Pergulatan
Kemarahan Kenan tidak hanya kemarahan kecil seorang anak-anak. Bujang kecil itu ternyata benar-benar marah pada Edelia. Bahkan malam itu, ketika Edelia pulang dari hotel, ia kaget mendapati Kenan yang ternyata belum tidur dan dengan sengaja menunggu kepulangan dirinya.
"Ken?" tanya Edelia pelan. "Kamu belum tidur?"
Kenan yang duduk seraya melipat lutut di atas kasurnya menatap pada ibunya. Ia menggeleng. Tanpa basa-basi ia bertanya. "Pria itu Jack?"
Edelia tidak mengira bahwa dirinya akan diinterogasi putranya sendiri semalam itu. Hingga ia merasakan bagaimana tercekatnya tenggorokannya. Terasa begitu sulit untuk dirinya bicara. Bahkan untuk sekadar meneguk ludah pun ia terasa begitu kesulitan.
Pelan-pelan, Edelia berusaha mendekati Kenan. Tapi, di luar perkiraan Kenan melempar sepasang sepatu bola yang beberapa hari kemaren Edelia berikan padanya.
"Apa sepatu ini Jack yang beli?" tanya Kenan tajam.
Edelia menggeleng. "Nggak, Ken. Itu Mama beli dengan uang Mama. Bukan Jack yang belikan."
Mata Kenan menatap Edelia dengan begitu tajam. "Benar?"
"Benar. Mama nggak bohong. Itu pakai uang Mama. Sama sekali nggak ada uang Jack di sana," ujar Edelia mencoba meyakini Kenan. Kali ini karena melihat wajah keras Kenan terlihat sedikit melunak, ia mencoba kembali mendekati putranya itu. Takut-takut, ia duduk di hadapan Kenan.
Kenan menatap ke arah lain. Ia mendengus. "Jadi, karena dia suka Mama makanya dia baik ke aku selama ini," lirihnya dengan nada sinis.
Suara Kenan terdengar pelan. Entah kalimat itu ia tujukan untuk Edelia atau justru untuk dirinya sendiri.
"Mama mau menikah dengan dia?" tanya Kenan kemudian. Sedikit berpaling dan melihat mata Edelia. "Iya?"
Sejenak, untuk beberapa saat Edelia tertegun.
"Mama pilih aku atau Jack?" desak Kenan.
Edelia tersenyum masam. Ini pilihan yang sangat mudah, batinnya.
Lantas Edelia meraih tangan Kenan. Menimang-nimangnya dalam kedua tangannya. Mengelusnya dengan perlahan. Ia berkata.
"Tentu saja Mama milih kamu, Sayang."
Kenan menahan timangan tangan Edelia. Ia bergeming. "Benar?"
Edelia mengangguk. "Jangankan memilih antara kamu dan Jack, memilih kamu dengan siapa pun jawaban Mama akan tetap sama." Ia mengelus kepala Kenan. "Mama akan memilih kamu. Selalu memilih kamu."
"Mama nggak bakal menikah dengan Jack?"
Edelia mengangguk. "Nggak bakal. Mama hanya ingin kamu bahagia, Ken. Mama nggak butuh apa pun. Nggak butuh siapa pun," lirihnya seraya menarik napas. "Kamu kehidupan Mama."
Kenan serta merta memeluk Edelia. "Aku nggak mau Mama pergi dari aku, Ma."
Tangan Edelia mengelus punggung Kenan dengan lembut. Penuh kasih ia mengecup puncak kepala Kenan.
"Kamu tidur ya?" tanya Edelia melirik jam dinding. "Nanti sore kan kamu mau tanding. Mama juga harus ke hotel Subuh nanti."
Kenan mengangguk.
Edelia membantu menyelimuti Kenan. Menunggu putranya beberapa saat hingga dirasanya bahwa Kenan telah terlelap.
Mata wanita itu telah hangat dan basah ketika mengecup dahi Kenan. Setelahnya, ketika ia telah berada di dalam kamar, ia mengirim pesan pada Jack.
*
Jack.
Maaf.
Tapi, sepertinya hubungan kita tidak bisa berlanjut.
Dari awal memang seharusnya aku tidak menjanjikan apa-apa.
Jack menarik napas dalam-dalam membaca pesan itu. Benaknya bisa menerka. Pasti Kenan telah bicara pada Edelia. Dan mendapati pesan itu, Jack tidak tau harus merespon seperti apa. Lagipula, saat ini ia sendiri merasa mendadak kepalanya kosong melompong.
"Mama aku nggak pernah menikah! Aku ini anak haram!"
Pria itu tak ingin mengingatnya, tapi perkataan Kenan terus terngiang-ngiang di benaknya. Lantas, segala macam pikiran pun bermain-main di benaknya. Tentu, akhir dari pemikiran-pemikiran itu hanya satu. Wanita seperti apa yang aku cintai ini?
Membalikkan badannya seraya memeluk guling, mata Jack terasa tidak lelah hingga ketika jam nyaris menunjukkan jam dua pagi. Ia tidak bisa tidur. Padahal, untuk kategori orang yang rajin olahraga, insomnia adalah hal yang mustahil bisa terjadi. Bagaimana pun juga, aktifitas fisik yang teratur menurut artikel yang Jack baca berdampak pada kualitas tidur manusia. Tapi, saat ini bahkan semua jenis penelitian rasanya berjalan tidak seperti biasanya.
Mata Jack terlihat menutup sekitar empat puluh menit kemudian, tapi tak pasti apakah ia benar-benar tertidur atau hanya sekadar berusaha agar bisa tidur. Yang pasti, paginya ia turun dari kamarnya terlalu pagi. Warna langit di kejauhan masih remang-remang dan kehadirannya di dapur membuat Ayuhdia yang tengah menyiapkan sarapan tampak kaget.
"Jack?"
Jack mendehem pelan. Membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol air putih, namun oleh Ayuhdia botol itu langsung ia rebut dan ia letakkan kembali di dalam kulkas. Setelah menutup pintu kulkas, Ayuhdia beranjak menyerahkan segelas air hangat-hangat kuku pada Jack. Putra bungsunya itu langsung menegak isinya hingga habis.
Meninggalkan Jack, Ayuhdia kembali berkutat dengan pekerjaannya. Jack meletakkan gelas kosong itu di meja dan melihat pekerjaan Ayuhdia.
"Masak apa, Ma, buat sarapan?" tanya Jack melihat beberapa roti tawar, irisan tomat apel, timun, ikan tuna, telur orak-arik, dan beberapa bahan lainnya. "Sandwich?"
Ayuhdia tersenyum dan mengangguk seraya mengenakan satu sarung tangan plastik di tangan kanannya.
Jack menelengkan kepalanya. "Memangnya sekarang tanggal 11 April ya?"
"Iya," kata Ayuhdia. Ia meletakkan selembar roti tawar di atas taletan kayu. Menata isiannya seraya berkata. "Nggak mungkin Mommy salah hari. Alarm sudah disetel sejak tiga hari yang lewat."
Melihat wajah geli Ayuhdia, mau tak mau Jack tersenyum. Walau tipis. "Daddy beruntung banget ya bisa dapet Mommy."
Mata Ayuhdia memicing. "Pasti ada maunya."
Jack tergelak. "Nggak kok. Orang beneran tulus buat muji." Ia menatap Mommy dengan serius. "Mommy perhatian. Bahkan hari pertemuan pertama, Mommy rayakan. Hari jadian pacaran, Mommy rayakan. Perasaan tiap bulan ada aja yang dirayakan."
Satu roti isi selesai Ayuhdia buat. Ia sisihkan roti isi itu ke atas piring yang telah dialasi oleh beberapa lembar daun selada. Seraya mengambil roti lainnya, ibu dua anak itu berkata. "Sebenarnya, Mommy yang beruntung." Ia tersenyum lembut seolah sedang menerawang ke masa lalu. "Seorang pria memilih satu wanita dari sekian banyak pilihan, bukannya Mommy yang beruntung? Daddy kamu rela ninggalin keluarganya yang jauh di sana demi Mommy yang nggak jelas gini, bukannya Mommy yang beruntung? Tiap hari Mommy dikasih bunga mawar. Mau pare Mommy pahit sepahit kehidupan pun masih dimakan lahap. Siapa coba yang beruntung?"
Jack mencomot seiris tomat apel dan memakannya. "Ehm..., tapi waktu Daddy ngelamar kok bisa ya Mommy nerima? Padahal kan cuma kenal sebentar. Apalagi..."
Ayuhdia melirik. "I know. We have so many difference. Dari culture, kenegaraan, dan banyak hal lainnya."
"Apalagi kehidupan orang luar yang..." Jack menyeringai. "Beda banget dengan kita, Mom."
Ayuhdia menaburkan telur orak-arik dan mengangguk. "Itu memang jadi salah satu pertentangan Mommy dengan Eyang kalian sih. Tapi, melihat keteguhan dan keseriusan Daddy kamu, siapa yang nggak bakal luluh?"
"Aku nggak tau kalau Daddy bisa serius," tukas Jack.
"Kamu ini," geram Ayuhdia. "Nggak tau aja gimana bertekadnya Daddy kamu dulu sewaktu ingin melamar Mommy."
"Hahahaha."
"Karena itulah...," lanjut Ayuhdia setelah menyelesaikan beberapa roti isi lainnya. "Mommy tau banyak yang dilakukan dan dikorbankan Daddy kamu buat Mommy. Membuat roti isi di hari kematian mendiang Grandma kalian, bukanlah hal yang besar. Mommy hanya ingin Daddy selalu mengingat ibunya. Dan merasakan kehangatannya walau mereka tidak lagi bertemu."
Jack diam melihat ibunya menata dengan cantik roti isi itu.
"Roti isi adalah makanan kesukaan Daddy kamu," lirih Ayuhdia. "Dan ibunya, selalu membawakan bekal roti isi saat Daddy masih sekolah. Memang sih bukan roti seperti ini." Ayuhdia terkekeh sekilas. "But, I try my best." Ia menarik napas dalam-dalam dan melihat Jack dengan tatapan penasaran. "Menurut kamu, apa bukan karena bekal dari Grandma sehingga Daddy bisa jadi pria yang hebat seperti ini?"
"Mungkin."
Mendadak tangan Ayuhdia naik ke depan dadanya. Pada satu kalung tua yang menjuntai di sana. "Mommy jadi rindu dengan Grandma kamu, Jack."
Jack tersenyum ketika mendapati mata Ayuhdia yang memejam dan bibirnya yang bergerak tipis. Ketika mata Ayuhdia membuka, ia tersenyum.
"Mommy harap kalian bisa seperti mendapatkan kebahagiaan seperti yang Mommy rasakan."
"Mas Ab rasanya udah bahagia sekarang," kata Jack menyeringai. "Aku ini yang nggak tau kapan bisa bahagia."
Tangan Ayuhdia mengalun pelan memukul pelan putranya. "Kamu bahagia. Hanya kamu yang nggak bisa melihatnya," ujarnya. "Lagipula, bukannya kemaren ada yang bilang kalau sedang mabuk cinta?"
Jack tersenyum miris. Ia terasa bagai ditampar perkataannya sendiri. Kemaren dia mengaku sedang mabuk cinta dan sekarang ia justru berada di tepi jurang keraguan?
"Ehm..." Jack mendehem tak nyaman. "Masih ragu sih, Mom?"
"Ragu?" tanya Ayuhdia ketika tangannya berada di balik pinggang. Ingin melepas celemek yang ia kenakan. "Ragu kenapa?"
"Yaaah...," desah Jack. "Ragu aja."
Ayuhdia tersenyum kecil. Acuh tak acuh, seraya berjalan untuk menggantung celemeknya, ia berkata. "Ragu itu biasa, apalagi kalau itu hubungan baru. Hanya saja..." Terdengar jeda ketika Ayuhdia mencuci tangannya di wastafel. "Cinta bukan berarti semua hal harus kita mengerti, paling tidak kita bisa menerima, memahami, dan menghargai. Karena ada banyak hal yang mungkin terjadi nggak seperti yang kita ingini." Ayuhdia mengibas-ngibaskan tangannya yang basah sejenak sebelum mengelapnya. "Mencintai berarti siap membuat cerita baru di masa depan. Kalau tidak siap..." Ayuhdia menoleh pada Jack. "Lebih baik tinggalkan."
*
Kenan melenguh seraya membuka matanya. Matahari telah naik dan ketika menoleh ke meja, ia mendapati sarapannya telah siap. Satu catatan kecil dari Edelia di sana membuat ia beranjak dari kasurnya.
Dimakan ya, Sayang.
Nanti kan mau tanding.
Jangan sampai kamu lesu.
Mama sayang kamu.
Kenan tersenyum membaca pesan itu. Dan pada saat itulah ia menyadari bahwa hari telah tinggi. Matahari telah terasa terik. Ketika ia melihat jam, Kenan nyaris terbelalak. Dia bangun jam sembilan pagi.
Bujang kecil itu geleng-geleng kepala. Pantas saja ia merasakan tenggorokannya kering. Dengan segera ia meminum air putih yang ada di atas meja.
Berniat menunda sarapannya, Kenan berniat untuk merapikan rumahnya terlebih dahulu. Mulai dari membuka hordeng. Menyapu rumah. Dan mungkin sekalian dengan mengepel lantai.
Mama pasti senang, pikirnya.
Kenan beranjak ke jendela. Meraih hordeng dan bermaksud untuk membukanya ketika ia mendengar suara.
"Kemaren, samar gitu sih dengarnya. Kayaknya Edel mau nikah."
Kenan tertegun. Tangannya sontak berhenti bergerak.
"Sama siapa kira-kira?"
"Eh? Kalian pernah memperhatikan nggak? Bukannya akhir-akhir ini Kenan sering didatangi sama cowok ya?"
"Ah! Bener!"
"Apa Bapak kandung Kenan?"
"Nggak tau juga sih. Tapi, selama ini kan nggak ada yang tau Bapak Kenan itu siapa."
"Di akta kelahiran aja, yang ada cuma nama Edel kok. Nama Bapaknya nggak ada."
"Ckckckck. Aduh aduh aduh. Itu susah banget buat Edel bisa nikah. Emangnya siapa yang mau nikah terus ngurusin anak haram kayak Kenan? Anak yang nggak jelas asal usul bapaknya siapa?"
"Cowok waras mah nggak bakal mau nerima anak haram. Yang benar-benar aja. Lagian, mana ada orangtua yang mau anaknya nikah dengan cewek seperti itu?"
"Makanya, kalau jadi cewek nakal itu pasti yang susah ya anak. Kok bisa itu Edel nggak mikir ya?"
"Sebenarnya kasian juga sih ngeliatnya."
"Kasian kasian. Kamu nggak tau kapan hari Edel pernah dipecat karena dia menggoda suami majikannya?"
"Astaga! Nggak kapok-kapok juga ya itu cewek."
"Dan sekarang, katanya dia kerja di hotel Gajah Putih jadi asisten koki. Entah jadi asisten koki beneran atau jadi pelayan plus plus."
Kenan meremas hordeng. Melalui kaca hitam jendela itu dengan jelas ia melihat ibu-ibu yang membeli sayuran di tukang sayur tengah bergosip ria. Tentu rumahnya yang tertutup membuat para ibu tersebut berpikir bahwa tidak ada orang di dalam. Tapi, ada Kenan.
Bujang kecil itu menarik napas dalam-dalam. Perlahan, jatuh lesu di lantai. Kepalanya terbenam di atas lutut. Kedua tangannya naik menutupi telinganya dengan erat. Sebisa mungkin ia ingin mengusir bisikan-bisikan jahat yang sudah merasuki pikirannya bahkan ketika ia belum tau apa itu arti anak haram. Tapi, gosip... perkataan-perkataan yang terlontar tanpa dipikir... hinaan... selalu membekas dalam waktu yang lama. Membuat ia melihat betapa dirinya dipandang rendah oleh orang-orang.
Terduduk di sudut ruangan. Seorang diri. Air matanya mengalir. Dan ia hanya bisa menyalahkan takdir.
Kenapa aku nggak punya ayah? Kenapa aku harus jadi anak haram? Kasihan Mama, Tuhan.
*
Minggu siang menjelang sore itu terasa begitu melelahkan untuk Edelia. Walau pekerjaannya tak seberapa, tapi karena kejadian kemaren jelas membuat batinnya tertekan. Terutama karena sejak pagi ia telah mempersiapkan diri bila seandainya ia bertemu dengan Jack. Tapi, sepertinya menghilang ketika ada masalah adalah ciri khas Jack. Seperti pagi itu, Jack tidak datang.
Entah sadar entah tidak, berkali-kali Edelia melihat melalui jendela ruang istirahat mereka. Sekadar untuk mengetahui apakah mobil Jack terparkir atau tidak. Nyatanya, tidak.
Jadi, Edelia mengubur harapannya.
Deg!
Edelia tertegun ketika ia menutup pintu lemari lokernya setelah berganti seragam dengan pakaiannya.
Apa aku berharap?
Menepis pemikiran bodoh itu, Edelia segera pamit pada teman-temannya dan melajukan motornya untuk secepat mungkin sampai di lapangan sepakbola tepat pada waktunya.
Berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja, Edelia dengan cepat menemukan Pebri dan Galih yang melambai-lambai padanya. Wanita itu segera duduk di dekat mereka.
"Kamu tepat waktu!" kata Pebri. "Bentar lagi mulai."
Edelia mengangguk.
Di lapangan, kedua tim yang mengenakan baju merah dan biru tampak bersalaman. Tak butuh waktu lama untuk kemudian setiap pemain mengambil posisinya masing-masing.
"Piiiit!"
Peluit tanda pertandingan dimulai ditiup. Bola dengan cepat bergulir.
Galih melirik. "Jack nggak datang?" tanyanya.
Edelia menggeleng. "Ngapain juga dia harus datang."
"Ehm... aku pikir dia serius mau deketin kamu," kata Pebri.
"Nggak mungkin."
"Gimana nggak mungkin?" tanya Galih. "Orang tiap sore Jack selalu ngajak Kenan latihan bola kok. Aku pikir dia lagi dalam rangka buat merebut hati Kenan."
Sorakan Edelia terhenti seketika. Ia menoleh pada Galih. "Jack ngajarin Kenan bola tiap sore?"
"Iya." Pebri membenarkan. "Kapan hari kami ada ngeliat mereka berdua lagi main."
Edelia tergugu. "Mungkin bukan Jack. Mungkin orang lain."
Galih mencebik. "Orang lain nggak bakal ada yang mau main bola pake masker dan jaket hodie."
Mata Edelia mengerjap-ngerjap. Tapi, Galih dan Pebri kemudian fokus dengan pertandingan di depan mata mereka. Memaksa Edelia untuk menyingkirkan sejenak pemikiran-pemikiran yang muncul di benaknya.
Di lapangan, pertandingan antara klub Rinjani dan Danau berjaan dengan sengit. Beberapa kali wasit terpaksa harus meniup peluit karena pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Intensitas permainan yang tinggi membuat suasana menjadi lebih mendebarkan. Pertandingan sarat gengsi itu pun mampu membuat sesak pinggir lapangan dengan lautan pendukung dari kedua belah tim.
Hingga menit ke tiga puluh, kedua tim tampak sama-sama kuat. Bergantian melakukan serangan, namun belum sampai menciptakan gol.
Sorak sorai pendukung klub Danau terdengar memekakkan telinga. Satu orang striker mereka yang bernama Andi dengan nomor punggung tujuh tampak berlari dengan cepat memasuki daerah pinalti. Bola di kakinya terkontrol dengan baik. Ia hanya perlu menemukan momen yang tepat untuk menendang bola itu ketika tubuhnya mendadak tersungkur jatuh ke depan.
Wasit meniup peluit.
Kenan terpaksa menghentikan larinya dan bola pun berhenti bergulir di kakinya. Ia sontak menoleh ke belakang dengan raut bingung.
Andi terjatuh. Memegang tulang keringnya. Dan lalu, wasit menghampiri dirinya. Kartu merah keluar. Dan belum cukup dengan itu, tangan wasit dengan jelas kemudian menunjuk titik putih.
Suasana seketika menjadi ricuh. Para pemain menggerumbungi wasit.
"Kartu merah?"
Wasit itu menatap Kenan. "Pelanggaran keras di kotak pinalti."
Teman-teman Kenan berebut ingin membela Kenan. Sedang klub Danau berusaha menarik para pemain Rinjani agar tidak mengubah keputusan wasit. Beberapa orang tampak memeriksa keadaan Andi.
"Saya nggak melanggar, Pak!" tolak Kenan. "Saya ngerebut bola! Bukan melakukan tackle!"
Wasit bergeming.
"Yang benar saja, Pak!"
"Kenan cuma merebut bola, Pak!"
"Ini buktinya Andi jatuh kesakitan." Wasit berusaha melepaskan diri dari kerumbunan Rinjani. "Pertandingan harus dilanjutkan!"
Sedang di pinggir lapangan, para pendukung tampak tersulut emosinya. Beberapa makian terdengar.
"Kenan jelas-jelas merebut bola. Kenapa dia malah dapat kartu merah?"
"Dasar! Wasitnya udah disogok!"
Cemoohan terdengar.
"Eh! Kalau salah ngaku salah!"
"Jelas-jelas itu pelanggaran!"
Maka keributan pun berimbas pada dua pendukung di pinggir lapangan. Edelia diam-diam meneguk ludah.
"A-Apa Kenan melakukan pelanggaran, Gal?"
Galih mengusap dagunya. "Dari sini agak susah ngeliat kejadiannya. Tapi, walaupun iya. Nggak seharusnya kartu merah dan pinalti."
"Benar! Pinalti dan kartu kuning masih masuk akal. Kartu merah? Apa wasitnya benar-benar sudah disogok?" tanya Pebri menggumam.
Di lapangan, teman-teman Kenan masih berusaha untuk membela Kenan. Tendangan pinalti dan kehilangan satu pemain bukanlah hal yang mudah untuk diatasi. Nyaris secara statistik mereka bisa menerka akhir pertandingan tersebut.
"Pak!" seru Kenan kemudian. "Saya sumpah saya nggak melakukan tackle. Saya murni cuma ngerebut bola."
"Memangnya sumpah kamu bisa dipake di pertandingan?!"
Kenan menggeram mendapati komentar pemain Danau.
"Diam kamu! Ini urusan aku!" gertak Kenan.
"Sudah! Sudah! Pertandingan harus dilanjutkan!" seru Wasit. "Kenan, silakan kamu tinggalkan lapangan."
Kenan menggeram. "Aku nggak melakukan tackle!"
Tapi, wasit tak menghiraukan. Ia justru beranjak untuk mengambil bola yang tersisih di dekat gawang.
"Kamu nggak dengar? Kamu itu dapat kartu merah! Keluar sana! Ngumpet sama Mama kamu."
Klub Rinjani seketika terdiam ketika mendapati satu pemain Danau berseru pada Kenan. Di sebelahnya, Andi tampak memandang sinis pada Kenan.
"Dasar anak haram! Udah diusir, masih juga nggak mau keluar."
Mata Kenan seketika memerah.
Anak haram anak haram anak haram.
Entah seumur hidup sudah berapa kali ia mendengar kata-kata itu. Dan dalam sehari ini entah sudah berapa kali ia mendengarnya. Bahkan tidak hanya ibu-ibu, anak seumuran dirinya pun mengatakan hal itu padanya.
Teman-teman Kenan dengan segera memegang tangan Kenan. Tapi, terlambat.
Semua penonton terkesiap. Melihat bagaimana Kenan dengan membabi buta menonjok hidung Andi. Suasana pertandingan kacau. Berubah menjadi arena perkelahian antara dua klub sepakbola.
Edelia memejamkan matanya. Galih dan Pebri bangkit dari duduknya. Bersama-sama dengan beberapa pria dewasa lainnya melerai perkelahian itu.
Dibutuhkan waktu lebih lama dari yang diperkiran untuk menghentikan perkelahian itu. Dan ketika kedua tim telah dipisah, wajah pada pemain tampak babak belur dan acak-acakan. Di saat itulah, Edelia perlahan menuju ke seberang lapangan.
"Ini anak! Sudahlah melakukan pelanggaran, malah ninju anak saya!"
Edelia tercekat mendapati seorang bapak memukul kepala Kenan.
"Pak Cipto!" seru Galih. "Tolong tangannya dijaga ya! Sembarangan aja mukul Kenan."
Cipto mendengus. "Kalian nggak lihat? Dia udah buat anak saya jatuh! Malah terus nonjok Andi."
Pebri tampak berusaha menengahi. "Sabar, Pak. Kalau kita semua bar-bar, anak-anak bakal mencontoh yang nggak baik."
"Kenan ini yang harus diajari baik-baik!" Cipto memandang Edelia dan meludah. "Inilah akibatnya kalau anak besar nggak dididik sama wanita baik-baik. Mana nggak ada bapaknya juga. Lihat ini lihat!" Cipto menunjukkan wajah Andi yang memar. "Kenan ninju anak saya!"
Nyatanya, walaupun perkelahian berhaasil dihentikan, adu mulut masih berlanjut hingga ke luar lapangan.
"Saya nggak mau lagi ngeliat Kenan main bola. Kasian pemain kalau semuanya dihajar sama Kenan!"
Pelatih Rinjani tampak menyela. "Maaf, Pak. Ini bisa kita bicarakan baik-baik. Kenan juga nggak maksud untuk melukai anak Bapak."
"Nggak maksud gimana sih, Pak Anwar? Ini jelas-jelas bonyok gini masih dibilang nggak maksud?!"
Edelia mendekati Kenan. Sudut bibir bujang kecil itu pun tampak berdarah. Matanya memerah. Dan tangannya mengepal kuat.
"Saya nggak mau tau," kata Cipto. "Pokoknya, Kenan nggak boleh main bola lagi!"
Di luar dugaan, Kenan justru maju. Membuat para pria dewasa di sana sama-sama menoleh pada dirinya. Dengan rahang yang mengeras, ia menatap tajam pada semua yang ada.
"Oke! Aku nggak bakal main bola lagi!"
Pemain Danau tersenyum kecil.
"Tapi, dengan satu syarat!" desis Kenan.
Mata Anwar mengerjap. "Ka-Kamu ngomong apa sih, Ken? Kamu nggak boleh berenti main bola."
"Aku akan berhenti main bola," ulang Kenan dengan penuh tekat. "Asalkan mulut kalian..." Mendadak saja tangan Kenan naik dan menunjuk orang-orang di sana. "Minta maaf ke Mama."
Edelia seketika menutup mulutnya.
Suasana yang ramai mendadak hening seketika.
"Ayoh! Cepat!" desak Kenan. Mata Kenan menghangat. "Kenapa? Nggak mau?"
Edelia dengan cepat meraih Kenan. "Ssst... kamu ngomong apa sih, Ken?"
"Mereka selalu ngomongi Mama!" geram Kenan. "Tapi, mereka nggak pernah mau minta maaf."
Orang-orang di sana mendadak salah tingkah. Melihat bagaimana Edelia berusaha menenangkan Kenan.
"Nggak, Sayang, nggak. Kamu salah dengar."
Kenan melepaskan diri dari rengkuhan Edelia. "Aku nggak salah dengar, Ma! Mereka selalu ngomongi Mama!"
Edelia merasakan matanya terasa memanas. "Ken, kita pulang aja ya?"
"Mereka belum minta maaf!"
Cipto maju dan kembali memukul Kenan. Galih dan Pebri dengan segera mendorong tubuh Cipto ke belakang.
"Kamu yang salah malah kamu yang minta kami minta maaf?" tanya Cipto. "Kamu melakukan tackle keras sampe anak saya kesakitan! Kamu yang salah!"
Pebri dengan tubuhnya yang besar berusaha menahan Cipto. Sedang Galih berusaha untuk menarik Edelia dan Kenan. Berniat untuk membawa ibu dan anak itu segera menjauh dari sana. Tepat ketika terdengar satu suara berkata.
"Setau saya, pemain yang melakukan diving yang salah. Dan seharusnya, dia yang mendapat kartu."
Semua mata kompak menoleh.
Satu sosok pria mengenakan masker dan jaket hodie datang seraya membawa dua benda di kedua tangannya. Satu pesawat kecil canggih bewarna putih dengan empat baling-baling, berada di tangan kanan. Sedang ponsel dan remotnya di tangan kiri.
"Sepertinya teknologi VAR memang diperlukan," katanya dengan mata jenaka. "Bagaimana?"
*
10. Teknik merebut bola di atas lapangan (bukan di udara) dengan usaha menjulurkan kaki. Ada beberapa jenis tackle, dari yang aman hingga yang berbahaya sehingga tak jarang mampu mencederai lawan.
11. Tindakan pemain yang berpura-pura terjatuh, seolah dilanggar oleh pemain lawan dengan tujuan menipu wasit dan mendapatkan keuntungan untuk timnya.
12. Video Assistant Referee, penggunaan teknologi video dalam sepakbola untuk membantu wasit dalam mengambil keputusan.
tbc...
aku nggak tau kehidupan kecil kalian semua gimana, tapi waktu aku kelas 3 SD...ya sekitar umur aku 7 tahun, ada temen aku yang dipanggil Poyok oleh teman-teman. aku ikutan manggil. pas di rumah, aku cerita-cerita ke Mama tentang teman-teman aku, alhasil kena omel aku dong. ternyata itu artinya wanita asusila. pas aku tanya ke temen-temen besoknya, ternyata mereka paham artinya. yang herannya, masih aja dipanggil gitu. dan akhirnya aku tau dong, katanya ibunya yang bekerja seperti itu [tapi, aku nggak tau ini beneran atau ga ya.]. tapi, mulai dari hari itu aku berusaha untuk manggil nama aslinya. bisa mampus eike dipecut pake tali pinggang sama Bapak kalau ngomong gitu -_-
Pkl 12.12 WIB...
Bengkulu, 2020.06.29...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro