Salah Mengartikan
terima kasih untuk simpatik kalian buat Jack di part sebelumnya... Jack merasa terharu dengan kepedulian kalian... tapi, dia baik-baik aja... 🤗🤗🤗
jadi, semoga kalian menikmati part 20 ini ya... 😁😁😁
===========================================================================
"Jack belum turun?" tanya Michael ketika Ayuhdia menyiapkan sarapan untuk dirinya. Tangannya terulur untuk meraih segelas air dan meminumnya dua teguk. "Kesiangan lagi?"
Ayuhdia menarik napas. Mengangkat wajahnya. "Itu anak." Ia meletakkan kembali mangkok nasi goreng di meja. "Biar aku lihat dulu."
Michael mengangguk.
Di depan kamar Jack, Ayuhdia mengetuk sekali seraya memanggil nama anaknya itu. "Jack?"
"Ya, Mom?"
Ayuhdia mengernyit mendengar suara Jack yang terdengar seperti tak bertenaga.
"Aku bentar lagi turun."
Tapi, Ayuhdia merasa ada yang mengganjal hingga wanita paruh baya itu berkata. "Mommy masuk, Nak."
Jack duduk di tempat tidur yang masih kacau. Terlihat dari rambutnya yang lembab, itu cukup membuktikan bahwa Jack sudah lama bangun dan mandi.
"Kamu sakit?" tanya Ayuhdia, mengambil tempat di sebelah Jack. "Kamu keliatan nggak sehat hari ini." Tangan Ayuhdia mengusap dahi Jack. "Tapi, kamu nggak demam."
Jack menarik napas dalam-dalam. Terlihat berusaha tersenyum. "Cuma capek aja, Mom."
"Capek?" tanya Ayuhdia dengan wajah teduh. "Sini, Mommy buat capeknya hilang."
Ayuhdia sedikit menggeser duduknya. Perlahan membawa kepala Jack untuk mendarat di pangkuannya. Ia mengusap kepala anaknya.
"Kenapa?" tanyanya kemudian.
Di pangkuan ibunya, Jack menggeleng. "Nggak ada apa-apa, Mom."
"Ya sudah." Tangan Ayuhdia mengusap-usap kepala Jack dengan lembut. "Istirahat ya. Mommy temeni."
Jack membawa kakinya kembali ke atas tempat tidur. Membiarkan ibunya untuk membelainya seraya bersenandung pelan.
Tanpa sadar, Jack berkata lirih. "Aku udah gede, tapi masih gini dengan Mommy."
Ayuhdia tersenyum. "Kalau bukan dengan ibunya, anak harus bermanja dengan siapa?" tanya Ayuhdia pelan. "Lagipula, ini nggak akan selamanya, Jack. Suatu saat nanti kamu akan dan harus bermanja dengan wanita lain. Jadi, sampai waktu itu tiba, kamu masih anak Mommy seutuhnya. Anak bungsu Mommy yang paling cakep."
Ucapan Ayuhdia membuat Jack mengulum senyum. Semakin bergelung dalam belaian ibunya.
Belaian demi belaian lembut Ayuhdia semakin menimang Jack. Ia menutup matanya. Berusaha untuk mendamaikan perasaannya dengan sentuhan Ayuhdia.
Sedang seorang ibu, selalu tau apa yang dirasakan oleh anaknya.
Wanita itu mengerjap-ngerjapkan mata. Menahan desakan yang akan tumpah dari sana. Bahkan tanpa kata-kata, ia mampu merasakannya.
Dalam hati ia berkata. Ia anak yang hebat, Tuhan. Anak yang selalu membuat ibunya bahagia.
*
Tomi menarik napas dalam-dalam. Mengipasi wajahnya dengan piring plastik dan kemudian menunjuk-nunjuk pada empat orang cook helper yang sedang mondar-mandir.
"Susi, Rinna, Andri, dan juga Soni."
"Iya, Chef?"
Tomi menarik napas. "Nanti kalau sudah, coba kalian cek dulu buat menu sarapan besok. Aku dengar katanya ada peserta seminar yang alergi bawang daun."
"Baik, Chef."
Keempat cook helper itu kembali melanjutkan pekerjaan, tepat ketika seseorang masuk ke dapur dengan mengendap-endap. Menghampiri Tomi tanpa suara.
"Tomi..."
Tomi menoleh dan terkejut. "Astaga, Del!" serunya. "Ngapain? Bukannya hari ini kamu libur?"
Edelia tersenyum. "Iya sih. Hari ini aku emang libur. Tapi, tadi aku pergi ke rumah temen, terus lewat sini. Makanya mampir bentar."
"Oh..." Tomi manggut-manggut. "Ini masih jam setengah delapan," katanya seraya melihat jam tangannya. "Anak-anak yang lain belum pada datang."
Kali ini gantian Edelia yang manggut-manggut. "Ehm... ngomong-ngomong," kata Edelia kemudian sembari menguatkan hatinya. Berharap agar tidak terlalu kentara. "Kerjaan kamu udah selesai?"
Tomi mengangguk. "Ada peserta seminar apa gitu kan nginap di sini tiga hari, makanya tim pagi keliatan agak sibuk. Tapi, ini udah beres kok. Makanya aku bisa nyantai." Tomi menarik napas. "Kami mulai kerja dari jam empat Subuh coba."
Edelia tersenyum tipis. "Berarti kamu tinggal buatin sarapan Bos dong?"
Kipasan tangan Tomi berhenti. Ia menoleh dan menggeleng.
"Eh?"
"Hari ini Bos nggak masuk."
"Eh? Kenapa?"
Dahi Tomi sedikit berkerut. "Kalau nggak salah tadi denger-denger kayaknya Bos yang lagi nggak enak badan gitu. Tadi Pak Manajer ditelepon langsung sama ibunya Bos."
Edelia tertegun. "Bos sakit?"
Bahu Tomi naik sekilas. "Emangnya kenapa? Ada perlu sama Bos?"
Edelia menggeleng pelan. "Nggak."
Kemudian, Tomi baru akan mengatakan sesuatu ketika Edelia justru kembali berkata.
"Oke, Tom. Kalau gitu aku balik dulu." Edelia mengembangkan senyumnya. "Dah!"
Mata Tomi mengerjap-ngerjap. Tapi, tangannya tetap terangkat dan membalasnya. "Dah."
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Edelia benar-benar kosong. Terang saja, kedatangannya tadi bukan karena mampir bentar seperti yang ia katakan pada Tomi. Ia memang sengaja datang. Untuk melihat Jack.
Sesampainya Edelia di bedengan, tanda tanya semakin membesar di benaknya. Apa Bos sakit gara-gara perbuatan aku kemaren?
Perasaan penuh penyesalan menyusup ke relung hati Edelia. Ia benar-benar merasa berdosa pada Jack.
Memang sih, aku ngelakuin itu karena aku nggak tau. Tapi, tetap aja. Efeknya ke Bos itu yang gawat.
Edelia menarik napas dalam-dalam. Ia melihat ponselnya dan menatap kontak Jack di aplikasi Whatsapp-nya.
Apa aku harus ngubungi Bos?
Edelia menggeleng.
Mungkin Bos lagi istirahat sekarang.
Dengan sengaja kemudian Edelia menaruh ponselnya di dalam lemari pakaian dan menguncinya. Ia tak ingin mendadak goyah dan lalu menghubungi pria itu.
Demi mengalihkan pikirannya, Edelia kemudian beranjak untuk merapikan rumahnya. Dimulai dari teras yang ia pel dengan pengharum lantai. Kemudian beranjak ke dalam ia merapikan tumpukan buku Kenan yang berantakan di rak serbagunanya.
Lalu, tangan Edelia merapikan sesuatu yang tergantung tepat di dinding di mana Kenan berbaring saat tidur malam. Jersey Jack yang bertandatangan.
Ia menarik napas dalam-dalam. Mengingat bagaimana Kenan yang justru senang setengah mati bertemu dengan Jack. Bahkan setelah ia akan tidur, ia tak henti-hentinya memandangi tanda tangan dan foto di ponselnya. Dan mungkin... saat ini sepertinya Kenan sedang memamerkan foto itu pada teman-temannya di sekolah. Sedang Edelia menyadari bahwa wajar saja kalau anaknya yang tengah duduk di bangku terakhir sekolah dasar itu akan menjadi sombong hari ini. Karena, tidak banyak hal bisa Kenan banggakan di hidupnya.
Keesokan harinya, Edelia datang lebih cepat. Sekitar jam dua siang, dia sudah berada di ruang istirahat. Ia baru saja berganti seragam ketika Vindy masuk.
"Aaah. Pinggang aku copot," katanya seraya membaringkan badan di salah satu tempat tidur. Ia tampak memukul-mukul pinggangnya seraya mengaduh-aduh seolah benar-benar kesakitan. Seraya melirik Edelia ia berkata. "Datang cepet banget, Del."
"He-he." Edelia tertawa kaku. "Mumpung di rumah lagi nggak ada kerjaan aja sih." Ia mengembuskan napas panjang seraya menatap ke luar melalui jendelanya.
Vindy bangkit. Menepuk pundak Edelia dan turut menatap ke luar. "Berasa ada yang ilang ya kalau nggak ngeliat mobil Bos parkir?"
"Eh?
"Ehm... mungkin Bos memang lagi sakit," kata Vindy. "Sudah dua hari Bos nggak datang. Dan kayaknya sakit Bos kali ini beneran parah."
"Kamu tau Bos sakit apa?"
Vindy menggeleng. "Cuma...," lirihnya kemudian. "Bos masuk angin sampai punggung merah-merah dikerok aja dia masih masuk. Lah ini? Dua hari nggak masuk. Kayaknya lebih dari masuk angin deh."
Edelia menggigit bibirnya. "Apa iya?"
"Yah! Kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Bos," kata Vindy dengan wajah manggut-manggut berupaya agar terlihat bersimpatik. "Selagi itu nggak ada kaitan dengan kaki dan traumanya sih... semua pasti bakal baik-baik saja."
Glek.
Langsung saja seolah jantung Edelia ditarik copot dari tempatnya.
Kaki dan trauma, dua hal yang sudah ia singgung dalam waktu yang bersamaan.
*
Apa hari ini Bos datang?
Apa sebaiknya aku minta maaf lewat pesan aja?
Tapi, kayaknya nggak sopan deh kalau buat salahnya langsung... eh, pas minta maafnya nggak langsung.
Edelia menggigit bibirnya.
Tapi, kalau Bos nggak masuk-masuk gimana?
"Ma?"
Mungkin besok Bos masuk kali ya?
"Ma?"
Tapi, ini udah hari ketiga Bos nggak masuk.
Tadi di grup juga ada desas desus yang ngomongi Bos sakit parah gara-gara udah tiga hari nggak masuk.
Kenan meletakkan sendoknya di piring. Menarik napas dalam-dalam dan berseru.
"Mamaaa!"
Kesadaran Edelia kembali lagi. Seolah rohnya baru saja melanglang buana entah benua mana.
"Eh?" Matanya menatap Kenan. "A-Apa?"
Kenan mendesah kesal. "Mama ini... dari tadi aku cerita nggak didengerin."
"Eh? Cerita apa?"
"Tuh kan! Beneran nggak didengerin," kata Kenan merajuk. "Aku udah cerita banyak, tapi Mama nggak denger."
Edelia meneguk ludahnya. "Ma-Maaf, Sayang. Mama kepikiran kerjaan Mama." Ia berusaha tersenyum. "Tadi cerita apa?"
Kenan mengembuskan napas panjang. Terlihat seperti sedang menenangkan dirinya. "Itu... teman-teman aku pada iri waktu aku nunjukin foto aku dengan Jack." Ia tersenyum lebar. "Teman-teman malah minta foto kami."
Kali ini senyum Edelia benar-benar terkembang. "Oh ya?"
Kenan mengangguk. "Karena itu, Ma... aku jadi mikir. Apa Jack juga mau foto kami?"
"Eh?" Mata Edelia berkedip-kedip bodoh. Tadi ini anak ngomong apa? Jack juga mau foto mereka? Seperti yang Jack merasa perlu punya foto mereka?
Kenan mendekati Edelia. "Mama ada nomor ponsel Jack?" tanyanya.
Mata Edelia masih berkedip-kedip.
"Aku minta, Ma?"
Mata Edelia belum berhenti berkedip-kedip.
Di saat ibunya sedang memikirkan kesehatan pria itu, di sini anaknya justru dengan penuh kepolosan meminta nomornya?
"Aku mau ngubungi dia, mau ngirim foto kami kemaren."
"A-Apa, Ken?"
Wajah Kenan terlihat begitu gembira dan yakin saat menjawab. "Jack pasti nggak marah, Ma, kalau aku ngubungi dia. Dia kan pemain yang baik banget."
Seakan ada kedondong bulat-bulat menyumpal di pangkal tenggorokannya.
Tak menghiraukan wajah ibunya yang pucat pasi, Kenan beranjak mengambil ponsel Edelia. Membuka ponsel itu dan mengira-ngira.
"Namanya apa, Ma? Jack?"
Edelia menutup matanya dengan dramatis. "Ya ampun, Ken. Bos mungkin lagi sibuk sekarang. Bisa aja dia lagi istirahat siang."
Lampu pijar menyala di otak Jack. "Ah, namanya Bos?"
Edelia geleng-geleng kepala.
Jari-jari tangan Kenan mengetik di kontak. Lalu, ia bertanya dengan raut heran pada Edelia.
"Bos Galak?"
Kepala Edelia sontak beralih pada Kenan.
"Mama nyimpan nomor Jack dengan nama Bos Galak?" Kenan melongo tak percaya. "Orang baik kayak gitu dibilang galak?"
Edelia tak bisa menjawab pertanyaan Kenan.
Kenan dengan segera menyalin nomor ponsel Jack. Menyimpannya dan dengan segera mengetik pesan di sana.
Halo, Jack.
Ini Kenan. Aku nggak nganggu kan?
Edelia merebut ponselnya dari tangan Kenan. Melihat jam dan memutuskan akan bersiap-siap pergi sebentar lagi. Sedang bibirnya tanpa sadar berucap lirih.
"Nggak mungkin Bos balas, Ken."
Kenan menyeringai. "Mau taruhan, Ma?" tanyanya dengan penuh percaya diri.
Edelia yang semula ingin beranjak jadi mendadak berhenti. Di benaknya bertanya-tanya. Apa seharusnya aku ngubungi Bos lewat Whatsapp dul?
Kenan menunjukkan ponselnya pada Edelia seraya berkata.
"Jack Idola-ku sedang mengetik..."
*
Jack menghela napas panjang seraya melempar satu komik Detective Conan ke nakasnya. Ia menggaruk kepalanya.
"Yah! Shinichi selalu pintar, but why he's so stupid setiap kali berurusan dengan segala macam alkohol berjalan itu," gerutu Jack. Ia geleng-geleng kepala. "Itulah kenapa orang bilang alkohol nggak bagus. Bahkan orang sepintar Shinichi pun bisa dikecoh sama alkohol."
Jack bangkit dari tempat tidurnya. Menuju ke rak di seberang kamarnya. Dan melihat-lihat pilihan apa lainnya yang ia punya.
"Hinata?" Jack geleng-geleng kepala. "Jangan yang nuansa olahraga dulu ah. Yah, walaupun sebenarnya akan sangat bagus kalau bisa ngerasa adrenalin seperti yang Hinata rasakan."
Mata Jack kembali menyusuri tatanan komik itu.
"Ah. Harusnya besok-besok kalau ke Gramedia, aku beli aja Miiko aja. Sebenarnya itu lebih bagus untuk kesehatan mental."
"Ting!"
Jack menoleh ke ponselnya yang berbunyi. Pria itu segera mengambil benda itu seraya kembali duduk di atas tempat tidur.
"Nomor baru?" tanyanya seraya mengusap layar ponselnya. "Siapa yang ngu---" Matanya memicing ketika membaca pesan itu.
Halo, Jack.
Ini Kenan. Aku nggak nganggu kan?
Ia tersenyum. Segera mengetikkan balasan.
Halo, Ken.
Nggak nganggu.
Kenapa?
Ya ampun.
Pesan aku dibalas cepat.
Senang banget rasanya.
Jack tertawa membaca pesan Kenan.
Itu, aku cuma penasaran.
Apa kamu mau foto-foto kita kemaren?
Ah, benar, pikir Jack.
Kedua jempolnya segera mengetik.
Tentu saja aku mau.
Kirim dong.
Via document ya. Biar foto kecenya tetap kece.
Oke oke.
Wait ya.
Jack menunggu dan memanfaatkan waktu itu untuk menyimpan nomor Kenan di ponselnya. Kemudian delapan foto masuk ke ponselnya.
Makasih, Ken.
Fotonya keren-keren.
Sama-sama.
Kamu keliatan keren banget, Jack.
Suatu hari aku harap benar-benar bisa dilatih kamu walau cuma sekali.
Aku ingin menjadi pemain seperti kamu.
Kedua jempol Jack mendadak kaku seketika. Otaknya tak tau harus membalas apa untuk pesan itu. Jadi, ia keluar dari percakapan dan justru mengunggah satu foto dirinya dan Kenan di status.
Ia menulis: My honor for having a pict with the next international football player fr Indonesia.
Jack tersenyum. Ketika foto itu terunggah di statusnya. Tak lama kemudian, ada satu pesan masuk.
Dahi Jack berkerut dan membuka pesan yang ternyata adalah dari Edelia.
Bos?
Bos baik-baik saja?
Jack menarik napas dalam-dalam. Tapi, ketika ia akan membalas, mendadak satu wajah manis muncul di layar ponselnya. Membuat ponselnya berdering. Mau tak mau ia mengangkat panggilan video call tersebut.
Satu wajah berhiaskan sepasang bola mata abu tampak menatap dirinya. Rambut pirang dengan jalin udang dan mulut cemberut. Tapi, sayangnya walau ia cemberut, lesung pipinya justru terlihat makin manis.
"Uncle!"
Jack melambai. Tersenyum. "Hallo, My Pretty Claressa." Ia menyapa keponakannya dengan mengedip-ngedipkan mata.
"Hallo?" tanya Claressa dengan nada sengit.
"Eh?" Jack menelengkan kepalanya ke satu sisi. "Should I said... good night?"
Mata Claressa membola. "You didn't call me. Didn't text me," kata gadis kecil itu. "Dan tadi, Uncle justru buat story dengan anak cowok itu?"
Jack tertawa. Ia menggaruk-garuk kepalanya. "Ah... itu Kenan."
"Kenan?" tanya Claressa dengan mata menyipit. "Who's he? Your friend? Atau murid Uncle?"
"Teman. Dan mungkin murid. Maybe." Bahu Jack naik sekilas. "One day, maybe."
Mulut Claressa terkatup. Manggut-manggut. "Jadi, dia yang ngebuat Uncle lupa dengan aku?"
"Eh?" Jack menggeleng-geleng. "Siapa yang bisa lupa dengan gadis kecil yang cakep kayak kamu, Sayang?"
"Mana cakep dengan Kenan?"
"Eh? Kamu kan cantik, kalau Kenan ya ganteng."
Claressa memainkan bibirnya. Terlihat sedikit malu-malu ketika bertanya. "Bener, Uncle?"
"Bener apa? Kamu cantik? Ya iyalah. Keponakan Uncle pasti cantik."
Claressa geleng-geleng kepala. "Bukan itu, Uncle."
"Terus?"
"Apa Kenan memang ganteng kayak yang di foto?"
Jack merasa langit-langit kamarnya runtuh. "Eh?"
"Dia kelas berapa, Uncle? Udah SMP? Badannya tinggi."
Jack menarik napas dalam-dalam. Memijit pangkal hidungnya dan berkata. "Give your phone to your Daddy, Baby. Uncle perlu ngomong ke Daddy kamu."
*
Edelia menggigit bibirnya dengan terlalu kuat hingga ia merasa mungkin sebentar lagi ia akan melukai bibirnya sendiri. Tapi, ia begitu tidak tenang.
Pesan aku dibaca.
Bahkan Bos sampe buat story dengan Kenan.
Tapi, kenapa pesan aku nggak dibaca?
Apa Bos marah ke aku?
Edelia mengusap-usap wajahnya.
Tentu saja Bos marah.
Nggak mungkin banget dia nggak marah dengan semua yang aku lakuin ke dia.
Harusnya aku bisa ngomong baik-baik ke dia tentang status aku.
Nggak perlu pake acara pertunjukan di pinggir lapangan sepakbola.
Argh!
Menyesal pun sekarang tak akan mengubah apa pun, Del.
Satu-satunya hanya meminta maaf secara langsung.
Tapi, bagaimana?
Datang langsung ke rumahnya?
Edelia merinding.
Aku nggak senekat itu.
*
tbc...
kalau ada fans Conan di sini, maafkanlah 🙏🏻🙏🏻🙏🏻. aku tu juga fans Conan, tapi sering banget aku lempar-lempar barang kalau Conan udah mulai berurusan dengan Vodka, Gin, atau segala macam nama minuman itu. kadang yang ibaratnya tinggal hidung ketemu hidung kok lolos gitu... ah. jadi kesal sendiri aku...
btw. pas ngetik bagian Ayuhdia dan Jack, aku nangis bertubi-tubi... sampe baju aku basah... 😭😭😭 padahal ga ada adegan nangisnya, tapi kayak hati aku diiris-iris membayangkannya 😭😭😭
oh iya, kalian ingat bagian terakhir di Daddysitter? waktu Elena ngejemput Claressa di sekolahnya? 😁😁😁
Pkl 22.00 WIB...
Bengkulu, 2020.06.09...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro