Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sudut Yang Berbeda

Selamat beristirahat siang... jangan lupa makan dan semoga selalu sehat... 🤗🤗🤗

===========================================================================

Edelia perlahan melewati pintu. Berbelok menuju ke ruang istirahat. Dengan perasaan berdebar-debar, ia berganti seragam. Setelahnya, ia menarik napas dalam-dalam. Menguatkan diri untuk beberapa kemungkinan dan keluar dari sana.

Dari luar terdengar suara-suara dari dapur. Mereka terdengar berbicara dan tertawa seperti biasanya. Edelia melangkah masuk.

Suara bicara terhenti seketika. Begitupun dengan suara tawa yang langsung menghilang.

Edelia sontak menghentikan langkah kakinya di depan pintu. Dengan dua tangan yang saling mencubit di depan perut, Edelia menahan napas melihat seisi dapur yang menatapnya kompak.

"Se-Selamat siang," sapa Edelia dengan suara tercekat.

Rara mendehem. "Ehm... selamat siang, Del."

Kaki Edelia dengan berat berusaha untuk tetap berjalan masuk ke dapur. Ia bisa merasakan bagaimana aura di sekitar dirinya terasa berbeda. Bahkan hanya dengan kedatangan dirinya, semua keriuhan menghilang.

Edelia pasrah. Mungkin sebentar lagi ia akan dipanggil Chef Junan. Mungkin sebentar lagi ia akan dipecat.

Diam-diam, Edelia menghela napas. Menyadari bahwa ia harus mencari pekerjaan baru dalam waktu dekat.

Vindy tampak mendekati Edelia. "Yang kamu bilang di grup itu, benar?"

Edelia terkejut mendapati Vindy yang udah berdiri di sebelahnya. Terutama dengan pertanyaan itu. Tapi, Edelia tetap mengangguk.

"Maaf semuanya. Bukan bermaksud untuk membohongi kalian, tapi aku memang sudah memiliki anak."

Perkataan Edelia yang terdengar lebih keras dari biasanya itu jelas saja menarik perhatian Tim Dapur. Mereka seketika mau tak mau teralihkan lagi pada wanita itu.

"Nama anak aku Kenan. Usianya sudah 12 tahun. Dan selama 13 tahun ini, aku dan Kenan tinggal berdua saja."

Mereka tampak saling lihat dengan salah tingkah.

"Ah! Iya, Del, iya." Vindy yang membukan pembicaraan itu merasa bersalah. "Ya punya anak kan memang manusiawi terjadi ke cewek."

"Aku tau kalian mungkin mikir aku yang nggak-nggak sekarang," lirih Edelia pelan. "Tapi, aku hanya ingin mencari pekerjaan halal di sini. Nggak bermaksud buruk sedikit pun."

Rara terlihat tertawa kaku. "Eng...nggak kok, Del. Bi-Biasa aja."

Tapi, Edelia bisa merasakannya. Sudut hatinya terasa sedikit sakit, tapi mau bagaimana lagi. Bukannya yang Tim Dapur rasakan saat ini manusiawi?

Agung mendekat. Ia tersenyum seraya mengacungkan pisau daging di hadapan Edelia. "Ehm... kami bisa maklum kalau kamu nggak mau jujur selama ini," katanya. "Lagipula, wanita mana yang bisa percaya diri mengungkap statusnya yang pribadi seperti itu?"

Edelia menundukkan wajahnya. Menyadari bahwa mulai sekarang ia harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan perubahan sikap mereka.

Vindy memegang pundak Edelia. "Nggak apa-apa. Gagal sekali berarti ada kesempatan yang kedua."

Edelia berusaha mengangguk.

"Lagipula kan udah ada, Bos," kata Vindy. "Nggak semua cowok itu sama, Del. Bos itu pria baik-baik. Kamu nggak usah merasa rendah, Bos juga nggak mungkin sembarangan milih cewek kok. Enam tahun di sini, Bos sama sekali nggak pernah dekat dengan cewek manapun."

Di seberang meja, Bagas berdecak. "Dengar Vindy ngomong gini kok aku berasa merinding ya?" tanyanya bergidik. "Kalian berasa bulu kuduk kalian naik semua nggak?"

Edelia tersenyum kecil ketika mereka tertawa.

"Botak sok-sok ngomong bulu kuduk naik lagi!" rutuk Vindy. "Kayak yang situ masih ada bulu aja."

"Mau ngecek?" tanya Bagas yang langsung membuat tawa meledak. "Hayo sini dicek biar kamu yakin kalau aku masih ada bulu."

Wajah Vindy memerah. Ia lalu meraih sebongkah kecil brokoli dan melemparkannya pada Bagas. Pria tanpa rambut di kepala itu mengelak. Menjulurkan lidah dan memeletkannya.

"Nggak kena. Hahahah."

Edelia menarik napas dalam-dalam. Menenangkan dirinya dan berbisik lirih di dalam hati. Mungkin semua nggak seburuk yang aku bayangkan.

Ketika sore mulai semakin turun, dirinya dipanggil oleh Chef Junan di ruangannya. Edelia menyadari bahwa ia memang sudah menunggu saat-saat itu.

Chef Junan duduk dan menatap Edelia yang duduk di hadapannya. Ia menunjukkan biodata yang digunakan Edelia ketika melamar dulu.

"Kamu bilang status kamu di sini tidak menikah. Tapi, ternyata kamu sudah memiliki anak?"

Edelia menarik napas dalam-dalam. "Karena saya memang sendiri, Chef. Chef bisa cek di RT tempat saya tinggal. Saya nggak punya suami. Lagipula, kolom status perkawinan hanya memberi dua pilihan, menikah dan tidak menikah."

Chef Junan memijat pelipisnya.

Dengan takut, Edelia berkata dengan sangat pelan. "Di sana nggak ada kolom janda, Chef."

Chef Junan garuk-garuk kepala.

"Apa saya akan dipecat karena ini, Chef?" tanya Edelia. "Memangnya salah kalau janda punya anak ingin mencari kerja?"

"Yaaa nggak salah sih."

"Kalau nggak kerja, bagaimana saya bisa menghidupi anak saya, Chef?"

Kepala Chef Junan mengangguk-angguk. Membenarkan pertanyaan Edelia. Kalau semua lowongan pekerjaan tidak memperkenankan janda, terus mereka dapat uang dari mana? Nunggu jatuh dari langit?

"Tapi..."

"Apa memang ada peraturannya, Chef, kalau wanita seperti saya nggak boleh kerja di sini?"

Chef Junan memutar otak. Tempat mana yang mempermasalahkan status pernikahan koki? Sepertinya nggak ada.

Tangan Chef Junan melambai. "Bukan seperti itu sih sebenarnya. Hanya saja saya pikir seharusnya kamu bisa jujur dari awal tentang status kamu yang sebenarnya."

"Ka-Karena..." Edelia menundukkan wajah dan berkata lirih. "Orang banyak nggak mau nerima janda, Chef. Mereka lebih milih menerima gadis."

Ya benar juga, pikir Chef Junan. Ia menghela napas dalam-dalam. Stigma negatif tentang janda udah terlalu banyak. Wajar juga cewek kayak Edel jadi takut.

"Saya mencentang pilihan sesuai dengan kolom pilihan, menikah dan tidak menikah. Chef juga nggak nanya lebih rinci ke saya."

Chef Junan cemberut. "Jadi kamu mau nyalahin saya?"

Cepat-cepat Edelia menggeleng. "Nggak, Chef, nggak," jawab Edelia dengan ketakutan. "Saya nggak dipecat kan, Chef? Kerjaan saya bagus loh, Chef. Chef sendiri sering muji saya. Sering ngomong kalau saya ada bakat di dapur. Saya juga nggak pernah ngeluh mau sebanyak apa Chef nyuruh saya kerja. Ya, Chef?"

Chef Junan menyandarkan punggungnya di kursi. Bersidekap. Menatap Edelia yang tampak mengiba memohon. Persis seperti di hari ia memohon agar diberi kesempatan untuk bekerja dulu.

Ia mengembuskan napas panjang. Ia bertanya. "Kapan saya bilang akan memecat kamu, heh?"

Mata Edelia berbinar-binar. "Saya masih kerja kan, Chef?"

Chef Junan melihat jam tangannya. "Jangan lupa bilang ke Agung. Daging marinasi tolong segera disiapkan. Jangan telat buat reservasi jam tujuh ini."

Edelia mengangguk dengan penuh semangat dan mata yang berlinang. "Makasih, Chef, makasih."

Chef mengembuskan napas dalam-dalam ketika Edelia menarik tangannya untuk bersalaman seraya berkata.

"Jadi ibu dan ayah sekaligus pasti nggak mudah. Yah, jangan sia-siakan pekerjaan kamu di sini."

Edelia mengangguk. Senyum lebar tersungging di wajahnya. "Tentu, Chef."

*

Pelan-pelan, Jack mengendap masuk setelah memastikan keadaan rumahnya yang hening. Tak terlihat sedikit pun keberadaan Ayuhdia. Sedang Michael, Jack tau persis. Ayahnya itu pasti sedang berada di halaman dengan bunga-bunganya.

Mengamati situasi, Jack merasakan sedikit ketenangan karena tak melihat Ayuhdia. Mungkin ibunya membantu Michael di halaman.

Jadi, Jack bergegas menaiki tangga. Berusaha secepat kilat untuk melesat ke atas dan---

"Astaga!"

Jack terkesiap kaget ketika ia mendapati Ayuhdia sudah mencegat dirinya seraya bersidekap di depan dada. Tepat di depan pintu kamarnya.

Ibunya itu dengan begitu bertekat meletakkan satu set kursi dan meja untuk dirinya sendiri. Sepiring camilan dan satu teko air putih menemaninya. Begitu pula dengan ponsel dan satu majalah fashion yang berada di atas meja.

Ayuhdia tersenyum. Mengamati keadaan Jack dari atas hingga bawah. Celana pria itu tampak basah di bagian bawah dan kotor oleh pasir.

"Kamu dari pantai?"

Gugup, Jack mengangguk. "Ehm... Aku mau mandi, Mom."

"Mommy butuh bicara sama kamu, Jack."

Glek.

Jack tau. Cepat atau lambat, saat itu pasti akan tiba. Tapi, kalau dipikir-pikir, Jack tidak tau apakah dirinya siap atau tidak. Apakah dirinya bisa siap atau tidak.

"Ta-Tapi, Mom..."

Mata Ayuhdia menatap Jack lurus. Membuat pria itu kembali meneguk ludahnya. Ia bisa dengan jelas menangkap keseriusan yang ibunya pancarkan dari raut wajahnya. Akhirnya, Jack mengangguk.

Ayuhdia bangkit. Membuka pintu kamar Jack dan masuk.

Ia menarik satu kursi di sana dan duduk. Mengisyaratkan untuk pria itu duduk di tepi tempat tidur.

Beberapa saat setelah membiarkan Jack duduk di tempatnya, Ayuhdia menarik napas dalam-dalam. "Wanita yang sering kamu bicarakan itu...," lirihnya pelan. "Edel?"

Jack merasa napasnya terhenti.

"Edelia? Yang ada di video itu?"

Tapi, akhirnya Jack mengangguk. "Ya, dia orangnya."

Ayuhdia mengembuskan napas panjang. "Jadi, selama ini kamu mendekati wanita yang sudah memiliki seorang anak?" tanya Ayuhdia lagi. "Anak yang sudah besar?"

Jack kembali mengangguk. "Ya, Mom."

Ayuhdia menatap wajah Jack. "Kamu sadar, Jack, wanita seperti apa yang kamu dekati?"

Kali ini wajah Jack spontan naik. Membalas tatapan Ayuhdia. "Maksud Mommy?"

"Ya Tuhan." Mata Ayuhdia terpejam dramatis untuk beberapa saat. Terbuka kemudian dan justru menatap Jack dengan tatapan yang sulit pria itu artikan. "Kamu beneran serius mendekati wanita yang sudah memiliki anak?"

Tubuh Jack seketika menegang. "Mom..." Tenggorokannya terasa tercekat. Sulit untuk ia bicara. "Aku nggak sekadar mendekati Edel. Tapi, aku sungguh-sungguh memiliki perasaan ke dia. Dan aku serius ingin menikah Edel."

Ayuhdia meremas kedua tangannya. "Kamu ingin menikahi Edel?" tanya Ayuhdia tak percaya. "Kamu serius?"

"Iya, Mom. Aku serius!" kata Jack dengan penuh tekat. "Harusnya bukan seperti ini aku mengabarkannya ke Mommy. Tapi, semua yang terjadi justru membuat Mommy dan Daddy tau dengan cara yang nggak bagus."

"Mommy nggak peduli Mommy tau berita ini dengan cara yang bagus atau nggak, tapi..." Mata Ayuhdia terlihat syok menatap Jack. "Mommy nggak habis pikir kamu mau menikahi wanita yang udah punya anak, Jack."

Kali ini, Jack yang syok. "Memangnya apa yang salah dengan menikahi wanita yang sudah memiliki anak, Mom? Bahkan Mbak Elena pun bersedia menerima Mas Ab yang sudah memiliki anak."

Ayuhdia memejamkan matanya beberapa saat dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak, Jack. Ini hal yang berbeda."

"Apanya yang berbeda, Mom?" tukas Jack bertanya. "Ini sama. Mbak Elena menikahi duda yang sudah punya anak. Dan Mommy bahagia karena ada seorang gadis yang bersedia menerima Mas Ab dengan kondisinya yang seperti itu. Lantas..." Jack berusaha untuk mengatur napasnya yang terasa kacau. "Mengapa kali ini berbeda?"

"Jack, Edelia dan Abraham itu jelas berbeda," tegas Ayuhdia. "Seorang duda dan janda itu beda. Kamu nggak bisa menyamakannya."

"Mommy..." Tatapan mata Jack terlihat nanar melihat Ayuhdia. "Aku benar-benar cinta Edel, Mom. Bahkan aku nggak peduli dia gadis atau janda atau bahkan sudah punya anak berapa, aku nggak peduli."

"Jack!" tegas Ayuhdia. "Cinta? Menurut kamu cinta saja akan cukup? Dan Mommy nggak tau apa yang ada di pikiran kamu sampai kamu serius ingin menikahi Edel. Kamu nggak tau kamu sedang memilih pilihan apa saat ini."

"Mom." Jack menarik napas dalam-dalam. "Edel itu wanita baik-baik. Selama ini ia menghidupi anaknya seorang diri. Aku tau jelas wanita seperti apa yang akan aku nikahi."

"Ya Tuhan, Nak," lirih Ayuhdia seraya mendekap dadanya kuat-kuat. "Seumur hidup, Mommy nggak pernah membayangkan kalau kamu... putra bungsu Mommy ingin menikahi seorang janda."

"Memangnya apa yang salah, Mom?" tanya Jack dengan menaikkan suaranya. "Dia juga wanita."

"Jack!"

"Mommy sebagai seorang wanita harusnya mengerti bagaimana perasaan Edel. Harus menghidupi anak seorang diri. Dan aku, benar-benar tulus mencintai mereka berdua. Tapi..." Jack merasakan napasnya terasa hangat. Dan matanya pun terasa sama hangatnya. "Aku nggak nyangka kalau Mommy justru ngomong seperti ini."

"Nak... Mommy cuma ingin yang terbaik untuk kamu, Nak."

"Kalau begitu, biarkan aku menikahi Edel, Mom," pinta Jack. Lalu, dapat dilihatnya bagaimana wajah lelah Ayuhdia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

Terdengar Ayuhdia berkata. "Mommy nggak bisa, Nak."

*

tbc...

jangan lupa vote dan komennya, Guys.... 😁😁😁

see ya malam ntar... 👋🏻👋🏻👋🏻

Pkl 13.20 WIB...

Bengkulu, 2020.07.01...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro