Janji Dua Lelaki
teruntuk kamu yang berjanji, ini untukmu...
===========================================================================
Jack terlihat begitu putus asa. Di balik kesehariannya yang penuh canda dan tawa, Edelia tau, pria itu pernah menyimpan air mata dan malam ini, di wajah itu terlihat segurat rasa lelah.
Terutama ketika terdengar suara pelan pria itu tatkala berkata. "Lagipula, itu pilihan terbaik. Kamu tentu nggak mau ngeliat aku la---"
"Mau!"
Edelia merasa napasnya terhenti seketika. Di dalam mulutnya, ia menggigit lidahnya sendiri.
Menyadari betapa lidahnya telah berucap tanpa memberi waktu untuk dirinya berpikir sejenak. Tapi, semua terucap begitu saja.
Wanita itu dalam waktu yang singkat mampu mengingat. Bagaimana empat hari ia lalui tanpa melihat wajah jenaka di hadapannya. Keriuhan yang mewarnai hari-harinya seketika menghilang. Menyisakan kesunyian yang bahkan tak pernah ia kira akan ia rasakan.
Edelia menarik napas dalam-dalam. Menyadari bahwa bagaimana interaksi antara mereka berdua, terutama ditambah oleh setiap perlakuan pria itu padanya telah menghidupkan percikan-percikan harapan di dalam hatinya.
Mungkin kali ini ia bisa mempercayai seorang pria?
"Mau?"
Terdengar suara Jack parau ketika bertanya, menggugah dirinya dari ombang-ambing pikirannya.
"Mau apa ya?"
Edelia menatap dalam-dalam pada mata Jack. Dengan gelisaha, ia berkata seraya menguatkan dirinya sendiri. "Aku mau..." Ia berusaha untuk menuntaskan kalimat itu. "Ngeliat kamu... setiap hari."
Jack balas menatap dirinya dengan mata yang membesar. Ada kesan ragu-ragu ketika akhirnya pria itu bertanya. "Kamu mau ngeliat setiap hari."
Edelia mengangguk di atas jemari Jack yang menahan dagunya. Bahkan kalau Tuhan mengizinkan aku untuk merasakan sedikit saja kebahagiaan, aku ingin melihat bentuk kebahagiaan itu berupa wajah kamu.
Ia ingin mengucapkan itu, tapi tak ada waktu yang cukup tatkala dirasakannya bagaimana tekuknya ditarik lembut oleh Jack. Terdorong oleh insting alamiah, wanita itu memejamkan matanya. Meresapi kedamaian yang merasuki dirinya tatkala bibir pria itu menyentuh sekilas bibirnya dengan penuh kelembutan.
Tangan Jack yang kuat tetap menahan tekuknya saat pria itu mengurai ciuman mereka. Menyatukan dahi mereka, Edelia bisa merasakan bagaimana deru napas mereka saling menghangati satu sama lain. Membuat dirinya dipenuhi oleh berbagai perasaan. Debaran, getaran, semuanya menyatu hingga membuat wanita itu merasa begitu bahagia.
Tangannya yang bebas, entah sejak kapan meremas lembut kemeja Jack di bagian dada. Satu pemikiran cepat melintas di benaknya. Betapa ternyata ia menyukai hal itu. Meremas kemeja pria itu demi merasakan bagaimana jantung Jack yang juga berdebar keras seperti miliknya.
Seolah sama-sama ingin meresapi kehangatan yang tercipta di antara mereka, untuk beberapa saat, tak ada yang bersuara. Mata yang saling memejam semakin menambah kedamaian di antara mereka.
Hingga kemudian, samar telinga Edelia mendengar pertanyaan pria itu.
"Ya?"
Edelia menarik napas dalam-dalam. Perlahan membuka matanya. Di hadapannya, wajah Jack yang tengah memejam membuat ia seolah tercekat. Namun, ia tetap berusaha untuk tetap menjawab dengan satu kata yang serupa.
"Ya."
Samar, terlihat bagaimana bibir Jack melengkung membentuk satu senyuman. Senyuman yang entah sejak kapan selalu menghiasi hari-hari Edelia. Senyuman penuh kasih, senyuman jenaka, bahkan senyuman geli. Dan malam itu seolah senyuman tulus itu hadir merengkuh jiwanya.
Terasa ada sesuatu yang seolah menarik hasrat di diri Edelia. Membawa tangan wanita itu yang semula berada di dada Jack, perlahan merayap naik. Meraih satu pipi Jack yang bebas.
Kedua tangan wanita itu menangkup pipi Jack dengan lembut. Tapi, sentuhan itu lebih dari cukup untuk menarik turun bibir Jack hingga kembali menyentuh bibirnya.
Edelia merasakannya. Bagaimana pria itu terkejut, tapi tak banyak kesempatan yang diberikan oleh Edelia hingga pada akhirnya kesiap kaget Jack teredam dalam ciuman wanita itu.
Bibir Edelia mencium Jack dengan kelembutan yang tak pernah Jack bayangkan sebelumnya. Bibir itu terasa begitu bagai sentuhan titik embun di ujung dedaunan di pagi hari. Menyegarkan. Mendamaikan. Melegakan segala gundah yang mereka rasakan.
Roh Edelia terasa bagai disentak keluar dari raga tatkala ia merasakan bagaimana tangan Jack menyusup merengkuh pinggangnya. Menarik wanita itu untuk semakin mendekat padanya. Melekat tanpa celah di dadanya. Untuk merasakan bagaimana gemuruhnya debar yang ia rasakan.
Di atas bibirnya, Edelia merasakan bisikan Jack yang seolah menghipnotis dirinya.
"Aku janji, Del, aku janji. Aku akan selalu membahagiakan kamu. Nggak peduli sebanyak apa rintangan yang akan kita hadapi, aku nggak akan pernah pergi."
Edelia memasrahkan diri. Meresapi kebahagiaan ketika bibir Jack melumat bibirnya dengan penuh irama. Mengecup tiap sisi dari bibirnya. Memanggutnya hingga menimbulkan suara asing, namun anehnya justru membangkitkan sesuatu di diri wanita itu. Membuat Edelia justru bergerak mengalungkan tangannya di leher Jack.
Edelia merasakan tubuhnya bergetar. Lidah hangat Jack terasa begitu sensual ketika mengusap bibirnya. Lalu, dengan perlahan menyusup di antara kedua belah bibirnya. Seakan mengucapkan permisi tanpa kata untuk memasuki kehangatan yang akan menyambut dirinya.
Jack melarikan lidahnya untuk menggoda semua saraf yang berada di dalam mulut wanita itu. Menyapa milik Edelia yang sama hangat dengan milik dirinya. Lalu, seolah tak mampu menahan desakan diri, Jack justru tanpa peringatan menghisap lidah Edelia ke dalam rongga mulutnya.
Pria itu menghancurkan semua kendali diri Edelia menjadi berkeping-keping. Menikmati bibir Edelia untuk menghapus dahaganya selama ini, namun tanpa egois turut memberikan hal yang serupa pada wanita itu. Memastikan bagaimana ciuman itu tak hanya mampu membuat dirinya melayang, tapi begitu pun dengan Edelia.
Terengah-engah dan dengan penuh perjuangan, Jack menarik diri. Dapat ia rasakan bagaimana tubuhnya bergetar parah karena ciuman itu. Begitu pun dengan Edelia. Tangannya yang mengalung pada leher Jack menjelaskan lebih dari yang ia harapkan.
Deru napas hangat mereka berlomba-lomba membuat suasana terasa begitu intens. Membuat mereka sama terengah-engah.
Perlahan, ketika mereka sama-sama membuka mata, tak ada kata yang terucap. Hanya mata yang saling menatap. Menyiratkan betapa perasaan mereka berada pada satu muara yang sama.
*
"Apa sarapan pagi ini, Ma?"
"Ehm... nasi goreng?"
"Pake telur ceplok atau telur dadar, Ma?"
"Yah... pake kol ya, Ma?"
Kenan menoleh dan menatap bengong pada ibunya yang tak bersuara dari tadi. Di depan kompor, Edelia mengaduk-aduk nasi goreng dengan tatapan seolah kosong. Hanya kedua tangannya yang memegang wajan dan sutil yang menjadi pertanda bahwa wanita itu masih bernyawa.
Kenan menusuk perut Edelia dengan satu jari telunjuknya.
"Ya Tuhan!"
Edelia mengerjap-ngerjap. Melihat nasi gorengnya dan dengan panik segera memadamkan kompor itu.
"Eh?" Edelia tergugu. "Kamu udah siap, Ken?"
Kenan geleng-geleng kepala. "Dari sepuluh menit yang lewat aku udah siap, Ma," jawab bujang kecil itu. "Dari tadi aku nungguin sarapan aku, tapi belum siap." Kenan menatap ibunya dengan heran. "Mama sakit?"
Edelia bergegas mengambil satu piring untuk nasi goreng Kenan. Meletakkan telur ceplok yang tadi ia tiriskan di penyaring minyak, serta tak lupa dengan sepasang sendok dan garpu.
"Mama sakit ya?" tanya Kenan seraya menahan tangan ibunya.
Edelia menggeleng. "Mama nggak sakit kok, Sayang."
Mata Kenan menyiratkan kekhawatiran. "Tapi, muka Mama keliatan merah." Tanpa kesulitan karena tinggi tubuhnya yang hampir menyamai ibunya, Kenan menyentuh pipi Edelia dengan lembut. "Mama demam?"
Edelia menggeleng-geleng lagi. Beranjak dari sana. Membawa nasi goreng dan teh Kenan ke depan.
Kenan mengikuti Edelia. "Apa Mama kena sengat tawon?"
"Apaan sih, Ken?" Edelia semakin menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia meletakkan sarapan itu di meja, tepat ketika Kenan duduk. "Mama sehat-sehat aja kok."
Tangan Kenan menahan Edelia. "Tapi, muka Mama merah dan... dan..." Kenan tampak memfokuskan pandangannya. "Bibir Mama bengkak."
"Uhukkk!!!"
Edelia dengan segera meraih gelas teh putranya. Meminum isinya dengan terburu-buru hingga membuat batuknya semakin menjadi-jadi.
Kenan bangkit. Mengurut tekuk ibunya dengan penuh kasih.
"Mama kayaknya beneran sakit deh."
Sebisa mungkin Edelia mendamaikan dirinya. Berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja di depan Kenan. Ia berusaha tersenyum.
"Kamu sarapan dulu ya," kata Edelia mencoba mendudukkan putranya kembali. Menyodorkan piring nasi goreng ke hadapan Kenan. "Dihabiskan," ujar Edelia sambil mengusap kepala Kenan. "Kalau habis, Mama kasih hadiah."
Kenan mendengus lucu. Memulai sarapannya. "Kalau begitu seharusnya setiap pagi aku dapat hadiah dong."
Mendengar perkataan Kenan, Edelia hanya mengulum senyum. Ia bangkit dan menuju ke kamarnya. Membawa satu kado yang dibungkus dengan rapi.
Ketika ia keluar dari kamar, Kenan telah menyelesaikan sarapannya dan menatap dirinya dengan tatapan yang tak percaya.
"Beneran ada hadiah, Ma?"
Edelia terkekeh. Ia duduk di dekat Kenan. "Spesial untuk anak Mama yang paling ganteng," ujarnya seraya menyerahkan kado itu. "Anggap aja hadiah ulang tahun yang terlambat."
Kenan menyambut hadiah itu. Dengan terburu-buru berusaha membukanya dengan cepat. Membuat Edelia tertawa terbahak-bahak karenanya.
Dan ketika kertas pembungkus berhasil Kenan singkirkan, ia dengan gemetar membuka kardus itu. Sepasang sepatu bola membuat ia terkesiap.
"Mama..."
Kenan tak meneruskan ucapannya. Ia melihat ibunya yang tersenyum pada dirinya.
"Gimana?" tanya Edelia dengan penuh harap. "Kamu suka?"
Melihat kembali pada sepatu bola bewarna merah hitam itu, Kenan mengangguk. Ia terlihat tak mampu berbicara untuk beberapa saat.
"Ini..." Kenan meneguk ludahnya. "Bagus banget, Ma."
"Kamu suka?"
Kenan menatapa Edelia. Mengangguk seraya mendekap sepatu itu. "Aku suka, Ma! Suka banget!"
Edelia tersenyum. Membelai pipi Kenan dengan penuh kasih. "Semoga sepatunya bisa membuat kamu selalu beruntung."
Kenan menarik napas dalam-dalam. Tanpa kata-kata, ia menghambur memeluk Edelia. Mendekap wanita itu dengan begitu erat.
"Makasih, Ma, makasih."
Tangan Edelia mengusap-usap punggung Kenan.
"Aku sayang banget sama Mama."
Edelia mengurai pelukan itu. Mengecup dahi dan kedua pipi Kenan. Tanpa sadar matanya telah berkabut. "Mama juga sayang banget dengan Kenan," ujar Edelia lirih dengan tercekat. "Kamu kekuatan Mama. Hal terpenting di dalam hidup Mama."
Jemari Kenan naik dan menghapus air mata Edelia. "Aku bakal berusaha jadi pemain sepakbola yang hebat, Ma," janji Kenan. "Aku bakal ngajak Mama keliling dunia. Jalan-jalan. Makan setiap makanan yang enak. Semuanya bakal aku berikan untuk Mama."
Edelia tersenyum dengan berurai air mata. "Oh... anak siapa sih yang segini kerennya?"
"Anak Mama," jawab Kenan menatap mata ibunya lekat-lekat. "Aku janji, Ma. Aku akan jadi pemain sepakbola internasional."
Edelia mengangguk seraya menangkup wajah putranya itu.
"Gol pertama aku di pertandingan profesional aku nanti, akan aku persembahkan buat Mama. Aku akan berlari ke pinggir lapangan dan meneriakkan nama Mama. Biar orang-orang tau siapa Mama aku."
Tangan Edelia bergetar mengusap-usap wajah Kenan.
"Aku akan jadi pemain sepakbola pertama dari Indonesia yang pertama mendapat Sepatu Emas. Dan akan aku berikan ke Mama."
Edelia mengangguk, membiarkan wajahnya semakin basah air mata.
"Aku akan membahagiakan Mama," janji Kenan. "Seumur hidup aku."
*
tbc...
seumur menulis, inilah part yang paling menguras perasaan dan air mata aku...
Pkl 23.30 WIB...
Bengkulu, 2020.06.25...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro