Karena Yang Ada Hati Akan Selalu Peduli
Selamat malam semuanya... ehm, udah pada tidur ya? 😚😚😚
Jadi ya... emang sih dari awal nulis ending Daddysitter? tu aku memang kepengen buat scene Claressa yang puber... dan aku membayangkan dia jadi cewek yang ngejar-ngejar cowok. bukannya apa ya, Claressa itu bukan tipe cewek lembut yang manut-manut gitu kecuali sama Elena. hahahaha... 😅😅😅
jadi di part ini, semoga kalian terhibur... dan jangan lupa tinggalkan vote dan komen kalian... 🤗🤗🤗
===========================================================================
Edelia mengembuskan napas panjang untuk yang ke sekian kalinya. Lagi-lagi menatap pada aplikasi Whatsapp. Bos beneran marah ini ceritanya. Pesan aku udah dibaca, tapi nggak dibalas. Padahal dia sempat buat story dengan Kenan.
Edelia memaksa matanya untuk memejam. Tubuhnya letih dan pikirannya tak tenang. Ingin memperbaiki kesalahan dan meminta maaf pun seolah takdir tak ingin bekerja sama. Jack tidak masuk dan Edelia tidak tau bagaimana caranya untuk mendapatkan alamat pria itu. Apa iya aku mendadak nanya ke siapa gitu alamat Bos? Bisa-bisa bakal bikin curiga orang.
Lewat tengah malam hari itu, lagi-lagi. Edelia tertidur dengan perasaan yang tak nyaman.
*
Chef Junan menunjuk-nunjuk pada Edelia. Memberikan intruksi.
"Jadi, wortel dipotong korek api dengan panjang sekitar lima sentimeter, kentang potong dadu ukuran tiga sentimeter, lobak potong serong, dan ah! Buncis potong sekitar empat sentimeter dan belah tengah," jelas Chef Junan. "Paham?"
"Paham, Chef."
"Selanjutnya, untuk ayam. Ambil dadanya. Iris tipis sekitar dua sentimeter dan panjang delapan sentimeter. Rendam dengan bumbu marinasi. Ah, sekalian juga dengan sosis dan baso. Paham?"
"Paham, Chef."
Dahi Chef Junan berkerut, tapi ia hanya angguk-angguk kepala. "Oke kalau kamu paham."
Edelia membalas anggukan Chef Junan dan beranjak dari sana. Sepeninggal Edelia, Chef Junan mengusap-usap dagunya. Ia menarik Vindy.
"Itu beneran Edel kan ya?" tanya Chef Junan. "Kenapa jadi rada pendiam melebihi Rara?"
Botol saos berputar-putar di tangan Vindy. "Ehm... ntah... Tapi, kayaknya dia memang agak aneh belakangan ini, Bos."
"Siapa?"
"Ya salam, Tuhan, ini kepala bakso ikan ngejutin aja!" rutuk Chef Junan pada Bagas. "Itu. Edel."
Bagas mengerutkan dahinya. "Kayaknya dia sedikit lebih pendiam ya?"
Tangan Chef Junan bersidekap. Melirik pada Bagas. "Bener kan? Lebih kalem kan sekarang?"
"Apa dia ada masalah?" tanya Vindy. "Atau..."
"Apa?"
Chef Junan dan Bagas sama-sama melirik Vindy.
"Lagi jatuh cinta," kata Vindy dengan senyum terkembang.
"Hadeh! Ini cewek udah keracunan saos tiram," lirih Chef Junan.
"Bener loh, Chef, apa yang saya bilang," kata Vindy. "Cuma ada tiga hal yang membuat cewek jadi pendiam. Masalah, tanggal tua, dan jatuh cinta." Vindy menganga. "Kalian bayangkan aja kalau Edel pendiam gara-gara masalah di tanggal tua yang berupa jatuh cinta."
Chef Junan dan Bagas geleng-geleng kepala seraya beranjak dari sana meninggalkan Vindy dengan teorinya.
"Tuhan, terimalah amal ibadah Vindy yang tak seberapa ini," kata Bagas sok berdoa. "Aamiin."
Vindy memanyunkan mulutnya. "Padahal yang aku bilangin bener loh." Lalu, ia nyengir. "Eh, sekarang udah awal bulan sih. Hehehe. Baru aja gajian, tapi udah kayak yang ngerasa tanggal tua lagi. Nasib jadi cewek lajang ye kan. Sekali gajian langsung beli baju dan bedak buat memikat perjaka-perjaka tampan." Ia mengibaskan rambutnya. "Ya dong. Kita kan nggak minat buat memikat suami-suami orang."
Bagas menoleh. Semakin geleng-geleng kepala melihat Vindy.
Vindy mencibir. "Apa lo apa? Ntar lama-lama naksir sama aku loh."
"Iiiih!" Bagas merinding. "Never!"
Sedang terpisah jarak dari sana, Edelia sedang mengupas wortel. Ia sama sekali tidak menghiraukan apa saja yang dibicarakan oleh rombongan Vindy. Di benaknya hanya ada satu. Ya Tuhan. Ini udah hari keempat Bos nggak masuk. Apa aku beneran harus nanya alamat Bos ke siapa gitu? Alasannya?
Mata Edelia berkedip-kedip.
Ah, benar!
Aku punya alasan buat minta alamat, Bos!
Tak menghiraukan tugas yang Chef Junan berikan padanya, Edelia seketika meletakkan wortel dan pisaunya. Ia menemui Vindy.
"Vindy!"
"Yuhu?"
"Kamu tau alamat rumah Bos di mana?"
"Aku nggak tau, tapi Chef Junan tau. Kamu ting--- wait." Mata Vindy memicing. "Kenapa kamu nanyain alamat rumah Bos?"
"Aku rencananya mau ke sana."
"Dengan tujuan?"
Edelia tersenyum dengan penuh keyakinan. "Ngembaliin baju Bos. Udah dua minggu loh sama aku. Lupa terus aku balikin. Nunggu Bos masuk juga nggak tau kapan. Kan nggak enak bajunya lama disimpan aku."
Ah, ternyata semudah ini mencari alasan.
*
Kenan memandang Edelia yang tengah meraih dua baju dari dalam lemari pakaiannya pagi itu. Bujang kecil yang semula ingin berpamitan ke sekolah itu, masuk ke kamar Edelia.
"Mau ngapain, Ma?"
Edelia melirik sekilas. "Oh ini. Mau ngembaliin baju Bos. Lupa terus Mama balikin."
Kenan melihat. "Itu kaos dan kemeja kemaren kan?"
Edelia mengangguk.
"Mama bilang itu punya Bos tempat Mama kerja kan?"
Edelia mengangguk lagi.
"Bos tempat Mama kerja itu..." Kenan meneguk ludahnya. "Jack?"
Edelia mengangguk lagi untuk ke sekian kalinya. Lalu, tersadar sesuatu. Ia menatap putranya. "Wah! Kenan..."
Kenan menarik napas dengan gugup. "Ma... jangan bilang ke Jack ya, Ma? Aku mohon ya, Ma."
Edelia bangkit dari duduknya. "Kamu tau sekarang kamu ngotori baju siapa?"
"Aku nggak tau kalau itu baju Jack."
Mata Edelia melotot. "Apa itu artinya kamu bakal melakukan hal kayak gitu ke baju orang lain?"
"Tentu!" Kenan memelas. "Tapi, yang pasti. Jangan kasih tau Jack ya, Ma. Nanti kalau dia marah gimana? Kalau dia nggak mau ngajarin aku gimana?"
"Iiih anak ini." Edelia menjitak kecil kepala Kenan. "Sudah. Pergi sana ke sekolah. Nanti kamu terlambat."
Kenan mengangguk. "Apa Mama mau ngembaliin baju Jack pagi ini?"
"Iya. Mungkin Mama mau ke rumahnya. Bos udah lama nggak datang ke hotel."
"Oooh. Pasti dia sibuk," kata Kenan. "Ah, bener. Berarti pie strawberry di belakang itu buat Jack?"
"Eh?
"Pantas dari kemaren Mama sibuk nyari strawberry. Apa Jack suka strawberry juga, Ma?"
Edelia hanya tersenyum kaku. Ia mencium dahi Kenan dan berkata. "Buruan ke sekolah, nanti kamu telat."
*
Satu bulir keringat mengalir di pelipis Jack. Lalu melintasi rahangnya dan bermuara di dagunya. Lalu, bulir keringat itu jatuh ke bawah. Tepat di ujung sepatunya ketika langkahnya tetap mantap berlari.
Kala itu mungkin sudah putaran ketiga Jack mengelilingi kompleks perumahannya. Tanpa menurunkan intensitas larinya, ia berbelok. Matahari yang semakin naik semakin membuat tubuhnya basah karena keringat.
Jack menarik napas. Memutuskan bahwa itu adalah putaran terakhirnya. Tenggorokannya telah mengering parah. Ia butuh air minum secepatnya.
Lalu, ketika ia nyaris sampai di rumahnya, kakinya melambat. Dahinya mengerut seraya matanya yang memicing.
Berulang kali Jack mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak yakin dengan apa yang ia lihat, ia justru mendekat. Ya, lagipula cewek itu berdiri tak jauh dari pagar rumahnya.
Semakin dekat, semakin Jack yakin, tapi semakin tak yakin juga. Argh! Maksud Jack. Ngapain Edel ke sini? Dia mau ke rumah aku atau nyasar nyari alamat?
Lalu, terlihat bagaimana Edelia yang mendekati pintu pagar. Tampak seolah akan menekan bel rumahnya.
Mata Jack melotot.
Itu beneran dia mau ke rumah aku?
"Nama cewek itu Edel?"
Entah mengapa, tapi mendadak suara Ayuhdia menggema di benak Jack.
Alamat mampus aku kalau Mommy ketemu Edel kini. Bakal diinterogasi itu cewek sama Mommy.
'Oh, kamu yang namanya Edel?'
'Kamu yang buat anak saya sampe ngomong dengan semut yang berbaris di dinding?'
Jack bergidik.
Dengan cepat, lantas kakinya berlari. Tepat ketika Edelia akan menekan bel, tangan Jack terulur.
Edelia kaget. Ia menoleh. Merasa jantungnya akan copot ketika menyadari tangannya digenggam oleh Jack, sedang pria itu dengan wajah yang basah tampak terengah-engah ketika bertanya.
"Kamu nyasar atau salah alamat?"
Untuk beberapa saat, Edelia hanya terbengong melihat wajah Jack di hadapannya. Seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa yang di hadapannya itu benar-benar adalah Jack.
"Bos...?" tanyanya dengan suara lirih.
Jack melotot. "Saya Bos kalau di hotel, di luar itu saya Jack."
Edelia meneguk ludahnya.
Tak melepaskan tangan Edelia dari genggamannya, Jack kembali bertanya. "Kamu belum jawab pertanyaan saya. Kamu ngapain di sini? Nyasar atau salah alamat?"
Edelia menggeleng. "Saya nggak salah alamat, Bos."
"Terus?"
"Saya memang mau ketemu Bos."
Jack melongo. "Ketemu saya?"
"Iya."
"Kenapa?"
Edelia menarik napas. Tapi, ketika ia akan menjawab, terdengar suara.
"Honey! Coba ke sini, Sayang. Mawar kuning yang aku tanam sudah berbunga."
"Yang warna merah gimana? Udah mekar juga?"
Glek.
Jack langsung mengambil tindakan. Ia menarik Edelia ke motornya yang terparkir. Langsung saja mengangkat satu bingkisan di jok belakang motor itu dan duduk di sana.
Edelia melongo. "Bos?"
Jack menepuk-nepuk jok di depannya. "Buruan, Del. Kita pergi dari sini."
"Pergi, Bos?"
Jack mengangguk. "Kamu nggak mau kan diinterogasi sama orang tua saya sekarang?" tanya Jack panik. "Ntar Mommy bakal nanya kamu mau uang lamaran berapa."
Kepanikan Jack sukses menular pada Edelia. Dengan segera wanita itu duduk di motornya. Lalu, motor itu pun melaju.
"Kita ke mana, Bos?"
"Ke mana aja. Yang penting nggak keliatan orang tua saya," jawab Jack masih panik seraya menepuk-nepuk pundak Edelia. "Buruan, Del, buruan."
Langsung saja Edelia mengemudikan motornya dengan cepat. Dalam waktu singkat mereka keluar dari kompleks perumahan Jack. Berbelok ke kiri melewati satu kafe kecil di persimpangan. Lalu, melaju menembus jalan raya.
Edelia mengambil jalur kanan. Untuk beberapa saat ia mengemudi layaknya akan pulang ke rumahnya, alih-alih kabur dari orang tua Jack.
"Kita mau ke mana, Del?" tanya Jack kemudian ketika menyadari bahwa belum ada tanda-tanda Edelia akan menepikan motornya. "Kamu nggak berencana buat nyulik saya kan? Bukannya apa. Saya ini belum mandi loh."
Perkataan Jack membuat Edelia tersadar. Ia merutuki dirinya yang kebablasan membawa Jack pergi. Jadi, langsung saja ia menarik tuas rem.
"Ciiiit!"
Edelia menghentikan laju motornya. Jack terkesiap saat hukum alam membuat ia sontak terhempas ke punggung Edelia.
"Adudududuh!" lirih Jack ketika dadanya mendarat di punggung Edelia. Wajahnya seketika saja mendarat mulus di pundak wanita itu. Mata Jack berkedip-kedip ketika beberapa helai rambut Edelia berada di wajahnya.
Ehm... sepertinya ini salah posisi.
"Bos?"
Suara Edelia menyadarkan Jack.
Dengan segera Jack menarik tubuhnya. Memperbaiki duduknya.
Edelia memutar tubuhnya. "Bos nggak apa-apa kan?"
"Nggak," kata Jack. "Lagian, kamu mau bawa saya sampe sejauh mana sih sampe nggak berenti-berenti?"
"Maaf, Bos," lirih Edelia. "Tapi, sekarang kan saya udah berenti."
Jack berdecak sekali. "Iya, tapi kalau nggak saya ingatin kamu nggak bakal berenti. Mana berentinya mendadak lagi." Jack mengamati sekeliling dan menarik kesimpulan. "Untung ini jalanan lagi sepi. Kayak yang nggak nyadar aja kalau bawa motor di jalan raya dan mendadak ngerem di----" Mata Jack membulat. "Kamu ngapain berenti di depan Rumah Sakit Jiwa?"
Edelia menoleh ke sebelah kirinya. Dan terang saja bangunan dengan halaman yang luas itu membuat Edelia meringis.
"Kamu atau saya yang gila di sini?" tanya Jack.
"Maaf, Bos, maaf. Lagipula, di sini kan sepi."
"Ya iyalah sepi. Ngapain juga rame-rame di depan Rumah Sakit Jiwa." Mata Jack memicing. "Kamu mau ngapain saya sampe nyari tempat yang sepi?"
"Saya?" Edelia menarik napas. "Saya mau minta maaf."
"Eh?"
*
Jack mengusap pahanya dengan kedua tangannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengamati kendaraan yang lalu lalang. Beruntung hari ini ia kembali lari pagi dengan menggunakan jaket parasut yang berhodie. Kalau tidak, Jack tidak tau harus menyembunyikan wajahnya dengan cara apa saat itu.
Di sebelahnya, Edelia tampak duduk dengan canggung. Lagipula, wajar saja mereka canggung.
"Yah, Del! Kalau kamu mau minta maaf, seenggaknya kamu cari tempat yang keren dikit kenapa?" Jack membuka percakapan pagi ini. "Depan Rumah Sakit Jiwa? Duduk lesehan di rerumputan depan pagarnya? Bisa-bisa kita dianggap pasien yang nyoba buat kabur."
Edelia menggigit bibirnya.
"Nggak ada pemilihan tempat yang lebih buruk lagi?" tanya Jack. "Dari sekian banyak tempat di Lingkar Barat, kenapa kamu nggak milih kita duduk di taman simpang empat lampu merah aja?"
"Maaf, Bos."
Jack mendengus. "Terus, kamu datang ke rumah saya..." Jack melirik Edelia. "Mau minta maaf doang?"
"Ah!" Edelia tersadar. Ia dengan segera meraih satu plastik yang ia gantung di motornya dan mengambil bingkisan yang dari tadi Jack pangku saat mereka kabur. "Ini, Bos."
Jack menyambutnya. "Apa?"
"Itu baju Bos," kata Edelia seraya duduk kembali dan menekuk lututnya. "Dan yang itu..."
Jack membuka kantong plastik hitam itu dan mengendus.
"...pie strawberry yang tempo hari pernah Bos minta."
Mata Jack seketika saja menajam melebihi tajamnya silet. "Untuk apa ini?"
"Seperti yang saya bilang Bos. Saya ingin minta maaf. Saya bener-bener tulus minta maaf."
Meletakkan baju dan pie itu di sebelahnya, Jack mengembuskan napas panjang.
"Minta maaf buat apa?"
"Eh?" Edelia tergugu.
"Saya tanya kamu minta maaf buat apa?"
Edelia menundukkan wajahnya. "Untuk semuanya..."
Jack diam untuk beberapa saat. "Coba kamu jelaskan satu persatu yang kamu bilang semuanya itu."
Glek.
Edelia menoleh, sedang Jack menatap lurus ke depan.
Seraya menguatkan hatinya, Edelia berkata dengan pelan. "Saya benar-benar nggak tau kalau Bos dulu pemain sepakbola."
Mata Jack tertutup sekilas.
"Dan saya juga minta maaf karena sudah..." Edelia bingung harus bagaimana mengatakannya.
"Saya tau," kata Jack. "Saya tau maksud kamu meminta saya datang sore itu."
Lagi-lagi, Edelia menundukkan wajahnya.
"Karena kamu berusaha menolak saya, tapi saya mengabaikan penolakan kamu... makanya kamu pikir untuk menunjukkan secara langsung di depan mata saya kenapa kamu menolak saya. Karena kamu sudah memiliki anak." Jack menjeda sedikit ucapannya. "Itulah mengapa kamu pernah bilang bahwa kalau saya tau yang sebenarnya tentang kamu, saya pasti nggak bakal suka lagi sama kamu."
Pelan, Edelia mengangguk sekali.
"Jujur saja..." Jack menarik napas sekali. "Saya bohong kalau mengatakan kalau saya nggak terkejut ketika Kenan memanggil kamu Mama di depan hidung saya."
Tak mengangkat wajahnya, Edelia tetap menabahkan hati mendengarkan setiap perkataan Jack di sela-sela deru kendaraan yang lalu lalang di jalanan.
Jack menoleh. "Saya nggak ngeliat ada satu foto pria pun di rumah kamu," lanjut Jack. "Ke mana Papa Kenan?"
Edelia menggeleng. "Saya nggak tau dan saya nggak mau tau, Bos."
"Kalian berpisah dengan cara yang buruk?" tanya Jack hati-hati.
Edelia meringis. "Bahkan nggak ada kata-kata paling buruk yang bisa mewakilinya, Bos."
Jack memilih untuk tidak mengomentari pernyataan Edelia yang satu itu.
Karena untuk beberapa saat Edelia tak mendapati perkataan Jack, akhirnya wanita itu menoleh. Ironisnya, ternyata Jack juga tengah menatap dirinya.
Dengan tatapan mata kucing Edelia yang lurus pada mata gelap Jack, wanita itu berkata.
"Saya wanita berusia 27 tahun yang sudah memiliki anak berusia 12 tahun, Bos. Saya menjalani hidup saya sendirian dalam waktu lama yang nggak pernah ingin saya hitung." Ia tersenyum miris. "Yang saya pikirkan saat ini hanya ingin membesarkan Kenan menjadi pria yang hebat." Ia menggeleng sekali. "Sedikitpun saya nggak pernah berniat untuk menjalin asmara dengan seorang pria."
Jack membalas tatapan mata Edelia. Mata itu tampak berkabut, tapi anehnya mata itu justru menyorotkan tekad yang kuat.
"Seumur hidup, saya hanya ingin membahagiakan anak saya, Bos. Kenan punya cita-cita yang tinggi dan saya harus membantu dia untuk meraihnya."
"Makasih, Ma. Mama memang paling baik sedunia."
Ingatan Jack akan suara Kenan dan ciuman bujang kecil itu pada Edelia membayang di benaknya.
"Bos tau mengapa saya menolak Bos dari awal?"
Jack menebak. "Karena Kenan? Karena trauma dengan pria?"
Edelia menggeleng. "Bukan. Karena saya tau Bos hanya mencintai permukaan luar saya saja." Ia tersenyum. "Karena seharusnya Bos bisa mendapatkan wanita lain yang lebih baik ketimbang seorang wanita dengan satu anak."
Jack tertegun.
"Karena Bos akan rugi kalau mendapatkan wanita seperti saya."
Jack tak mampu berkata apa-apa.
Memaksa bibirnya untuk tetap tersenyum, Edelia berkata. "Saya harap semuanya akan selesai di sini, Bos. Saya permisi."
Edelia bangkit di saat pikiran Jack masih kusut bagai benang yang dimainkan oleh anak kucing. Tapi, ia selalu percaya nalurinya. Hingga tangannya bergerak. Meraih pergelangan tangan Edelia. Membuat langkah wanita itu terhenti. Seketika Edelia menundukkan pandangannya pada Jack, sedang pria itu menengadah padanya di tempatnya duduk.
"Kamu tau, Del?" tanya Jack dengan suara parau tanpa bermaksud untuk menunggu jawaban wanita itu. "Satu-satunya alasan mengapa saya nggak datang ke hotel adalah karena saya ingin menjernihkan pikiran dan perasaan saya."
Angin bertiup. Menerbangkan rambut panjang Edelia ke berbagai arah. Sebagian menutupi wajahnya, tapi Jack masih bisa melihat Edelia dengen jelas. Sama jelasnya ketika suara Jack kembali terdengar.
"Saya memang merasakan sedih karena melihat lapangan. Dan saat saya melihat Kenan, saya justru teringat masa di mana saya jaya. Kemudian sebagai pelengkap, mendapati Kenan adalah anak kamu, itu semakin membuat perasaan saya kacau berantakan."
Beberapa klakson kendaraan terdengar menggoda dari jalanan, namun mereka berdua sama bergeming di tempat masing-masing.
"Sore itu benar-benar menjadi sore yang begitu mengejutkan buat saja dan sepulang dari sana, saya menghabiskan waktu untuk berpikir." Wajah Jack terlihat begitu datar. "Saya memutuskan untuk benar-benar melepaskan."
Edelia terdiam.
"Saya ingin melepaskan kamu---"
Oksigen berupaya untuk tetap masuk ke rongga paru-paru Edelia.
"--- tapi, kenapa kamu datang menemui saya hari ini?"
Mata Edelia mengerjap tatkala Jack bangkit dari duduknya.
"Kenapa kamu menunjukkan rasa perhatian kamu ke saya di saat saya benar-benar ingin melakukan apa yang kamu minta? Untuk menjauhi kamu?" tanya Jack. "Perasaan saya nggak bisa dibuat seperti ini, Del."
"Itu... saya..."
Entah bagaimana, tapi sorot mata Jack membuat kata-kata Edelia menghilang begitu saja bagai ditiup angin.
"Jawab pertanyaan saya, Del," lirih Jack kemudian. "Sejak kapan?"
"A-Apa?"
"Sejak kapan kamu mulai mengkhawatirkan saya?"
Edelia bingung.
"Sejak kapan kamu mulai memiliki perasaan ke saya?"
*
tbc...
gimana perasaannya Guys di part ini? 😁😁😁
ehm... part ini juga panjang loh... 2.600++... 🤗🤗🤗
sampai jumpa di part 22 besok malam... 👋🏻👋🏻👋🏻
Pkl 22.58 WIB...
Bengkulu, 2020.06.10...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro