Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sama-Sama Gila

Selamat malam semuanya...

hayo... yang kangen sama Jack siapa? mau tau aku tuh... hehehhe 🙋🏻‍♀️🙋🏻‍♀️🙋🏻‍♀️

sepertinya, kegilaan kita masih akan berlanjut, Guys... part ini kita bakal melihat perjuangan Jack. seberapa gigihnya dia buat meyakinkan Edel kalau dia itu serius loh... 😂😂😂

jadi, jangan lupa vote dan komennya yang meriah... ah! bener, biar kalian nggak syok. mungkin part ini bahasannya agak gimana gitu yaaa... hahahha... 😅😅😅

tapi, nikmati aja...

===========================================================================

"Jadi.. sebenarnya sejak kapan kamu dan Bos jadi deket?"

"Apa yang ngebuat kalian jadi dekat?"

"Terus? Kamu sendiri gimana?"

"Kamu juga suka sama Bos?"

Vindy manggut-manggut. "Cewek buta juga bakal suka sama Bos," katanya kemudian. "Itu pertanyaan yang nggak butuh jawaban sama sekali."

Edelia meringis. Ia merasa tak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan dari Vindy dan Rara. Kalau kemaren dia bisa mengelak, saat ini, ketika ia berganti pakaian dengan seragam chef, ia tak bisa mengelak. Tepat ketika ia menyimpan pakaiannya di dalam loker, Rara dan Vindy menghampiri dirinya dengan segudang pertanyaan.

Ck. Edelia mendadak merasa berubah menjadi artis-artis di infotainment yang tayang terjadwal di saluran televisi swasta.

"Gimana? Deket dengan Bos bukannya menyenangkan?"

"Pasti Bos tambah baik gitu kan ke kamu?"

"Ha-ha..." Edelia meneguk ludahnya.

"Jadi gimana?"

Tipikal cewek-cewek. Tidak akan berhenti bertanya sebelum mendapat jawaban. Jadi, Edelia hanya tersenyum kaku.

"Ya... ya... Bos kan memang baik. Dia kan emang baik dari dulu. Ke semua orang juga baik."

"Jadi? Kalian beneran deket gitu?"

"Pacaran?"

Edelia menggeleng.

"Tapi, kayaknya kalian beneran keliatan deket deh."

"Kamu juga ngasih Bos sup ikan kan waktu itu?"

"Aaah... emang kalian udah deket dari lama ya?"

Edelia meneguk ludahnya. "Nggak bisa dibilang deket juga sih. Walau Bos baik, tapi kami ya deket sewajarnya aja. Nggak lebih kok."

Rara dan Vindy manggut-manggut.

"Kamu nggak berharap bisa jadian beneran sama Bos?"

Astaga.

"Ha-ha. Aku cuma berharap dikasih yang terbaik aja deh. Mohon doanya ya."

Edelia nyaris gila. Lihat saja. Entah sadar atau tidak, perkataannya pun sebelas dua belas dengan jawaban artis kalau sedang diwawancara. Persis seperti artis yang kepergok netizen sedang menjalin kedekatan secara diam-diam.

"Alah..." Vindy mencolet tangan Edelia. "Ngomongnya gitu. Kemaren pas Bos tiga hari nggak nongol ke hotel, siapa coba yang sibuk nanya kanan kiri?"

Edelia melongo. Mendadak saja ia bingung harus menjawab apa. Tentu saja. Kemaren ia sibuk mencari Jack kan karena masalah tidak enak hati akibat lapangan sepakbola. Bukan karena khawatir.

Ehm... mungkin lebih tepatnya khawatir karena lapangan sepakbola.

Rara mengangkat jarinya. "Bener! Kan waktu itu kerjaan kamu kalau lagi istirahat ngeliatin ke jendela terus." Matanya memicing. "Jaga-jaga kalau mobil Bos nongol ya?"

"Aaa... nggak sama sekali."

Vindy terkikik. Menghampiri Edelia yang masih berdiri di lokernya. Ia membawa Edelia untuk menatap mobil Jack yang terparkir. Ia menunjuk mobil Jack.

"Rasanya adem kan ya kalau ngeliat mobil hitam XX 195 MM terparkir di sana?" goda Vindy.

"Ha-ha."

Tapi, mau tak mau pandangan Edelia pun menatap pada mobil itu. Yah, mungkin sedikit aneh sih kalau ngeliat di sana nggak ada mobil hitam XX 195 MM, pikir Edelia.

Detik selanjutnya, mata Edelia menangkap pemandangan yang membuat tawa kakunya terhenti. Begitu pula dengan godaan Vindy ketika melihat Jack yang tampak berjalan menuju ke mobilnya. Tak butuh waktu lama, mobil itu pun melaju.

"Tumben Bos pulang cepet," kata Rara. "Kenapa ya?"

Vindy menoleh pada Edelia. "Kenapa Bos balik cepet, Del?"

"Aku ya mana tau gitu urusan Bos."

"Dia nggak ngirim pesan ke kamu gitu?" tanya Vindy. "Del, Mas pergi bentar ya. Kerjanya hati-hati."

Merinding seketika tubuh Edelia, sedangkan Rara tertawa.

"Ah, bener!" kata Vindy kemudian ketika menyadari sesuatu. "Kemaren... Bos nunjukin apa sama kamu?"

"Eh?"

"Itu... yang katanya lebih hebat dari lobak."

Mata Edelia berkedip-kedip. Lalu kepalanya meneleng ke satu sisi. Seketika saja dahinya berkerut-kerut. "Ehm..."

"Jangan bilang... Wah!" Vindy melongo. "Bos nunjukin..."

"Dasar cewek omes!" Rara muncul mendekat dan mendorong kepala Vindy dengan satu jari. "Menurut kamu aja, nggak mungkin Bos gitu."

"Hahaha." Vindy tergelak. "Bos nggak mungkin nunjukin lobak-nya kan? Hahaha."

Rara geleng-geleng kepala. "Biasa... kalau terancam jadi perawan tua ya gini. Dorongan hasrat pengen dibelai-belai tuh semakin membuat dia gila."

Vindy mencibir. "Masih 26 tahun yeee... Bukan perawan tua sama sekali. Kayak yang situ nggak aja."

Rara terkekeh.

"Tapi, Del," kata Vindy kemudian. "Aku pikir bagus juga kalau kamu nggak ngeliat lobak Bos sekarang."

"Eh?"

"Aku yakin kamu pasti bakal kaget banget."

"Eh?"

Tangan Vindy terulur. Lalu, mengusap pelipisnya dengan botol saos yang ya-ampun-dibawa-juga-sampai-ke-ruang-istirahat. "Kamu tau arti plat mobil Bos?"

"Memangnya ada artinya?" tanya Edelia yang raut wajah yang benar-benar menunjukkan ketidaktahuan. "XX 195 MM? Ehm... Apa artinya?"

Sedang Rara, geleng-geleng kepala. "Ya ampun ini cewek. Beneran udah kebelet kawin ini mah."

Tidak menghiraukan Rara, Vindy berkata. "XX 195 MM..." Matanya memicing, sedang di sebelahnya Edelia terlihat serius mendengarkan dengan kedua tangan yang terangkat ke depan dada. "Itu artinya XX Bos panjangnya 195 milimeter. Dengan kata lain panjangnya 19,5 sentimeter."

Mata Rara terpejam dramatis.

Sedang mata Edelia berkedip-kedip.

"XX Bos?" tanya Edelia polos. "Apa?"

Vindy yang semangat menggoda Edelia, mendadak lemas seketika. "Beneran kamu nggak kepikiran sesuatu soal XX Bos? XX?"

Edelia menggeleng. "A-Apa?"

Vindy menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala. Lalu ia memajukan wajahnya, mencari tempat di dekat telinga Edelia. Berbisik lirih. Hingga setan yang lewat pun tidak bisa mendengar.

"XX itu..."

Mata Edelia melotot. "EH?!"

"Aku tau aku tau... Kamu pasti syok," kata Vindy sok simpatik. "Memang mengejutkan kan?"

"19,5 sentimeter?" tanya Edelia tak percaya. Seketika saja wajahnya menunjukkan ketakutan. "I-Itu sepanjang... glek..." Edelia tak mampu meneruskan ucapannya. Ia mendadak menurunkan pandangannya. Menatap pada keramik yang menutupi permukaan lantai di ruangan itu.

Vindy jongkok. "Benar! Ini keramik ukurannya 30 x 30 sentimeter. Setengah dari 30 itu 15 sentimeter."

Entah kapan, tapi Edelia ternyata ikut jongkok juga. Hanya Rara yang masih berdiri dan geleng-geleng kepala menyaksikan percakapan mesum dua wanita dewasa itu.

Jari Vindy menunjuk di keramik. "Ini 15 sentimeter. Berarti kalau 19,5 sentimeter... ehm..." Vindy mendehem sembari mengira-ngira. "Mungkin segini deh panjangnya."

"Hah!!!"

Edelia menutup mulutnya. Matanya melotot sampai-sampai membuat Rara khawatir bola matanya akan meloncat keluar.

"Nggak mungkin."

"Mungkin aja," kata Vindy manggut-manggut. "Bos kan keturunan Amrik sono. Orang bule kan emang terkenal gitu punya lobak yang----Aduuuh!!!"

Rara memutuskan untuk menjewer telinga Vindy.

"Kemaren siapa yang bilang ke Bos bakal menjaga Edel layaknya perawan desa terakhir heh? Jangan ngajarin Edel yang nggak-nggak, Vindy."

Vindy bangkit seraya mengusap-usap telinganya. "Ih, Mak Rara ini ngomel mulu... Lagipula, ini bukannya ngajarin yang nggak-nggak. Ini mah namanya ngajarin yang iya-iya. Sex education. Seorang wanita harus mengetahui ini untuk mempersiapkan diri."

Edelia hanya meringis dan turut berdiri.

"Sex education? Hah! Ini mah namanya mesum education. Emangnya apa coba manfaat kamu ngasih tau Edel yang gituan? Mana pake acara menduga-duga..." Rara berkedip. Menahan kata-kata yang akan ia ucapkan.

Vindy mencibir. "Biar Edel nggak kaget." Ia beralih pada Edelia. "Tenang aja, Del. Bagian tubuh wanita itu sudah diciptakan untuk mampu menyesuaikan diri dengan punya pasangannya. Bisa melar dan rapat tergantung situasi dan kondisi yang diperlukan. Jadi, nggak perlu tegang ya? Rileks aja. Pokoknya dinikmati."

"Eh?" Edelia terbengong-bengong. Apa yang aku nikmati?

Rara semakin geregetan dengan omongan Vindy. "Jangan didengerin omongan Vindy ini. Banyak yang nggak bisa dipercaya daripada yang bisa dipercaya."

Mendengar dirinya dikatakan seperti itu tidak membuat Vindy marah, alih-alih ia tertawa.

"Hahahaha. Yang aku bilang bener loh. Dan yang 19,5 sentimeter itu bisa aja beneran loh. Hahahaha."

Rara dengan segera menarik tangan Vindy untuk keluar dari sana dan berkata pada Edelia. "Kalau udah siap-siap, buruan ke dapur."

Edelia mengangguk kaku.

"Wiiih!" Ia mengembuskan napas panjang. Ucapan Vindy mau tak mau membekas di benaknya. Jujur saja, ia bergidik karenanya. 19,5 sentimeter? Yang bener aja. Hahaha. Vindy nggak mungkin bener.

Eh?

Edelia tersadar.

Ngapain juga aku mikirin panjang lobak Bos?

Argh!

Edelia memukul kepalanya. Berupaya untuk menyadarkan dirinya sendiri. Teryata virus omongan Vindy lebih menyeramkan daripada yang pernah ia duga.

Wanita itu lantas mempersiapkan dirinya. Setelah berganti pakaian tadi, maka sekarang ia mengucir rapi rambutnya. Chef Junan sensitif sekali dengan rambut wanita yang berkibar-kibar selama masak. Daripada ditarik Chef Junan, maka Edelia memilih untuk mengucir kuda rambutnya, lalu menjalinnya. Dengan begitu, selain makanan terjamin lebih bersih, Chef Junan juga tidak akan marah-marah.

Selesai, Edelia segera mengunci lokernya. Ketika itulah ia mendengar pintu yang terbuka dan Tomi masuk. Sekilas ia melihat jam tangannya. Benar, udah waktunya tukar shift, pikir Edelia.

"Berita di grup..."

Suara Tomi terdengar, membuat Edelia melihat pada pria itu. Mata polos Edelia menatap.

"Ya...?"

Tomi tampak menarik napas dalam-dalam, tersenyum dan menggeleng. "Nggak ada apa-apa."

"Ehm..." Edelia beranjak. Namun, ketika ia menekan daun pintu, suara Tomi kembali terdengar.

"Kamu pacaran dengan Bos?"

Seketika saja Edelia meringis. Seharian ini aku dapat pertanyaan itu berapa kali coba? Dasar Bos gila.

Ia berbalik. Seraya meremas daun pintu seolah itu adalah daun telinga Jack, Edelia menggeleng.

"Ha-ha. Nggak ada, Tom. Bos kemaren cuma lagi latihan pentas stand up comedy kayak di televisi gitulah."

"Eh?" Tomi melongo. "Ma-Masa heboh kayak gitu stand up comedy?"

Tangan Edelia yang bebas melambai sekali di depan wajahnya. "Bener. Nggak usah mikir aneh-aneh. Bos itu kan emang hobinya becanda. Mana mungkin juga coba dia mau pacaran sama aku."

"Kenapa nggak?" tanya Tomi cepat. "Kamu cantik dan baik."

"Eh?" Edelia menggaruk tekuknya. "Percaya deh aku. Bos nggak serius. Dia cuma main-main. Udah. Nggak usah dipikirin."

"Jelas dong aku pikirin."

Mata Edelia berkedip-kedip menatap Tomi yang terpisah jarak darinya. Pria itu tampak menarik napas dan mengangguk sekali.

"Karena kalau saingan aku Bos, aku udah cukup bisa ngukur diri sih."

Mata Edelia semakin berkedip-kedip tak mengerti. "Ya?"

"Tapi, kalau kamu ngomongnya nggak ada apa-apa dengan Bos," lanjut Tomi tak menghiraukan berapa kerut bingung di dahi Edelia. "Berarti aku boleh dong ngedeketin kamu?'

"Eh?"

Di hadapannya, Tomi tersenyum hingga lesung pipinya timbul.

"Dekat?" Edelia semakin bingung dengan kata 'dekat' akhir-akhir ini. Kata itu entah kenapa membuat dirinya ketakutan. "Bu-Bukannya dari awal aku kerja...," lirih Edelia, "kita emang dekat ya? Kan kamu yang ngajarin aku semuanya pas aku training."

Tomi bersidekap. "Ehm... bener juga sih. Kita emang dari awal udah dekat kan ya?"

Kaku, tapi Edelia mengangguk.

"Tapi, kamu tau kan maksud dekat yang aku maksud di sini?"

Edelia tak yakin. "Er--- itu..."

"Jadi, kamu memang dekat dengan Bos? Makanya susah jawab pertanyaan aku?"

Aaah!

Edelia benar-benar bingung.

"Hukum cowok, Del. Jangan ngedeketin cewek yang lagi dideketin cowok. Kalau kamu emang lagi dideketin Bos, aku mundur. Tapi, kalau nggak..." Tomi tersenyum. "Ya, aku maju."

Edelia bingung. Gimana aku harus ngejawabnya coba?

"Jadi gimana?"

Aaah!

Aku beneran gila gara-gara Jack Gila itu!

Lihat! Sekarang Edelia bahkan tanpa sadar mengumpat pria itu.

Menggigit bibir bawahnya, akhirnya Edelia berkata.

"Maaf. Aku emang lagi deket dengan Bos."

Lebih baik ngadepin satu cowok gila, daripada dua cowok gila.

Tomi mengangguk. "Makasih buat jawabannya."

Separuh nyawa Edelia seolah terbang melayang-layang ke angkasa. Tinggi sekali.

Mampuslah aku.

"Udah, nggak usah ngerasa nggak enak sama aku." Tomi membuka lokernya. "Lagipula, itu jauh lebih baik. Aku ngungkapin perasaan dan kamu ngasih jawaban. Ditolak itu risiko jadi cowok."

Edelia meringis. Tidak tau harus berkata apa.

"Lagipula, wajar sih Bos suka sama kamu. Kamu baik, cekatan, cantik, dan ramah."

Sisa nyawa Edelia mengancam akan meninggalkan tubuhnya. Lagipula, memangnya apa yang dibayangkan orang-orang? Dia dan Jack benar-benar menjalin hubungan?

Sebelum beranjak menuju ke toilet di dalam ruangan istirahat untuk berganti pakaian, Tomi berkata.

"Semoga hubungan kalian lancar ya. Bos itu baik banget soalnya. Mudah-mudahan kalian bahagia berdua."

Edelia menganga.

Aku didoakan semoga bahagia dengan Bos?

H A H A H A.

Dia benar-benar ngebuat aku gila.

Dasar Bos sialan!

*

"Hatciiih!"

"Jack? Kamu flu?"

Jack mengucek hidungnya yang tertutupi masker. Ia menoleh pada Kenan yang beranjak duduk di sebelahnya. Sekilas ia mengamati suasana lapangan sepakbola sore itu tidak terlalu ramai.

"Entah ya... kok aku mendadak bersin gi---Hatciiih!" Geregetan, Jack kembali mengucek-ucek hidungnya.

"Kamu nggak sakit kan? Kalau sakit, kita bisa atur jadwal latihannya lain waktu."

Jack menggeleng. "Nggak apa-apa. Aku baik-baik aja kok. Ehm... apa ada debu ya di masker aku? Kok aku bersin-bersin mulu sih dari tadi?"

"Mungkin ada yang lagi ngomongi kamu Jack," kata Kenan. "Atau ada yang lagi mikirin kamu."

Untunglah dia memakai masker. Jack belum mau terpergok Kenan kalau mendadak ia senyum-senyum seperti saat ini.

Mungkin... saat ini Mama kamu yang lagi mikirin aku, Ken.

Hahahaha.

"Oke!" Jack bangkit. Ia memutuskan untuk memikirkan bola daripada bola Edel. Eh? Maksudnya bola mata Edelia yang bening itu loh. Argh! Benar-benar deh. Otak Jack sudah terlalu rusak.

Kenan turut bangkit seraya memegang bolanya.

"Hari ini kita mau latihan apa?"

Kenan menengadah. "Bukannya pelatih ya yang tau pemainnya harus latihan apa?"

"Aaah! Bener!" Jack meringis. Aduh, ini anak tau nggak sih gimana dahsyatnya efek Mama dia ke aku? Hiks. Otak aku jadi muter-muter nggak karuan bentuk kayak gini.

"Jadi, kita latihan apa?"

Sisa otak Jack yang tak seberapa itu memutuskan untuk mengingat permainan Kenan hari Minggu itu.

"Ah... bener-bener." Jack menjentikkan jarinya. "Ada yang mau aku bilang sebelum kita latihan."

"Apa?"

Di balik maskernya, Jack tersenyum. "Jangan stress."

"Eh?"

"Aku tau kamu top skor dan termotivasi untuk selalu mencetak gol," kata Jack seraya membawa tubuhnya berjongkok di depan bujang kecil itu. Kedua tangannya hinggap di pundak Kenan. "Tapi, sepakbola bukan hanya tentang siapa yang mencetak gol. Sepakbola itu olahraga tim."

Mata Kenan mengerjap.

"Kamu tau kan? Posisi aku juga bukan striker murni. Jumlah gol aku juga nggak banyak-banyak amat."

"Tapi, kamu hebat, Jack."

Jack mengangguk. "Aku tau. Siapa coba yang nggak ngomongi aku hebat?" Ia menatap Kenan. "Yang penting adalah perasaan kamu saat main. Memberikan yang terbaik untuk tim kamu."

Kenan tampak merenungi itu.

"Kamu ngerti kan maksud aku?"

Kenan mengangguk.

"Oke! Yang pertama." Jack menegapkan punggungnya. "Aku lihat-lihat kamu sedikit punya masalah saat nyambut bola dengan dada."

Kenan menggaruk kepalanya. "Ah... iya sih."

"I see... mungkin karena kamu kelewat tinggi untuk anak seusia kamu. Mana lagi badan kamu sedikit kurus." Jack mengamati. "Berapa tinggi kamu?"

Kenan sedikit mengingat. "Bulan kemaren tinggi aku 143 sentimeter. Dua hari yang lalu aku ngukur lagi udah 150 sentimeter."

"Wah! Ternyata bener." Jack menunduk dan berbisik. "Kamu udah puber?"

Kenan terbatuk-batuk. "Me-Memangnya apa hubungannya?"

"Heeeeh." Jack terkekeh. "Nanya aja sih. Biasanya kan seumuran kalian ini pertumbuhan cowok belum terlalu pesat. Biasa... puber cowok kan lebih lama dibandingkan cewek."

"I-Ini karena Mama selalu nyuruh aku minum susu."

Jack masih terkekeh geli. "Oke oke... Ah! Iya... nanti, kalau kamu mendadak mengalami ciri-ciri puber---"

Wajah Kenan yang putih, memerah sampai ke telinga. Persis seperti Edelia kalau sedang Jack goda.

Ah, ini mama dan anak kok ya sama banget?

"--- kamu bisa sharing ke aku."

"Ma-Maksud kamu?"

"Emangnya kamu mau nanya soal..." Mata Jack melirik kanan kiri untuk meraba keamanan situasi. "...mimpi basah atau apa gitu ke Mama?"

Kenan membeku.

Jack dengan wajah menunjukkan simpatik, menepuk-nepuk punggung Kenan. "Aku tau. Nggak mungkin banget kamu cerita soal gitu ke Mama." Jack manggut-manggut. "Kamu bisa ngomong ke aku. Ntar aku kasih tau semua pelajaran yang udah aku dapetin dari Daddy aku ke kamu."

"Ha-Haruskah?"

Mengangguk, kali ini wajah Jack serius. "Yang perlu kamu ingat, satu: jangan pernah percaya sama video porno. Oke? Kamu harus tau mana yang baik dan yang buruk. Kamu cowok, Ken. Keselamatan generasi penerus bangsa ini ada di tangan kita. Jangan sampai kita mengacaukannya."

Kenan menggaruk kepalanya berkali-kali. Sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Jack.

"Jangan ngerasa malu buat cerita soal puber kamu ke aku karena tiap remaja itu memang perlu bimbingan orang tua biar nggak salah jalan."

"Tapi... kamu..."

"Aku bukan orang tua kamu?"

Kenan meringis.

Dalam waktu dekat, Ken. Kamu nggak nyadar aja kalau aku sekarang lagi pendekatan ke kamu. Hiks.

"Anggap aja aku orang tua kamu deh. Umur aku udah 31 tahun coba. Kalau aku nikah dulu, sekarang ya udah punya anak juga."

Wajah Kenan masih terlihat bahwa ia berpikir.

"Bukannya aku dan Mama keliatan kayak seumuran? Kayak yang serasi gitu kan?"

"Eh?"

Aduh, Jack. Astaga! Udah make masker, tapi tetap aja itu mulut nyerocos nggak ketulungan.

"Udah! Pokoknya, ntar aku bakal ngajari nggak cuma masalah bola deh."

Akhirnya, Kenan hanya mengangguk kaku. Bingung. Matanya berkedip-kedip seolah sedang mencerna perkataan Jack.

Sedang Jack, melihat Kenan dengan geleng-geleng kepala.

Gimana bisa ngeliat Kenan gini, aku justru teringat sama Mamanya?

Ya Tuhan...

Edel bener-bener ngebuat aku gila.

*

tbc...

ckckckck... jadi, Jack udah mulai pendekatan ke Kenan nih ceritanya, Guys... kira-kira, Kalau Kenan tau Jack lagi dalam usaha merebut hati Edel, gimana ya reaksinya? 😅😅😅

Pkl 19.00 WIB...

Bengkulu, 2020.06.16...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro