Permintaan Yang Tak Disadari
Boleh aku curhat dikit, Guys? 😌😌😌
jadi, rahasia aku bisa update tiap hari itu adalah aku nyempatin ngetik di sela-sela kerjaan aku. kalau di rumah, aktifitas aku cuma kamar dan dapur. dan bagusnya, kamar aku tu di dekat dapur. jadi, keluar dari kamar langsung ketemu dapur. nah, sembari aku masak, itu laptop pasti nyala. jadi, nunggu air masak, nunggu ayam masak, atau apalah, aku bakal balik ke kamar, ngetik. walau cuma dapat satu paragraf 😃😃😃
tapi, hari ini aku apes banget. ada 3 cerita yang aku buka di laptop [salah satunya Ehm... Mamma Mia ini]. ganti-gantian tuh ngetiknya. total udah dapat lebih 7 halaman. rencana mau aku up sore tadi. pas aku liat laptop ada tulisan kurang lebih ngomong: word aku error gitu. dan yang udah aku ketik lenyap... 😭😭😭
hampir mau ngamuk aku tuh, Minna... tapi, beruntung. ada si Abang Jackson Wang yang nyanyi 100 ways di laptop. terus aku bawa liat MV-nya, aduuuh... jadi damai lagi perasaan... 🤣🤣🤣
so, maaf kalau kalian lama nunggu lanjutan cerita ini... 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
pliiiis, give me bintang dan komen... 😇😇😇
===========================================================================
Pagi seperti yang sudah-sudah, Jack menyapa Tim Dapur seperti biasanya. Dan ah, tentu saja! Semangkok bubur oatmeal menyambut kedatangan dirinya.
Jack terkekeh. Ia sontak masuk dan duduk di satu meja yang tersedia. Mulai menikmati sarapannya.
"Gimana kabar Bos hari ini?" tanya Tomi. "Sehat?"
Jack mengangguk seraya menyuap sarapannya. "Sehat. Kenapa?"
"Kirain gara-gara kejadian baju robek kemaren ngebuat Bos jadi masuk angin," jawab Vindy.
"Uhuuukkk!"
Jack terbatuk.
Dengan sigap Rara menyodorkan segelas air putih pada Jack. Bosnya itu dengan segera meminum air tersebut sebelum akhirnya mampu mendamaikan tenggorokannya yang bermasalah.
"Wah!" Agung terkesiap. "Jangan-jangan Bos memang masuk angin. Ini buktinya Bos udah batuk-batuk."
Jack meneguk ludahnya. Berusaha menahan desakan batuk untuk ke sekian kalinya, Jack tersenyum kaku.
"Saya baik-baik saja." Ia menoleh pada Tomi. "Makasih untuk sarapannya, Tom."
Tomi mengangguk-angguk.
Mereka kompak sedikit menarik diri ketika Jack bangkit dari duduknya. Tapi, sebelum beranjak keluar, Jack mengendarkan pandangannya.
"Dia pulang tengah malam?"
"Dia?"
"Dia?"
"Oooh..."
"Maksud Bos Edel?"
Jack menatap Rara. "Namanya Edel?"
"Wah! Bos sudah pakai acara dua kali lepas baju sama Edel, tapi nggak tau nama Edel?" tanya Vindy menyeletuk. Botol saos berhenti berputar di tangannya. "Ckckckck."
Jack berusaha untuk tetap menghirup udara. Ia tersenyum. "Bukan seperti yang kalian bayangkan. Kemaren saya nyelamatin dia pas dia hampir tenggelam. Makanya saya lepas baju."
"Oooh..."
"Ternyata Bos sama Edel udah kenal duluan?" tanya Bagas. "Tapi, kenapa nggak tau nama Edel?"
Jack masih berusaha memasang senyum termanis yang ia miliki. Perasaan aku cuma nanya kapan dia pulang, tapi kenapa jadi ribet begini sih?
Menyerah, Jack akhirnya benar-benar keluar dari ruang dapur. Berjalan menuju ke ruangannya. Tapi, ketika ia melintas di ruangan Chef Junan, mendadak pintu ruangan itu terbuka.
"Pagi, Bos!"
Jack terlonjak. "Astaga,Chef!" kata Jack setengah berseru seraya mengusap dadanya. "Buat kaget aja."
Chef Junan tergelak kecil. "Bagaimana pagi ini, Bos? Apa menyenangkan?"
"Ehm..." Jack sedikit berpikir. "Yah... masih bisa teratasi, Chef."
"Syukurlah kalau begitu, Bos. Semoga harinya menyenangkan," kata Chef Junan sebelum memutar badan ingin beranjak ke dapur.
"Ehm, Chef."
Chef Junan menghentikan niatnya ketika mendengar suara Jack. "Iya, Bos?"
"Si Kucing Cewek itu---"
"Kucing Cewek?" tanya Chef Junan bingung.
Jack memejamkan matanya dengan dramatis. "Maksud saya, si asisten Chef yang baru itu, loh."
"Edelia..."
"Ah! Iya!" Jack tersenyum. "Edelia. Iya, Edelia."
Chef Junan berkedip-kedip. "Kenapa dengan Edelia, Bos?"
"Bagaimana pekerjaannya?" tanya Jack. "Kalau dia memang nggak bisa diharapkan, lebih baik tendang langsung dia sampe nyangkut di puncak Monas sana."
Chef Junan menatap Jack untuk beberapa saat sebelum berkata. "Sebenarnya, dia memang nggak ada keahlian di dapur, Bos. Tapi, memang harus saya akui cewek itu benar-benar pekerja keras. Untuk ukuran orang yang baru kenal dunia dapur, dia lumayan cepat beradaptasi. Dia juga gesit dan cekatan."
Jack manggut-manggut. "Berarti Chef nggak ada rencana buat ngusir dia dalam waktu dekat?"
"Kalau dia tidak buat masalah fatal seperti Santi tempo hari," jawab Chef Junan sembari menarik napas dalam-dalam, "saya rasa saya lumayan menyukai dia, Bos."
Jack kembali manggut-manggut.
"Kenapa? Apa Bos nggak suka dia?"
"Eh?" Jack menggelek. "Saya bukannya nggak suka dia."
Chef Junan terkesiap. "Atau justru Bos suka Edel?"
"Eh?"
Lalu, Chef Junan tergelak. "Hahahaha. Nggak mungkin juga Bos suka cewek kayak gitu ya. Pasti selera Bos itu cewek yang berkelas ya? Kalangan model gitu kan?"
Jack hanya nyengir kaku. "Selamat bekerja, Chef."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Jack segera mengambil langkah seribu sebelum Chef Junan kembali berceloteh yang aneh-aneh padanya.
*
"Jadi gimana? Enak kerja di sana?"
Edelia tak heran kalau itu pertanyaan yang pertama ia dapatkan pagi itu. Ketika ia mendapati kedatangan Galih dan Pebri ke bedengannya, Edelia sudah bisa menebak bahwa duo sahabat itu akan menanyai dirinya seputar pekerjaan barunya.
Setelah menghidangkan dua teh hangat pada mereka, Edelia tersenyum dan mengangguk. "Sejauh ini sih enak," jawabnya. "Orang-orang di sana juga pada baik."
Pebri, sahabat Galih sedari kecil yang seiring waktu juga turut menjadi sahabat Edelia, menyesap tehnya. Pria dengan tubuh sedikit bongsor itu menyeringai. "Terakhir kali kamu juga bilang kerja di rumah siapa itu... ah, lupa! Kamu juga bilang enak. Tapi, akhir-akhirnya?"
Edelia meringis melihat Galih terkekeh mendengar celetukan Pebri.
"Memang sering bener juga omongan Pebri ini," ujar Galih geli. "Jadi gimana? Beneran enak atau beneran berusaha enak?"
Edelia menepis keinginannya untuk bercerita mengenai perjuangannya dalam mempertahankan pekerjaan itu di hari pertamanya. Ribut dengan Bos? Ough! Tak pernah menjadi pertanda yang bagus untuk pekerjaan.
Menjawab dengan yakin, Edelia berkata. "Ini beneran enak. Orang-orangnya walau sedikit pada aneh, tapi mereka baik-baik semua."
"Terus," lanjut Pebri. "Mengenai jam malamnya gimana? Nggak ada yang aneh-aneh kan?"
"Aneh-aneh gimana?" tanya Edelia bergidik.
"Kamu nggak tau kalau kadang banyak orang yang diganggu Kuntilanak di daerah pantai situ?"
Galih tergelak.
Edelia memutar-mutar bola matanya. "Yang bener aja deh, Peb. Setau aku Kuntilanak itu nangkringnya di pohon beringin atau agak keren pohon mangga gitu," tukasnya. "Bukan di pohon cemara laut."
Tawa Pebri pecah.
"Tapi," lanjut Galih, "selain Kuntilanak, nggak ada yang macem-macem kan ya?"
Edelia paham sebenarnya arah pertanyaan Pebri dan Galih. Jadi, ia menggeleng.
Bukan hal yang tabu lagi bagi masyarakat menganggap bahwa tempat di sekitaran pantai itu merupakan tempat asusila. Mungkin bukan hanya di Bengkulu, tapi di tempat lain juga begitu. Tapi, Edelia kan jelas. Dia bekerja di hotel dan sebagai asisten chef. Pekerjaannya jelas jauh dengan profesi seperti yang sering dibayangkan orang ketika kata pantai terucap.
"Kami murni cuma masak," jawab Edelia. "Bahkan malam tadi aku langsung lembur gara-gara ada partai yang rapat kepengurusan. Selain itu memang ada sisa tamu malam Valentine. Tapi, mereka nggak ada yang mesan makan di atas jam sepuluh malam. Dan pengunjung resto Gajah Putih juga pada ramah-ramah kok." Edelia menjelaskan hingga ke bagian resto Gajah Putih yang merupakan bagian dari hotel tersebut.
Galih dan Pebri kompak menghela napas panjang bersamaan.
"Oh iya, kamu udah ketemu dengan yang namanya Irfan?" tanya Galih yang langsung dijawab anggukan oleh Edelia. "Dia dulu itu junior aku pas SMA. Kalau ada apa-apa, kamu bilang ke dia aja."
"Ehm... tipe senior yang disegani ternyata."
"Dia selalu megang peran senior baik," kata Pebri. "Sedangkan aku, mentang-mentang badan aku gede gini, aku selalu megang peran senior jahat."
Kali ini, Edelia yang tergelak.
"Padahal mereka nggak tau aja kalau Galih ini keturunan iblis terkutuk."
Galih sontak menepuk belakang kepala Pebri. Ia lalu bangkit dari duduknya. "Ayo, cabut! Ntar kita telat."
"Ah, bener!" kata Pebri sembari berdiri. "Oh iya. Minggu depan Kenan jadi tanding?"
Edelia mengantarkan mereka berdua ke depan. "Jadi. Pertandingannya tuh! Di lapangan itu." Ia tertawa melihat lapangan yang terpisah satu jalan utama. Tinggal menyeberang maka mereka akan langsung tiba di lapangan sepakbola itu. "Kalian datang?"
"Tentu dong! Kami udah lama nggak jadi tim hore-hore pertandingan sepakbola," ujar Pebri riang.
Galih menyeringai. "Oke, kalau gitu kami pergi dulu, Del."
Edelia melepas kepergian Galih dan Pebri dengan lambaian dan senyuman cerah. Ia menghela napas lega mendapati dirinya yang diperhatikan sedemikian rupa oleh kedua sahabatnya itu.
Selang beberapa menit kemudian, Edelia bergegas mengambil dompet di kamarnya ketika mendapati tukang sayur keliling sudah berhenti di depan bedengannya.
Edelia langsung meraih sepapan tempe berbungkus daun pisang ketika ia mendengar suara Bu Tina bertanya padanya.
"Aku dengar katanya malam tadi kamu pulang udah lewat dari tengah malam ya?"
Edelia melirik pada Bu Tina. "Eh... iya, Bu. Hampir jam setengah satu."
"Wah! Ternyata bener yang dibilangin Bapak-Bapak," kata Bu Ides menimpali. "Katanya kamu pulang sendirian."
"Eh... iya, Bu." Ia mengangguk kaku.
"Aduh. Cewek pulang malam, sendirian lagi. Apa coba kata orang-orang?"
Edelia meringis mendengar perkataan itu.
"Memangnya kamu dari mana jam segitu baru pulang?" tanya Bu Sri dengan raut keingintahuan yang terpampang jelas di wajahnya. "Dari kerja atau dari mana?"
Mulai merasa tak nyaman, Edelia berusaha menjawab dengan singkat. "Iya, Bu, dari kerja." Ia meraih satu kantong plastik. "Ikan mujairnya berapa, Pak?"
"Itu seperempat harganya Rp 5.000,- aja, Mbak. Murah itu loh."
Edelia memutuskan untuk memasakkan Kenan sambal balado ikan mujair dan tempe.
Dan enaknya sayurnya apa ya? pikir Edelia dalam hati.
"Oooh... kamu udah dapat kerjaan baru?" sambung Bu Ides. "Kerja di mana?"
Pertanyaan itu sontak membuyarkan pikiran Edelia.
"Kerja mana coba yang pulangnya malam kalau bukan kerja di pantai," vonis Bu Sri. "Kamu kerja di pantai?"
Edelia mengerjap. "Ibu tau dari mana aku kerja di pantai?" tanyanya bingung. "Padahal aku baru sehari kerja di sana."
Ketiga ibu-ibu itu melongo bersamaan.
"Astaga, Del! Kamu nggak nyadar Kenan itu udah gede."
"Apa yang dia pikirin kalau ibunya kerja di tempat seperti itu?"
"Nggak ada anak cowok yang mau ibunya kerja jadi wanita penghibur di kafe malam."
Edelia terbengong-bengong. "I-Ibu, maaf. Ini siapa yang kerja di kafe malam?"
"Lah, katanya kamu kerja di pantai," kata Bu Sri.
"Iya, Bu," kata Edelia merasa kesal seraya menarik seikat bayam. "Tapi, aku kerja di Hotel Gajah Putih. Jadi asisten chef di sana."
Mereka tampak memandang Edelia tak yakin. Dan Edelia tak ingin meneruskan perbincangan pagi tak berguna itu.
"Berapa semuanya, Pak?"
Tukang Sayur menotalkan belanjaan Elena dengan cepat. "Tomat, cabe merah, ikan beledang, tempe, sama sayur bayam. Jadi semuanya Rp 14.500,-."
Edelia dengan segera mengeluarkan uang lima belas ribu. Dan ketika uang lima ratus rupiah sebagai kembalian ia terima, dengan cepat ia permisi.
"Duluan ya, Ibu-Ibu."
Ketiga ibu-ibu itu hanya mendehem pelan dan melanjutkan acara belanja dengan bergosip mereka. Sedang Edelia menahan kesal masuk dan menutup pintu bedengannya.
Ia langsung menuju ke dapur. Memutuskan bahwa memasak mungkin bisa meredakan emosinya yang sedikit tersentil pagi ini.
"Ting!"
Edelia mengurungkan niatnya untuk masak ketika menyadari ponsel yang ia charge berdenting beberapa kali. Menandakan ada pesan yang masuk. Ketika ia melihat notifikasi itu, ia mendadak baru ingat bahwa kemaren ia baru saja dimasukkan ke grup chat Whatsapp Tim Dapur.
Bagas: Sepertinya Bos emang sakit sih.
Vindy: Tuh kan bener. Memang kayaknya kulit bule tu sensitif sama angin pantai.
Bagas: Hubungannya? Vindy stress.
Agung: Tapi, Bos tadi juga batuk-batuk loh.
Vindy: Padahal selama ini kan Bos nggak pernah batuk-batuk. Virusnya duluan yang kabur gara-gara takut sama Bos.
Tomi: Kayaknya Bos memang masuk angin deh.
Rara: Ya ampuuuun! Kalian ini ngapain malah ngobrol?
Tomi: Eh, ada Mak Rara.
Rara: Siang ini ada reservasi loh. Kerja semua!
Vindy: Heran deh. Ini yang Chef Kepala siapa sebenarnya.
Rara: Cabe aja bisa aku jadiin bunga. Mau itu bibir aku jadiin garnis nasi goreng?
Edelia menatap pesan-pesan itu dengan dahi yang berkerut-kerut. Dia nggak masuk angin gara-gara nggak pake baju kan?
Edelia menggigit ujung kukunya.
Kalau iya, gimana?
*
Jack meletakkan wajahnya di atas meja kerjanya. Dan seperti biasa, karena ia tak ada kerjaan, ia malah memainkan rahangnya berkali-kali. Membuka mulutnya di atas meja, lalu menutupnya kembali. Buka lagi, tutup lagi. Hingga menimbulkan bunyi 'Ahap... Ahap...'.
Ia lalu malah menarik-dorong kursi beroda yang ia duduki. Lalu, geleng-geleng kepala.
"Ya Tuhan." Jack mendesah. "Mengapa hidup hamba seperti ini?"
Jack membanting punggungnya ke belakang. Bersandar dan menengadah menatap langit-langit.
"Apa mulai besok aku nggak usah datang ke hotel ya?"
Pria itu mempertimbangkan gagasan itu. Walau bagaimanapun juga, sebenarnya Jack tidak benar-benar perlu datang setiap hari ke hotel. Pengelolaan hotel sepenuhnya sudah menjadi tanggungjawab Pak Gunawan. Lagipula, walaupun Hotel Gajah Putih termasuk hotel pantai yang berkelas di Bengkulu, sebenarnya pengelolaan siklus bisnis hotel itu tidak bisa dikatakan kompleks. Keluar masuk-nya bisa dikatakan hanya satu jalur. Tidak bisa dibandingkan dengan hotel-hotel berbintang di kota-kota besar. Lagipula, Hotel Gajah Putih telah memiliki pondasi bisnis yang kuat. Sebelum hotel itu berpindah kepemilikan kepada Jack, hotel itu sempat dikelola setidaknya sekitar dua puluh tahun oleh seorang pengusaha yang kemudian memutuskan untuk menjual hotel itu pada Jack. Dan setelah enam tahun di bawah kepemilikan Jack, hotel itu sudah menunjukkan peningkatannya.
Memanfaatkan lahan yang masih kosong, Jack membangun resto. Memang tidak besar, tapi posisinya yang strategis menjadikannya selalu ramai tiap malam. Itulah salah satu alasan mengapa Chef Junan nekat mencari asisten chef yang mampu bekerja keras di malam hari. Dan untunglah sekarang Chef Junan menemukan Edelia yang katanya gesit dalam bekerja.
Eh?
Jack mengerjap.
Kenapa aku jadi mikirin itu cewek?
Ckckckck.
Jack berdecak. Ini pasti karena aku nggak ada kerjaan. Nggak ada yang bisa dipikirin. Makanya aku jadi kepikiran dia.
Pria itu mendesah. Entah sadar entah tidak, ia melirihkan hal yang sama seperti di hari sebelumnya.
"Seandainya ada sesuatu yang membuat hidup ini lebih menarik, Tuhan..."
"Jeggeeerrr!"
Jack terlonjak dari posisi santainya. Tangannya mengusap dada kirinya. Matanya menatap ke luar, mencoba menembus jendela bertirai ruangannya.
"Kenapa ada petir di siang bolong?"
Jack bergidik.
"Wah! Apa bakal turun hujan?"
Jack bangkit dari duduknya. Lalu, mengangguk.
"Oke, mungkin ini pertanda dari Tuhan agar aku pulang sekarang." Jack tersenyum meraih kontak mobilnya di atas meja. "Ujan-ujan, begelung di kasur, terus sambil makan mie..."
Senyum terkembang lebar di bibir Jack. Ia melangkah menuju ke pintu. Membuka pintu itu dengan cepat dan melangkah ke luar.
"Aaah!"
"Shit!"
Jack mengumpat kesal seraya mengaduh-aduh.
"What the fucking shit!" rutuk Jack seraya mengibas-ngibas kemeja yang ia kenakan di bagian dada. Kemeja lengan pendek itu basah oleh sesuatu yang panas. "Ini kenapa ada hujan air panas di sini?!"
"Ma-Ma-Maaf, Bos."
Jack mengangkat wajahnya dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Edelia menciut ketakutan.
"Kamuuu!"
*
tbc...
Tapi, ironisnya, aku justru lebih suka dengan ketikan aku yang ini dibandingkan dengan yang hilang tadi... hehehhehe... mungkin itu jalan Tuhan biar aku nggak jadi up yang tadi ya...🤣🤣🤣
Pkl 22.57 WIB...
Bengkulu,2020.05.21...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro