Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kenyataan Yang Baru Disadari

selamat malam, Guys... 👋🏻👋🏻👋🏻

jadi, aku nggak tau gimana ngomongnya. mungkin menjelang ending, kalian akan sempat melupakan bahwa "Ehm... Mamma Mia" ini di awal-awal selalu buat kalian ketawa loh... aku harap kalian bisa menabahkan hati ya... 😶😶😶

ketika part ini aku tulis, aku bertanya-tanya: apa aku sanggup buat nulis part selanjutnya? 😫😫😫

tapi, aku harap kalian tetap bersedia membaca cerita ini sampai akhir... 😶😶😶

===========================================================================

Jack tersentak dari tidur ayamnya. Ia mengerjap-ngerjap.

Astaga!

Ia mengambil ponsel yang terselip di bawah tubuhnya. Tepat di dekat ketiaknya. Tak heran bila getarnya sukses membuat pria itu tersentak bangun seketika.

Seraya mendesah, ia meraih ponselnya. Menatap sekilas ke jam digital di sana.

Gila!

Aku ketiduran jam segini?

Jack mengusap wajahnya. Mengerutkan dahi ketika membaca kontak pemanggil di layarnya.

Vindy?

Ngapain ini cewek nelepon aku?

Mendehem sejenak, berusaha untuk mengusir serak khas orang baru bangun tidur, Jack mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

"Bos! Buruan ke hotel sekarang."

"Eh?" Jack terbengong. "Kamu mendadak nelepon saya dan nyuruh saya ke hotel?"

"Ini gawat, Bos. Barusan kasir resto nelepon ke Pak Gun. Terus Pak Gun langsung ke dapur buat ngajak Chef Junan ke resto."

Perkataan Vindy sukses membuat Jack sadar sepenuhnya. Duduk dengan lebih tegap. "Ada masalah apa?"

Terdengar helaan napas panjang Vindy di seberang sana. "Sepertinya ada pelanggan yang ribut dengan Edel, Bos. Dan itu kayaknya keributan yang besar."

Tak menghiraukan sopan santun, langsung saja Jack memutuskan panggilan itu. Secepat kilat, mengabaikan kerut-kerut di celana panjang yang ia kenakan, ia menyambar jaketnya. Langsung bergegas turun.

Untuk pertama kalinya, sepanjang tinggal di Bengkulu, Jack mensyukuri kota kecil itu yang tak sehiruk pikuk kota-kota besar Pulau Jawa. Jalanan terasa lapang, terutama ketika malam hari. Mempermudah dirinya ketika harus menginjak gas dengan dada berdebar.

Tidak sampai sepuluh menit, mobil Jack kemudian terparkir asal di pelataran resto. Bahkan ketika ia baru keluar dari mobil ia bisa mendengar bentakan-bentakan di sana.

"Kamu berani ya?!"

Suara bentakan itu membuat Jack secepat mungkin membanting pintu mobilnya. Ketika ia mendengar suara tamparan, darah Jack terasa mendidih hingga ke ubun-ubun. Ia sudah siap menaiki anak tangga resto tersebut, tapi terhenti ketika mendengar isakan.

"Lepas! Aku mohon lepaskan aku! Lepaskan aku!"

Langkah Jack terhenti. Melalui celah-celah badan orang yang berdiri mengelilingi keributan itu, Jack bisa melihat bagaimana Edelia yang terus merayap berusaha menjauh seraya terus terisak.

"Aku mohon. Lepaskan aku."

Dan seakan tak cukup membuat pria itu terhenyak di tempatnya berdiri, ia mendengar bagaimana Edelia menangis mengiba.

"Tolong! Tolong! Tolong!"

Jeritan penuh ratapan itu membuat Jack merasa kehilangan nyawanya. Entah bagaimana, tapi di saat itulah otaknya menampilkan beberapa bayangan di benaknya. Ketika untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Edelia. Di malam ia mengira bahwa Edelia akan bunuh diri, tapi wanita itu justru berkata sebaliknya.

"Dikira mati itu enak apa? Ya kali kalau mati itu enak, nggak bakal orang mati-matian berobat biar sembuh dari sakitnya! Kalau mayat di kuburan bisa ngomong, mereka semua pasti mau hidup lagi! Nggak tau apa dalam kubur itu gelap? Ini masih dikasih kesempatan buat ngeliat matahari terbit malah sok-sok mau bunuh diri! Banyak orang yang nyaris mati aja masih berjuang untuk hidup!"

"Suicide? Hah! Itu adalah akhir hidup yang akan penuh dengan penyesalan! Mana milih mau bunuh diri di malam Valentine lagi. Why don't you just think about tomorrow? Besok itu Valentine! Bukannya manfaatin hari besok untuk berkasih sayang with someone you love, eh malah mau bunuh diri."

"Oh, shit! Don't tell me that... Kamu mau bunuh diri gara-gara cowok?" Jack bergidik. "Idiiiih. Emang secakep apa sih cowok itu?"

"Sudah ngocehnya, Tuan?"

"Terima kasih banyak untuk ceramah panjang lebarnya, tapi aku nggak bakal bunuh diri!"

Jack tertegun mengingat perkataan Edelia malam itu. Apa itu artinya, dia semula memang berniat untuk bunuh diri?

Tubuh Jack seketika mendingin. Ketika ia teringat bagaimana lamarannya ditolak dan tanpa sadar kala itu ia menggenggam erat kedua pergelangan tangan Edelia. Hingga berakhir dengan gigitan di tangannya saat Edelia memucat dan berusaha kabur dari dirinya.

Dan bagaimana bisa seorang wanita yang memiliki anak berusia 12 tahun, tapi terasa kaku ketika dipeluk? Terasa tegang ketika dicium?

Jack merasa ada ratusan palu yang memukul jantungnya. Rasanya tidak mampu Jack katakan. Di hadapannya, wanita itu justru meronta-ronta ketika orang-orang berusaha untuk membantunya berdiri.

"Jangan sentuh aku! Kumohon. Tolong!"

Dibutuhkan lebih banyak kekuatan bagi seorang Jack untuk akhirnya mampu menggerakkan kembali kakinya. Melangkah perlahan. Membelah lautan manusia yang mengelilingi wanita yang ia cintai.

"Del..."

Suara Jack terdengar begitu lirih ketika memanggil nama wanita itu. Tapi, mungkin terdengar begitu jelas di telinga Edelia.

Edelia mengangkat wajahnya. Menampilkan wajah yang berurai air mata dengan penuh ketakutan dan keputusasaan.

"Jack..."

Seolah tak ada orang-orang di sana, Edelia merayap. Berusaha menjauhkan diri dari orang-orang. Ketika tangannya nyaris menyentuh kaki pria itu, Jack turun. Meraih Edelia.

"Jack, tolong aku. Aku mohon."

Untuk beberapa saat, dunia terasa hampa dalam pandangan Jack. Bagaimana bisa ia tetap bernapas ketika melihat Edelia dengan wajah mengenaskan seperti itu? Tak hanya air mata, tapi semua yang tersirat dari air wajahnya sudah lebih dari mampu untuk mencabik-cabik nyawa pria itu.

Berusaha untuk tetap bernapas, Jack meneguk ludahnya. Ia mengangguk. Dengan lembut memegang lengan atas Edelia. Takut untuk menyakiti wanita itu.

"Aku takut, Jack."

Mata Jack memanas. Merasakan bagaimana hatinya begitu sakit melihat penderitaan di mata Edelia. Hal yang tak pernah ia tunjukkan selama ini.

"Ada aku, ehm? Jangan takut. Ada aku."

Edelia meraup kaos yang dikenakan pria itu. "Jangan pergi, Jack. Tolong aku."

Jack berusaha untuk tetap kuat melihat Edelia. Ia mengangguk. Lantas, dengan pelan berusaha untuk membantu wanita itu berdiri.

Menangkup pipi Edelia yang basah, pria itu berkata lirih. "Kamu aman dengan aku, Del. Aku nggak bakal pergi."

Dengan kata-kata itu, seharusnya setiap orang akan tersenyum tenang, tapi sebaliknya. Edelia justru menangis.

"Aku nggak mau kehilangan Kenan. Aku nggak bisa membuang anak aku sendiri."

"Ssst... Nggak ada yang bakal misahkan kamu dengan Kenan. Selamanya dia milik kamu."

"Ta-Tapi..." Mata Edelia terlihat tak fokus menatap Jack. "Aku...a..."

Kedua mata Edelia tertutup. Tubuhnya terjatuh lemas dan dengan sigap Jack merengkuhnya.

Wanita itu pingsan.

Di detik selanjutnya, Edelia benar-benar berada dalam gendongan pria itu. Memandang sekitar sebelum ia beranjak, dengan tajam dan tanpa kata-kata itu menatap pada Bu Astuti dan suaminya. Pria itu tak mengatakan apa-apa, tapi semua tau apa sedalam apa amarah yang ditahan oleh Jack.

Melangkah sekali, Jack berkata pada Pak Gunawan.

"Saya serahkan semuanya sama Bapak. Urus semuanya sampai selesai."

Pak Gunawan mengangguk. Terlihat ketakutan melihat wajah Jack yang biasanya jenaka terlihat memerah karena marah.

Dan ketika Jack pergi bersama Edelia, Pak Gunawan menoleh pada Bu Astuti dan Pak Hendri.

"Sepertinya ini bisa dilaporkan sebagai tindak kekerasan."

Bu Astuti melotot. "Saya dilaporkan? Hah! Dia yang nyari masalah."

"Bukan! Ibu yang duluan mencari masalah. Saya saksinya. Edel sudah berusaha untuk menghindari ibu, tapi ibu yang terus mencaci maki dirinya!"

Semua mata menoleh. Menatap pada Milka yang di luar dugaan justru bersuara.

"Dia menggoda suami saya!"

"Ibu ada bukti?" balas Milka. "Apa saja yang membuktikan kalau Edelia yang menggoda suami ibu? Ada? Pesan di WA? Foto berdua?"

Bu Astuti meneguk ludahnya.

Di belakang Milka, terlihat Vindy maju seraya mengacungkan botol saosnya. "Bu, saya malah curiganya suami ibu yang menggoda Edelia, tapi justru ditolak Edel. Nyatanya nggak ada bukti kan yang ibu punya untuk menuduh Edel?"

Pak Hendri tampak meraih tangan Bu Astuti. Entah membisikkan apa di telinga istrinya itu. Yang pasti mereka berdua tampak tidak nyaman dengan keadaan sekarang.

"Kalian semuanya itu sudah berkomplot dengan wanita itu! Dan semua orang juga tau kalau wanita itu sudah menggoda Bos kalian!"

Keriuhan kembali terjadi. Tim keamanan berusaha untuk melerai. Tapi, beberapa pegawai lainnya malah terdengar bersuara.

"Kalau pun bukan Edel yang ibu tampar, Bos pasti akan tetap membela kami, Bu!" bentak Vindy seraya mengangkat tangannya.

Tapi, detik selanjutnya terlihat Bagas menangkap tangan Vindy. Merebut botol saos dari tangannya sebelum botol itu melayang ke kepala Bu Astuti. Vindy melotot, tapi tak lama. Ia lebih memilih untuk menggunakan mulutnya turut serta memaki sepasang suami istri itu.

Tim keamanan berupaya sangat keras untuk meredakan kekacauan. Terutama karena hal itu jelas mengganggu kenyamanan pelanggan lainnya. Tapi, entah perlu disyukuri atau tidak. Suasana ricuh itu mungkin justru dianggap tontonan oleh mereka. Dengan kamera ponsel yang bersiaga dalam mode video tentunya.

*

Jack dengan hati-hati membaringkan Edelia di sofa ruang kerjanya. Dengan cepat ia beranjak ke satu lemari di sana. Menarik selembar handuk bersih. Meringis, ia tidak menyangka kalau perlengkapan yang ia bawa tempo hari untuk antisipasi pulang tanpa pakaian justru akan berguna di situasi seperti ini.

Pelan-pelan Jack membersihkan wajah Edelia. Menggunakan air hangat yang ia ambil dari dispenser, Jack mengusap bersih kotoran-kotoran di tangan Edelia. Terlihat sepuluh kuku Edelia yang koyak di ujungnya ketika ia mencakar dan merayap tadi.

Berulang kali Jack menarik napas dalam-dalam. Ia yakin, tak ada kata-kata yang mampu untuk mengungkapkan betapa hancur hatinya saat ini.

Bukan!

Bukan karena ia menyadari wanita yang ia cintai adalah wanita yang kotor seperti yang orang-orang bilang. Tapi, karena ia tidak tau bahwa ada beban sebegitu besar yang wanita itu tanggung selama ini. Karena ia tidak ada di saat-saat Edelia terpuruk di hidupnya.

Tangan Jack merapikan anak-anak rambut Edelia yang berantakan. Lalu, meraih telapak tangannya. Mengusapnya dengan pelan. Hingga kemudian matanya membentur pemandangan ganjil di saku celana wanita itu.

Dan seperti yang Jack duga. Ia mendapati sebotol minyak kayu putih di sana.

Meneteskannya di ujung jari, Jack kemudian membawa jarinya ke depan lubang hidung Edelia. Beberapa saat kemudian, efeknya terlihat. Aromanya yang menyengat membuat wanita itu melenguh.

Jack dengan sigap meraih Edelia yang tampak menggeliat. "Del...?"

Perlahan, Edelia membuka mata. Beberapa saat pandangannya masih kabur. Tapi, ketika ia mendapati wajah Jack, ia seketika berseru. "Jack."

Pria itu tersenyum lembut. Mengangguk pelan. "Iya. Ini aku."

Gelisah, Edelia berusaha untuk bangkit duduk. Ia mengamati sekitar dan mendapati dirinya berada di ruang kerja Jack.

"Aku..." Ia meneguk ludahnya. "Tadi..."

"Tadi kamu pingsan," kata Jack. "Kamu istirahat aja dulu di sini ya?"

Napas Edelia terdengar kacau. Ia sendiri duduk dengan risau. Tampak merasa tak nyaman.

"Kamu minum dulu."

Edelia melihat segelas air hangat yang disodorkan Jack padanya. Dengan tangan gemetaran, Edelia meraih gelas itu. Meminumnya beberapa teguk.

Jack meletakkan kembali gelas ke atas meja. Ia mengusap punggung Edelia dengan lembut. "Sudah mendingan? Atau kita perlu ke dokter?"

Edelia mengusap-usap kedua telapak tangannya di atas pahanya. Mulutnya membuka dengan napas yang terengah-engah.

"Kamu nggak apa-apa kan, Del?" tanya Jack khawatir. "Apa kamu merasa sakit? Di mana?" Ia menelusuri tubuh Edelia. "Kita ke dokter sekarang ya?"

Edelia menggeleng. "A-Aku..."

"Ya?"

Edelia melarikan tatapannya ke arah yang berlawanan. Berusaha menghindari mata Jack. "Aku baik-baik saja."

Lalu, ia merasakan satu jemari Jack meraih dagunya. Membawa wajahnya untuk menghadap pada pria itu.

Jack mengangguk. "Aku tahu. Kamu baik-baik saja."

Mendengar perkataan itu, batin Edelia bergejolak. Wajahnya seketika berubah. Kembali menampilkan kesedihan yang membuat Jack panik.

"Kenapa?" Mata Jack mencari-cari dalam kornea Edelia. "Apa aku melakukan hal yang salah?"

Edelia menggeleng. Tangannya menepuk dadanya berulang kali. "Aku yang salah, Jack."

"Edel..."

"Harusnya aku jujur dari awal ke kamu."

Satu bulir air mata yang jatuh membuat Jack terdiam. Tak mampu bersuara.

"Kamu tau?" tanya Edelia dengan suara pilu. "Kamu adalah pria pertama yang memeluk aku. Yang mencium aku."

Jack meremas tangan Edelia yang bebas. Berusaha untuk tetap tersenyum. "Aku tau."

"Kamu tau?" tanya Edelia lagi. Kali ini matanya menatap hampa pada pria itu. "Kamu adalah satu-satunya pria yang mengatakan cinta ke aku."

Jack benar-benar merasa bagai langit runtuh dan menimpa dirinya. Rasanya nyaris mustahil untuk ia kemudian mengangguk. "Aku tau."

"Dan kamu tau?" Kali ini air mata benar-benar jatuh tak terbendungkan lagi membasahi wajah Edelia. Perkataannya kemudian membuat Jack merasa bahwa dirinya benar-benar tak bernyawa lagi. "Malam di mana kita bertemu pertama kali, saat itu aku memang ingin bunuh diri."

Jack menarik Edelia. Merengkuhnya erat dan merasakan isakan wanita itu di dadanya.

Edelia meraung di dada Jack. Meremas kaos yang pria itu kenakan, lalu memukul-mukul dada pria itu seraya bertanya pilu.

"Kenapa aku harus mengalami ini semua?"

*

tbc...

yang penasaran dengan masa lalu Edelia, part selanjutnya akan menjelaskan itu semua. dari kenapa ia bisa hamil di usia muda, mengapa ia tinggal sendiri, dan yang lain sebagainya...

jadi, gimana perasaan kalian di part ini?

Pkl 20.39 WIB...

Bengkulu, 2020.07.08...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro