Cerita Sebuah Nama
Selamat Malam semuanya... 😘😘😘
ehm... pada heboh ya di part sebelumnya... Semoga part ini juga rame ya... Rame vote dan komennya ... 🤣🤣🤣
nah, jadi selamat menikmati part ke-18 ini dan selamat menyaksikan penampilan Kenan... 🤗🤗🤗
===========================================================================
Edelia dengan cepat memaju laju motornya. Berkat pengertian dari teman-temannya di dapur, Minggu itu ia bisa pulang setengah jam lebih cepat dari jadwal yang seharusnya. Tomi pun sudah datang. Walau mereka tak tau apa urusan penting Edelia, mereka dengan begitu pengertian memberikan kelonggaran.
Wanita itu tak ingin datang terlambat pada pertandingan Kenan. Ia harus melihat Kenan dari awal pertandingan. Mengingat hal itu, ia sempat menyadari bagaimana nekatnya Jack kemaren tatkala mengusulkan agar mereka pergi bersama dari hotel. Sekuat tenaga Edelia menolak. Lagipula, untuk apa Jack sampai harus meminta nomor ponselnya kalau akhir-akhirnya mereka harus pergi bersama? Dan tentu saja, Edelia tak bisa membayangkan kalau Kenan melihat mereka datang bersama.
Edelia sampai tepat waktu.
Ia memarkirkan motornya di pinggir jalan. Celingak-celinguk dan menemukan keberadaan Galih dan Pebri dengan cepat. Setelah meletakkan helmnya di stang motor, ia segera beranjak ke pinggir lapangan.
"Belum mulai kan?" tanya Edelia menyelip di antara Galih dan Pebri yang sengaja menyisakan tempat untuk Edelia. Ia duduk dengan santai di atas rerumputan. Di hadapannya ada sekantong plastik camilan dan minuman dingin.
Galih dan Pebri kompak melihat ke tengah, menyadari kehadiran Edelia.
"Belum," jawab Galih. "Itu bentar lagi mereka baru masuk lapangan." Galih menunjuk ke seberang lapangan. Terlihat kedua tim sedang bersiap-siap masuk setelah melakukan pemanasan.
"Tenang, Del. Kamu nggak usah grogi. Yang main itu Kenan, bukan kamu," kata Pebri bergurau.
Edelia mendengus gugup. Jelas ia lebih grogi dari yang ia perkirakan hingga Pebri berkata seperti. Tapi, yang jadi masalahnya adalah apa kegugupannya itu karena pertandingan Kenan atau sesuatu yang lain.
Tak menarik tatapannya dari lapangan, Edelia berkata lirih. "Sebenarnya... ada cowok yang bakal datang sore ini."
Galih dan Pebri melirik dengan ekor mata yang mendadak menajam.
"Cowok?" tanya mereka bersamaan dengan intonasi yang berbeda.
Tuh kan.
Edelia menarik napas dalam-dalam ketika menyadari jantungnya berdegup kacau. Ia mengangguk kaku. Meremas kedua tangannya. "Iya."
"Datang ke sini?"
"Ehm..." Edelia bingung harus menjawab apa untuk pertanyaan Galih.
"Ngapain kamu nyuruh cowok datang ke sini?"
Dan pertanyaan sambungan Pebri membuat ia semakin sulit bicara.
Galih dan Pebri saling bertukar pandang. Mereka tampak merenggangkan badan masing-masing. Dari leher hingga tangan.
"Dia udah ngapain kamu?" tanya Galih.
Buru-buru Edelia menjawab dengan tangan terangkat. "Dia nggak ngelakuin apa-apa ke aku. Sebenarnya..." Edelia meneguk ludahnya. "Walaupun dia sedikit aneh, tapi dia nggak pernah bertindak nggak sopan sih."
Pebri menjentikkan jarinya. "Karena dia masih tergolong sopan makanya kamu nggak benar-benar bisa mengusir dia," simpul Pebri.
Edelia manggut-manggut. Mungkin kurang lebih memang seperti itu. Akan lebih mudah berurusan dengan pria yang benar-benar tidak sopan sehingga bisa mengambil tindakan tegas. Tapi, sepanjang yang terjadi... Edelia menyadari bahwa ia tidak mengalami itu.
"Oke!" kata Galih. "Polisi mode jahat tak berperasaan siap beraksi sore ini."
Pebri mengangguk. "Dan polisi mode baik-baik nikam dari belakang juga siap beraksi."
Edelia menarik napas panjang. "Makasih. Aku bakal makasih banget kalau kalian bisa ngusir cowok yang satu ini. Dia... dia... sangat susah diusir."
"Ngomong-ngomong," lanjut Galih. "Dia udah di mana?"
Edelia melihat ponselnya tepat ketika pesan dari Jack masuk. Ia mengatakan bahwa sepuluh menit lagi akan sampai.
"Sepertinya sepuluh menit lagi dia sampai," kata Edelia dengan suara bergetar.
"Tapi, ngapain kamu nyuruh dia datang ke sini?" tanya Pebri. "Di pertandingan Kenan."
Edelia mendehem. "I-tu... biar dia tau aku wanita seperti apa," lirihnya pelan. "Wanita yang sudah memiliki anak tanpa ada suami."
Wajah Galih dan Pebri sontak berubah seketika.
Suara Edelia menarik napas terdengar lebih kentara dari biasanya. Ia mengusap-usapkan tangan di kedua pahanya.
"Lagipula kalau dia tau keadaan aku, dia pasti bakal mundur." Edelia berusaha tersenyum. "Kan nggak bakal ada cowok yang mau dengan cewek kayak aku."
"Er--- itu." Pebri meneguk ludahnya yang terasa bergumpal. Merasa bersalah dengan pertanyaan yang ia lontarkan. Terutama ketika ia mendapati Galih melirik tajam padanya seakan ingin mengiris-ngiris tubuh berisinya. Dengan berhati-hati ia berkata. "Nanti akan ada cowok yang bakal nerima kamu apa adanya, Del."
Lagi-lagi, Edelia menarik napas. "Tapi, sebenarnya aku juga nggak terlalu minat untuk menjalin hubungan. Cowok terkadang memang menakutkan." Ia menatap ke seberang. "Lagipula, hidup aku udah cukup dengan Kenan. Aku nggak butuh segala macam ucapan manis cowok."
Beberapa saat, suasana tampak canggung di antara mereka. Hingga kemudian, Galih berusaha untuk mencairkan suasana.
"Eh... tapi, yang namanya takdir nggak ada yang tau loh. Namanya juga perasaan. Tapi, kalau memang keputusan kamu kayak gitu... seenggaknya kamu masih punya kami. Tukang yang siap sedia kalau-kalau seng kamu bocor."
Edelia tergelak. Ia melihat ponselnya dan membaca pesan di sana.
"Dia bentar lagi sampe," lirih Edelia sembari mengetik balasan untuk pesan Jack. Memberi tau posisinya.
"Cowok itu udah sampe?" tanya Pebri yang langsung dijawab anggukan Edelia. "Ngomong-ngomong, namanya siapa?"
Acuh, Edelia menjawab. "Namanya aneh. Jack Rhodes."
"APA?!"
Edelia yang tengah menimang ponsel seketika kaget dengan seruan Galih dan Pebri. Bergantian dengan wajah bingung, ia menoleh ke kanan ke kiri berulang kali. Matanya mengerjap-ngerjap melihat Galih dan Pebri yang menganga.
"J-J-Jack Rhodes?"
"Kamu serius?"
"Eh?" Edelia bingung. "Emangnya kenapa?"
"Peb, menurut kamu itu Jack Rhodes Ten Stars?"
"Aku emang denger kalau dia udah lama di Bengkulu. Tapi, yang bener aja."
Edelia semakin bingung. "Ada apa ya?"
"Cowok ini kamu kenal di mana?" tanya Galih.
"Dia Bos di hotel aku kerja."
"Bukannya emang kabarnya Jack ada hotel di pantai? Hotel Gajah Putih kan?" tanya Pebri meyakinkan.
"Lah, emangnya gimana kamu bisa kenal dengan Bos pemilik hotel, Del?" tanya Galih.
Mata polos Edelia tak berkedip ketika menjawab. "Orang Bos mondar-mandir terus di dapur. Setiap hari. Gimana aku nggak tau Bos aku?" Ia semakin bingung. "Memangnya kenapa? Kalian kayak yang heboh ada pemilik hotel mau ke sini."
Galih dan Pebri melihat Edelia dengan sorot tak percaya.
"Ya Tuhan, Del. Anak kamu hobi bola dan kamu nggak tau apa pun tentang bola?" kata Galih.
"Eh? Hubungannya dengan Bos aku?"
"Astaga!" Pebri menepuk dahinya. "Jack Rhodes itu pemain timnas Indonesia, Del! Julukan Sepuluh Bintang. Keahliannya tendangan pisang. Nggak ada kiper yang bisa nangkap tendangan bebas dia."
"Eh?" Edelia geleng-geleng kepala. "Masa? Nggak mungkin ah."
"Coba kamu sebutkan ciri-ciri Bos kamu itu."
Edelia mengingat-ingat. "Suka ngangguin orang, tapi ramah ke siapa aja. Suka becanda, tapi nggak jadi masalah kalau dia dicandain balik. Tapi, kadang-kadang buat ngeri kalau udah emosi."
Mulut Galih dan Pebri menganga.
"Apa dia Jack Rhodes yang kalian maksud?"
"Aku baru aja mau ngomong kalau Jack Rhodes itu cowok blasteran Amerika dan Jawa Timur. Rambut pirang terang, tinggi 186 sentimeter, dan berat 84 kilogram," kata Galih.
Edelia mendehem. "Dia memang pirang sih."
"Nggak salah lagi." Pebri bertepuk tangan sekali. "Itu pasti Jack Rhodes. Ya ampun. Mimpi apa aku ketemu mantan timnas?"
Mata Edelia mengerjap-ngerjap. Masih belum yakin sepenuhnya. "Apa memang mereka orang yang sama? Lagipula, kenapa juga pemain sepakbola jadi pemilik hotel di sini?"
Lagi-lagi Galih dan Pebri menganga.
"Cedera. Karena cedera."
Edelia teringat. "Kakinya..."
"Iya!" kata Galih. "Dengar ya. Pertama kali itu Jack mulai berkarir di Persija Junior. Gabung timnas U-15 di tahun 2003. Dan penampilan gemilangnya membuat ia bergabung dengan timnas senior di tahun 2010. Sepertinya ia menjadi pemain termuda yang bergabung di timnas senior saat itu. Mungkin saat itu Jack baru berusia sekitar 20 tahun."
"Benar! Yang membuat ia semakin terkenal adalah ia satu-satunya pemain timnas blasteran asli warga negara Indonesia. Bukan naturalisasi. Terutama karena ya Tuhan... skillnya itu benar-benar menjadi pembeda di lapangan. Nggak bakal ada pemain yang bisa menahan dia kalau dia udah bawa bola." Pebri mengusap-usap lengannya. "Ngomongi dia jadi ngebuat aku merinding."
"Julukannya sepuluh bintang," sambung Galih. "Karena kalau dia di lapangan, seolah-olah tim hanya butuh satu pemain lagi saja. Keberadaannya dianggap setara dengan sepuluh pemain bintang."
Edelia terlihat syok.
"Dia benar-benar pemain yang sangat bersinar dan menjanjikan. Bahkan kabarnya dulu ada agensi Eropa yang berniat mengajak dia main di La Liga Spanyol. Tapi, sayang. Cedera itu membuat ia gagal pergi."
Di seberang lapangan, tampak kedua tim memasuki lapangan sepakbola. Bersama wasit dan hakim garis.
"Kenapa dia bisa cedera?"
"Sea Games 2013. Aku ingat banget waktu dia yang menjadi kreator gol tunggal Indonesia saat berhadapan Malaysia di semi final. Unggul 1-0, Jack ditarik keluar untuk persiapan final. Nggak taunya malah kebobolan. Tapi, beruntung dia memastikan kemenangan saat adu pinalti."
"Tiap ngeliat tayangan itu, aku bener-bener merinding," kata Pebri. "Terharu banget pas dia jadi penendang terakhir saat itu. Tapi, sayang pas final."
Edelia melihat bagaimana Galih dan Pebri sama-sama menarik napas panjang.
"Indonesia kalah dengan cara yang benar-benar menyakitkan," kata Pebri.
"Jack dilanggar keras. Pergelangan kakinya patah dengan benar-benar mengerikan." Galih mengetik sesuatu di ponselnya. Memberikannya pada Edelia.
Menerima ponsel itu, Edelia seketika merasakan jantungnya seakan tak berdetak lagi. Mendadak matanya menghangat.
"Indonesia kalah dan kehilangan pemainnya yang berbakat."
Pebri menarik napas dalam-dalam. "Tahun 2014 dia masih bermain, tapi sepertinya ia tidak bisa kembali pada performa terbaiknya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mundur dari dunia sepakbola."
"Mungkin trauma. Dan bukannya di tahun itu juga tunangannya menikah dengan cowok lain bukan ya?"
"Aaah!" Pebri mengangguk. "Model Wenny Trianjela. Iya iya."
"Gagal ngebawa Indonesia menang di final, cedera parah, kehilangan performa terbaiknya, melepaskan kesempatan bermain di La Liga, dan ditinggal nikah," simpul Galih. "Bukannya itu sangat menyakitkan ya?"
Edelia mengerjap-ngerjap. Entah mengapa mendengar cerita Jack dari dua sahabatnya membuat perasaannya seketika kacau balau.
Dengan mata berkilat jenaka dan senyum ketika bercanda, Edelia tak percaya Jack mengalami hal itu semua.
Dan di saat itulah telinganya mendengar.
"Akhirnya ketemu!"
*
"Please... jangan sampe heboh ya?" pinta Jack ketika mendapati Galih dan Pebri dengan begitu antusias menjabat tangannya.
Hilang sudah polisi mode jahat tak berperasaan dan baik-baik menikam dari belakang.
Galih dan Pebri mengangguk-angguk. Di balik masker yang ia kenakan, Jack tersenyum. Menyadari bahwa ia seketika teringat langsung dengan nama keduanya. Sahabat yang Edelia katakan tempo hari.
"Duduk sini, Mas."
Jack tergelak mendapati tawaran super sopan dari Galih. Tapi, ia langsung mendudukkan bokongnya di antara Galih dan Pebri. Entah bagaimana ceritanya, posisi mereka berubah dari posisi semula. Sekarang Edelia sedikit tersisih di sebelah Pebri yang bertubuh berisi.
"Abis ini boleh foto ya?" tanya Pebri. "Kami bener-bener fans kamu, Mas."
Jack tergelak. "Nggak usah pake Mas. Hehehe. Panggil Jack aja."
Pebri meneguk ludah.
"Ya... memang benar kata orang-orang. Yang namanya Jack Rhodes itu ramah banget."
Sebisa mungkin, dengan tak terlalu kentara, Jack mencoba melirik pada Edelia yang menarik satu camilan dan membukanya. Tepat ketika peluit panjang tanda pertandingan dimulai berbunyi.
Mau tak mau, Jack memindahkan fokus matanya. Sambil sesekali berbincang, Jack menonton pertandingan di depan matanya.
Ia menarik napas dalam-dalam. Menyadari bahwa perasaannya tetap sama ketika melihat lapangan.
"Argh!"
Terdengar seruan kesal penonton ketika tendangan berhasil diamankan kiper. Tak ingin salah mendukung, Jack bertanya.
"Kita berada di tim yang mana ya?"
Galih dan Pebri tergelak. "Tim yang baju merah."
"Ah..."
"Tim yang merah itu klub Rinjani dan yang kuning itu klub Merpati," jelas Pebri.
Jack manggut-manggut. "Well... Sepertinya sore ini aku juga suka yang baju merah," kata Jack kemudian. "Pemain nomor sembilan itu lincah."
Edelia, Pebri, dan Galih sontak diam-diam saling melirik.
"Tubuhnya tinggi, tapi dribble-nya bagus."
Edelia bersuara. "Namanya Kenan."
Jack melongokkan kepalanya. "Ah, Kenan. Anak cowok yang sering kamu bilang-bilang namanya." Dan yang kemaren makan pie strawberry buatan kamu, tambahnya di dalam hati.
Edelia mengangguk.
Kemudian, Jack menyadari bahwa itu adalah anak cowok yang ada di foto profil Whatsapp Edelia. Anak itu terlihat tampan dengan tubuh tingginya. Mungkin karena kulitnya yang bersih seperti Edelia yang membuat Kenan terlihat menonjol di antara pemain lainnya? Atau karena warna rambutnya yang berbeda sendiri?
Mereka kembali menonton pertandingan itu.
Seperti yang Jack katakan, Kenan lincah walau dengan tubuhnya yang tergolong tinggi. Bola seakan melekat di kakinya. Seraya mendribble bola, ia berkelit melewati beberapa pemain. Memberikannya pada temannya. Tendangan diluncurkan, tapi gagal.
Kali ini giliran tim Kenan yang diserang. Pemain segera berlari ke belakang. Menjaga pertahanannya. Tanpa sadar, Jack berusaha menggigit kukunya padahal ia jelas-jelas mengenakan master.
"Kenapa mereka pake lima back?" tanya Jack geram.
"Nah, benar itu," kata Galih.
"Padahal seharusnya mereka bisa mengakali dengan empat back aja. Biar ada teman Kenan di depan," komentar Jack. "Apa mereka kehabisan pemain? Dan itu Kenan jadi striker tunggal?"
"Dia memang selalu jadi striker tunggal," kata Pebri.
Jack menggeleng. "Nggak, posisi dia bukan di sana," lirih Jack pelan. "Kenapa dia jadi striker tunggal?"
"Karena dia bisa mencetak gol?" Pebri ragu ia bertanya atau berkata. "Lagipula, dia top skor untuk musim ini."
Jack menarik napas dalam-dalam. Melihat bagaimana kemudian bola kembali mengalir ke lapangan klub Merpati.
Pertandingan berjalan dengan sengit. Bola mengalir dengan intensitas yang tinggi. Kedua tim tampak berusaha untuk saling menyerang, tapi hingga peluit paruh waktu berbunyi skor di antara keduanya masih sama.
"Itu mereka sebenarnya bisa aja pake 4-4-2, kenapa harus pake 5-4-1? Keliatan kayak tim lemah," kata Jack saat kedua tim keluar dari lapangan. "Padahal tim lawan juga nggak bagus-bagus amat."
"Mungkin Pak Eko perlu mendengarkan kritik dari pemain timnas terbaik," kata Galih.
"Mau aku antar ke sana?" tanya Pebri.
Seketika saja Jack menggeleng. "Eh, nggak... soalnya aku..." Ia menarik napas panjang. "Itu kasihan Kenan harus naik turun tanpa ada kawan di depan. Lagipula, kalau aku lihat... posisi dia sebenarnya bukan jadi striker tunggal."
Galih dan Pebri manggut-manggut.
"Padahal kami ngeliat sepertinya itu memang posisi yang pas buat Kenan."
Jack tersenyum sedikit. Dalam hati berkata, ada satu dua hal yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu yang sudah berkecimpung di dalamnya.
Babak kedua dimulai.
Kali ini terlihat klub Merpati semakin menaikkan tempo permainannya. Klub Rinjani benar-benar kewalahan ketika serang demi serangan membuat kiper mereka berulang kali harus menjatuhkan diri.
Tapi, kemudian di menit ke-67 semua berubah.
Berawal dari sepakan keras striker Merpari, kiper Rinjani dengan sukses menghalau tendangan itu dengan tinjunya yang langsung mengarahkan bola ke tengah lapangan.
Bola rebound tersebut hampir dimanfaatkan oleh seorang gelandang Merpati, tapi dengan handal dipotong oleh back Rinjani. Bola ditendang jauh. Disambut oleh Kenan yang telah membebaskan diri dari penjagaan tim lawan.
Seketika saja Edelia berdiri dan bersorak-sorak.
"Kenaaannn!!!"
Tak ingin tinggal diam, tiga orang pria di sebelahnya juga turut berdiri dan memberikan dukungan mereka.
Kenan berlari dengan cepat dan lincah. Mengecoh pemain belakang Merpati dengan menendang bola di antara kedua kaki pemain itu.
Kenan semakin mendekati gawang lawan ketika ia harus berhadapan dengan satu pemain belakang yang tersisa. Dengan cerdik ia melakukan flip-flap. Berhasil mengelabui pemain itu dan kemudian dengan kaki kirinya ia menendang sekuat tenaga.
Teriakan pecah.
Jack tertegun.
"Kamu ngeliatnya, Jack?" tanya Galih.
"Kenan punya kaki kiri yang begitu kuat!" puji Pebri.
Lalu, Jack tersenyum di balik maskernya dan terdengar suaranya lirih ketika berkata.
"Ya, tendangan kaki kirinya kuat."
Terpisah oleh Pebri, tepukan tangan Edelia semakin melambat. Pelan-pelan ia menundukkan pandangannya. Jatuh di kaki kiri Jack.
*
Striker: pemain yang bertugas untuk menyerang dan mencetak gol.
Winger: pemain sayap.
Back: pemain bertahan.
Bola rebound: bola yang berhasil ditepis oleh kiper dan tetap berada di lapangan permainan.
Flip-flap: teknik mengoceh dengan memindahkan arah bola menggunakan kecepatan kaki.
tbc...
kan, Guys... sepertinya masa-masa mellow akan segera datang. tapi, tenang aja kok. bukan berarti komedinya bakal bener-bener hilang. tapi, ya bakal terjadi kompleksitas perasaan gitu... 😁😁😁
jadi, gimana perasaannya di part ini? 😚😚😚
sabar... ini masih permulaan... hahahaha... 😅😅😅
Pkl 20.27 WIB...
Bengkulu, 2020.06.07...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro