Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Keributan Pembuka Luka

Selamat menjelang tengah malam Minnaaaa... 👋🏻👋🏻👋🏻

yang kangen Jack, cuuuung dulu 🙋🏻‍♀️🙋🏻‍♀️🙋🏻‍♀️

Btw. sorry karena baru update... badan aku remuk bolak-balik kampus ke RS... makanya rada nggak konsen buat ngetik... jadi, kalau berasa feel-nya kurang, harap maklum ya... mudah-mudahan ntar bakal direvisi sebelum pindah ke sebelah... 😅😅😅

Juga, maaf kalau akhir-akhir ini komen kalian jarang aku balas. Tapi, aku baca kok 😘😘😘

jadi, ini mungkin sekitar 5 atau 6 part lagi bakal selesai... ehm... penasaran kan endingnya bakal sad atau happy? 🙄🙄🙄

tapi, yang pasti tabahkan hati ya, Guys... 😶😶😶

selamat menikmati... 🙇🏻‍♀️🙇🏻‍♀️🙇🏻‍♀️

===========================================================================

Ayuhdia melirik pada Jack melalui ekor matanya ketika ia menunduk saat menyuap sarapannya. Naluri keibuannya dapat melihat ada yang berbeda dari raut wajah putranya itu pagi ini. Bukan karena mereka masih saling berdiam diri, tapi karena ada hal lain. Membuat perasaan Ayuhdia menjadi bertanya-tanya. Namun, ketika ia membuka mulut, Michael ternyata telah bersuara terlebih dahulu.

"Everything okay, Son?"

Jack mendesah seraya mendorong mundur kursinya. Ia bangkit dan menghela napas dalam-dalam. "Ehm... not really."

Ayuhdia benar-benar tak mampu menahan refleks ketika pada akhirnya ia bertanya. "Apa yang terjadi?"

Jack tercengang beberapa saat mendengar pertanyaan ibunya. Tapi, ia menggeleng. "Nggak apa-apa, Mom."

Napas Ayuhdia terhenti sedetik mendengar jawaban Jack. Ia baru akan mengatakan hal lainnya, tapi didahului oleh perkataan pria itu.

"Aku ke atas."

Ayuhdia menyudahi sarapannya. "Ini pasti ada kaitannya dengan Edelia."

"Biarkan mereka," lirih Michael. "Jack sudah besar. Dia akan memikirkan masalahnya dengan baik."

Perkataan Michael membuat Ayuhdia kembali menarik napas dalam-dalam. Merasa khawatir. "Memangnya apa yang akan ia pikirkan? Paling dia sekarang hanya berkurung diri di dalam kamar sepanjang hari."

"That's it!" tukas Michael. "Dia sedang berpikir."

Bola mata Ayuhdia berputar frustrasi. Kedua tangannya terangkat. Menyerah.

Sedang di kamar, Jack kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memeluk guling, ia bahkan tidak tahu harus bertindak seperti apa untuk perkataan Edelia kemaren.

Setelah kejadian dan pengakuan itu, Jack tidak menghubungi Edelia dan begitu pun sebaliknya. Dan ketika Jack pulang sorenya, ia tak menemukan Edelia di dapur. Entah karena wanita itu menghindarinya atau justru karena dirinya sendiri yang tidak benar-benar ingin bertemu sehingga tidak mencari keberadaan Edelia.

Benak Jack menghitung balik ke beberapa bulan belakang. Berapa lama ia mengenal Edelia? Dua bulan? Ia mengembuskan napas panjang.

Benar, aku baru mengenal Edelia dua bulan.

Dan dalam waktu sesingkat itu aku sudah mengungkapkan perasaan aku dan melamarnya?

Aku mungkin sebenarnya memang cedera otak, bukan kaki.

Jack memejamkan matanya.

Itu waktu yang sangat singkat, Jack. Kamu tentu aja belum tau apa pun tentang dia.

*

Edelia mengembuskan napas panjang. Tubuhnya terasa letih padahal hari masih pagi. Ia pun sudah sarapan tadi bersama Kenan. Harusnya ia bisa mencuci perkakas kotor itu dengan lebih cepat. Seperti biasanya. Bukan seperti saat ini. Di mana bunyi perkakas-perkakas yang saling beradu terdengar bersahut-sahutan dari tadi. Entah sengaja atau tidak, yang pasti Edelia setengah membanting-banting perkakas itu. Seolah ingin menyalurkan emosi yang tengah melanda dirinya.

Sejurus kemudian, ia menarik napas dalam-dalam. Menggigit bibir bawahnya dan menahan desakan yang mendadak menginginkan ia berteriak saat itu juga.

Menenangkan diri, Edelia memejamkan matanya kuat-kuat. Berusaha untuk mampu mengontrol ledakan emosinya. Bukan hal yang berlebihan bila pada akhirnya pagi itu Edelia menyelesaikan cucian piringnya jauh lebih lama dari biasanya.

Tanpa berniat untuk langsung meletakkan perkakas bersih itu ke tempatnya masihng-masing, Edelia justru beranjak kembali ke kamarnya. Di atas kasur, Edelia membaringkan tubuh.

Entah sudah berapa kali di pagi itu Edelia menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa matanya tetap nyalang terbuka menatap langit-langit kamarnya yang rapuh. Walau bagaimana pun, ia tak ingin matanya tertutup. Ironis, tapi ketika mata itu tertutup, ia justru seolah melihat wajah Jack.

*

"Kamu lagi nggak enak badan, Del?" tanya Vindy.

Edelia yang baru masuk ke dapur menggeleng. Tapi, gelengan itu langsung dibantah oleh Rara.

"Tapi, kamu keliatan kayak lesu dan pucat gitu. Beneran lagi nggak sakit?"

Edelia mengangguk. "Bener kok. Aku baik-baik aja."

Seraya memotong brokoli dengan kedua tangannya, Vindy hanya mengamati Edelia dengan tatapan penuh pemakluman. Ia menggeleng pelan.

"Kenapa? Lagi nggak mau kerja?"

Vindy menoleh. "Eh! Ini botak kapan-kapan beneran mau aku tumis juga pake saos tiram."

Bagas mencibir. "Orang nanya baik-baik juga."

"Memangnya kalau aku nggak mau kerja, kamu mau ngegantiin tugas aku hari ini?" tanya Vindy tajam.

"Ya nggak dong!" tukas Bagas tertawa dan langsung melarikan diri dari lemparan brokoli Vindy.

Diam-diam, Edelia tersenyum melihat interaksi Vindy dan Bagas. Lalu, entah bagaimana ceritanya. Mendadak saja ada satu bisikan di benak Edelia.

Kalau aku seperti Vindy, pasti hubungan aku dan Jack akan lancar.

"Menurut kamu aja deh, Vin!" lanjut Bagas. "Ini hari Sabtu. Ntar malam Minggu. Mana video Bos masih panas-panasnya, otomatis ntar bakal rame. Kerjaan aku aja ntar pasti banyak. Ya kali mau ngegantiin kamu."

Vindy memanyunkan bibirnya. Kali ini tangannya mengangkat botol saos tiram. Seolah-olah ingin melempar benda itu pada Bagas.

"Kalian ini ya ampun!" seru Rara. "Ini dapur dan kalian masih sempat-sempatnya buat berantem?"

Agung masuk seraya membawa box daging dan menimpali perkataan itu. "Itu ungkapan perasaan, Mak Rara. Kok nggak tau sih?"

Rara geleng-geleng kepala. Sedangkan perkataan Agung justru membuat Vindy semakin bersungut-sungut.

"Gas, aku bilangin deh ya," kata Vindy kemudian. "Kalau kamu beneran ada perasaan ke aku, lebih baik kamu jujur. Gini-gini aku banyak yang naksir loh ya. Kalau kamu suka aku, ntar aku pertimbangkan deh."

Bagas bergidik. "Ya elah! Ini cewek keracunan saos tiram."

Senyum di bibir Edelia semakin melebar. Lalu, bahunya disenggol Rara. "Kamu seneng liat Bagas ketakutan dibuat Vindy?"

Vindy melotot.

Kali ini Edelia tanpa sadar tertawa. "Nggak gitu lo, Vin."

"Ck. Entahlah," kata Vindy mengibaskan celemek yang ia kenakan. "Anggap saja aku ini terlahir sebagai pemeriah suasana. Iya kan?"

Edelia mengangguk. "Iya," jawabnya dengan tersenyum.

Dalam hati, Edelia berterima kasih pada semua yang berada di sana. Mungkin mereka tidak tau dan mungkin mereka tidak bermaksud untuk mencairkan suasana di sana, tapi nyatanya begitulah yang terjadi. Mendengar celotehan-celotehan Tim Dapur membuat dirinya sedikit merasa santai kembali. Terutama ketika pesanan demi pesanan datang, praktis kesibukan itu membuat Edelia tanpa sadar melupakan kesedihan yang sedang ia rasakan.

"Semakin langit gelap, semakin banyak pesanan!" seru Agung.

"Iya dong. Malam hari itu sumber rezeki," tambah Bagas.

"Yah! Ada tukang ngepet dong di sini makanya tau kalau malam itu sumber rezeki."

Edelia dan Rara kompak tertawa mendengar celetukan Vindy. Dari tempatnya, Bagas hanya mencibir pada gadis itu. Bagaimana pun juga, ia tidak ingin cumi crispy-nya menjadi gosong gara-gara Vindy.

Rara tampak baru saja selesai menghias satu hidangan ketika ia celingak-celinguk. "Ini cook helper pada ke mana ya?"

"Di depan rame, Mak. Kayaknya mereka jadi bantuin pelayan deh," jawab Agung.

Edelia melirik pada deretan piring-piring yang menunggu giliran untuk diberi garnis oleh Rara.

"Harusnya aku yang ke depan," keluh Rara seraya memutar pandangannya. "Tapi, ini banyak banget yang mau dikerjain."

"Cuma kwetiau dua porsi ini kan?" tanya Edelia kemudian dan melihat dua piring kwetiau yang telah siap di atas nampan. "Biar aku aja yang antar. Kebetulan ini aku lagi kosong."

"Makasih banyak, Del." Rara tersenyum lega mendengar tawaran Edelia. "Ini pesanan meja nomor delapan."

Edelia meraih nampan dan segera keluar dari dapur. Dari kejauhan ia bisa melihat bagaimana ramainya resto itu. Para pelayan dan cook helper tampak hilir mudik. Sebagian ada yang tengah menyajikan pesanan, mencatat pesanan baru, hingga membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan oleh pelanggan.

Semakin mendekati resto bernuansa outdoor itu, Edelia sepertinya baru menyadari sesuatu. Untuk pertama kalinya ia turut mengantarkan pesanan ke meja pelanggan. Selama ini dirinya memang tidak pernah terjun langsung melayani pelanggan. Tapi, karena itulah Edelia kemudian mengagumi kesan romantis dan hangat resto itu. Dihiasi lampu-lampu kecil di sekililingnya, resto itu terlihat begitu berkelas dengan lampu kuning yang berkilauan.

"Permisi," kata Edelia dengan ramah pada sepasang muda mudi yang duduk di meja nomor delapan.

Dengan sopan, Edelia menyajikan pesanan itu di atas meja mereka. Setelah selesai, wanita itu tak lupa untuk tersenyum dan berkata.

"Selamat menikmati."

"Terima kasih."

Edelia segera berbalik. Mendekap nampan di depan dadanya. Kakinya baru saja akan menuruni satu anak tangga ketika ia mendengar jeritan.

"Aaah!"

Langkah kaki Edelia terhenti. Seketika menoleh ke belakang. Ke sumber jeritan itu berasal. Dan tak hanya dirinya, praktis semua mata di sana tertuju pada titik yang sama.

"Ibu, maaf. Saya nggak sengaja."

Edelia mengerutkan dahi melihat Milka yang tampak meminta maaf seraya meraih beberapa lembar tisu sekaligus. Di hadapan gadis itu, tampak seorang ibu yang murka melihat dressnya yang basah.

"Nggak sengaja? Enak banget ya mulut kamu ngomong."

Milka meringis. Masih berusaha untuk mengelap bagian dada dress ibu tersebut. "Maaf, Bu, maaf."

"Kamu pikir maaf kamu bisa buat dress saya langsung kering?! Argh! Mana ini kesiram air kobokan lagi!"

"Udah, Ma. Nggak apa-apa."

"Apanya yang nggak apa-apa coba, Pa? Ini dress baru aku beli. Dasar pelayan nggak becus. Padahal resto terkenal gini taunya punya pelayan ceroboh."

"Malu, Ma, dilihatin orang-orang."

Milka semakin menundukkan kepalanya. Dalam hati justru merutuk kenapa harus turut membantu di resto demi mengantar pesanan.

"Mil... ini ada apa?"

Milka menoleh. Mendapati Edelia yang datang menghampirinya. Ia melirik sekilas. "Aku nggak sengaja nabrak ibu itu. Si Ibu mendadak bangkit dari kursi pas aku mau lewat."

"Eh? Jadi kamu nyalahin saya?!"

Milka tersentak. Namun, ia pun kaget ketika merasakan genggaman di pergelangan tangannya. Melirik ke sebelah, Edelia tampak berkata.

"Ibu, maaf. Teman saya nggak sengaja. Saya mohon ibu bisa berbaik hati untuk memaafkan."

Ibu itu tampak melirik Edelia.

"Teman saya mengakui kesalahannya, Bu. Memohon kebaikan hati ibu untuk bersedia memaafkan."

Ibu itu menarik napas dengan gelisah. Kata-kata Edelia terdengar sopan, namun justru terasa memojokkan dirinya. Kalau ia tidak memaafkan, apa itu artinya ia bukan orang yang baik hati?

Lantas, ibu itu mendengus kasar. "Sudah! Kalian pergi sana!"

Edelia dan Milka menarik napas lega. Bersama-sama mengucapkan terima kasihnya. Bersama-sama, mereka kemudian beranjak dari sana. Berniat untuk segera kembali ke dapur. Terutama ketika Edelia menyadari bahwa lebih baik menghadapi panas api kompor dibandingkan harus menghadapi pelanggan yang beraneka ragam sifatnya.

"Tunggu!"

Edelia dan Milka sama-sama menghentikan langkahnya. Menoleh pada satu meja yang tak jauh dari mereka. Melihat ada seorang pelanggan menginterupsi perjalanan mereka, membuat kedua orang wanita itu sama-sama kebingungan. Namun, detik selanjutnya mata Edelia membesar.

Seorang ibu-ibu tampak berdiri. Mendekati mereka. "Edelia?"

Edelia memucat. Melihat siapa wanita paruh baya yang tengah berdiri di hadapannya. Bibirnya bergetar ketika menyebut nama majikannya yang terakhir itu sebelum pindah bekerja di Hotel Gajah Putih. "Bu Astuti."

"Kamu masih ingat saya," lirih wanita itu. Ia tampak menilai penampilan Edelia. "Kamu sekarang kerja di hotel?"

Edelia meneguk ludahnya. Mengangguk kaku. Entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak. Ia berusaha untuk segera pergi dari sana.

"Saya permisi dulu, Bu," kata Edelia pelan. "Saya masih ada kerjaan."

Tapi, ketika Edelia membalikkan badan dan ingin bergegas meninggalkan tempat itu, ia mendengar suara Bu Astuti berkata.

"Masih jam tujuh udah ada pelanggan kamu ya?"

Milka di sebelah Edelia terdiam. Melirik wajah Edelia yang memucat dengan pertanyaan itu.

"Yah! Pantas sih kamu milih kerja di hotel. Biar bisa banyak dapat uang lebih kan?"

Pertanyaan itu seketika saja mengundang perhatian para pelanggan yang sempat tenang setelah insiden Milka tadi. Berusaha mengabaikan, Edelia kembali melangkah sekali.

"Bahkan sampai sekarang kamu nggak pernah minta maaf karena sudah menggoda suami saya!"

Seruan itu membuat tubuh Edelia melemas. Dengan gemetar, ia mencoba untuk menghadapi Bu Astuti.

"Bu, saya nggak akan pernah minta maaf untuk kesalahan yang nggak pernah saya lakukan," desisnya. "Seumur hidup, saya nggak pernah menggoda suami orang. Termasuk suami ibu."

"Alah! Memangnya saya nggak tau? Bukannya semenjak kerja di sini, kamu jadi suka deket-deket dengan pemilik hotel ini kan?"

Edelia tercekat.

"Segitunya kamu mau numpang makan sama orang ya. Ngerayu orang-orang kaya aja."

"Saya nggak ada merayu siapa-siapa, Bu," kata Edelia dengan bibir bergetar. "Saya berani bersumpah."

Bu Astuti tampak murka. "Suami saya kamu goda! Dasar pelacur!"

Baik Edelia maupun Milka sama-sama kaget mendengar bentakan itu. Membuat semua orang melotot dan kasir dengan segera meraih gagang telepon di mejanya.

Edelia terhenyak. Bu Astuti tampak penuh emosi meraup seragam yang dikenakan Edelia. Menarik rambutnya. Membuat Milka serta merta meletakkan nampan berisi piring kotor ke meja terdekat dan berusaha melerai mereka.

"Jadi wanita nggak mikir?! Gimana kalau suami kamu yang digoda hah?!"

"Bu!" seru Edelia berusaha melepaskan rambutnya. Tapi, tak bisa.

Restoran seketika menjadi gaduh karena keributan itu. Dari jauh, terlihat seorang pria paruh baya memasukkan kunci mobil ke dalam saku celananya. Melihat keributan itu sontak ia berlari.

"Mama..."

Bu Astuti menoleh melihat pada suaminya yang datang. "Oh! Pantas kamu mau ngajak aku makan di sini! Ternyata mau ketemu dengan wanita jalang ini!"

Suasana menjadi semakin tidak terkendali. Terutama karena keributan itu jelas mengganggu kenyamanan pelanggan lainnya.

"Bu, saya mohon lepaskan saya," lirih Edelia sambil menahan sakit di kepalanya.

"Saya lepaskan biar kamu bisa menggoda suami saya, heh?!"

Suami Bu Astuti, Pak Hendri tampak berusaha menenangkan istrinya. Berulang kali membujuk, tapi hanya berbuah bentakan dari wanita itu.

"Berani kamu bela wanita murahan ini ya!"

Pak Hendri meneguk ludahnya. "Ma, kita ini ditonton orang-orang!"

"Biar!" bentak Bu Astuti. "Biar semua orang tau bagaimana wujud asli wanita pelacur ini!"

Edelia meringis. Milka yang mencoba membantunya tak bisa berbuat apa-apa. Ketika petugas keamanan datang, pria-pria bertubuh tegap itu dengan sigap melerai mereka.

Bu Astuti menatap Edelia dengan tatapan beringas. Sedang Edelia berusaha menenangkan dirinya.

"Saya sekalipun nggak pernah menggoda Bapak, Bu," kata Edelia dengan penuh penekanan. "Saya nggak pernah menggoda suamia siapa pun."

Bu Astuti bersidekap. Mendengus kasar padanya.

"Maaf. Ini ada apa?"

Bu Astuti menoleh. Mendapati seorang pria dengan pakaian rapi menghampiri mereka. Cukup jelas bagi wanita itu bahwa pria yang baru datang itu memiliki posisi penting. "Kamu siapa?"

"Saya Pak Gunawan, manajer di sini." Dengan bermaksud menjaga sopan santun, Pak Gunawan mengulurkan tangan yang dibalas jabatan singkat oleh Pak Hendri dan istrinya.

"Oh! Bagus! Manajer di sini," kata Bu Astuti. "Saya bilangin ya, Pak. Kalau mencari pegawai itu yang benar. Jangan wanita nakal seperti ini yang diterima!"

Pak Gunawan melirik Edelia. Wanita itu tampak menundukkan wajahnya. Antara malu dan sedih karena kejadian itu. Terutama ketika ia menyadari, bahwa sedari tadi ternyata Tim Dapur sudah berdiri di sekitar mereka dan membantu untuk menghentikan keributan itu. Bisik-bisik yang terdengar membuat hati Edelia terasa bagai ditimpa batu ribuan ton beratnya. Membuat wanita itu sesak dan tak bisa berbuat apa-apa.

"Ma," bujuk Pak Hendri. "Sudah dong, Ma. Apa nggak malu diliat orang-orang?"

"Kamu nggak malu belain wanita lain ketimbang istri sendiri?!"

"Ehm..." Pak Gunawan mendehem. "Bapak, Ibu. Ini nggak enak dengan tamu lainnya. Bagaimana kalau kita bicara di kantor saya saja?"

"Bicara?" Bu Astuti mengangkat tangan dan mendorong kepala Edelia dengan satu jarinya. "Saya nggak butuh bicara apa-apa. Yang penting wanita pelacur ini harus dipecat!"

"Tapi, Bu. Memecat karyawan tidak semudah itu, apalagi karena hanya urusan pribadi," ujar Pak Gunawan dengan nada sopan. "Masalah Bapak, Ibu, dan Edelia mungkin bisa dibicarakan di kantor saya. Mari."

"Oh... Bapak juga sudah make dia?"

Seketika saja wajah Edelia terangkat. "Ibu!" serunya marah. "Saya sudah berusaha mengalah, tapi mengapa ibu selalu mengatai saya yang nggak-nggak?"

"Kamu berani ya?!"

Bentakan itu terdengar begitu menggelegar. Tapi, belum terlalu menggelegar dibandingkan dengan suara tamparan yang terdengar sedetik kemudian yang menghantam pipi kiri Edelia. Tamparan itu sangat kuat hingga orang-orang terperanjat tak percaya.

Dunia sontak terasa bagai berputar-putar dalam pandangan Edelia. Tubuhnya ambruk seketika ke lantai. Jeritan panik terdengar. Dan di saat itu Pak Hendri yang merasa bersalah dengan cepat berusaha meraih tubuh Edelia.

Edelia merasakan kedua tangannya dipegang dengan begitu erat. Ketika ia membuka mata dengan pandangan yang berkunang-kunang, di saat itu pula kengerian membayang di benaknya.

Lampu kuning restoran yang menyajikan suasana temaram, genggaman erat di kedua tangannya, dan pandangannya yang kabur karena tamparan, seketika bergabung dengan cepat membuat ketakutan wanita itu memuncak.

Edelia menarik tangannya dengan kuat. Berusaha merayap menjauh dari sana dengan napas terengah-engah. Kakinya menendang-nendang dengan gerakan acak. Tapi, ia justru merasakan pergelangan kakinya yang kemudian dipegang. Hingga membuat ia berteriak. Anehnya, ia berteriak seraya terisak.

"Lepas! Aku mohon lepaskan aku! Lepaskan aku!"

*

tbc...

sampai  sejauh ini, sudah ada yang bisa menebak part selanjutnya akan seperti apa? 😶😶😶

aku butuh tenaga buat ngetik part lanjutannya... juga butuh cemilan biar kuat lahir dan batin... 😦😦😦

Pkl 23.40 WIB...

Bengkulu, 2020.07.07...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro