Kericuhan Sepakbola
jadi, selamat menikmati... 👌🏻👌🏻👌🏻
===========================================================================
Jack menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Sudah jam dua siang, pikirnya.
Ia menarik napas dalam-dalam dan menimbang.
Apa aku datang ke lapangan?
Buat nonton bola?
Nggak. Buat ngangon bebek. Ya kali masih ditanya.
Serius kamu masih mau nonton Kenan setelah apa yang terjadi kemaren?
Jack mengembuskan napas panjang. Perang batin yang terjadi membuat ia semakin bingung harus memilih apa. Menonton atau tidak?
Ehm... mengambil pilihan pasti selalu ada risiko, pikirnya.
Jadi, Jack bangkit. Bersiap mengenakan jaket dan tak lupa dengan maskernya, serta menatap satu kotak di bagian bawah lemari pakaiannya. Ia menyeringai.
"Mengingat aku bakal kena usir ibu dan anak, mending aku cari aman aja," lirih Jack miris. Ia menarik kotak itu yang tak lain adalah drone miliknya yang sudah lama beristirahat.
Jack mengecek keadaannya dan memastikan bahwa alat itu dalam kondisi baik-baik saja.
Sekitar empat puluh menit kemudian, Jack sudah menghentikan laju mobilnya di pinggir lapangan. Ketika sampai, ia berulang kali mengucapkan puja-puji syukur pada Tuhan karena membawa drone. Barisan penonton yang memenuhi pinggir lapangan benar-benar membuat Jack tidak bisa melihat apa yang terjadi di sana.
Dengan segera, Jack menyiapkan drone-nya. Tampak beberapa orang terusik dengan bunyi baling-baling benda itu ketika terbang melayang. Sok cuek, Jack justru masuk kembali ke dalam mobil.
Beberapa menit sebelum pertandingan dimulai, fokus mata Jack sedikit teralihkan ketika melihat Edelia melintas melewati mobilnya. Wanita itu dengan cepat turun dan menghilang di kerumbunan penonton.
"Piiiit!"
Bunyi peluit membuat Jack fokus dengan tangkapan drone.
"Hati-hati, Jack. Kena bola hilang sudah mainan kita," lirihnya seraya berusaha menjaga jarak yang aman untuk drone.
Jack menikmati pertandingan itu. Beberapa kali ia mendesah kesal ketika serangan tim Kenan berhasil dihentikan oleh tim lawan. Tapi, ketika satu pluit berbunyi di menit ke tiga puluh delapan, Jack mengerutkan dahi.
"Eh?" tanyanya. "Kenapa ini?"
Lalu, mata Jack melotot ketika melihat kartu merah keluar dan wasit menunjuk titik putih.
"Eh? Ini kenapa sih?" tanyanya bingung. "Kenapa Kenan dapat kartu merah? Dan pinalti? Kok bisa?"
Ketika Jack masih meraba situasi yang terjadi, justru keadaan di lapangan semakin tak terkendali.
Jack melongo. Matanya melotot.
"Wah! Kenan!"
Terlihat Kenan yang serta merta menonjok pemain lawan. Membuat pemain bernomor punggung 7 itu jatuh di tanah. Dan tanpa ampun Kenan semakin membabi buta menghajarnya.
"Ya salam. Ini anak sebenarnya pemain bola atau pencak silat sih?" gumam Jack tak percaya.
Jack kembali mengamati. Bagaimana kemudian perkelahian Kenan menyebabkan pertandingan terpaksa ditunda. Seluruh pemain, pelatih, wasit, hakim garis, serta beberapa warga di sana terlihat berkumpul di sisi lain lapangan.
Jack mengusap-usap dagunya. Menghentikan rekamannya. Lalu, dengan teliti mengamati video tersebut.
Berulang kali Jack memutar video itu, melihat dengan begitu teliti. Hingga seringai terbit di bibirnya.
Jack segera mengambil dronenya. Mengabaikan tatapan orang-orang yang memandang heran pada dirinya karena tanpa permisi langsung berjalan melintasi lapangan, Jack menuju ke tempat orang-orang tersebut berkumpul. Namun, langkah kakinya beberapa kali melambat ketika telinganya mendengar.
"Itu anak memang kalau nggak dididik yang baik ya jadi begitu."
"Dapat ibu nggak bener sih makanya jadi anak badung."
"Cih! Anak nggak punya bapak aja sok hebat main bola."
Jack melirik kerumbunan ibu-ibu yang duduk di pinggir lapangan. Yang merasa begitu santai membicarakan Edelia.
"Edel itu, udah berapa kali coba dipecat gara-gara menggoda suami orang."
"Nggak tau kan? Ada cowok yang akhir-akhir ini suka datangi Kenan."
Dan darah Jack terasa menggelegak ketika mendengar perkataan selanjutnya.
"Mungkin pelanggannya yang baru."
Dibutuhkan lebih dari sekadar tarikan napas dalam-dalam dan menghitung angka di dalam kepala untuk Jack mampu menahan emosinya. Namun, tak bisa dipungkiri. Kakinya terasa begitu berat ketika kembali melangkah.
Dengan penuh tekad, akhirnya Jack mendekati mereka. Dari kejauhan ia bisa mendengar suara Kenan.
"Aku nggak salah dengar, Ma! Mereka selalu ngomongi Mama!"
Mata Jack mengerjap. Ngomongi Edel apa lagi?
"Ken, kita pulang aja ya?"
"Mereka belum minta maaf!"
"Kamu yang salah malah kamu yang minta kami minta maaf? Kamu melakukan tackle keras sampe anak saya kesakitan! Kamu yang salah!"
Jack berhenti di posisi yang tepat. Dengan tenang, suaranya lantang ketika berkata.
"Setau saya, pemain yang melakukan diving yang salah. Dan seharusnya, dia yang mendapat kartu."
Semua mata kompak menoleh.
Dengan penuh percaya diri, Jack mengangkat kedua tangannya yang memegang drone dan remotnya. "Sepertinya teknologi VAR memang diperlukan," katanya dengan mata jenaka. "Bagaimana?"
Orang-orang di sana, terkecuali empat orang yang mengenal Jack, tampak kebingungan. Saling lirik dan akhirnya Cipto berkata.
"Kenapa muncul orang gila lagi di sini?!"
Mata Jack melotot. Aku dibilang orang gila?
Galih beranjak pada Jack. "Kamu ngapain di sini?"
"Menyelesaikan masalah," kata Jack enteng. Ia lalu bergerak maju. Dengan cepat mampu menarik perhatian orang di sana.
Pria itu tampak menilai Cipto dan Andi. Lalu mendengus.
"Bapak dan anak sama-sama nggak ada otak!"
Cipto maju. "Kamu bilang saya nggak ada otak?"
"Wah! Selain nggak ada otak, ternyata Bapak ini juga nggak ada telinga." Jack tergelak. Memandang ke sekeliling. "Semua denger kan tadi saya ngomong apa?"
Edelia meremas pundak Kenan. Tampak menggigit bibirnya sendiri.
"Maaf, Pak," kata Wasit. "Tapi, saya harap Bapak jangan memperkeruh suasana."
Mata Jack menyipit. "Memperkeruh suasana? Saya?" tanya Jack tak percaya. "Pak Wasit terhormat, Anda yang sudah memperkeruh suasana. Karena keputusan keliru anda maka semua kericuhan ini terjadi. Dan saya datang buat menjernihkan malah dituduh memperkeruh? Orang kalau ini ibarat kali, airnya memang sudah coklat. Nggak perlu saya keruhin juga emang udah keruh!"
Wajah wasit seketika memerah. Tampak tidak terima oleh perkataan Jack.
"Kamu jangan sembarangan ngomong ya! Kamu pikir kamu siapa?!" balas Wasit. "Ngerasa lebih tau tentang sepakbola dibandingkan saya!"
"Wah!!!"
Masker yang Jack kenakan tampak mengembang mengempis saat pria itu menarik napas dengan emosi. Edelia menatap Jack horor. Bisa merasakan aura penuh kemarahan yang siap meledak dari dirinya.
"Saya siapa? Ngerasa lebih tau tentang sepakbola dibandingkan anda?"
Glek.
Edelia meneguk ludahnya. Diam-diam, Kenan mengangkat wajah memandangi raut muka ibunya yang tampak cemas.
Edelia terlihat kaget ketika mendadak Jack berbalik dan menghampiri dirinya. Menyerahkan drone dan remotnya pada wanita itu. Terbengong, Edelia hanya menerimanya dengan mata mengerjap sekali.
"Saya siapa?" tanya Jack mondar-mandir seraya berkacak pinggang. "Saya siapa?"
Mungkin beberapa orang di sana benar-benar mengira Jack adalah orang gila.
Lalu, sedetik kemudian langkah Jack terhenti. Ia menatap wasit dan berkata.
"Mungkin kalau saya lepas masker, anda bisa mengenal saya."
Jack dengan segera melepas hodie jaketnya. Rambut pirang terangnya tampak menyilaukan di bawah sinar matahari sore. Dan ketika tangannya melepas kasar masker yang menutupi wajahnya, mendadak saja semua mata di sana melotot.
Tangan Wasit terangkat menunjuk Jack seraya menganga tak percaya. Sedang pria itu dengan penuh percaya diri mempermainkan pria paruh baya itu, menyambut tangannya seolah mereka sedang bersalaman.
"Ya, anda benar," kata Jack. "Saya Jack Rhodes!"
Sontak saja beberapa kamera ponsel langsung naik dan mengabadikan momen itu. Jack melambai-lambai dan tersenyum pada semua yang ada di sana.
"Saya penasaran," kata Jack kemudian. "Ada yang lebih tau tentang sepakbola di sini dibandingkan saya?"
Wasit itu tertunduk. Wajahnya tidak bisa lebih merah lagi. Sedang Cipto terlihat menggaruk-garuk tekuknya.
"Tolong drone-nya, Del," panggil Jack kemudian.
Di tempatnya berdiri, Edelia tergugu sejenak sebelum akhirnya berjalan dan menyerahkan benda itu kembali pada Jack.
"Siapa di sini yang bilang Kenan melakukan tackle dan pantas dikasih kartu merah?!" bentak Jack. "Sini, Pak, sini!" Jack mengisyaratkan pada kedua pelatih, wasit, dan seluruh hakim garis untuk mendekat.
Dengan segera, Jack memutar video hasil rekamannya. Menghentikannya tepat di detik yang pas. Kemudian memperbesar tampilannya. Di sana terlihat bahwa kaki Kenan benar-benar hanya menyentuh bola. Sedikit pun tidak menyentuh kaki Andi, apalagi sampai mengenai tulang kering anak itu.
"Lihat?" tanya Jack. "Lihat?"
Mereka tampak meneguk ludah. Wasit tampak saling pandang dengan hakim garis. Dan wajah Cipto terasa kaku malu.
Menilai situasi di mana beberapa kamera masih menyala, Jack mengangkat ponselnya. Menunjukkan gambar itu. Dia berkata.
"Kalian lihat sendiri? Kenan sama sekali nggak menyentuh Andi. Dasar anak itu saja yang lembek jatuh sendiri."
Cipto melotot. "Kamu ngomong anak saya lembek?"
"Daripada saya ngomong Kenan punya tenaga dalam jadi bisa buat anak Bapak jatuh tanpa disenggol!" tukas Jack. Pria itu tersenyum pada semua orang. "Buat yang penasaran, tenang aja. Video bakal saya upload di Instagram saya. Kalau perlu saya tag Menpora, PSSI, sama pelatih Timnas U-15. Pak Jokowi sekalian saya tag juga."
Seketika saja mereka memucat.
"Atau saya kirim langsung via Whatsapp ya?" tanya Jack seolah bingung. "Biar lebih cepat dilihat mereka."
"Aduh, Pak, nggak usah sampai sebegitunya," kata seorang pria.
Mata Jack memicing. "Siapa?"
"Saya Ikhsan, Pak. Pelatih klub Danau."
Pria itu tampak tersenyum.
"Bapak bapak, saya belum nikah!" tukas Jack gusar, tapi justru membuat orang di sana tertawa.
Jack geleng-geleng kepala. Kan? Kenapa saat aku marah aja orang-orang masih bisa ketawa?
"Jadi, begini, Pak. Saya tau diving itu udah jadi taktik kotor di sepakbola. Tapi, ya ampun!"
Pria itu mondar-mandir, tampak seperti seorang ayah yang memarahi anak-anaknya.
"Seriously? Dari kecil udah diajari buat curang?" tanya Jack tak percaya. "Saya bilangin ya, Pak. Salah satu harga diri Timnas itu walau jarang dapat piala adalah permainan yang bersih. Malu kami kalau sampe melakukan trik licik kayak gini!"
"Iya..."
"Iya..."
"Iya..."
Entah sadar entah tidak, di tempatnya berdiri. Edelia tersenyum kecil.
"Walau kalah, tapi kalah dengan terhormat itu lebih mulia! Lagi kita main bersih aja masih sering kena ejek sama Malaysia!" geram Jack. "Ini malah dari kecil pemain-pemain udah diajari buat licik? Wah! Apa nggak dikira kita nggak bakal tambah kena sorak negara sebelah?! Mau diletakkan di mana ini muka? Di pantat?!"
"Iya..."
"Iya..."
"Iya..."
"Jadi..." Langkah Jack berhenti. Menghadapi wasit dan hakim garis. "Bagaimana keputusannya?"
Wasit tampak meneguk ludah. "Wa-Walau bagaimanapun, Kenan tetap harus keluar karena menyebabkan keributan."
"Dia ribut karena apa?"
Glek.
"Ehm... itu..."
"Siapa yang pantas dikartu merah?"
Wasit melirik Andi.
Tapi, Jack berkata. "Dikasih kartu kuning saja itu sudah cukup." Ia menoleh pada Kenan. "Berapa kali kamu dipukul sama Bapak ini, Ken?"
Kenan mengerjap. "Ah?"
"Kamu dipukul berapa kali?"
Kenan terdiam sejenak, tampak menghitung. Membuat Cipto di tempatnya berdiri jadi ketar-ketir.
"Tiga kali, Jack."
Jack menoleh. "Ada yang mau ikut saya ke kantor polisi buat surat pengaduan kekerasan terhadap anak di bawah umur?"
Cipto memucat. Dengan cepat berusaha mendekati Jack.
"Ma-Maaf... saya nggak tau."
"Nggak tau udah mukul anak orang?!" bentak Jack. "Kamu pikir Kenan ini anak apa kalau bukan anak orang?!"
"Tapi, Kenan menghajar anak saya."
"Kalau mereka berdua berkelahi, itu urusan anak-anak. Bapak harusnya melerai, bukannya malah tambah memperkeruh suasana. Dan karena Bapak sudah sampai turun tangan buat ikut-ikutan mukul..." Jack melotot. "Bapak mau pilih berkelahi dengan saya atau ke kantor polisi?" tanya Jack seraya melepas jaket yang ia kenakan.
"Jack!" seru Edelia panik seraya memungut jaket itu dari atas tanah. Wanita itu mendekap jaket dan drone dengan erat di pelukannya. Dia nggak mungkin serius kan?
"Saya nggak minat sama sekali buat balas mukul Andi. Karena saya dan Bapaknya jelas beda isi kepalanya," lanjut Jack. "Jadi, saya persilakan waktu dan tempat untuk Bapak secara pribadi minta maaf pada Edelia dan Kenan."
Jack kemudian tampak sedikit menarik diri. Memberi jarak yang cukup agar Cipto mampu melihat Edelia dan Kenan yang dari tadi berada di belakangnya.
"Mi-Minta maaf?"
"Pilihan ada tiga," kata Jack. "Kantor polisi, kita berkelahi, atau meminta maaf." Jack tampak mengepalkan tinjunya. Otomatis saja gerakan itu membuat otot di sepanjang lengan atasnya muncul menampakkan diri dengan pongah. "Silakan dipilih."
Suasana sekitar mereka tampak hening. Beberapa orang masih setia mengabadikan kejadian langka itu. Hingga kemudian, dengan menguatkan diri, Cipto mendekati Edelia dan Kenan.
"A-Aku minta maaf..."
Jack geleng-geleng kepala. "Lagi suara bayi mencret aja lebih gede dari suara Bapak. Giliran tadi aja pas maki-maki orang suaranya besar! Sekarang? Atau mau pilihan pertama? Kedua?"
Cipto menutup mata. "Aku minta maaf!!!"
"Minta maaf ke siapa?" tanya Jack. "Setan penghuni lapangan?!"
"Edel. Kenan. Aku minta maaf!!!"
Jack menarik napas dalam-dalam. Menepuk punggung pria itu dan berkata. "Terima kasih, Pak."
"Be-Berarti semua masalah ini sudah selesai kan?" tanya Wasit dengan raut takut.
"Belum," kata Jack.
"Apalagi?"
"Untuk tindakan Kenan yang menyerang dan mengundang perkelahian, itu tetap harus diperhatikan. Sanksi atau apa, saya nggak ada kewenangan untuk itu. Tapi, karena pertandingan sudah tertunda lama, itu artinya pertandingan bisa dilanjutkan di lain hari dimulai dari menit ke-38."
Mereka mengangguk-angguk.
"Hanya saja," kata Jack kemudian menatap satu-satu orang di sana. "Kenan adalah satu-satunya anak yang saya latih secara pribadi. Saya nggak meminta dia untuk diistimewakan, tapi bukan berarti kalian bisa menindas dia."
"Te-Tentu..."
"Satu lagi."
Kali ini Jack memutar kepala melihat ke sekeliling. Diam-diam mengamati tiap wajah yang berdiri mengerumbuni mereka.
"Edelia adalah ibu yang hebat untuk Kenan. Membesarkan anak seorang diri nggak pernah menjadi hal yang mudah bagi wanita mana pun," kata Jack penuh penekanan. "Kalau dia memang bukan wanita baik-baik, dia nggak bakal hidup kekurangan dengan bedengan sempit yang plavonnya sudah koyak seperti itu!"
Perkataan Jack membuat semua mulut terdiam. Tampak memerah mukanya dan seolah tak ada yang bernapas.
"Lagipula, saya cukup tau bagaimana selera Edelia terhadap cowok. Nggak mungkin banget Edelia mau dengan bapak-bapak perut buncit yang genit!"
Dalam hati Jack berkata. Lagi aku yang cakep mempesona gini aja pake acara ditolak dua kali. Jungkir balik sampe akhirnya dia ngaku juga ada perasaan ke aku. Pede banget itu muka-muka nggak tau malu ngaku-ngaku digoda Edel.
Di tempatnya berdiri, Edelia merasakan tenggorokannya tercekat. Matanya menghangat melihat bagaimana Jack membela dirinya dan juga Kenan. Di sebelahnya, Kenan menggenggam tangan ibunya dengan erat.
"Edelia..." Jack meneguk ludahnya dan bicara untuk terakhir kali. Seolah ingin setiap orang mengingat dengan baik ucapannya. "Wanita dan ibu yang hebat."
Selesai mengatakan itu, Jack berbalik. Langsung berhadapan dengan Edelia dan Kenan yang sama-sama memandang pada dirinya.
Tanpa aba-aba, pria itu berjalan mendekat. Dengan begitu percaya dirinya, ia meraih tangan ibu dan anak itu di masing-masing tangannya. Lalu, mengajak mereka pergi dari sana.
Meninggalkan keriuhan dan beberapa video yang mengantri akan diupload.
*
tbc...
Pkl 21.06 WIB...
Bengkulu, 2020.06.29...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro