Hati Seorang Ibu
Selamat Siang semuanya... 👋🏻👋🏻👋🏻
siapa aja yang nangis di part sebelumnya? 🙋🏻♀️🙋🏻♀️🙋🏻♀️
kalian yang baca aja nangis, apalagi aku yang ngetik... dan berat harus aku bilang, di part ini mungkin kalian akan merasa sedih lagi. bahkan mungkin sampai ending kalian akan berkali-kali menangis... mungkin... 😫😫😫
===========================================================================
"Kamu tau, Jack? Aku nggak bisa menyusui Kenan. Karena... karena payudara aku masih terlalu kecil... terus, mereka bilang aku stress. Puting aku belum ada... Kenan... dia... saat aku memberikannya susu bubuk, dia alergi. Kenan..."
Jack tidak bisa menahannya lagi. Dia mengurai pelukannya. Memegang kedua lengan atas Edelia. Erat. Menatap mata wanita itu yang basah dan tampak kosong.
"Kenan..."
Pria itu menggeleng. "Kamu nggak perlu menceritakannya, Del."
Fokus mata Edelia berpindah-pindah dengan liar. Menggeleng sekali. "Nggak. Kamu harus tau. Aku berutang banyak dengan Kenan. Dia.. dia... Aku nggak bisa berpisah dengan dia, Jack."
"Ssst... nggak ada yang akan memisahkan kamu dengan Kenan, Del."
Lalu, mata Edelia menatap Jack. "Tapi, mereka ingin memisahkan aku dengan Kenan."
"Siapa?"
Wajah Edelia tampak lesu dan tak bertenaga ketika menjawab. "Ibu dan Bapak datang sore itu, Jack. Mengajak aku pulang. Biar nanti Kenan diasuh dengan keluarga Pak Dirman." Edelia menggeleng. "Aku nggak mau pisah dari Kenan."
Jack mengangguk.
"Mereka gila, Jack!" jerit Edelia kemudian. "Bagaimana bisa aku melepaskan anak aku demi kembali pada orang tua aku?! Aku rela menyusuri jalan malam sendirian! Aku rela bekerja demi menghidupi Kenan! Aku nggak mau membiarkan Kenan harus dibawa orang-orang gila itu!"
"Nggak, Del. Kenan selamanya milik kamu, ehm? Nggak ada yang bisa memisahkan kamu dengan Kenan. Kenan anak kamu. Selamanya anak kamu."
Edelia meronta. Matanya terpejam, menyebabkan air mata semakin deras membasahi pipinya.
"Bagaimana bisa mereka menyuruh aku untuk menikah dengan pria bajingan seperti itu, Jack?!" jerit Edelia perih. "Bagaimana bisa aku harus menerima pria yang nggak ada hati nurani untuk menjadi ayah dari anak aku?!"
Mungkin, untuk pertama kalinya, saat inilah di mana Jack menangis dengan begitu pilu. Terlebih lagi bukan untuk kesedihan yang menimpa dirinya. Tapi, melihat Edelia seperti ini, Jack merasa kesedihan yang teramat dalam. Ia tak bisa melihat wanita yang ia cintai menjalani ini semua seorang diri.
Edelia meneguk ludahnya. Berusaha untuk tetap bernapas di sela tangis dan hujatannya. Tangannya menepuk dadanya berulang kali.
"Aku korban, Jack. Tapi, mereka semua memperlakukan aku seperti aku yang salah di sini! Aku diperkosa, aku dipukul, dan aku dibiarkan begitu saja! Dan mereka bilang aku aib, aku pembuat malu, aku hanya mencari jalan agar menjadi kaya, aku yang salah karena mau-maunya diperkosa. Aku nyaris mati, Jack."
Jack tidak tahan lagi. Berusaha memeluk kembali Edelia, berusaha agar pelukannya mampu menenangkan wanita itu. Tapi, bukan ketenangan yang dibutuhkan Edelia. Memendam semuanya selama tiga belas tahun, Edelia butuh seseorang untuk menjadi tempat penumpahan semua yang ia rasakan.
"Bukan aku yang salah, aku korban. Tapi, mengapa mereka ingin aku menikah dengan penjahat itu?"
Pertanyaan lirih itu terdengar begitu pilu. Menyayat hati Jack. Membuat ia menutup mata, seolah tak ingin mengakui bahwa hal mengerikan itu terjadi pada wanita yang ia cintai,
"Apa nggak cukup untuk mereka melihat menderitanya aku karena perbuatan pria keji itu? Mengapa mereka harus memenjarakan aku dalam pernikahan dengan pria yang nggak ada hati nurani seperti itu?" Edelia terisak. "Keadilan apa yang aku terima? Pertanggungjawaban dengan menikahi aku?" Edelia tertawa frustrasi. "Itu bukan pertanggungjawaban. Itu sama saja dengan membiarkan aku diperkosa berkali-kali seumur hidup oleh pria jahanam itu!"
Jack mengeratkan pelukannya. Tak tau harus mengatakan apa. Hingga ia kemudian berbisik.
"Keluarkan semuanya, Del. Aku akan mendengarkannya."
Isakan Edelia semakin pecah. Tangannya meremas pakaian yang pria itu kenakan.
"Aku nggak mau menikah dengan pria jahat yang sudah memerkosa aku, Jack. Dia bukan pria yang bisa menjadi ayah untuk Kenan. Aku nggak bisa membiarkan penjahat menjadi suami aku. Aku nggak mau hidup satu atap dengan penjahat. Tapi, kenapa mereka pikir pertanggungjawaban itu adalah dengan menikahkan kami? Bagaimana bisa aku menikah dengan penjahat? Mereka bilang itu jalan damai untuk menyelesaikan masalah, Jack. Tapi, bagaimana aku bisa damai kalau seumur hidup aku harus bersama dengan pria yang sudah membuat aku menderita? Apa mereka semua sudah gila, Jack?"
Di atas pundak Edelia, kepala Jack mengangguk. "Mereka semua gila, Del. Mereka gila! Dan seumur aku hidup, kamu nggak akan kehilangan Kenan. Aku akan menjaga kalian semua."
Kedua tangan Edelia mendorong pelan dada Jack. Membuat pelukan mereka terurai. Mata bening yang penuh dengan air mata itu menatap mata Jack. Mencari-cari di sana.
"Kamu masih mau menikahi aku?" tanyanya pelan. Nyaris hingga telinga Jack mendengar pertanyaan itu.
Jack menangkup wajah Edelia. "Bahkan lebih menginginkan kamu dibandingkan sebelumnya."
Mata Edelia tampak kosong. "Tapi, aku wanita kotor, Jack."
"Ingat? Kamu di sini korban, ini bukan salah kamu. Kamu bertahan itu membuktikan kamu wanita yang hebat."
Sebulir air mata jatuh di wajah Edelia. "Kamu masih bujangan dan aku sudah memiliki anak. Kamu harusnya menikah dengan perawan, Jack."
"Persetan dengan selaput tipis sialan itu! Persetan dengan omongan orang!" rutuk Jack. "Aku bisa membawa kamu kapan pun kamu mau. Kita bisa ke Korea atau ke Jepang, atau ke mana pun. Berkali-kali kamu bisa mendapatkan selaput tipis itu kalau kamu mau! Dan aku nggak peduli! Ya Tuhan, Del! Aku benar-benar mencintai kamu. Dan kamu pikir aku mencintai hanya sebatas selaput tipis itu?" Jack menarik napas dalam-dalam. "Cinta aku nggak serendah itu, Del. Aku mencintai kamu, seluruh yang ada di diri kamu. Bukan bagian tertentu di tubuh kamu. Apa pun yang ada dan nggak ada di diri kamu, itulah yang aku cintai."
Edelia menggigit bibirnya dengan kuat. "A-Aku nggak layak, Jack."
"Dengar, aku mencintai kamu bukan karena kamu masih perawan atau nggak. Aku nggak peduli kamu udah punya anak. Aku bahkan menerima semua masa lalu kamu." Jack mengatakan itu dengan menatap lekat kedua bola mata Edelia. Meyakinkan wanita itu. "Aku bisa mendapatkan sepuluh gadis, tapi aku memilih kamu. Aku yang memutuskan apakah kamu layak atau nggak."
Menggunakan jari jempolnya, Jack mengusap air mata yang berjatuhan di pipi Edelia. Tapi, ternyata itu hanya membuat aliran air mata yang baru di pipinya.
"Aku akan menjaga kamu," lirih Jack pelan. Tersenyum lembut. Berusaha menenangkan. "Aku akan mencintai kamu. Aku bahkan menerima Kenan dengan sepenuh hati aku. Kamu lihat? Aku dan dia bahkan sama-sama suka sepakbola, Del. Bukankah itu takdir Tuhan?"
Edelia meringis. Mencoba menahan air matanya.
"Aku bisa menjadi ayah untuk Kenan. Aku akan mengajarinya semua tentang sepakbola yang aku tau. Aku akan mengajarinya bagaimana menjaga ibu dan adik-adiknya. Aku akan mengajarinya bagaimana ia harus bersikap sebagai laki-laki."
Edelia membuka mulutnya. Tapi, detik selanjutnya sebelum ia sempat bicara, ia justru mendapati Jack mencium bibirnya dengan begitu dalam.
Jack menarik napas dalam-dalam. Menyatukan dahinya dengan dahi Edelia. Menatap mata wanita itu tanpa kedip.
"Aku mencintai kamu, Del. Apa pun akan aku lakukan untuk menjaga dan membahagiakan kamu seumur hidup kamu."
Edelia memejamkan matanya.
Untuk beberapa saat, ia memaksa diri untuk percaya pada perkataan Jack. Mau bagaimana pun juga, untuk wanita yang menderita karena ulah pria, memercayai ucapan dari kamu yang sama tentu saja tetap menimbulkan satu dua titik keraguan di hatinya.
Jack tak menyalahkan keraguan itu. Di posisi Edelia, manusiawi bila ia merasa ragu. Merasa dirinya tidak layak. Merasa dirinya yang hina. Dan Jack menyadari, itu adalah tugasnya untuk meyakinkan Edelia. Di dalam hati, Jack bersumpah. Ia akan membuktikan setiap ucapannya.
Beberapa saat kemudian, ketika dirasa emosi Edelia sudah mereda, Jack menarik tubuhnya. Menghapus sisa-sisa air mata yang mendingin di pipi Edelia. Merapikan bekas-bekas kekacauan di wajah wanita itu.
"Sekarang aku antar kamu pulang ya?" tanya Jack. "Besok, kamu izin aja. Istirahat dulu di rumah. Chef Junan pasti ngerti kok."
Edelia tak membantah perkataan Jack.
Ketika Jack mengantar Edelia pulang, sepanjang perjalanan tak ada yang bersuara di antara mereka. Jack tidak ingin ia salah berucap dan berujung oleh Edelia yang kembali meledak emosinya. Jadi, pria itu hanya membiarkan Edelia menyandarkan kepalanya. Hingga kemudian dilihatnya mata wanita itu tertutup.
*
Jack pulang hampir menjelang tengah malam. Keadaan rumahnya hening dan ia langsung menuju ke kamarnya.
Pria itu terduduk lemas di sisi ranjang. Membuka jaketnya dan meraih ponsel di dalam sakunya. Benda itu tak tersentuh beberapa saat yang lalu karena ia yang terlalu khawatir dengan Edelia. Dan ketika Jack memeriksa ponselnya, ia terkejut. Mendapati lima panggilan tak terjawab Abraham dan pesan dari pria itu.
Kali ini ada apa, Jack?
Ini video apa?
Jack menggeram. Heran dengan betapa gesitnya netizen dalam menyebarkan berita. Dan ketika Jack menekan tautan yang dikirimkan oleh Abraham, ia tidak terkejut sama sekali. Kejadian di resto tadi, di mana ia menyelamatkan Edelia, viral dalam sekejap mata. Dan beragam komentar netizen mewarnainya.
Jack melempar ponselnya, sama sekali tidak berniat untuk membaca komentar orang-orang yang lebih pintar menghakimi daripada berempati. Jadi, ia lebih memilih untuk memejamkan matanya.
*
Edelia bangun pagi itu dengan meringis sakit. Tubuhnya terasa remuk redam. Tak berlebihan bila ia merasa bagai tulang belulangnya patah di berbagai tempat. Jangankan untuk bangkit duduk, saat ia menarik napas saja ia merasa dadanya sakit bagai dihimpit.
Wanita itu melenguh panjang. Berusaha menahan sakit ketika mencoba duduk. Suaranya itu ternyata membuat Kenan yang berada di dapur dengan segera masuk ke kamarnya.
"Mama udah bangun?"
Edelia memijit pelipisnya. Ia mengangguk pelan. Lalu, seolah baru menyadari keberadaannya, Edelia melihat kiri-kanan dengan bingung.
"Malam tadi Jack ngantar Mama pulang," kata Kenan seperti mengetahui kebingungan Edelia. "Dia yang menggendong Mama sampai ke kamar. Dia bilang Mama sakit."
Edelia meneguk ludahnya.
"Mama sakit apa?" tanya Kenan khawatir. "Apa sekarang masih sakit?"
Berusaha bangkit berdiri, Edelia kembali menggeleng. "Mama cuma kecapekan, Ken."
Kenan meraih tangan Edelia. "Kalau gitu, Mama istirahat aja dulu. Biar aku yang beres-beres rumah."
"Baiknya anak Mama," puji Edelia berusaha tersenyum. Tangannya mengelus kepala Kenan. "Mama lapar, Ken."
"Mama duduk di depan. Aku udah masak."
"Oh ya? Kamu masak apa?"
Kenan melirik. "Aku masak sambal tempe dan ikan teri, Ma. Apa aromanya nggak wangi ya?"
"Hidung Mama agak tersumbat." Edelia menarik napas dengan kuat dan seketika menimbulkan bunyi.
"Aku buatkan teh hangat juga untuk Mama."
Edelia tersenyum. Meraih kepala Kenan untuk mendaratkan ciuman di puncak kepala putranya itu. "Beruntungnya Mama punya kamu, Ken."
Kenan tersenyum. "Iya dong. Sudah ganteng, baik, terus sayang sama Mama juga."
Perkataan Kenan membuat Edelia spontan terkekeh sekilas.
Wanita itu beranjak untuk duduk di ruang depan. Bertopang dagu, bola matanya berputar. Mendapati rumahnya telah rapi dan aroma wangi khas lantai yang baru dipel menguar ke udara. Kaca jendela telah bersih. Kemudian sepiring sarapan beserta segelas teh hangat tersaji di hadapannya. Ia menatap Kenan.
Aku beruntung kan, Tuhan?
"Mama kenapa nangis?"
Secepat mungkin, Edelia mengusap air matanya. Ia menggeleng pelan. "Mama cuma terharu," katanya tersenyum. "Mama beruntung banget punya anak kayak kamu, Ken."
Kenan mengerjapkan matanya. "Aku lebih beruntung lagi karena punya Mama." Bujang kecil itu kemudian menarik piring sarapan Edelia. "Sini, biar aku suapin Mama."
Senyum haru terbit di bibir Edelia.
"Kata Jack malam tadi hari ini Mama nggak kerja, biar Mama istirahat aja di rumah," lanjut Kenan seraya mengangkat sendok berisi nasi ke mulut Edelia. Ibunya itu dengan segera memakannya. "Jadi, hari ini biar aku melayani Mama."
Edelia mengunyah dengan geli.
"Mama mau aku urut kakinya? Atau pundaknya mau aku pijat?" tanya Kenan seraya kembali menyuap Edelia. "Mama bilangin aja."
Edelia mengangguk. Di dalam hati ia berpikir, mungkin memang ada baiknya hari ini ia beristirahat. Menenangkan jiwa dan raganya yang kacau karena kejadian semalam.
Ia membaringkan tubuhnya kembali di atas kasur. Menatap kosong pada langit-langit kamarnya. Memikirkan entah apa. Nyatanya, benaknya sekarang kosong melompong. Ia bahkan tak bisa menerka, kehidupan seperti apa lagi yang ia harapkan.
Pergi meninggalkan keluarganya, Edelia bertekad untuk menghidupi anaknya seorang diri apa pun yang terjadi. Tak peduli sebanyak apa cacian, makian, atau pun anggapan negatif orang ketika melihat dirinya, ia akan bertahan demi Kenan. Tapi, memang tidak mudah. Dan sekarang, setelah kejadian memalukan di resto, Edelia bertanya-tanya. Haruskah aku tetap bertahan bekerja di sana?
Mungkin mereka semua akan memandang rendah ke aku. Dan itu juga bukan salah mereka. Tapi...
Edelia berusaha untuk menenangkan dirinya. Tapi, ketika jam di dinding baru menyentuh jam sebelas, terdengar ketukan pelan di pintunya. Menyadari Kenan yang tengah mencuci piring di kamar mandi, membuat Edelia memaksa tubuhnya bangkit.
Ketika ia membuka pintu, ia mendapati sepasang suami istri paruh baya. Penampilan mereka terlihat sederhana, tapi aura mereka membuat Edelia yakin bahwa kedua orang tua di hadapannya bukanlah orang biasa. Tapi, Edelia sama sekali tidak mengenal mereka.
"Rumah Edelia?"
Edelia tertegun sejenak mendengar pertanyaan yang terlontar dari ibu tersebut. Dengan rambutnya yang telah memutih dan tersanggul rapi, wanita paruh baya itu nyatanya memiliki suara yang terdengar tegas.
Sejurus kemudian, Edelia mengangguk.
"Kamu Edelia kan?" tanyanya lagi.
"Iya, saya Edelia, Bu," jawabnya. "Ibu dan Bapak siapa ya?"
Mereka tampak menarik napas sekilas, sebelum ibu tersebut menjawab.
"Sayu Ayuhdia dan ini suami saya, Michael."
Dahi Edelia berkerut. Tidak yakin mengenal nama tersebut.
"Kami orang tua Jack."
Seketika saja jantung Edelia terasa berhenti berdetak. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya bisa meneguk ludah berulang kali. Keringat dingin seketika terasa memercik di dahinya. Untuk beberapa alasan yang sangat dimaklumi, wajar Edelia merasa ketakutan.
"Kami boleh masuk?" tanya Ayuhdia kemudian. "Ada yang mau kami bicarakan."
Kembali, Edelia meneguk ludahnya. Menarik napas dalam-dalam, Edelia mengangguk. "Silakan masuk."
Ayuhdia dan Michael masuk.
"Maaf, di rumah nggak ada kursi."
"Oh, nggak apa-apa."
Untuk pertama kalinya, Michael bersuara. Tangannya meraih Ayuhdia, tampak berusaha membantu istrinya ketika harus duduk di lantai.
Masih mengatur napasnya, Edelia berusaha menenangkan jantungnya. Berinisiatif untuk sedikit mengulur waktu agar dirinya lebih siap menghadapi kedua orang tua itu.
"Saya buatkan minum dulu, Bu, Pak. Sebentar."
Dengan terburu-buru, Edelia segera berjalan menuju ke dapur. Tepat ketika Kenan baru saja selesai merapikan perkakas dapur yang baru ia cuci.
"Siapa yang datang, Ma?"
Edelia menoleh. Khawatir dengan Kenan. Ia segera meraih tubuh Kenan dan berkata lirih. "Kamu main dulu ke tempat Om Galih ya, Sayang?"
"Memangnya kenapa, Ma?"
Edelia menggeleng. "I-Itu di depan ada tamu Mama. Orang penting. Jadi, kamu main tempat Om Galih ya?"
Kenan terdiam.
Menganggap diam Kenan sebagai bentuk persetujuan, Edelia kemudian beranjak. Berusaha membuat teh. Tapi, tangannya bergetar parah membuat ia silap berulang kali. Membuat Kenan menjadi khawatir.
Bujang kecil itu kemudian masuk ke dalam kamar Edelia. Mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mengetik pesan.
Jack, ada orang datang ke rumah.
Satu ibu-ibu, satu lagi bapak-bapak.
Mama nyuruh aku main, tapi Mama kayak ketakutan gitu.
Kamu tau itu siapa Jack?
*
tbc...
kira-kira, apa yang bakal terjadi Pemirsa? ada yang bisa menebak... 🙄🙄🙄
dan menyisakan 3 part lagi, aku hanya berharap aku sanggup ngetik sampai selesai...
mudah-mudahan, part 48 akan muncul malam nanti...
Pkl 13.17 WIB...
Bengkulu, 2020.07.10...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro