Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kenyataan Yang Tak Diketahui

Selamat weekend, Guys... 👋🏻👋🏻👋🏻

aduh... di tempat aku sekarang ini panas banget... sumpah deh... berasa kayak Matahari lagi diskon... 😂😂😂

oh ya... btw. selamat bergabung buat yang baru baca cerita ini, semoga kalian suka. ehm..., yang baru gabung, kalian udah baca 'Daddysitter' kan? 😎😎😎

selanjutnya, aku mohon maaf kalau ada yang merasa cerita ini lama update dan partnya pendek. aku bukannya mau membela diri, tapi aku belum nemu cerita on going lainnya yang sering update kayak gini. hampir tiap hari dan setiap partnya lebih dari 1000 kata. terutama untuk tulisan yang minim typo dan penulisannya rapi. ini bukan kayak aku yang mendadak sombong atau gimana ya, tapi please... aku bukan pengangguran 100%. ngetik dan nyari ide ga kayak bersihin kandang ayam... kalau kalian ga bisa menghargai usaha aku, gapapa kok aku kehilangan satu reader. silakan tinggalkan lapak ini. karena aku udah berusaha sekuat aku loh.

jadi, mohon maaf. aku sebenarnya ga suka marah-marah. tapi, aku tu nunggu. kalau YBS tidak ngeh juga, mungkin akan aku blokir. daripada cerita ini yang aku tarik dan full aku terbitkan di kwikku, mending blokir aja ybs.

maaf ya kalau openingnya kayak gini, tapi beneran udah aku pendam dari kapan hari. cobalah komen itu yang menyemangati, bukan yang justru membuat jatuh. kalau ga bisa komen yang menyemangati, lebih baik diam. aku pikir tulisan aku selama ini bisa bermakna buat yang baca, ternyata ada juga yang baca tapi pesan-pesannya ga diambil...

udah ah... jadi, kayaknya part ini bukan cuma aku yang ngamuk, tapi juga Kenan. penasaran? selamat menikmati, Guys... 🤣🤣🤣

===========================================================================

"Minggu besok, Jack," kata Kenan seraya men-dribble bola. "Lawan kami musuh bebuyutan kami loh." Ia menyelesaikan perkataannya dan menendang bola pada Jack.

Jack menyambutnya dengan dadanya, lalu bola jatuh ke kaki. Bergantian, bola itu berpindah-pindah dari kaki kiri dan kaki kanannya. Sesekali juga di kepalanya.

"Ehm... rekor kemenangan kalian gimana?"

"Dalam lima kali pertemuan sih mereka yang unggul. Tapi, mereka itu licik banget."

Jack terkekeh. "Tipikal cowok kalau nggak mau mengakui kekalahan," celetuk Jack lalu mengembalikan bola pada Kenan.

"Sembarangan aja!" tukas Kenan menyambut bola itu dengan dahinya. "Kamu nonton Minggu besok?"

"Bukannya Mama bilang kamu nggak boleh deket-deket sama aku ya?" tanya Jack geli. Mau bagaimanapun juga, ketika membahas soal pernikahan dengan wanita itu, mereka telah mempertimbangkan Kenan. Memberitahu bujang kecil itu pasti akan menjadi hal yang tak mudah.

Kenan menyeringai. "Iya juga sih," katanya kemudian seraya berhenti men-dribble dan menangkap bola itu.

Di langit, matahari terlihat semakin membesar dengan warna kejinggaan yang melembut. Pertanda bahwa ia akan beristirahat dalam waktu dekat, berganti waktu dengan Sang Malam.

Jack mengikuti Kenan yang beranjak ke pinggir lapangan.

"Tapi, sebenarnya pasti aku tambah semangat kalau kamu datang nonton," kata Kenan dan duduk di atas bola.

Jack berkacak pinggang dan mengatur napasnya. Sedikit menuruni masker yang menutupi hidungnya dan menarik napas dalam-dalam. Ia terkekeh.

"Tergantung pertandingannya sih. Kalau setimpal dengan kemarahan Mama, mungkin bakal aku pertimbangkan," kata Jack lucu. "Aku bisa ngumpet-ngumpet gitu. Hahahaha."

Kenan tergelak. "Pertandingan besok itu pasti seru. Kayak yang aku bilang, kami musuh bebuyutan."

"Oh. Ternyata klub bola SD juga ada musuh bebuyutan ya?" goda Jack.

"Lebih dari musuh bebuyutan kali," tukas Kenan. Tangannya tampak memetik sebatang rumput di tanah, lalu menyobek-nyobeknya menjadi helaian-helaian kecil. "Pokoknya kalau Rinjani ketemu dengan Danau, itu pasti heboh." Tangan Kenan menunjuk. "Orang klub Danau tempatnya ada di simpang lampu merah arah ke Pasar Panorama itu loh, Jack."

Mata Jack membesar dan menyadari bahwa jarak antara dua klub itu tidak lebih dari dua kilometer. Jarak yang begitu dekat. "Oalah," serunya. "Berarti ini bisa dibilang semacam derby ya?"

Kenan mengangguk. "Bener banget. Semacam derby."

"I see... Pantas bakal heboh," komentar Jack. "Pertandingan derby memang memiliki atmosfer tersendiri sih. Itu lebih ke pertandingan gengsi."

"Setuju! Kami harus membuktikan siapa penguasa di Kelurahan Jembatan Kecil."

Perkataan Kenan benar, tapi Jack tertawa. "Ini berasa kayak derby skala kecil. Hahaha."

Kenan menyeringai.

"Kalau di luar, Ken, derby itu menentukan penguasa kota. Kalau yang ini? Menentukan penguasa kelurahan."

"Hahahaha." Akhirnya Kenan juga tertawa. "Kamu suka derby mana, Jack?"

"Ehm..." Jack mengusap dagunya yang tertutup masker dan duduk di hadapan Kenan. "Karena aku tergolong anak lama, aku pastinya suka derby Della Capitale dong," katanya tersenyum. "AS Roma dan Lazio di Liga Italia."

Kenan mengangguk-angguk. "Aku cuma pernah dengar namanya sih. Nggak pernah nonton langsung. Cuma sesekali lihat beritanya di berita pagi."

"Yaaah... anak zaman sekarang kan emang jarang yang akrab dengan Liga Italia, lebih cenderung ke Premier dan La Liga. Yang suka dengan Liga Italia kebanyakan memang anak lama, termasuk aku."

Kenan kembali mengangguk-angguk.

"Lagipula, derby Della Capitale tuh bukan cuma derby gengsi biasa sih ya. Karena sejarah kedua klub yang dari awal emang udah sengketa makanya pertandingannya selalu lebih intens."

"Rekornya gimana?"

Mata Jack menyipit ketika ia menyeringai. "Sejauh ini Roma yang unggul. Selisih sekitar dua puluhan kemenangan mungkin."

"Oh!" Kenan menunjuk Jack. "Aku tau! Kamu fans Roma."

Jack tergelak. "Nggak usah kencang-kencang ngomongnya. Roma udah lama puasa juara. Hahahaha."

"Hahahaha. Terus kenapa masih ngefans?"

"Ehm..." Jack tersenyum seraya ikut kejahilan Kenan yang menyobek-nyobek rumput di lapangan. "Gimana ya ngomongnya? Jawaban aku pasti sama kayak mayoritas Romanisti[9]," katanya. "Karena dari awal aku udah kepincut sama Totti."

"Oh, aku tau. Francesco Totti kan?" tanya Kenan yang langsung dijawab anggukan oleh Jack. "Aku pernah sesekali ngebaca beritanya."

"Iya, Francesco Totti. Pemain asli Roma yang sampai pensiun pun cuma bermain untuk AS Roma. Nggak tau deh berapa banyak tawaran klub yang sudah ia tolak sepanjang karir dia," kata Jack. "Tapi, nggak cuma itu sih yang jadi daya tarik. Kemaren juga ada pemain berdarah Indonesia yang jadi pemain inti AS Roma."

Mata Kenan membesar. "Oh ya?"

Jack mengangguk. "Ehm... orang Batak lebih tepatnya. Nama pemain itu Radja Nainggolan."

"Wah!" seru Jack. "Hebat."

"Sebenarnya sih dia pemain dari negara Belgia, tapi karena bapaknya orang Indonesia dan kebetulan orang Batak ya jadi otomatis dong dia berdarah Indonesia. Berasa bangga nggak sih ngebawa nama Indonesia di pertandingan dunia?" Jack menatap Kenan yang terlihat begitu semangat. "Seenggaknya itu membuktikan kalau darah Indonesia juga bisa jadi pemain internasional kan?"

Kenan mengangguk.

"Tapi, memang sih. Nggak bisa dielak. Dari sekian banyak alasan jadi Romanisti, mungkin 90% fans bakal ngomong kalau mereka jadi Romanisti karena Totti." Jack tersenyum dan kembali melanjutkan perkataannya.

Menahan kedua sikunya di atas lutut, Kenan mendengarkan Jack bicara.

"Soalnya gimana ya? Roma dan Totti itu kayak yang bener-bener jadi satu kesatuan. Bahkan saking melekatnya, ia pun dapat julukan sendiri," lanjut Jack. "Julukannya Pangeran Roma. Ehm... Pokoknya itu idola aku sepanjang masa deh. Walau banyak yang bilang antara setia dan bodoh, dia ada di antaranya, tapi menurut aku dia pemain yang bener-bener menginspirasi."

Kenan manggut-manggut seraya melihat entah mengapa sorot mata Jack terlihat meredup. Pria itu terlihat menarik napas panjang dan melembar sobekan rumput terakhir dari tangannya.

"Ehm... ngomong-ngomong," kata Kenan kemudian setelah beberapa saat dilihatnya Jack mendadak terdiam dan tak ada tanda-tanda akan bicara. "Kalau pemain yang menginspirasi aku, kamu tau nggak?"

Jack mengangkat kepalanya. "Siapa?" tanya pria itu. "Messi? Ronaldo? Salah? Neymar? Felix? Becker?"

Kenan menggeleng.

"Terus?"

"Kamu."

*

Edelia bertopang dagu saat melihat Kenan menikmati sarapan mie tumis telur ceploknya dengan lahap. Walau putranya itu terlihat sesekali mengernyit ketika harus mengunyah sawi pahit yang Edelia masukkan dalam tumisan itu, tapi Kenan terlihat lahap seperti biasanya. Dan melihat wajah Kenan yang santai itu membuat Edelia dengan harap-harap cemas berusaha untuk bicara padanya.

"Ken..."

"Ehm?" Kenan mendehem seraya meneguk minumnya. "Apa, Ma?"

Edelia menarik napas dalam-dalam. Menyadari bahwa mengatakan maksud hatinya tidak akan menjadi hal yang mudah. Tapi, ia sudah berjanji pada Jack. Akan berusaha secepatnya menanyakan pada Kenan perihal hubungan mereka berdua.

"Mama mau nanya..."

"Nanya apa, Ma?"

Edelia kembali menarik napas dalam-dalam. Bisa ia rasakan bagaimana tangannya yang bergetar.

"Ehm..." Edelia mendehem. "Selama ini kita hidup berdua..." Edelia meneguk ludah ketika Kenan mengangkat wajahnya.

Kenan menatap lurus pada kedua mata ibunya. "Terus?"

"Terus..." Menenangkan diri, Edelia berkata melanjutkan. "Kamu ngerasa sepi nggak?"

"Sepi?" tanya Kenan bingung.

Edelia mendadak kebingungan. Sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan pada Kenan.

"Ya... sepi," ujar Edelia kembali berusaha. "Kita hidup cuma berdua. Bahkan kalau Mama kerja ya kamu jadi sendirian di rumah. Nggak ada siapa-siapa. Nggak ada keluarga yang lain."

Kenan meletakkan sendoknya. Seolah sedang merenungkan perkataan Edelia. "Nggak ada keluarga yang lain?"

Glek.

Edelia berusaha untuk tetap tenang.

"Maksud Mama apa?"

"Ehm... kalau ada keluarga lain, mungkin rasanya lebih menyenangkan." Edelia mengembuskan napas dalam-dalam. "Ehm... Mama cuma kepikiran buat..." Edelia tak bisa meneruskan perkataannya.

"Ma," panggil Kenan. Memaksa ibunya untuk menatap pada dirinya. "Mama nggak punya pacar kan?"

Mata Edelia mengerjap.

Melihat itu mata Kenan membesar. "Mama punya pacar?"

Syok. Edelia sempat terkesiap mendengar suara Kenan yang bertanya dengan nada lebih tinggi dari biasanya. Secepat mungkin ia beranjak ke sebelah Kenan.

Edelia menggeleng. "Mama nggak punya pacar."

"Terus? Apa maksud Mama ngomong nggak ada keluarga yang lain? Kalau ada keluarga lain rasanya akan lebih menyenangkan?" tanya Kenan. "Mama mau..." Kenan menatap Edelia lekat-lekat. "Menikah?"

Usapan tangan Edelia di punggung Kenan terhenti seketika saat satu kata itu Kenan ucapkan. Menyadari itu, Kenan serta merta menatap ibunya dengan mata yang membesar.

"Mama mau menikah?" ulang Kenan bertanya. "Iya?"

Edelia menarik napas dalam-dalam.

Kenan seketika berdiri dan diikuti oleh Edelia yang panik.

"Ken... biar Mama ngomong dulu," pinta Edelia berusaha untuk meraih Kenan.

Kenan mengelak. Mata bujang kecil itu tak berkedip menatap ibunya. Wajahnya menyiratkan raut tak percaya, bingung, dan ketakutan dalam waktu yang bersamaan. "Mama janji nggak bakal ninggalin aku, Ma. Kalau Mama menikah, aku gimana?!"

Kedua tangan Edelia berusaha menjangkau Kenan. "Iya, Sayang. Dengerin Mama dulu," ujar Edelia berusaha menenangkan Kenan. "Dia pria yang baik. Dia nggak bakal ngebuat kita pisah, jadi Mama nggak bakal ninggalin kamu. Kita bertiga bakal hidup sama-sama."

Mata Kenan menatap tanpa kedip. "Pria yang baik nggak bakal ngerebut Mama dari anaknya! Dan lihat! Bahkan sekarang Mama sudah lebih membela dia daripada aku! Anak kandung Mama sendiri! Mama lebih percaya cowok asing yang baru Mama kenal dibandingkan aku? Darah daging Mama sendiri?" Kenan menggeleng dengan raut sakit. "Sekarang dia nggak bakal misahkan kita. Nanti? Dia bakal nyingkirkan aku dari Mama!" bentak Kenan menepis tangan Edelia yang kembali berusaha meraihnya. Sedetik kemudian, sorot mata Kenan tampak penuh kemarahan. "Kenapa?" desis Kenan bertanya. "Mama udah nggak mau ngurusin aku lagi? Iya? Mama udah capek hidup dengan aku? Anak haram ini?!"

"Ken!" bentak Edelia bergetar. "Tega kamu ngomong gitu ke Mama?"

"Apa aku nggak cukup buat hidup Mama menyenangkan? Mama merasa hidup dengan aku itu menyedihkan?! Iya kan? Karena aku hidup Mama jadi seperti ini!"

Edelia menggeleng berulang kali.

Kenan mendengus. "Aku udah janji bakal membahagiakan Mama! Tapi, kenapa Mama lebih percaya cowok itu ketimbang aku? Tanpa dia, aku bisa buat Mama bahagia!" seru Kenan. Matanya tampak merah dan berkaca-kaca ketika kembali berkata. "Mama mau ninggalin aku kan? Mama beneran udah bosan kan hidup seperti ini karena harus memiliki anak kayak aku?"

Edelia menggeleng. "Nggak, Ken, nggak. Mama sayang kamu, Ken."

"Kalau sayang kenapa ingin memasukkan orang asing dalam kehidupan kita?!" balas Kenan dengan napas menderu. "Mama tau kan? Cuma Mama yang aku punya."

Edelia menggigit bibirnya. Melihat bagaimana satu titik air mata jatuh dari mata Kenan.

"Aku sudah bilang, Ma. Kalau Mama pergi, aku nggak punya siapa-siapa!"

Kenan meneriakkan itu dan dengan segera meraih tas sekolahnya. Secepat mungkin, ia memasang sepatu dengan asal dan langsung berlari menuju sekolah. Meninggalkan Edelia yang terduduk lesu di lantai. Kepalanya tertunduk di saat ia menarik napas dalam-dalam. Air matanya pun turut jatuh.

*

Jack untuk beberapa saat hanya terdiam melihat bagaimana kepala Edelia menunduk dan menggeleng pelan. Pria itu terlihat menarik napas dalam-dalam.

"Maaf, Jack," lirih Edelia lagi. "Sepertinya nggak bisa."

Jack meraih tangan Edelia dan meremasnya pelan. Saat ini mereka tengah berbicara mengenai kemungkinan Jack akan melamar dalam waktu dekat. Sebagai syarat, Edelia meminta waktu agar ia bisa bertanya pada Kenan. Tapi, yang terjadi? Putranya itu ternyata tidak menyetujui keinginan Edelia.

Napas Jack berhembus panjang. Mencoba mengerti bagaimana posisi Kenan. "Aku tau," kata Jack. "Pasti nggak mudah buat Kenan menerima."

Wajah Edelia terangkat dan menatap mata Jack. Pria itu tersenyum lembut seraya masih bertahan meremas-remas tangan Edelia. Menenangkan wanita itu.

"Tapi," lanjut Jack. "Apa kamu sudah bilang ke Kenan kalau pria yang ingin menikahi kamu adalah aku?"

Edelia tertegun.

"Belum kan?" tanya Jack sedikit menyeringai.

Lalu, Edelia menggeleng.

"Ck." Jack berdecak. "Ini masalahnya," kata Jack. "Seharusnya kamu ngomong ke dia siapa pria yang ingin menikahi kamu."

Mata Edelia mencari-cari dalam mata Jack. "Apa dia bakal menerima kalau tau pria itu adalah kamu?"

Kali ini tangan Jack menepuk-nepuk lembut tangan Edelia di genggamannya. "Mungkin," jawab pria itu lembut.

Edelia terdiam.

Jack lantas menarik perlahan tubuh Edelia ke sisi tubuhnya. Merasakan kepala Edelia bersandar di pundaknya.

"Tenang," ujar Jack setengah berbisik. "Aku nggak bohong saat mengatakan kalau aku benar-benar siap menerima kamu dan Kenan." Ia merasakan bagaimana remasan tangannya pada Edelia terbalaskan. "Aku nggak mungkin memisahkan kamu dan Kenan. Nggak bakal."

Edelia mengangguk.

"Sore ini," lanjut Jack. "Biar aku bicara dengan Kenan."

*

Suasana hati Kenan jelas sekali buruk hari itu. Siapa pun bisa melihatnya. Bahkan anak-anak yang sedang berlatih dengan dirinya untuk mempersiapkan pertandingan besok seolah kompak tak ada yang menegur dirinya. Ya, bagaimana pun juga, mereka cukup mengenal Kenan. Bujang kecil periang itu sangat menakutkan bila sedang marah, jadi mereka memilih untuk tidak mencari masalah. Membiarkan Kenan untuk berlatih seorang diri.

Dan sore itu, ketika pelatihan klub mereka selesai, Kenan mendapati satu sosok pria dewasa yang mengenakan masker tampak berdiri di pinggir lapangan. Sekilas melihat Kenan tau siapa pria itu. Jack.

Kenan menghampiri Jack seraya memeluk bola di depan perutnya. Ia menghampiri pria itu dengan wajah lesu.

Jack menyambut kedatangan Kenan dan menepuk pundaknya sekilas. Ia dapat melihat bagaimana bujang kecil itu terlihat begitu tidak bersemangat.

"Kamu sakit, Ken?" tanya Jack. "Keliatan lesu banget."

Kenan mengembuskan napas panjang. Ia memilih bersandar pada satu pohon rindang di sana. Seolah ia sudah tak memiliki tenaga untuk berdiri saja.

Ia menggeleng. "Aku nggak sakit," jawabnya. "Aku cuma lagi bad mood aja."

Jack paham. Maka mengingat besok adalah pertandingan besar untuk Kenan, akhirnya Jack memilih untuk menunda dulu menjelaskan semua pada Kenan. Ia butuh ketenangan sebelum bertanding.

Tapi, niat baik Jack seolah ditentang oleh takdir. Tepat ketika Kenan berkata.

"Mama tadi pagi ngomong kalau dia mau menikah."

Tenggorokan Jack seketika tercekat. Terdiam seraya mempelajari raut wajah Kenan. Air mukanya menyiratkan kesedihan, ketakutan, bahkan kemarahan.

"Padahal Mama janji nggak bakal ninggalin aku," tukas Kenan.

Jack menarik napas dalam-dalam.

Kenan mendengus. "Tapi, sekarang? Mama mau ninggalin aku sama cowok brengsek itu."

Mata Jack seketika melotot, walau Kenan tak melihatnya.

"Aku tau," lanjut Kenan. "Mama udah nggak sayang lagi sama aku, Jack. Mama udah bosan hidup susah gara-gara aku."

Dan kali ini Jack merasa jantungnya berhenti berdetak.

"Ken...," panggilnya pelan. "Kamu nggak tau sesayang apa Mama sama kamu?" Jack bertanya dengan sorot tegas di matanya. "Kamu tau? Apa pun yang akan dipilih oleh Mama, kamu selalu menjadi hal pertama yang dia pikirkan. Dia nggak mungkin bosan hidup dengan kamu. Anaknya yang paling ia sayang."

Kenan menyeringai. "Kamu nggak ada di posisi aku, Jack! Aku bertaruh. Siapa pun pria itu, dia pasti awalnya bermanis mulut untuk merayu Mama."

Deg!

"Lalu kalau mereka sudah menikah, lama-lama aku akan disingkirkan! Dan kalau mereka punya anak, aku bakal dilupakan!"

Jack mengerjap. Apa aku seperti itu?

"Nggak bakal ada cowok yang mau menerima kami, Jack. Nggak bakal ada." Kenan berkata dengan getir. "Cowok itu cuma menginginkan Mama."

"Nggak!"

Kenan mengangkat wajahnya. Menatap Jack bingung. "Apa yang nggak?"

Jack melangkah sekali. Mengikis jarak antara mereka berdua. "Pria yang menginginkan Mama kamu untuk menjadi istrinya," lirih Jack dengan penuh penekanan. "Dia nggak hanya menginginkan Mama kamu. Tapi, juga kamu. Dia nggak hanya ingin hidup bersama dengan Mama kamu, tapi juga kamu. Dan dia nggak pernah berpikir sedikit pun untuk memisahkan kalian berdua. Bahkan, bila nanti ada anak dari pernikahan itu, pria ini akan memastikan kalau anak itu memiliki seorang kakak yang sayang padanya."

Kenan tertegun. Menatap lurus pada mata Jack yang sama kelamnya dengan miliknya.

"Dia akan memastikan, berusaha sekuat yang ia bisa untuk membahagiakan kalian berdua."

Tenggorokan Kenan tampak naik turun dengan gerakan yang kasar. Matanya mendadak memerah. Wajahnya menegang. Dan tanpa aba-aba, langsung saja Kenan mendorong tubuh Jack.

Jack yang kaget dan tak siap langsung terjungkang ke belakang. Seketika hal itu membuat semua orang yang masih berada di lapangan tampak menoleh kompak pada mereka. Secepat mungkin Jack mengangkat satu tangannya, mengindikasikan pada orang-orang di sana kalau dia baik-baik saja.

Kenan melangkah mendekati Jack.

"Jadi, gara-gara ini kamu baik sama aku?" tanya Kenan mendesis. "Aku nggak bakal ngasih Mama aku ke kamu, Jack."

Jack panik. Cepat berdiri dan berusaha menahan Kenan. "Ken, dengarkan dulu. Aku bukannya ingin memisahkan kamu dan Mama."

"Stop manggil Mama aku dengan panggilan Mama!" desis Kenan. "Kamu nggak mikir yang ingin kamu miliki itu wanita yang udah punya anak?!"

"Dengar, Ken. Aku sama sekali nggak bakal memisahkan kamu dari Edel. Aku cuma ingin kita bisa hidup bersama. Aku benar-benar menginginkan kamu dan Edel."

Kenan mendengus. Mengangkat wajah dan menatap Jack dengan penuh kemarahan. "Yang kamu inginkan cuma Mama, Jack. Mana mungkin kamu mau punya anak haram kayak aku!"

Jack tertegun. Matanya menatap Kenan dengan sorot kaget. Dan melihat itu Kenan menyeringai.

"Kenapa? Kamu baru tau?" tanya Kenan mengejek. "Aku kasih tau kamu, Jack. Mama aku nggak pernah menikah! Aku ini anak haram! Kamu mau punya anak haram?"

"Ken..."

Kenan menepis tangan Jack. Ia menunjuk tepat di hidung Jack. "Aku peringatkan Jack. Jangan pernah mimpi kamu bisa memiliki Mama." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terutama sekarang. Pikirkan lagi kalau kamu ingin menerima anak haram ini!"

Selesai mengatakan itu, Kenan segera berlalu meninggalkan Jack yang tertegun seorang diri di pinggir lapangan. Untuk beberapa saat, ia hanya termenung dengan pikirannya sendiri. Ketika ia sedikit menoleh. Dari tempatnya berdiri, ia memandang jauh ke arah bedengan Edelia. Tempat kecil di mana wanita yang ia cintai tinggal bersama anaknya.

Angin berhembus.

Perkataan Kenan terngiang-ngiang di benaknya.

"Mama aku nggak pernah menikah! Aku ini anak haram!"

*

9. Julukan untuk fans pria AS Roma.

tbc...

hayo loh hayo... gimana guys? mulai agak keluar masalah kita... hahahaha... persiapkan batin ya untuk menghadapi klimaks yang akan membayang. 😂😂😂

Pkl 13.13 WIB...

Bengkulu, 2020.06.28...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro