommy. Tapi, bukan berarti gratis loh."
Jack mendengus kasar. Paham dengan pasti maksud perkataan Abraham. Kedua tangannya terangkat ke atas.
"Okey. Apa yang mau Mas tau?"
Abraham melirik ke atas meja. "Ngobrol sambil ngemil kayaknya enak tuh."
Jack beranjak. Dengan kesal duduk. Benaknya terpikirkan Edelia. Wanita itu pasti syok, tapi sekarang Jack harus mengurus Abraham terlebih dahulu.
Melihat Jack yang sudah duduk, Abraham pun turut beranjak. Duduk di sofa yang berhadapan dan meraih cangkir teh Jack. Menegak habis isinya. Lalu mencomot sepotong pie strawberry itu.
"Jadi," ujar Abraham dengan mulut mengembung. "Itu ceweknya? Dia kerja di sini?"
Bersidekap dengan malas, Jack mengangguk. "Namanya Edelia. Dia kerja sebagai asisten koki."
"Ehm... Anaknya udah berumur berapa?"
Pertanyaan itu membuat Jack merasa tidak nyaman, tapi ia tetap menjawab. "Dua belas tahun."
"Udah gede," komentar Abraham. Lalu, ketika pie di tangan dan di mulutnya habis, tatapannya pada Jack berubah. "Kamu yakin mau menikahi Edelia?"
"Mas juga nganggap Edel nggak layak buat aku?" tanya Jack tajam.
"Bukan gitu, Jack. Tapi, bukannya Mommy udah bilang?" Abraham balik bertanya. "Bagaimana pendapat Mommy tentang hubungan kalian."
Jack bergeming dengan pertanyaan itu.
Abraham mengembuskan napas panjang. Sambil bersandar, ia berkata lirih. "Kalau teori reinkarnasi itu benar, aku berharap nanti aku nggak bakal jadi anak pertama lagi. Harus berada di situasi sulit seperti ini, kamu nggak bakal ngerti, Jack."
"Mas tinggal bilang sama Mommy kalau aku udah berpikir ribuan kali tentang ini, Mas. Aku udah mikir baik buruknya. Dan aku sama sekali nggak mandang Edel dari masa lalunya."
"Mommy nggak mungkin ngasih keputusan yang bakal menjerumuskan kamu, Jack," kata Abraham. "Argh! Aku bingung harus melakukan apa. Mommy cerita ke aku. Kamu cerita ke aku. Aku harus bersikap netral padahal kalian sama-sama mengharapkan bantuan aku."
Jack bersungut. "Apa Mas bakal ngasih tau video itu ke Mommy?"
"Mana mungkin!" tukas Abraham. "Aku nggak mau ngambil risiko Mommy mendadak mengap-mengap melihat anaknya mencium wanita kayak gitu."
Wajah Jack memerah. "Kayak gitu?" tanya Jack memelototkan mata. "Itu masih normal."
Abraham melempar bantal sofa pada Jack. "Apa perlu aku cek CCTV di sini buat ngeliat yang nggak normal?"
Jack meneguk ludahnya. Melirik ke empat kamera di sudut ruangannya. Lalu, merutuk dalam hati. Bagian keamanan nggak bakal ngecek rekaman kalau nggak ada hal yang mendesak kan ya?
Seketika saja Jack memucat.
Melihat raut wajah Jack yang berubah warnanya, Abraham langsung menyimpulkan sesuatu.
"Kamu udah ngapain dia, Jack?"
Kali ini Jack yang spontan melempar bantal pada Abraham. "Nggak usah terlalu negatif, Mas. Kami belum sempat ngapa-ngapain!"
"Belum sempat?" tanya Abraham ngeri.
Jack meneguk ludahnya. "Maksudnya kami nggak ngapa-ngapain. Cuma ciuman."
"Cuma ciuman?" tanya Abraham dengan mata memicing.
Yah dengan beberapa hal lainnya sih.
Abraham tergelak. "Don't tell me, Jack. Aku sama sekali nggak mau tau."
"Hahahaha. Aku juga nggak niat mau ngasih tau!" celetuk Jack. "Jadi, nggak usah ngadu ke Mommy ya, Mas?"
"Memangnya ada kakak yang bakal ngadu ke orang tuanya kalau adiknya lagi berbohong?" tanya Abraham menggerutu.
"Aku tau, Mas. Pasti Mas bakal langsung pasang badan buat melindungi aku," kata Jack menyeringai.
Abraham menggeram. "Gimana pun juga ya aku seorang kakak," katanya dan ia teringat ucapan Claressa pagi tadi. Sekelumit senyum terbit di bibirnya. Claressa juga nanti akan terbiasa berbohong demi melindungi adiknya. Bukan karena membela, tapi karena dia percaya adiknya nanti akan belajar terhadap pilihan yang diambilnya. Sama seperti yang ia yakini sekarang. Jack pasti akan memahami maksud Ayuhdia dan mengambil jalan keluarnya. Jack hanya butuh waktu untuk berpikir.
Ia meraih sepotong pie. "Tapi, aku mohon. Selesaikan masalah ini, Jack. Aku tau, kamu pasti tau yang terbaik buat kamu. Dan Mommy juga mau yang terbaik untuk kamu. Kalian cuma berada di jalan yang berbeda. Bukan berarti kalian berseberangan, tapi kalian memandang dengan sudut yang beda."
Jack mengangguk. "Aku bakal ngomong baik-baik ke Mommy, Mas. Tenang aja. Bagaimana pun juga, aku nggak pernah kepikiran buat nikah tanpa restu Mommy," kata Jack dengan optimis. "Restu Mommy itu berarti penghargaan untuk Edelia. Dia pantas untuk mendapatkannya."
Abraham mengembuskan napas lega. Senang mendengar jawaban Jack. "Oke."
*
Edelia merasakan tubuhnya bergetar parah. Ia mendadak saja merasakan ketakutan. Tertangkap basah oleh orang ketika sedang bemesraan dengan Jack tidak pernah ia duga sebelumnya. Terutama ketika ia menyadari, setelah itu Jack belum ada menghubungi dirinya.
Tapi, ketika ia pulang dan sampai di rumah, ia baru menyadari kalau ada satu pesan dari Jack yang masuk beberapa saat yang lalu.
Maaf kalau ngebuat kamu kaget.
Itu tadi kakak aku.
Tenang aja.
Semua baik-baik aja.
Kamu nggak perlu cemas.
Edelia menarik napas dalam-dalam. Bagaimana bisa aku nggak cemas? Apa yang dipikir pria itu ketika melihat aku dan adiknya dalam keadaan yang memalukan seperti itu?
Argh!
Edelia ingin sekali menjambak rambutnya sendiri. Ia merasa malu.
*
Jack baru saja selesai mandi pagi itu ketika mendengar kegaduhan dari luar kamarnya. Mengerutkan dahi, ia mendengar suara rengekan Claressa.
Ada apa?
Jack serta merta keluar dari kamarnya. Mendapati Claressa yang berkata histeris.
"Dad! Kita kan balik hari Minggu. Kenapa harus sekarang?"
Tampak Michael mengusap kepala Claressa. "Nggak bisa kamu suruh Ilona saja?"
"Nggak, Dad," kata Abraham. Ia berjongkok. Mencoba membujuk Claressa. "Kita pulang dulu. Nanti kalau liburan panjang kita ke sini lagi. Oke?"
Jack menuruni tangga. "Mau pulang, Mas?"
Abraham menoleh. "Begitulah. Ada yang mendesak di kantor."
"Tapi, aku belum pamitan dengan Kenan!" seru Claressa.
Tiga orang pria itu kompak melihat Claressa. Abraham melirik Jack tajam. Lalu, membujuk kembali.
"Gimana kalau pamitannya lewat video call?"
"Aku juga belum ngasih kenang-kenangan buat Kenan."
Mata Abraham terpejam. "Bisa kamu kirim, Sa."
Mata Claressa berkedip-kedip. "Nanti Daddy temenin ya?"
Aku? Menemani putriku buat nyari kenang-kenangan untuk anak cowok?
Abraham meneguk ludahnya. Aku pasti gila.
"Oke oke... Nanti Daddy temenin."
Claressa mencium pipi Abraham. "Aku siap-siap dulu dengan Oma, Dad."
"Anak pinter."
Tak butuh waktu lama, kemudian Abraham dan Claressa telah bersiap untuk pulang. Menyelesaikan sarapan dengan terburu-buru, mereka berencana untuk pergi dengan penerbangan jam sepuluh pagi itu.
Abraham menarik napas dalam-dalam. Memeluk Jack sebelum ia naik ke dalam mobil.
"Selesaikan semua yang kamu mulai. Jangan kabur."
Jack menyeringai dan mengangguk. Ia hanya melambai-lambai ketika melihat Michael dan Ayuhdia mengantar Abraham dan Claressa ke bandara.
Memilih untuk tidak ikut, Jack berencana untuk pergi ke hotel pagi itu. Lagipula, ia juga rindu sarapan Tomi.
*
"Aku sempat denger sih. Ehm... bukan denger, tapi ada baca satu komen gitu di video yang beredar. Katanya, Edelia itu hamil di luar nikah."
"Masa?"
"Pokoknya dia hamil tanpa ada suami."
"Coba aja lihat. Umur dia baru 27 tahun, tapi anaknya udah segede itu? Anaknya itu sudah berumur 12 tahun loh."
"Astaga! Dia hamil pas umur 14 tahunan gitu dong?"
"Ckckckck."
"Denger-denger sih, katanya dia juga sering dipecat dari kerjaan dulu. Gara-gara menggoda majikan."
"Ya Tuhan! Iya, pasti itu. Kalau cewek kayak dia mah pasti hobinya ngangguin suami orang."
"Berharap jadi istri simpanan biar nggak perlu kerja lagi."
"Adududuh! Kasian ya si Bos. Masa cakep-cakep dapat cewek bekas kayak gitu."
"Udah bekas, punya anak lagi. Aduh! Kasian. Padahal masih bujangan."
"Banyak cewek yang mau dengan Bos, tapi Bos malah suka sama dia?"
"Aku nggak yakin Bos bisa suka sama dia kalau nggak ada yang aneh."
"Maksudnya?"
"Bos pasti dipelet. Biasa, cewek kayak gitu pasti pake pelet."
"Ssst... itu ada Chef."
Tomi tampak menatap Susi, Rinna, dan Milka yang berdiri di ujung meja. Melihat ketiganya yang memandang dirinya, Tomi bertanya.
"Kalian kenapa?"
"Nggak apa-apa, Chef?"
Tomi hanya manggut-manggut sekilas. Berjalan melewati mereka menuju pintu dan berniat untuk ke ruang penyimpanan ketika ia mendapati kehadiran Jack.
"Halo, Bos!"
Jack tersenyum lebar. "Kamu ada buat sarapan nggak pagi ini, Tom?"
"Aduh! Saya nggak tau kalau Bos mau datang, tapi saya bisa buatkan sarapan spesial buat Bos."
Jack mengangguk. "Makasih."
Tomi langsung menuju ke ruang penyimpanan. Sedang Jack melongok masuk ke dalam dapur dan menyapa tiga orang gadis di dalam sana.
"Selamat Pagi."
"Selamat Pagi, Bos."
Jack tersenyum. "Kerja yang rajin ya. Kalau kalian kurang kerjaan, bisa bantu-bantu bagian cleaning service kok."
"Ya, Bos?"
Pria itu tak berkata apa-apa lagi. Melainkan menarik napas dalam-dalam menuju ke ruangannya. Seketika mood paginya hancur.
Belum selesai urusan dengan Mommy, kenapa aku justru dengar gosip kayak gitu?
Memangnya sedosa apa sih kalau aku nikah sama wanita kayak Edel?
Sampe mereka menggosipkan Edel seperti itu lagi.
Ckckckck.
Dasar wanita.
Kenapa justru lebih suka menjelek-jelekkan sesama wanita sih?
Takut tersaingi atau gimana sebenarnya?
*
tbc...
di part ini aku cuma mau ngasih 2 hal yang aku cermati selama ini:
1. anak tertua akan terbiasa berbohong soal adiknya di depan orang tuanya, bukan karena mereka berniat jahat, tapi posisinya yang terjepit. jadi, yang punya anak sulung, maklumi mereka ya 😁😁😁
2. kebanyakan topik obrolan cewek itu adalah cewek lain, padahal banyak drama yang bisa dibicarakan loh ya... hahahaha... kayak kekurangan stok cowok cakep aja buat diomongin... 🤣🤣🤣 jadi, mulai sekarang mari kita perbanyak ngomongi Kento Yamazaki, Kim Soo Hyun, Park Hyung Sik, Yuki Furukawa, Zhang Zhehan, Chris Evans, Zayn, Kevin Sanjaya, atau siapa gitu ya... tapi, ya nggak usah juga sampe komen di ignya dengan tulisan: rahim hangat. Atau kalau nggak mending gosipi novel-novel gitu kan ya? 😁😁😁
Pkl 12.35 WIB...
Bengkulu, 2020.07.04...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro