Pejuang Satu Kata
Selamat malam semuanya... 👋🏻👋🏻👋🏻
siapa yang nungguin kelanjutan cerita ini? 🙋🏻♀️🙋🏻♀️🙋🏻♀️
btw. sebelumnya sorry kalau baru update malam ini. tapi, ya ampun... aku update setiap hari dengan jumlah kata yang nggak sedikit dong ya.. hahahha... jadi, jangan lupa untuk tinggalin vote dan komennya ya... sebagai penyemangat dong ya... 😍😍😍
juga, selamat datang untuk yang baru gabung baca cerita ini. heran... sehari bisa ngelonjak banget yang baca... 😘😘😘
nah, jadi di tempat aku hujan berhari-hari... kalian tau perjuangan nulis di hari-hari dingin kayak gini? mau nya aku tu begelung aja di kasur... ahahhaha... 🤣🤣🤣
so, silakan dinikmati dan jangan lupa, tinggalin vote dan komennya... 🤗🤗🤗
===========================================================================
Gagal sudah memanfaatkan kesempatan yang tepat untuk mengajak Edelia naik ke pelaminan.
Argh!
Rasanya Jack benar-benar ingin menenggelamkan pelayan itu di Pantai Panjang saking kesalnya. Apalagi setelah kehilangan kesempatan itu, Jack benar-benar tidak mendapatkan kesempatannya lagi. Dari setelah kepergian pelayan yang telah mendapat pesanan mereka, Edelia justru mengajaknya menceritakan hal lain. Dari sebenarnya berapa ukuran sepatu Jack hingga masalah masker. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan kemungkinan lamaran akan dilakukan dalam waktu dekat.
Terutama saat pesanan mereka sampai. Sudahlah! Makanan adalah pengalih semua hal. Benar kata orang. Kesempatan tidak datang dua kali.
Edelia menikmati makan siangnya, sedang Jack menikmati Edelia lewat matanya. Melihat Edelia makan seketika membuat Jack merasa kenyang.
Benaknya bertanya-tanya. Apa kalau aku menikah dengan Edel, itu artinya pengeluaran bulanan kami rendah ya? Soalnya nggak makan aja aku udah kenyang coba gara-gara ngeliatin dia.
Edelia hanya terheran-heran melihat Jack yang bertopang dagu seraya memandangnya yang sedang makan. Membuat wanita itu jengah dan menundukkan wajahnya. Jack akhirnya memutuskan untuk menikmati pesanannya walau sungguh! Perutnya terasa sudah kenyang.
Mereka selesai menyantap makan siang itu sekitar jam setengah dua. Jack mengamati piring Edelia yang bersih dan menyatakan dalam hati bahwa orang yang menghabiskan makanannya adalah orang yang mampu menghargai orang lain.
Edelia menyeruput minumnya. Mengelap bibirnya dengan tisu dan Jack memanfaatkan kesempatan itu dalamsatu potret di ponselnya.
Mata Edelia mengerjap, sedang Jack hanya tersenyum kecil.
"Ngetes ponsel aku. Kemaren kayaknya error. Soalnya nggak ada foto di galeri aku coba, Del," ujar Jack dengan nada serius.
"Sekarang masih error?"
"Ehm." Jack mendehem. Wajah polos Edelia membuat ia geli. "Nggak lagi kok. Makasih."
Edelia tersenyum. "Sama-sama."
Sebisa mungkin, Jack menahan tawanya yang mengancam akan meledak. Karenanya, Jack lantas menarik napas dalam-dalam. Persis seperti tokoh jagoan di film-film kolosal yang sedang mengumpulkan tenaga dalam.
"Ke hotel sekarang?" tanya Jack kemudian.
Edelia melirik jam tangannya sekilas. Mengangguk. "Iya deh."
Jack kembali membawa belanjaan mereka, membayar makanan di kasir, dan lalu dengan tangannya yang bebas meraih tangan Edelia. Dengan modus ia berkata.
"Nanti kepleset lagi loh, Del. Mau kamu masih muda pinggangnya udah patah?"
"Omongannya ya." Edelia cemberut dan justru balas menggenggam tangan Jack dengan erat.
Wah!
Seketika saja Jack mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Sekarang ia bisa merasakan apa yang dirasakan Michael ketika menggandeng Ayuhdia. Ehm... kurang lebih.
Sepuluh menit kemudian, mobil Jack sudah berhenti di parkiran seperti biasanya. Edelia baru saja akan melepas sabuk pengaman ketika tanpa diduga Jack sudah mendahuluinya. Jantung Edelia bagai berhenti berdetak mendapati tubuh Jack di hadapannya. Aroma pria itu merasuk dan menjajah indra penciumannya. Membuat tubuhnya mendadak membeku langsung.
Jack tersenyum. Tau dengan pasti bagaimana tindakannya mampu memberi efek pada wanita itu. Tapi, seolah tak mengetahuinya, pria itu justru langsung melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. Membiarkan Edelia yang tergugu dan beberapa detik kemudian baru tersadar. Tepat ketika Jack membuka pintu mobil untuk dirinya.
"Aku bawain barangnya ke ruang istirahat."
Edelia menahan tangan Jack. "Jangan. Biar aku sendiri. Nggak enak dilihat sama yang lain."
Jack menimbang perkataan Edelia dan mengangguk. Menyerahkan dua kantong belanjaan pada Edelia.
"Jadi," kata Jack kemudian. "Menurut kamu... apa aku lulus hari ini?"
"Lulus?" Edelia menatapnya bingung dan bertanya. "Lulus apa?"
"Untuk kencan selanjutnya."
"A...a...."
Jack tertawa. Rona merah di pipi Edelia membuat ia geli. "Kalau bisa sih besok udah kencan kedua ya."
Mata Edelia membesar.
"Aduh..." Jack mencubit pipi Edelia. "Kalau kamu melotot gini, beneran deh. Kamu nambah imut, Edel Miaw Miaw."
"Edel Miaw Miaw?"
"Kamu nggak ngerasa kamu imut kayak kucing? Terus bisa menggigit kayak kucing?" tanya Jack membuat pipi Edelia semakin memerah. "Ehm... Apa kamu bisa ngambil cuti dadakan ya hari ini? Kita keliling lagi, Del."
Edelia spontan melayangkan pukulannya ke dada pria itu, semakin melotot. "Enak aja. Kalau gaji aku dipotong gimana?"
"Yang ngasih gaji kamu itu ya aku," kata Jack. "Ehm... tapi, nggak boleh kali ya memanfaatkan kedudukan kayak gini. Ckckckck. Ya udah, kamu pergi kerja deh."
Edelia mengembuskan napas lega. Khawatir akan perbuatan Jack, eh justru Jack sendiri yang memintanya untuk segera bekerja.
"Ngomong-ngomong," kata Edelia kemudian. "Terima kasih udah nemenin hari ini."
Jack menyugar rambutnya dengan kesan sok keren. Sedikit menyeringai, ia berkata. "Aku bahkan dengan senang hati mau nemenin kamu seumur hidup kok."
Deg!
Gawat.
Edelia merasa jantungnya tak berdetak karena perkataan Jack yang satu itu. Maka ia hanya tersenyum kaku dan berkata.
"A-Aku masuk dulu."
Jack mengangguk. "Aku juga mau pergi dulu. Eh, tapi ingat ya. Ini aku pergi tiap siang bukan buat nemui cewek. Aku ada kerjaan sampingan," jelas Jack dengan air wajah yang menyiratkan permohonan pemakluman. "Kamu nggak perlu cemburu."
"Ya?"
Tangan Jack terulur dan mengusap pipi Edelia sekilas sebelum berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Di dalam, ia menurunkan kaca dan melambai ketika mobil itu mundur.
"Sampai ketemu malam ntar."
Dahi Edelia berkerut-kerut mendengar itu. Tapi, ia tak mengatakan apa pun selain mengekori kepergian mobil Jack yang meninggalkan tempat parkir. Pelan-pelan menghilang dari pandangannya.
Dengan langkah gontai, Edelia masuk ke gedung hotel. Langsung menuju ke ruang istirahat dan mengambil kunci lokernya dari dalam tas. Ketika lemari lokernya terbuka, wanita itu justru tercenung. Benaknya tanpa permisi justru teringat oleh Jack.
Ia menarik napas dalam-dalam. Mengingat bagaimana perlakuan Jack tadi pada dirinya. Memperlakukan dirinya dengan begitu baik, sebaik yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Hayo!"
Satu tepukan di punggungnya membuat Edelia tersadar dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Vindy tengah membuka lokernya.
"Abis jalan sama Bos ya?" tanya Vindy tanpa tedeng aling-aling. "Aku ngeliat tadi pas kamu diantar sama Bos."
Edelia meringis. Tak tau harus menanggapi perkataan Vindy seperti apa.
"Jadi, gimana hubungan kalian?" tanya Vindy. "Kapan Bos bakal melamar?"
"Eh?" Edelia meraih seragamnya dari dalam loker. "Me-Melamar apaan. Nggak ada lamaran apa pun kok."
Vindy terkekeh sekilas. "Semua orang juga pasti tau kalau Bos bakal melamar kamu. Orang Bos keliatannya serius banget kayak gitu."
Edelia menggeleng berulang kali. "Nggak kok."
"Ehm... menurut aku iya kok."
Edelia hanya tersenyum masam, lantas memutuskan untuk beranjak dari sana. Berdalih akan bertukar pakaian karena shift-nya akan segera dimulai.
*
Malam itu, ketika Tim Dapur sudah selesai membereskan pekerjaan mereka dan bersiap pulang, Edelia mendadak menyadari sesuatu.
Gimana aku pulang?
Tentu saja Edelia bingung bagaimana caranya dia pulang. Bukannya tadi ia pergi ke hotel karena diantar Jack. Sekarang?
"Sampai ketemu malam ntar."
Ucapan Jack terngiang di benak Edelia. Nggak mungkin kan kalau---
"Cie... yang pulangnya dijemput!"
Edelia mengerjap mendapati Vindy yang berseru seraya menutup pintu lokernya.
"Siapa? Siapa? Siapa?"
Mendadak saja Rara dan Bagas menghampiri Vindy yang telah berdiri di dekat jendela.
Oh, tanpa perlu dijawab, Edelia pun bisa menerka.
"Bos jemput Edel ya?" goda Bagas. "Aduh! Sepertinya hubungan sudah semakin serius ya?"
"Eh?" Edelia menggeleng. "Nggak kok nggak. Bos nggak mungkin jemput aku."
Rara bersidekap. "Oh ya? Terus kamu pulang gimana? Perasaan nggak ada motor kamu di parkiran."
Edelia menggigit bibirnya.
Mereka bertiga kompak berkata.
"Rumah kita beda arah ya."
Lantas, tawa meledak.
*
Jack menyambut kedatangan Edelia dengan senyum terkembang di wajah. Berdiri seraya bersandar pada badan mobil, Jack bersidekap melihat Edelia yang keluar dari gedung hotel bersama Vindy, Rara, dan Bagas. Mengabaikan bagaimana ketiga orang itu tersenyum menggoda pada dirinya, Jack seolah hanya melihat Edelia di sana.
"Bos tumben tengah malam datang ke sini."
Jack terkekeh mendengar komentar Vindy. "Ehm... cuma mau jadi pria bertanggungjawab aja sih. Udah bawa anak orang ya harus dipulangin bener-bener."
Mereka tertawa.
Tapi, layaknya orang yang benar-benar pengertian, dalam sekejap mata Tim Dapur beranjak dari sana. Menuju ke kendaraan masing-masing dan setelah sedikit berbasa-basi, mereka pun pergi meninggalkan Jack yang menatap Edelia dengan begitu sayang.
"Mau pulang belum?" tanya Jack pada akhirnya ketika mendapati Edelia yang bergeming memandang dirinya. "Apa mau di sini sampai pagi?"
"Y-Ya mau pulang dong."
Jack mendekati Edelia. Menarik tangan wanita itu dan menuntunnya untuk masuk ke dalam mobil sebelum dirinya turut duduk di balik kemudi.
"Bos..."
Jack mendengar dirinya dipanggil oleh Edelia, tapi dengan sengaja ia tak menjawab. Menoleh pun tidak.
Edelia melirik. "Bos..."
Jack masih saja mempertahankan kecepatan mobilnya di angka 20. Seandainya bisa, mungkin ia memilih mengendarai di kecepatan 1 km/jam.
Edelia bingung dan mengeraskan suaranya, nyaris berseru. "Bos!"
Jack tampak menoleh ke sekelilingnya. "Di mana ada Bos di sini?" tanyanya seolah bingung. "Kok aku nggak ngeliat ya?"
Edelia meremas tangannya. "Jack!"
"Apa, Sayangku?"
Wah!
Edelia tercengang. Setengah detik nama pria itu terucap di lidahnya, Jack dengan segera menoleh padanya. Komplit dengan pertanyaan manis dan kedipan menggoda di matanya. Semakin membuat Edelia mengap-mengap berusaha mendamaikan jantungnya.
Jack tersenyum geli. "Tadi manggil, sekarang malah diem bengong."
Edelia mengerjap.
"Kenapa? Berasa sweet gitu ya kalau aku panggil sayang?" tanya Jack menggoda. "Ehm... kalau aku panggil Cinta? Honey? Ah! Kamu mau aku panggil apa?"
Edelia menarik napas, seolah ingin mengembalikan kesadarannya. "Cukup Edel aja seperti yang lain."
Jack cemberut. "Aku kan nggak bisa disamakan dengan yang lain," kilahnya. "Nggak tau apa aku ini edisi spesial yang terbatas?"
"Jack!"
"Apa, Cinta?"
Edelia kembali terdiam. Jack membuatnya mati kutu.
"Kamu kenapa sih, Del, kayak yang sensi gitu? Padahal kan aku cuma mau nyenengin perasaan kamu aja. Kata Mommy aku cewek itu suka kalau dipanggil-panggil mesra sama pasangannya."
Edelia mendehem.
Jack pun menyadarinya. "Kalau kamu berasa nggak enak, ya udah. Kita segerakan deh jadi pasangan resminya. Gimana?"
"Kamu ini," geram Edelia.
Jack tertawa. "Loh? Aku ngasih solusi loh ya. Bukankah harusnya kamu seneng?"
"Kamu... kamu..." Edelia menggigit bibirnya. "Pasangan resmi?" tanya Edelia tak percaya.
"Ya. Kita menikah. Resmi secara agama dan negara," kata Jack seolah hal itu perlu ia jelaskan. "Kapan kamu siap, aku bakal langsung melamar. Besok pagi?"
"Astaga! Kamu tau nggak kalau setiap mendengar kata 'melamar' itu aku jadi gemetaran?"
Jack melirik. "Cuma kata 'melamar' aja yang buat kamu gemetaran?" tanya Jack. "Bukannya deket-deket aku juga buat kamu gemetaran? Aku pegang tangan kamu juga buat kamu gemetaran. Bahkan---aduh!"
Edelia mencubit tangan Jack hingga pria itu mengaduh kesakitan.
"Astaga!" kesiap Jack seraya mengusap tangannya yang dicubit Edelia. "Ih! Mama galak juga ya."
Edelia tercengang. "Ma-Mama?"
"Hehehe. Kalau kita udah nikah, apa aku panggil Mama aja?" tanya Jack dengan kilat menggoda di matanya. "Mama Edel, ini Papa Jack bawakan sekotak hati penuh cinta edisi tak ada duanya."
Edelia sudah tidak tau lagi bagaimana kondisi jasmani dan rohani dirinya. Perkataan demi perkataan Jack sungguh membuat dirinya benar-benar tak berkutik lagi. Pria itu selalu saja memiliki cara untuk membuatnya kehilangan kata-kata.
Jack tersenyum melirik pada Edelia. Tau dengan pasti bagaimana efek perkataannya pada keadaan jantung wanita itu.
Lalu, Edelia merasakan laju mobil berhenti. Menatap ke luar, ternyata mereka telah sampai. Ya mau bagaimana pun juga, sebenarnya jarak antara Hotel Gajah Putih dan rumahnya memang dekat. Bahkan dengan kecepatan 20 km/jam pun mereka tiba tidak lebih dari tiga puluh menit.
Pandangan Edelia mengamati sekitar bedengannya. Gerimis yang mengguyur sore hingga malam tadi, membuat suasana di sekitaran bedengan Edelia sepi. Tampak begitu hening. Tidak seperti biasanya di mana banyak bapak-bapak yang berkumpul di warung sebelah untuk bermain kartu.
Jack melepas sabuk pengamannya. Ehm... ngomong-ngomong, kenapa dia melepas sabuk pengaman miliknya?
Pria itu tersenyum dan menatap mata Edelia ketika melepas sabuk pengaman wanita itu. Ia bertanya di hadapan Edelia.
"Bilang ke aku, Del. Kamu mau bukti apa biar yakin kalau aku benar-benar serius?"
Edelia tertegun.
"Aku bakal ngelakuin apa pun buat meyakinkan kamu kalau aku benar-benar serius," lanjut Jack. "Kamu nggak mungkin nyuruh aku beneran terjun dari puncak Monas kan ya buat ngebuktiin keseriusan aku?"
Edelia berusaha menjaga jarak, tapi tak banyak. Kursi mobil membuat pilihannya terbatas.
"Ka-Kamu nggak sepantasnya mau menikahi aku, Jack," lirih Edelia pelan, setengah berbisik pada pria itu.
Jack bergeming.
"Aku udah punya anak, sedangkan kamu?" Edelia dengan mengumpulkan keberanian berusaha menatap mata Jack. "Kamu masih bujangan. Apa kata orang-orang kalau kamu menikahi aku?"
Jack balas menatap Edelia. "Apa itu alasan kamu sampe nolak aku dua kali? Cuma karena itu? Cuma karena kata orang-orang?"
"Cu...ma?" Edelia menarik napas dalam-dalam. Merasakan bagaimana hal itu dipandang berbeda oleh mereka berdua. "Itu lebih dari sekadar cuma, Jack. Orang-orang bakal mengatai kamu dengan omongan-omongan yang akan menyakitkan perasaan kamu. Nggak seharusnya bujangan mau menikahi wanita seperti aku."
Dahi Jack berkerut. "Sejak kapan ada larangan seperti itu?"
"Sejak dulu sepertinya."
"Aku nggak mau mengikuti larangan nggak masuk akal seperti itu," kata Jack. "Dengar ya. Kakak aku duda dan dia akan menikahi seorang gadis. Nggak ada yang mempermasalahkannya."
"Itu beda!" tukas Edelia. "Gadis yang menikahi duda bakal dibilang beruntung karena dapat pria yang telah berpengalaman dalam berumah tangga."
"Eh?"
"Kalau bujangan menikahi wanita seperti aku..." Edelia meneguk ludahnya. "Orang akan mengatakannya bodoh...," katanya. "Bujangan harus menikahi gadis. Itu baru pasangan yang ideal."
Jack semakin mengerutkan dahinya. "Menurut aku, pasangan yang ideal itu adalah pasangan yang saling mencintai. Saling menerima keadaan masing-masing. Saling memegang tangan dalam apa pun kondisinya," tuturnya dengan penuh keyakinan. "Dan aku menyadari bahwa aku melihat itu semua pada diri kamu, Del."
Edelia menggeleng. "Aku nggak layak untuk mendapatkan hal itu, Jack."
"Nggak layak untuk dicintai aku?" tanya Jack geli mendapati pernyataan Edelia. "Aku yang menilai apa kamu layak atau nggak. Dan aku melihatnya kamu lebih dari layak."
Edelia memejamkan matanya. Berusaha mengingatkan dirinya sendiri di mana kehidupannya berada. Bagaimana kehidupannya selama ini. "Aku nggak mau berharap lebih dari yang mampu aku dapatkan. Kamu jelas di luar jangkauan tangan aku," bisiknya.
Namun, kemudian Edelia merasa tangannya diraih. Telapak tangannya kemudian merasakan satu permukaan yang asing. Perlahan, ia membuka mata. Mendapati Jack yang meletakkan tangannya di pipi pria itu.
"Aku yang akan masuk ke dalam jangkauan kamu, Del. Kamu bahkan hanya perlu menerima aku."
Edelia merasakan gejolak di dadanya. Jack menatapnya dengan penuh kelembutan. Rasa sayang terpancar dari kedua bola matanya yang kelam. Bagaimana pria itu menatapnya, menyentuhnya, memperlakukan dirinya, menghadirkan perasaan yang membuat Edelia bertanya-tanya.
Apa aku pantas?
"Seumur hidup," katanya. "Aku nggak pernah diperlakukan seperti kamu memperlakukan aku. Walau terkadang kamu usil, tapi aku tau kamu baik. Tapi, kalau seperti ini... mengharapkan ini semua..."
"Aku tau... aku nggak bisa menjanjikan kamu untuk selalu tertawa bersama aku, Del," kata Jack. "Layaknya kehidupan, pernikahan pun pasti akan ada naik turunnya. Tapi, aku benar-benar menjanjikan kamu. Bahwa... nggak peduli akan sebanyak apa masalah yang ada, aku nggak bakal ninggalin kamu."
Edelia menggigit bibirnya. Merasakan bagaimana tangannya ditahan dengan penuh kelembutan oleh Jack.
"Kamu hanya perlu nerima aku, Del," lirih Jack penuh pengharapan. "Aku tau kamu cinta aku. Dan seperti yang kamu tau, aku benar-benar cinta kamu. Aku bakal nerima Kenan dengan sepenuh hati aku, menyayangi dia seperti anak aku sendiri."
"Jack..." Edelia merasakan dadanya benar-benar bergejolak. "Aku takut. Nggak pernah ada yang cinta aku selama ini. Nggak pernah ada."
"Aku, Del, aku," bantah Jack.
Pria itu dengan tangannya yang bebas meraih dagu Edelia. Mengembalikan tatapan wanita itu pada dirinya. Mencoba melihat ke dalam sepasang bola mata bening yang tampak berkabut itu.
Apa yang ia ragukan? Apa yang ia takutkan?
Jack tidak mengerti.
Tapi, walau begitu Jack akan berusaha memahami. Bahwa yang perlu ia lakukan adalah meyakinkan Edelia semampu yang ia bisa.
"Kamu mau nerima aku kan?" tanya Jack lembut. "Aku mohon, Del. Ya?"
Edelia balas menatap Jack. Tatapan terlembut yang pernah ia dapati. Tapi, apa ia bisa meyakini ucapan pria itu? Yang akan menerima keadaan dirinya? Yang tetap akan memegang tangannya? Apa ia bisa menyerahkan hidupnya pada seorang pria? Ketika karena prialah hidupnya menjadi hancur berantakan?
Sedang Jack tau, entah bagaimana ia tau, tapi ia menyadari bahwa tak akan mudah untuk meyakini wanita di hadapannya itu. Ia merasa nyaris putus asa ketika akhirnya berkata.
"Aku perlu tau satu hal, Del. Apa kamu cinta aku seperti yang aku rasakan selama ini? Di balik semua usaha kamu buat nolak aku?"
Edelia masih terdiam. Apa aku mencintai Jack?
"Karena satu hal yang membuat aku tetap berusaha adalah karena aku merasa kamu juga memiliki perasaan ke aku." Jack menarik napas dalam-dalam. Mungkin dia terlalu percaya diri atau mungkin ia yang salah mengira, tapi ia ingin memperjelas semua. Bila Edelia memang tidak merasakan itu, maka Jack tidak bisa berbuat apa-apa. "Aku nggak bisa memaksa kamu nerima aku kalau kamu memang nggak ada perasaan apa pun ke aku. Tapi, sebaliknya. Kalau kamu juga mencintai aku, hanya saja kamu ragu, maka aku akan tetap berjuang."
Edelia tertegun melihat keseriusan di wajah Jack.
"Seandainya kamu memang nggak mencintai aku, aku pergi." Jack berusaha untuk tetap mengatakan hal itu dengan jelas, walau dengan pasti ia merasakan bagaimana jantungnya berdenyut sakit. Berani mencintai berarti berani patah hati, Jack, hibur hatinya.
"Pe-Pergi?" tanya Edelia terbata.
Pria itu tersenyum muram. Mengangguk lemah. Bagai prajurit kalah perang. "Tentu saja kan? Aku akan pergi dari hidup kamu. Nggak bakal muncul lagi. Bagaimana pun juga, Del. Aku nggak mungkin bisa setiap hari melihat seseorang yang aku cintai, tapi nggak bisa aku miliki."
Edelia meneguk ludahnya. "I-Itu artinya kamu nggak akan datang di hotel lagi?"
"Ehm... sepertinya," kata Jack putus asa. Sepertinya aku benar-benar ditolak ini. Ya Tuhan. Dua kali ditolak, satu kali kencan, ujungnya patah hati. "Lagipula, itu pilihan terbaik. Kamu tentu nggak mau ngeliat aku la---"
"Mau!"
Edelia berkata cepat memutus perkataan Jack. Membuat pria itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Otak pria itu mendadak bagai roda gigi yang berkarat, tidak mampu berputar.
Tadi aku ngomong apa ya sampe Edel bilang mau?
"Mau?" tanya Jack tak yakin. "Mau apa ya?"
Bola mata Edelia bergerak-gerak gelisah dalam keinginan menatap dalam-dalam pada mata Jack.
"Aku mau..." Edelia meneguk ludahnya. "Ngeliat kamu...," lanjutnya. "Setiap hari."
Seketika saja mata Jack membesar.
Seolah ia ingin memperjelas perkataan Edelia, pria itu bertanya ragu-ragu. "Kamu mau ngeliat aku setiap hari?"
Di atas jemari Jack yang masih menahan dagunya, Edelia mengangguk berulang kali tanpa melarikan tatapannya dari mata pria itu. Jemari itu seketika saja tergelincir dari dagu Edelia, lalu justru bergerak.
Edelia menutup matanya saat merasakan tekuknya ditarik lembut oleh Jack. Tak butuh waktu lama untuk pada akhirnya Edelia merasakan sentuhan lembut pada bibirnya. Hanya satu sentuhan sekilas yang membuat perasaannya merebak seketika.
Terengah-engah, bagai telah melewati pergolakan yang melelahkan, Jack menciptakan jarak untuk kedua napas beradu hangat di antara mereka. Pria itu menempelkan dahinya pada dahi Edelia. Merasakan bagaimana tangan Edelia yang berada di pipinya bergetar. Sedang satu remasan ia rasakan di dadanya, perlahan terurai seiring dengan napas mereka yang masih menderu.
Mata mereka saling memejam. Dan tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Seolah hanya ingin meresapi kehangatan di antara mereka.
Sedetik kemudian, jakun Jack naik turun ketika berusaha bertanya.
"Ya?"
Terasa bagaimana napas hangat Edelia membelai wajahnya ketika Edelia menjawab.
"Ya."
Kebahagiaan seketika merebak memenuhi dada Jack. Tapi, seakan kebahagiaan itu belum cukup membuat ia terbang melayang-layang, ia merasakan bagaimana kedua tangan Edelia naik dan menangkup pipinya.
Keterkejutan Jack hanya berlangsung sepersekian detik tatkala merasakan tarikan lembut wanita itu. Di bibir Edelia, kesiap kaget Jack teredam sempurna.
Sama sempurnanya dengan malam yang hening.
Yang seolah tercipta khusus untuk menemani mereka.
*
tbc...
hayo loh hayo... udah siapkan amplop putih belum? hahahha... 😂😂😂
eh, apa kalau mereka nikah ntar bakal ending ya? ehm... berarti ending bentar lagi dong ya? 🙄🙄🙄
tapi, sayangnya... ending mungkin masih sekitar dua minggu lagi... klimaks nya aja belum sampe.... 😅😅😅
jadi, tetap pantengin cerita ini yaaa... 😘😘😘
Pkl 22.26 WIB...
Bengkulu, 2020.06.24...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro