Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kenyataan dan Keputusan

Menjelang tengah malam, Guys... 😪😪😪

makasih buat yang masih setia bersama cerita ini, terutama dengan gejolak cerita yang akhir-akhir menukik tajam. berbeda banget kan dengan awal-awal yang selalu membuat kita ketawa. tapi, itulah hidup... 🙄🙄🙄

jadi, di part ini silakan kalian menikmati dan meresapi. bahwa terkadang cinta itu memang butuh bukti... 😶😶😶

===========================================================================

"Mommy nggak bisa ngeliat kamu setiap Minggu viral dengan hal seperti ini, Jack," desah Ayuhdia. "Dua minggu berturut-turut, kamu sukses menjadi trending akibat video yang beredar."

Jack meraih gelasnya. Meminum isinya hingga tandas. "Mom...," lirih Jack lesu. "Bisa kita bicarakan ini nanti?"

"Nanti kapan, Jack?" tanya Ayuhdia geram. "Bukannya kamu selalu menghindari Mommy sekarang?"

"Aku bukannya menghindari Mommy."

"Tentu, kamu menghindari semuanya."

"Mom, aku cuma lagi mencari waktu yang tepat."

"Waktu yang tepat? Yang seperti apa?"

"Yang..."

Jack meneguk ludahnya. Tidak meneruskan perkataannya. Diam-diam ia melirik melalui ekor matanya. Melihat Michael yang dari tadi kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan bergantian seiring dengan perdebatan antara Ayuhdia dan Jack.

Bola mata Michael berputar dengan malas. Mengisyaratkan bahwa dirinya sedang dalam posisi netral saat itu. Tidak ingin memihak siapa pun di antara ibu dan anak tersebut.

"Kalau kamu nggak tau kapan waktu yang tepat itu," lanjut Ayuhdia. "Mommy yang akan membuatnya untuk kamu."

Dahi Jack berkerut. Memilih untuk tidak memikirkan perkataan Ayuhdia, Jack bangkit dari duduknya. "Makasih sarapannya, aku ke atas."

Ayuhdia melongo. Melihat kepergian Jack membuat ia membuang napas panjang. Michael dengan cepat bangkit, memberi Ayuhdia minum seraya mengelus punggung wanita paruh baya itu.

"Anak itu benar-benar."

Michael menarik kursi untuk duduk di dekat Ayuhdia. "Jangan terlalu ditekan. Kita tau Jack seperti apa. Dia bukan seperti Abraham yang cepat tanggap dengan semua masalah."

"Aku tau anak aku, Hon. Jack mungkin bukan orang yang cepat tanggap dengan masalah, tapi dia akan menyelesaikan semua yang telah ia mulai." Ayuhdia menarik napas dalam-dalam. "Dan dia bukan seperti itu lagi."

"Beri dia waktu."

Ayuhdia menggeleng. "Nggak, Hon. Ini sudah terlalu lama aku memberikannya waktu. Aku sudah memberikan semua pengertian yang aku miliki, tapi dia saat ini harus disadarkan."

Sedangkan di atas sana, Jack kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur. Belum cukup kepalanya penuh dengan kondisi Edelia, ia pun harus menerima perdebatan pagi itu dengan Ayuhdia.

Kenapa Mommy bersikeras menolak hubungan aku dengan Edel?

Dan ketika Jack berusaha untuk memberi waktu sebelum ia bisa membujuk kembali ibunya, yang ia dapati justru kemarahan Ayuhdia karena video yang lagi-lagi viral di media sosial. Lagi-lagi tak memberi pilihan untuknya. Sekarang ia memutuskan untuk kembali mengulur waktu agar orangtuanya bisa mereda dulu emosinya.

Tapi, beberapa jam kemudian, Jack mendapati pintu kamarnya diketuk. Suara Ayuhdia terdengar di luar.

"Jack, kamu benar-benar ingin bersikap seperti ini?"

Jack membuka matanya yang sempat menutup sejenak. Menoleh ke arah pintu. Tapi, tak menjawab.

"Fine. You give me no choice, Sayang. So I'll give you all I can."

Jack tertegun. Tanpa sadar bangkit dari tidurnya. Beberapa saat, ia menunggu lanjutan perkataan Ayuhdia. Tapi, tidak ada.

Masih terbingung-bingung, lalu samar telinga Jack mendengar suara deru mobil. Jack bergegas ke jendela. Kemudian dahinya berkerut mendapati mobil orang tuanya keluar dari rumah.

Jack mengembuskan napas. Memilih untuk kembali berbaring. Otaknya yang kosong melanglang buana entah memikirkan apa. Tapi, beberapa menit kemudian Jack terduduk. Ucapan Ayuhdia terngiang-ngiang di benaknya.

"Fine. You give me no choice, Sayang. So I'll give you all I can."

Mata Jack membulat.

"Shit!"

Dia dengan segera menyambar kunci mobilnya. Terburu-buru menuruni tiap anak tangga. Bahkan sampai melompati tiga anak tangga sekaligus. Lalu, mobilnya pun melaju di jalanan dengan kecepatan tinggi.

Ketika di tengah perjalanan, ponsel Jack berbunyi. Ia melotot besar membaca pesan di sana.

Jack, ada orang datang ke rumah.
Satu ibu-ibu, satu lagi bapak-bapak.
Mama nyuruh aku main, tapi Mama kayak ketakutan gitu.
Kamu tau itu siapa Jack?

Tangan Jack menggenggam erat kemudi. Jantungnya terasa bagai dipacu. Memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi.

*

Tangan Edelia bergetar ketika membawa nampan dengan dua cangkir teh di atasnya. Walau sebenarnya, bukan hanya tangan Edelia yang bergetar. Seluruh tubuhnya pun bergetar parah. Bahkan Ayuhdia sempat khawatir nampan itu akan jatuh dari kedua tangannya yang kecil itu.

Ketika selesai menyajikan teh itu di meja, Edelia berkata lirih. "Silakan diminum tehnya."

Ayuhdia mengangguk sekali. Meraih telinga cangkir dan menyesap isinya. Begitupun dengan Michael.

Dengan wajah tertunduk, Edelia meremas nampan di atas pangkuannya. Ia benar-benar takut untuk mengangkat wajahnya.

Terdengar deheman pelan Ayuhdia. Membuat Edelia spontan mengangkat wajahnya. Kedua pasang mata itu beradu untuk beberapa saat sebelum Edelia kembali menunduk.

Ayuhdia melirik Michael sejenak sebelum berkata. "Sebelumnya kami berdua minta maaf kalau kedatangan kami mengganggu istirahat kamu."

Edelia diam.

"Sebenarnya, kami nggak mau melakukan hal ini, tapi sepertinya keadaan yang mendesak."

Remasan tangan Edelia di nampan semakin mengerat. Napasnya terasa kacau sekarang. Berbagai kemungkinan bermain-main di benaknya.

"Kami sebenarnya datang karena ingin tau hubungan kamu dan Jack sudah sejauh mana."

Pernyataan itu seketika menyentak jantung Edelia. Wajahnya terangkat dengan tatapan panik. Berusaha untuk tenang, Edelia berkata dengan terbata.

"Sa-Saya..." Ia meneguk ludahnya. "Saya dan Jack..."

Tapi, ia tak mampu melanjutkan perkataan itu.

Ayuhdia mengembuskan napas panjang. Lalu, pandangannya mengeliling sekitar ruangan itu. Menatap lamat-lamat pada beberapa bingkai foto yang tergantung di dinding.

"Itu putra kamu?" tanya Ayuhdia kemudian.

Edelia melirik ke arah tatapan Ayuhdia. Lantas mengangguk pelan. "Iya, Bu. Itu putra saya."

"Sudah berumur berapa tahun?"

"Dua belas tahun."

Lagi-lagi, Ayuhdia mengembuskan napas panjang.

Menyadari itu, Edelia kemudian berkata cepat. "Saya dan Jack nggak ada hubungan apa-apa, Bu."

Sepasang suami istri itu sama-sama melihat Edelia.

"Nggak ada hubungan apa-apa?" tanya Ayuhdia.

Edelia mengangguk. "Tenang saja, Bu. Kami hanya berteman. Ibu dan Bapak nggak perlu khawatir. Saya tau saya nggak pantas untuk Jack."

"Del!"

Semua orang yang berada di dalam ruangan itu kompak melihat ke ambang pintu. Di mana seruan itu berasal. Mereka sama-sama menatap dengan mata melotot pada Jack yang mendadak muncul.

"Jack..." Edelia melirihkan nama itu, tanpa sadar berdiri ketika Jack melangkah masuk. "Kamu..." Ia melihat pria itu yang terengah-engah. "Kamu kenapa ke sini?"

Jack tak menghiraukan orang tuanya yang turut berdiri, melainkan menatap Edelia dengan tajam.

"Tadi kamu bilang apa?" tanya pria itu tanpa tedeng aling-aling. "Kita hanya berteman?"

Edelia meneguk ludahnya. Meraih tangan Jack, berusaha untuk menenangkan pria itu. "Jack... aku mohon."

Tak menghiraukan Edelia, Jack kemudian beralih pada orang tuanya. "Mom, harus seperti ini?"

Ayuhdia menarik napas. "Mommy sudah memberi kamu waktu, Jack."

"Waktu?" tanya Jack. "Untuk apa, Mom?"

"Untuk kamu memikirkan semua konsekuensi atas pilihan yang kamu ambil."

"Mom!" jerit Jack. "Tapi, nggak dengan cara seperti ini. Untuk apa Mommy nemui Edel?"

"Jack..." Edelia menarik tangan pria itu. "Dengarkan omongan orangtua kamu."

Jack melihat Edelia. "Aku cinta kamu, Del. Apa masuk akal saat aku dengar kamu bilang kita cuma berteman?"

"Son," lirih Michael. "Coba kamu duduk dulu. Kita bicarakan baik-baik. Oke?"

"Dad, please...," rintih Jack. "Kenapa harus seperti ini?"

"Nak, kami cuma ingin yang terbaik untuk kamu," kata Ayuhdia kemudian. "Kamu harus membuka mata kamu lebar-lebar untuk pilihan besar yang akan kamu ambil."

"Aku sudah memikirkannya ribuan kali, Mom," tegas Jack menggenggam tangan Edelia. "Aku serius ingin menikah Edelia."

"Jack!" desis Edelia.

"Aku harap Mommy dan Daddy merestui kami," pinta Jack. "Please, Mom."

Ayuhdia memejamkan matanya. "Jack, apa kamu nggak melihat kenyataan ini?" tanya Ayuhdia dengan nada pelan. "Apa kamu nggak sadar wanita seperti apa yang ingin kamu nikahi?"

Edelia menggigit bibirnya. Dan seolah mengetahui syok yang dialami wanita itu, Jack semakin mengeratkan genggamannya.

"Aku sadar, Mom. Memangnya apa yang salah kalau aku menikahi wanita yang sudah memiliki anak? Aku akan menerima Kenan seperti dia anak aku sendiri."

Michael dengan segera merengkuh tubuh Ayuhdia ketika menyadari bahwa wanita itu terlihat syok juga dengan perkataan Jack. Ayuhdia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nak... dengarkan Mommy," pinta Ayuhdia. "Edelia sudah memiliki anak. Dia---"

"Bagaimana kalau aku nggak ada?"

Pertanyaan itu terdengar seiring dengan munculnya Kenan dari dalam. Membuat Edelia dengan seketika memelototkan matanya. Memutuskan perkataan Ayuhdia seketika dan membuat ia tercengang di tempatnya berdiri.

"Mama nyuruh kamu main ke tempat Om Galih, Nak. Kenapa kamu nggak pergi?"

Kenan menatap ibunya. "Aku di kamar, Ma."

Edelia dengan cepat meraih tubuh Kenan, berusaha mendorong tubuh anak itu. "Kamu main dulu ya? Nanti baru pulang ya?"

"Nggak, Ma!" tolak Kenan. Dengan cepat ia melepaskan diri dari Edelia. Berkelit dan menghadapi kedua orang tua Jack. "Ini gara-gara aku kan?"

Ayuhdia membuka mulutnya, tapi tak mampu bicara.

"Kalau aku nggak ada, apa kalian mau menerima Mama?"

"Kenan!"

Jack dengan segera menarik tangan bujang kecil itu. Melotot padanya. "Apa-apaan yang kamu bilang."

Kenan menarik tangannya. "Kamu janji ke aku, Jack. Kamu sudah janji akan menjaga dan membahagiakan Mama. Kamu janji. Kamu sudah janji, Jack."

"Aku tau, Ken. Aku sudah janji. Dan aku akan menepatinya."

"Jadi," kata Kenan. "Kamu akan selalu bersama Mama kan?"

Jack menggertakkan rahangnya. Menahan napasnya dan lalu mengangguk. Mendapati jawaban itu, Kenan beranjak pada kedua orang tua Jack. Ia berkata.

"Mama itu orangnya baik, Bu. Mama selalu masakin aku makanan yang enak dan nggak pernah memarahi aku. Dan Jack sudah berjanji akan menjaga dan membahagiakan Mama."

"Kenan!" seru Edelia. "Kamu ngomong apa?"

Kenan berpaling. "Ma, kalau aku nggak ada, orang tua Jack pasti menerima Mama. Iya kan?"

Pertanyaan itu membuat Ayuhdia dan Michael sama-sama salah tingkah.

"Karena aku orang tua Jack nggak menerima Mama. Karena aku." Kenan menatap dirinya. "Kalau aku nggak ada, Mama bisa bersama dengan Jack."

Mata Edelia melotot. Terasa panas. "Kamu..."

"Aku selalu janji ke Mama. Aku akan menjaga Mama, tapi apa? Aku nggak bisa, Ma. Orang-orang masih saja membicarakan hal yang buruk tentang Mama," kata Kenan dengan suara serak. "Dan itu semua karena aku."

Edelia menggeleng. Berusaha meraih Kenan, tapi anak itu menghindar.

"Aku selalu janji ke Mama. Aku akan membahagiakan Mama, tapi apa? Aku justru selalu membuat Mama menderita." Kenan berusaha menahan air matanya. Tapi, gagal. "Mama menderita selama ini gara-gara aku."

"Nggak, Sayang, nggak. Kamu nggak pernah buat Mama menderita. Kamu sumber kebahagiaan Mama."

"Ma!" jerit Kenan. "Aku tau! Aku selama ini selalu buat Mama susah. Dan sekarang, kalau aku nggak ada, Mama pasti bisa bersama dengan Jack."

Edelia meraih Kenan yang mulai meneteskan air matanya. "Kamu ngomong apa sih, Ken? Mana mungkin anak Mama buat Mama susah?" Edelia berusaha tersenyum. Tapi, air matanya justru menetes. "Nggak pernah."

Kenan menatap Edelia yang berlutut di hadapannya. "Mama kenapa melahirkan aku? Harusnya Mama nggak melahirkan aku! Kalau aku nggak ada, hidup Mama nggak bakalan susah!"

"Kenan! Tega kamu ngomong gitu ke Mama?!"

"Ma!" jerit Kenan. "Aku cuma ingin Mama hidup bahagia. Aku nggak mau terus-terus membuat Mama menderita!"

Edelia menggeleng. "Nggak, Ken, nggak."

Kenan melepaskan diri. Beranjak pada Ayuhdia. "Kalau aku nggak ada, kalian akan menerima Mama kan? Kalian akan mengizinkan Jack untuk menjaga dan membahagiakan Mama kan?"

"Kenan!"

Kenan berpaling. "Ma, aku sudah besar. Aku bisa tinggal di panti asuhan. Atau Mama bisa menitipkan aku dengan orang lain. Biar Mama bisa bersama Jack. Ya? Nanti, kita bisa ketemu kapan-kapan. Yang penting a---"

"Plaaakkk!"

Ayuhdia, Michael, dan Jack sama-sama tercekat. Melihat bagaimana Edelia dengan mata memerah dan berurai air mata menampar Kenan.

"Tega kamu, Ken, sama Mama. Tega kamu mau ninggalin Mama?"

Kenan menutup matanya. Membiarkan air matanya semakin menderas. "Aku nggak mau, Ma. Tapi, aku nggak mau Mama susah terus karena aku. Aku selalu buat Mama menderita."

Kedua tangan Edelia meraih tangan Kenan. "Kamu memang membuat Mama susah. Mama harus berjalan di tengah malam gara-gara kamu. Mama nggak bisa tidur karena kamu. Mama bahkan harus kerja sambil mengandung kamu. Dan setelah semua Mama korbankan, kamu justru ingin pergi meninggalkan Mama? Tega sekali kamu, Ken."

Tangis Kenan pecah. "Mama..."

"Buka mata kamu, Ken. Buka, tatap Mama," perintah Edelia seraya mengguncang tubuh Kenan. Ketika mata Kenan menatap dirinya, Edelia berkata. "Selamanya, kamu adalah harta Mama. Mama nggak akan menukar kamu dengan apa pun. Mama akan melepaskan apa pun yang Mama punya, asal kamu selalu bersama Mama."

Kenan menggeleng.

"Kamu kekuatan Mama, Ken. Harta Mama. Dan Mama hanya perlu kamu di dalam hidup Mama." Edelia mengusap wajah Kenan yang basah. "Kamu yang membuat Mama bisa bertahan selama ini, Ken. Kamu, Nak..."

Di tempatnya berdiri, Jack tertegun melihat Edelia dan Kenan. Setiap perkataan Edelia masuk dan berjajar dengan rapi di benaknya. Membuat jantungnya bagai dipukul oleh palu ribuan kilogram beratnya. Diam-diam, Ayuhdia menatap Jack. Mengembuskan napas panjang.

Tapi, kemudian Kenan tampak menatap Edelia dengan tekad membara di kedua matanya. Perlahan, ia melepaskan tangan Edelia yang meraih tangannya. Ia menggeleng berulang kali.

"Aku nggak bisa buat Mama bahagia. Aku hanya bisa buat Mama menderita."

Edelia menggeleng.

"Kalau aku pergi, Mama akan bahagia."

Edelia kembali menggeleng. "Nggak, Ken."

Tapi, Kenan tidak mendengarkan perkataan ibunya. Ia kemudian justru berlari dari sana. Membuat semua orang dengan panik menyerukan namanya, mengejar dirinya.

Keluar dari rumah, dengan panik Kenan terus berlari. Tak ada apa pun di dalam benaknya, selain pemikiran anak kecil yang ingin melihat ibunya bahagia.

Berurai air mata, Kenan berlari. Tak menghiraukan keadaan di sekitarnya, terutama ketika ternyata ada satu mobil yang melajut cepat. Dengan keadaan jalan yang sedikit menikung, mobil itu tampak menikmati lajunya di atas aspal.

"Kenan!"

Semua orang menjeritkan nama itu. Membuat pengemudi tersadar di detik-detik terakhir sebelum kakinya menginjak pedal rem di waktu yang bertepatan dengan terjadi tabrakan tersebut.

Edelia, Ayuhdia, dan Michael tercekat melihat kejadian yang hanya terjadi dalam hitungan detik itu. Dan tak butuh waktu lama hingga warga tampak keluar seraya menghubungi rumah sakit.

Di seberang jalan, tampak Kenan menggeliat. Matanya panik ketika berusaha melepaskan diri dari rengkuhan kuat itu.

"Jack..."

Kenan melirihkan nama pria itu dengan penuh rasa takut. Darah yang mengalir dari kepala Jack membuat Kenan semakin panik.

*

"Aaargh..."

Jack melenguh panjang menahan rasa sakit yang mendera kepalanya. Matanya terpejam dengan kuat dan tangannya spontan naik demi memegang kepalanya yang terasa bagai ingin pecah.

"Jack..."

Jack mendengar namanya disebut. Pelan-pelan, ia mencoba untuk membuka matanya.

Ayuhdia dengan serta merta langsung bangkit ketika mendengar suara putranya itu. Dengan bergetar menyebut nama Jack.

"Kamu sudah sadar, Nak?" tanya Ayuhdia pelan. Ia menatap kedua mata Jack yang perlahan membuka. "Jack...?"

Dahi Jack berkerut. Lantas ia bertanya. "Siapa ya?"

"Hon..."

Michael menahan tubuh Ayuhdia. Berusaha menenangkan istrinya. "Jack, kamu nggak ingat ini siapa?"

Jack beralih pada Michael. "Anda siapa?"

"Hon!" jerit Ayuhdia. "Dokter..." Ayuhdia terlihat kesusahan ketika berkata. "Dokter, Hon, dokter."

"Sebentar," kata Michael.

Tapi, ketika Michael akan beranjak, telinganya justru mendengar kekehan kecil. Membuat kedua orang paruh baya itu menatap Jack yang tampak berusaha bangkit untuk duduk.

"Aduh... kepala aku sakit. Tapi..." Jack terkekeh lagi. "Astaga. Hahaha."

Mata Ayuhdia dan Michael melotot.

"Jack!"

Jack menoleh. "Aduh, Mom. Sebentar. Kepala aku rasanya nyut-nyut."

Ayuhdia menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan mata. "Kamu pikir ini lucu?"

"Mommy pikir ini FTV?" balas Jack geli. "Masa aku kepentok dikit bisa langsung amnesia? Yang benar-benar aja deh, Mom."

"Kamu hampir membuat jantung istri Daddy copot, Jack," geram Michael.

Jack tersenyum. "Aku hampir mati loh, Mom." Tangannya menepuk kepalanya sekilas. "Kepala aku nyut-nyut."

Keluhan Jack kemudian diyakini hanya efek luar. Sama sekali tidak memengaruhi bagian dalam kepalanya. Setidaknya itulah yang dikatakan dokter ketika memeriksa Jack beberapa saat kemudian.

Setelah kepergian dokter itu, Ayuhdia meringis. Lalu memeluk putranya. "Jangan main-main seperti itu, Jack. Itu nggak lucu sama sekali."

"Aku sayang Mommy."

Ayuhdia tersenyum. Ketika ia mengurai pelukan itu, ia berkata pada Michael. "Apa mereka nggak mau masuk?"

"Oh, benar."

Jack melihat Michael yang keluar. "Siapa, Mom?"

"Siapa lagi?" tanya Ayuhdia. "Edelia dan Kenan. Mereka menunggu di luar dari tadi. Sebenarnya, kami sudah menyuruh mereka untuk pulang. Tapi, mereka bersikeras untuk menunggu kamu siuman."

Jack manggut-manggut.

"Apalagi karena sekarang hampir jam sepuluh malam."

"What?!" seru Jack kaget. "Aku pingsan selama itu?"

"Sekarang Mommy ragu. Kamu pingsan atau tidur?"

Jack menyeringai. Tepat ketika pintu kamarnya terbuka dan melihat Edelia beserta Kenan masuk.

Kenan mendekati Jack dengan ragu-ragu dan tampak rasa bersalah di wajah anak itu.

"Jack..."

Jack tersenyum. "Kamu nggak apa-apa, Ken?"

Kenan mengangguk. "Nggak apa-apa."

"Dad..." Jack memanggil ayahnya. "Apa tadi Kenan sudah diperiksa?"

Michael mengangguk. "Hasil rontgen menunjukkan kalau Kenan baik-baik saja. Kakinya aman."

"Syukurlah." Jack mengembuskan napas lega. "Kamu jangan seperti itu lagi, Ken. Kamu harus menjaga badan kamu baik-baik."

Kenan tertegun. Seolah ada yang menyumpal pangkal tenggorokannya hingga membuat ia kesulitan untuk bicara.

"Katanya kamu mau membahagiakan Mama kamu kan?" tanya Jack. "Katanya kemaren ada yang janji mau jadi pemain bola internasional loh. Kamu nggak bisa mewujudkannya kalau kaki kamu terluka."

"I...Iya..."

Jack meraih tangan Kenan. "Seumur aku hidup, Ken, aku jatuh hanya karena dua hal." Ia tersenyum seraya melepaskan napas panjang. "Bola dan kamu. Jadi, jangan sia-siakan hidup kamu."

Kenan mengangguk. Air matanya jatuh. Tapi, ia menghapusnya dengan cepat. "Aku nggak bakal menyia-nyiakan hidup aku."

Jack tersenyum. Lalu, tatapannya berpindah pada wanita yang berdiri di belakang Kenan. Edelia menatapnya tanpa kata-kata. Dan beberapa saat, mereka hanya saling berdiam diri.

"Ehm..." Ayuhdia mendehem. "Ini karena sudah malam," katanya kemudian. "Bagaimana kalau kamu antar mereka pulang, Sayang?"

Edelia seketika menggeleng. "Nggak perlu, Bu. Kami bisa pulang sendiri," kata Edelia berusaha menolak.

"Ini sudah malam. Nggak bagus wanita dan anak kecil jalan pulang berdua saja." Ayuhdia berpaling pada Michael. "Sekalian juga cari makanan ya, Hon. Aku juga lapar."

"Belum ada yang makan?" tanya Jack kaget.

"Bagaimana bisa kami makan kalau kamu belum sadar?!" celetuk Ayuhdia.

Michael tersenyum. Lalu mengecup pelipis Ayuhdia sekilas. "Aku pergi dulu."

"Hati-hati di jalan."

Jack dan Ayuhdia sama-sama melihat kepergian tiga orang itu tanpa berkata apa-apa. Hingga kemudian pintu tertutup dan setelah beberapa saat tak terlihat tanda-tanda akan ada orang yang datang, Jack berkata.

"Udah nggak ada orang, Mom."

Ayuhdia menoleh.

"Mommy mau ngomong ke aku kan?" tanya Jack tersenyum. "Aku tau. Mommy mau ngomong apa?"

"Jack..." Wanita paruh baya itu berusaha untuk duduk di tepi kasur pasien Jack. "Mommy nggak bakal ngomong apa-apa lagi. Tapi, Mommy hanya ingin bertanya satu hal." Ayuhdia menatap wajah putranya itu. Satu perban tampak menempel di dahi pria itu. "Kamu sudah sadar kan sekarang?"

Meresapi satu pertanyaan itu, Jack menundukkan wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam berulang kali. "Aku tau, Mom. Bukan Edelia yang Mommy ragukan."

Napas Ayuhdia mengembus panjang.

"Tapi, aku."

Ayuhdia meremas tangan Jack dengan pelan.

"Pikiran aku begitu sempit ketika mengira bahwa Mommy menganggap Edelia nggak pantas untuk aku, tapi sebaliknya. Aku yang nggak pantas untuk Edelia. Iya kan, Mom?"

Menarik napas, Ayuhdia bisa melihat mata Jack yang berkaca-kaca. "Seperti yang Mommy bilang, kamu harusnya tau pilihan apa yang kamu buat." Ia menatap Jack lembut. "Mommy nggak butuh tau seperti apa masa lalu Edelia. Yang Mommy tau hanya satu, dia sudah menjalani hidupnya berdua saja dengan Kenan dalam waktu yang lama."

"Tiga belas tahun, Mom."

Ayuhdia mengangguk. "Tiga belas tahun bukan waktu yang sebentar, Nak. Mommy jujur, nggak bakal kuat menjalani hidup seperti itu. Menurut kamu kenapa seorang wanita yang lemah bisa bertahan selama ini menjalani hidup seorang diri?" tanya Ayuhdia. "Karena selemah-lemahnya wanita, ia akan menjadi yang paling kuat ketika itu menyangkut anaknya. Dan apa kamu sanggup menjaga kekuatan wanita seperti itu? Apa kamu sanggup menjamin kebahagiaannya? Mommy hanya nggak ingin anak yang Mommy bangga-banggakan justru merusak kekuatan dan kebahagiaan yang selama ini Edelia bangun di sepanjang hidupnya."

Perkataan Ayuhdia dengan telak menghujam jantung Jack. Memamerkan satu fakta lagi yang terlewatkan olehnya.

"Mommy nggak peduli anak Mommy menikah dengan siapa. Asal wanita itu baik dan bisa membuat anak Mommy bahagia, akan Mommy terima, Nak. Tapi, lagi-lagi Mommy tanyakan. Apa kamu sanggup menjadi pria yang seperti itu? Dengan keadaan kamu sekarang?"

Waktu terasa berjalan begitu lambat ketika Jack berusaha untuk merenungi setiap perkataan Ayuhdia. Bagai simpul, pelan-pelan ia mampu membuka matanya.

"Hari ini, berkat Mommy aku bisa melihat kenyataan," lirih Jack. "Aku memang nggak pantas untuk Edelia." Ia tersenyum sendu. "Tanpa aku, Edelia bisa bertahan. Dengan adanya aku atau tidak, Edelia bisa tetap melanjutkan hidupnya."

Dan ucapan demi ucapan yang Edelia lontarkan tadi, semuanya masih terekam dengan baik di ingatan Jack. Menampar dirinya pada satu kenyataan yang harus ia hadapi.

"Sedangkan aku..." Jack meneguk rasa pahit di tenggorokannya. "Apa yang aku miliki untuk mampu membuat Edelia aman? Bahkan aku pun nggak bisa melakukan apa pun dengan kehidupan aku sendiri."

"Jack..." Ayuhdia menyebut nama putranya dengan penuh perasaan.

"Tapi, Mom," lanjut Jack dengan suara serak. "Aku benar-benar mencintai Edelia. Aku ingin menjadi pria tempat ia berlindung. Tempat ia bergantung."

Ayuhdia mengangguk. "Mommy tau, Nak. Dan Edelia pantas untuk mendapatkan pria yang seperti itu."

"Bukan pria yang hanya bisa lari dari masalah kan?" tanya Jack dengan getir. "Yang bisanya kabur setiap ada masalah dengan dalih mencari jalan keluar?"

Berat mengakui, tapi Ayuhdia mengangguk.

"Mom... aku benar-benar mencintai Edel," aku pria itu. "Bantu aku ya?"

"Apa pun, Nak. Apa pun akan Mommy lakukan agar kamu bisa mendapatkan kebahagiaan kamu."

Jack menundukkan wajahnya. Air matanya terjatuh. Menyadari betapa selama ini ia hanya menatap keadaannya dari satu sisi. Sedangkan, ada hal lain yang seharusnya ia sadari dari awal.

Ayuhdia merengkuh Jack. "Mommy tau anak Mommy seperti apa," kata Ayuhdia. "Kamu anak Mommy yang kuat. Yang bebas. Yang selalu menyelesaikan semua yang telah kamu mulai." Ia menepuk pelan punggung Jack. "Pria yang memegang setiap janji yang ia buat."

Jack memejamkan matanya. Menumpahkan air matanya dalam dekapan sang ibu. Hingga kemudian ia membaringkan tubuh dan menyerah dalam rasa letih, satu tekad baru terbentuk di dadanya.

Aku sudah berjanji.

*

Keesokan harinya, ketika kedua orang tuanya sedang keluar dari kamar pasien, Jack meraih ponselnya. Mengabaikan beberapa pesan yang masuk, ia justru membuka aplikasi panggilan. Satu nomor ia tekan.

Beberapa saat, hanya terdengar nada tunggu di seberang sana. Tapi, kemudian telepon itu diangkat. Terdengar suara wanita yang bersahaja di sana.

"Jack?"

Sapaan itu terdengar tak yakin.

Jack menarik napas dalam-dalam. "Ya, Dok. Ini saya."

"Jack! Apa kabar? Ehm... ngomong-ngomong, ada apa menghubungi saya pagi begini?"

"Saya baik-baik saja, Dok," kata Jack kemudian. Mulai terasa sedikit lebih santai. "Maaf kalau mengganggu kegiatan Dokter pagi-pagi gini."

"Ah, nggak apa-apa. Jadi, ada apa?"

Jack mengembuskan napas panjang. "Saya menghubungi karena saya ingin tau, apa saya bisa bertemu Dokter lusa?"

"Lusa? Untuk?"

"Membahas jadwal konseling saya, Dok."

Terdengar kesiap kaget di seberang sana. "Konseling?"

"Ya, Dok. Saya ingin kembali."

"Tentu saja. Saya akan mengosongkan jadwal saya besok lusa. Kita tentukan jadwal konseling dan terapi kamu. Oke?"

"Oke. Dan..." Jack menarik napas panjang sebelum lanjut berkata. "Terima kasih untuk bantuannya, Dok."

"Terima kasih karena kembali, Jack."

Jack mengembuskan napas lega ketika sambungan telepon itu terputus. Sejenak matanya terpejam. Mengabaikan angka 31 yang muncul di benaknya, ia menguatkan tekatnya. Terutama ketika ia menghubungi satu nomor lainnya.

"Pak? Ini saya."

"Jack Rhodes?"

Mungkin aku akan ditolak, tapi bisa jadi aku akan diterima. Aku hanya perlu mencobanya.

"Ya, Pak. Apa kabar?"

"Ehm... Saya baik-baik saja. Tumben kamu menghubungi saya, Jack. Terutama setelah..."

"Enam tahun yang lalu," potong Jack dengan nada suram. "Saya minta maaf untuk itu, Pak."

"Oh! Nggak apa-apa. Jadi, ada apa?"

Jack menarik napas dalam-dalam. "Saya ingin kembali, Pak."

"Kembali?"

"Ya. Saya ingin kembali ke lapangan."

Hening sejenak ketika Jack mengatakan hal itu. Membuat pria itu seketika merasa pesimis. Tapi, ia mencoba untuk tetap bertahan.

"Saya ingin bermain lagi, Pak."

Terdengar helaan napas panjang di seberang. "Enam tahun itu terlalu lama, Jack."

"Saya tau, Pak," kata Jack kemudian. "Tapi, apa Bapak lupa? Julukan saya Sepuluh Bintang. Saya mungkin telah enam tahun absen bermain, tapi bukan berarti saya tidak bisa bermain. Saya hanya harus latihan sepuluh kali lebih giat. Harus menendang bola sepuluh kali lebih banyak. Dan harus berlari sepuluh kali lebih banyak dari orang-orang. Saya yakin saya mampu melakukannya."

"Itu berat, Jack. Terutama dengan usia kamu sekarang."

"Saya tau, Pak. Tapi, bukan berarti saya sudah selesai. Saya masih bisa bermain."

Selesai mengatakan itu, hening kembali. Seolah perkataan Jack memaksa begitu banyak pertimbangan.

"Saya nggak bisa menjanjikan apa-apa, Jack. Kamu tau keadaan lapangan. Siapa yang bisa, dia yang bertanding."

Jack tersenyum. "Saya tau, Pak. Saya hanya butuh kesempatan. Bapak akan melihat kalau seorang Jack Rhodes belum selesai."

"Oke!"

Kali ini suara itu terdengar lebih bersemangat.

"Kebetulan, loker dan nomor sepuluh masih kosong hingga kini."

Dan Jack memutuskan telepon itu dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya.

Nggak ada lagi Jack yang kabur.

Nggak ada lagi Jack yang menghindari masalah.

Aku akan menyelesaikan semua yang telah aku mulai.

*

tbc...

apakah ada yang menyadari dari awal bahwa setiap ada masalah Jack selalu mengurung diri? menghindari? seperti yang Ayuhdia bilang, itu bukan Jack...

dan seorang ibu, selalu mengenal anaknya. mudah-mudahan... 🤗🤗🤗

So, gimana perasaannya di part ini?

jadi, tinggal 2 part lagi, Guys...

Pkl 23.55 WIB...

Bengkulu, 2020.07.10...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro