Bukti Kehebatan
Ohayo minnaaa... 👋🏻👋🏻👋🏻
Aduh, sepi ya... ini pasti lagi sibuk masak kue lebaran ini mah... hehhehe... 😂😂😂
udah pada masak apa aja nih ceritanya? 😁😁😁
kalau aku, tahun ini ga ada masak kue kering. soalnya rumah sepi, ga bakal ada yang makan... 🙄🙄🙄
oh ya... selagi nemeni kalian bersibuk ria, aku up part 5 yaaa... 😘😘😘
selamat menikmati... 🤗🤗🤗
==========================================================================
Edelia bersenandung seraya mengikat kuda rambut hitamnya di puncak kepala. Beberapa anak rambut tampak terlepas dan memberi kesan sedikit berantakan yang memesona di sisi wajahnya.
Ia tersenyum lebar menatap pantulan dirinya di cermin. Setelah membedaki sedikit wajahnya, ia merasa penampilannya cukup rapi. Terlebih dengan kemeja bermotif dan celana jeans yang ia kenakan, ia pikir ia sudah siap untuk menjalani sore itu.
Ketika ia keluar dari kamar, ia mendapati Kenan yang baru pulang dari sekolah tampak makan siang. Remaja laki-laki itu menengadahkan kepalanya.
"Mama sudah mau pergi sekarang?"
Edelia tersenyum. Ia duduk di dekat Kenan. Mengangguk dan menjawab. "Mama nggak mau terlambat di hari pertama kerja."
"Ehm..." Kenan mengerti. "Berarti malam ini Mama pulang malam?"
"Iya," kata Edelia merasa tak enak. "Kamu nggak apa-apa kan sendirian? Ehm... Atau Mama harus nyari kerja yang lain?"
Kenan menatap Edelia, menghentikan makan siangnya. "Aku nggak apa-apa, Ma. Lagipula biasanya banyak Bapak-Bapak yang main remi di warung sebelah. Mama kerja aja. Cari kerja kan susah."
Edelia mengusap kepala Kenan. Lama-lama menatap wajah anaknya itu.
"Kenapa, Ma?"
Edelia menggeleng sedikit. "Nggak apa-apa. Cuma Mama pikir rambut kamu halus banget ya?" Edelia memandangi warna rambut Kenan lamat-lamat.
"Eh?" Kenan mengerjap.
"Warna rambut kamu bagus."
Kenan mendesah seraya melanjutkan makannya. "Aku malah mau punya rambut hitam kayak Mama," katanya seraya mengunyah. "Mama nggak tau kalau Bu Yati, yang jual gorengan di sekolah selalu ngomong ke aku kalau rambut aku begini gara-gara keseringan main bola siang hari."
Edelia tersenyum geli.
"Makanya rambut aku coklat kayak pirang gini."
Memandangi rambut Kenan yang bewarna coklat pirang entah kenapa membuat Edelia teringat kejadian di malam Minggu kemaren. Saat dirinya ketemu pria menyebalkan yang ia cap sebagai bule kesasar.
Edelia bangkit dan mengeluarkan kontak motor dari saku celana yang ia kenakan. "Mama pergi dulu ya, Ken. Kamu baik-baik di rumah. Kalau nanti mau main bola, jangan lupa kunci rumah. Titipin ke warung sebelah aja."
"Oke, Ma."
Edelia menyempatkan diri untuk memberikan satu kecupan di kepala Kenan sebelum benar-benar pergi.
Kala itu masih sekitar jam dua siang ketika Edelia sampai di Hotel Gajah Putih. Sinar terik tampak menyilaukan suasana pantai. Beruntung banyaknya pohon di sepanjang pantai membuat angin yang bertiup menjadi terasa lebih sejuk.
Sesampainya di sana, Edelia langsung dibawa Chef Junan ke bagian dapur. Edelia tersenyum ketika mendapati Tim Dapur berkumpul di hadapannya.
"Oke, everybody. Jadi, ini asisten malam saya yang baru."
Tim Dapur tampak tersenyum kecil.
"I know. Cewek lagi," kata Chef Junan memutar-mutar bola matanya. "Kalian nggak tau aja. Kemaren yang daftar jadi asisten ada tujuh orang. Dan tebak, dari tujuh orang itu total ada delapan orang yang cewek."
Mereka tergelak mendengar kalimat hiperbola Chef Junan.
"Nggak taulah kenapa jam malam saya selalu mendapatkan asisten cewek." Chef Junan menghela napas, lalu beralih pada Edelia. "Jadi, silakan perkenalkan diri kamu."
Tipis, Edelia tersenyum. "Selamat siang. Perkenalkan nama saya Edelia Prasetyani. Orang-orang biasa manggil saya Edel."
Mereka mengangguk-angguk.
"Ini semua orang-orang di Tim Dapur," jelas Chef Junan. "Rara expediter, Vindy saucier chef, Agung boucher, Bagas fish chef, Milka steward, Tomi asisten pagi saya, Lenti steward juga, terus di belakang ada tim sapu jagat diketuai sama Irfan. Ehm, mungkin dia lagi sibuk di belakang." Chef Junan memperkenalkan setiap orang di sana kepada Edelia.
Edelia tersenyum pada mereka seraya mengingat nama mereka dengan baik di ingatannya.
"Jadi, untuk pertama. Hari ini kamu masih bakal didampingi oleh Tomi."
Tomi mengangkat tangannya, melambai kecil dan tersenyum.
"Tapi, mulai besok nggak. Jadi, usahakan kamu belajar banyak hal dengan Tomi. Understand?"
Mata Edelia mengerjap-ngerjap. "A-A-Apa, Pak?"
Chef Junan memutar bola matanya. "Mengerti?"
"Oooh..." Edelia melirih. "Mengerti, Pak."
"Wait a minute," kata Chef Junan. "Don't call me 'Bapak'. I'm totally not your father."
Aduh, si Bapak ngomong apa lagi coba?
"Panggil saya seperti yang lainnya," kata Chef Junan dengan penuh percaya diri. "Chef Junan."
"Aaah."
"Paham?"
"Paham, Pak. Eee--- Paham, Chef."
Chef Junan tersenyum, lalu beralih pada Tomi. "Tom, tolong ajak dia keliling bentar dan jelasin semua yang perlu kamu jelesin. Oke?"
"Oke, Chef."
Tanpa kata-kata lagi, Chef Junan pergi keluar dari dapur menuju ke ruangannya. Meninggalkan Edelia yang langsung bersalaman dengan semua orang di sana. Setelahnya, Tomi dengan segera mengajak Edelia berkeliling di area dapur.
Seraya mendengarkan penjelasan mengenai beberapa peralatan di sana, Edelia tak mampu untuk menahan decak kagumnya melihat keadaan dapur. Beberapa peralatan canggih yang tak pernah Edelia lihat seumur hidupnya, terpampang di hadapannya. Dari pemanggang hingga kompor-kompor mahal yang hanya sesekali ia lihat di televisi.
"Jadi," kata Tomi mengakhiri tour mereka. "Intinya sih kita itu pembantu pribadinya Chef Junan. Kalau dia mau masak, kita yang harus nyiapin bahannya. Milka dan Lenti sih emang steward di sini, tapi mereka steward lepas. Artinya mereka ngebantu Rara, Vindy, Agung, dan Bagas. Sedangkan kita berdua khusus untuk ngebantu Chef Junan."
Edelia mengernyit. "Ste-Steward itu apa ya?"
Tomi bersidekap. "Kamu tamatan apa?"
"Cuma tamatan SMP," lirih Edelia pelan.
"Oooh..." Tomi melirih pelan. Lalu, pria tinggi berkulit hitam manis itu mengangguk paham. "Steward itu artinya pelayan di dapur. Artinya ya ngebantu-ngebantu chef. Nyuci sayur, ngupas sayur, motong-motong, dan lain sebagainya." Lalu, seraya bersandar pada satu meja, Tomi menunjuk rekannya. "Rara itu expediter atau yang bertugas untuk menghias hidangan. Jadi kalau kita udah masak, dia yang bakal menatanya biar keliatan cantik."
"Ehm... Kayak bunga-bunga dari tomat dan cabe di tumpeng itu?"
Jari Tomi menjentik. "Tepat sekali. Istilah dapurnya adalah garnis. Selain itu dia juga bertugas untuk menghidangkan sajian ke depan. Kamu nggak usah heran kalau dia mendadak cerewet kalau ada sesuatu yang nggak rapi dan cantik menurut matanya."
Edelia mengangguk paham.
"Selanjutnya Agung Si Badan Besar Berotot itu boucher atau bisa kamu ingat sebagai chef daging. Karena itulah kenapa katanya badan Agung itu penuh otot. Soalnya dari dulu kabarnya Agung memang tukang jagal sapi dan sebagainya. Kabar burung ngomong kalau dia sanggup nyembelih sapi seorang diri loh."
"Yang bener?" tanya Edelia bergidik ngeri. Terutama dari tempatnya berdiri ia dapat melihat bagaimana Agung yang menyeringai seraya mengasah kedua pisau daging di kedua tangannya. Mata pria itu tampak berkilat-kilat memandang potongan daging di atas talenan. Menyeramkan.
Tomi mengangguk dengan mata menyipit. "Jadi, kalau ada pesanan daging, entah itu steak atau apa, dia yang bakal masak makanan itu." Tomi beralih pada Vindy. "Jangan heran kalau kamu ngeliat Vindy ke mana-mana selalu ngebawa botol saos."
Edelia menoleh. "Kenapa?"
"Cewek berambut bob itu sepertinya memang sangat terobsesi dengan pekerjaan sebagai saucier chef. Jadi, ke mana-mana selalu bawa botol saos. Oh iya. Kalau ada pesanan berupa tumisan atau pasta atau yang berkaitan dengan saos dan semacamnya, itu pasti dia yang masak."
Edelia mengingat itu di benaknya. Chef tumisan, pasta, dan saos.
Selanjutnya, Edelia melihat pada pria lain yang ditunjuk Tomi. Seorang pria yang memiliki kepala licin tanpa rambut.
"Beberapa orang ngomong kalau alasan Bagas nggak pernah numbuhi rambutnya adalah karena dia bersimpatik pada hewan laut yang nggak punya rambut."
Mata Edelia mengerjap-ngerjap. "Terus hubungannya apa?"
"Dia merasa memiliki ikatan batin dengan para hewan laut," kata Tomi sambil geleng-geleng kepala. "Jadi, dia pikir perlu untuk sedikit menghormati para arwah hewan laut yang ia masak."
"Eh?"
Tomi mengembuskan napas panjang dan bertepuk tangan sekali. "Ya, sekilas memang kayaknya Tim Dapur ini isinya aneh-aneh semua. Hahaha. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Mereka semua masih makan nasi dan masih merasa galau kalau akhir bulan."
Edelia hanya tertawa kaku mendengar perkataan Tomi.
"Dan yuk," kata Tomi bangkit dari posisi nyamannya. "Aku ajak kamu ke ruang penyimpanan atau yang sering kami panggil dengan istilah 'kamar'."
Edelia dengan antusias mengikuti Tomi yang membawanya keluar dari dapur menuju ke ruang penyimpanan. Ruang itu tepat berada di depan dapur. Antara dua ruangan itu hanya terpisahkan oleh lorong yang menjadi akses untuk orang-orang lalu lalang. Sedang di ujung lorong, ada ruangan Chef Junan. Tepat sebelum belokan yang mengarah ke bagian utama bangunan hotel tersebut.
"Wah!"
Edelia tak mampu menahan ketakjubannya tatkala memasuki ruangan sarat dengan bahan aluminium yang berisi berbagai jenis sayuran itu. Suhunya yang diatur sejuk membuat sayur-sayuran tampak segar.
"Sini." Tomi mengajaknya ke satu pintu. Dan ketika Tomi membuka pintu itu, sontak saja Edelia menggigil. "Ini ruang beku. Bahan-bahan seperti daging dan ikan disimpan di sini."
Edelia mengikuti Tomi yang memasuki ruangan itu.
"Ini setiap bahan sudah ada namanya masing-masing. Ini tugasnya Lenti untuk mengecek semua persediaan bahan dan meletakkan setiap bahan di tempatnya masing-masing."
"Ooo." Edelia mengangguk-angguk.
"Jadi, kalau ntar kamu bingung nyari bahan," lanjut Tomi, "Kamu bisa ngubungi dia. Oke?"
"Oke."
Setelah mengajak Edelia melihat ke ruang penyimpanan, Tomi mengajak wanita itu ke luar dan menuju ke ruangan yang terletak berdampingan dengan ruang penyimpanan. Tepat setelah pintu samping bangunan itu.
"Di sini tempat istirahat."
Edelia melihat ada beberapa tempat tidur berukuran kecil dan lemari loker yang menempel di dua sisi dinding.
"Sisi kanan ini loker khusus cowok," tunjuk Tomi. "Sedangkan yang kiri itu khusus cewek." Ia menoleh pada Edelia. "Kamu bisa pilih satu."
Tanpa diperintah, Edelia menghampiri loker tersebut. Dan mendapati bahwa satu loker yang tepat di dekat jendela kosong.
"Aku pakai yang ini aja."
Tomi mengangguk. "Pilihan kamu bagus."
"Kenapa?"
"Soalnya dari tempat kamu bisa ngeliat ke halaman parkir belakang."
Edelia melongok melalui jendela. Yang dikatakan Tomi benar. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat beberapa mobil terparkir. Tapi, apa hubungannya?
"Soalnya, Bos selalu parkir di sana. Anak-anak pada suka ngumpul di tempat kamu berdiri buat ngeliatin Bos loh."
"Ooo... Hehehehe."
Tomi mendekat. "Bos masih muda. Paling umurnya tahun ini sekitar 31 gitu. Dan masih lajang," katanya seraya melirik Edelia yang sedikit menarik diri darinya. "Itu mobilnya. Yang plat XX 195 MM. Nanti sore pas Bos mau pulang, aku kenalin ke Bos deh. Biasanya Bos selalu mampir ke dapur setiap baru datang dan mau pulang. Bos orangnya baik dan ramah." Tomi mengusap dagunya. "Ehm... atau jangan-jangan kamu udah kenal duluan ya dengan Bos." Ia tertawa.
Edelia segera menggeleng. "Aku nggak kenal."
Tomi terkekeh. "Jarang ada cewek yang nggak kenal cowok cakep. Apalagi Bos."
Dahi Edelia berkerut.
"Oke," lanjut Tomi. "Tour-nya sampai di sini. Oh iya. Mulai hari ini harusnya kamu udah pake seragam, tapi karena mendesak makanya seragam kamu baru sampe besok. Jadi, hari ini kamu pake baju bebas aja dulu."
"Oke."
"Ah, satu lagi. Tim Dapur ini sebenarnya orangnya pada enak-enak, jadi kamu nggak usah terlalu formal dengan kita-kita. Kalau ada yang kurang paham, kamu bisa nanya aja. Nggak perlu takut."
"Makasih banyak."
Tomi tersenyum hingga menerbitkan lesung pipi di pipi kirinya. "Kamu juga boleh manggil Tomi aja ke aku."
"Oke, Tom."
*
Jadi, dimulailah pertualangan Edelia. Ia dengan sigap membantu pekerjaan yang ada di dapur. Mulai pemanasan dengan membantu Milka mengupas kentang dan wortel. Malam itu, ada acara makan malam yang akan dilakukan oleh pengurus salah satu partai di Bengkulu. Alhasil, mereka pun sibuk.
Waktu yang tepat karena Edelia langsung membantu hingga Tim Dapur tidak terlalu kewalahan.
"Del, tolong ambil kol dan sawi senter di kamar ya."
Edelia dengan sigap berjalan cepat ke ruang penyimpanan. Membawa kol dan sawi yang dimaksud oleh Vindy.
"Makasih."
Lalu, Bagas yang memanggil dirinya.
"Tolong ambil ikan tenggiri dan gurita."
"Siap."
Edelia kembali beranjak dari sana. Ia nyaris menabrak Agung ketika akan keluar, beruntung ia tak sampai terjatuh. Ketika ia berada di ruang penyimpanan, Edelia tertegun.
"Aku ngapain ya ke sini?" tanyanya bingung. "Bukannya aku udah ngambil kol dan sawi buat Vindy?"
Edelia mengembus napas kesal. Keluar lagi dari ruang penyimpanan. Dan ketika itulah ia mendengar satu suara yang tak asing di telinganya. Terdengar dalam, hangat, tapi juga dengan aksen jenaka.
"Kamu...?"
Edelia sontak menghentikan kakinya dan menoleh. Ia seketika terperanjat saat melihat wajah seorang pria berambut pirang yang bengong menatapnya.
Pria itu? pikir Edelia. Ngapain dia ada di sini? Dia ngikuti aku atau gimana?
Edelia meneguk ludahnya.
Yang benar saja. Jangan bilang dia mau buat masalah dengan aku di sini? Dia nggak ngerasa sakit hati gara-gara kejadian malam itu dan mendadak mau balas dendam kan?
Lagian, itu kan salah dia. Aku nggak pernah minta tolong buat diselamatin.
*
Edelia bingung. Mengerjapkan matanya, lalu menatap pada Chef Junan. Rasa-rasanya telinga aku masih kemasukan pasir dari malam itu deh.
"Apa, Chef? Tadi Chef ngomong apa?"
Chef Junan meringis dramatis dengan raut histeris. "Beliau ini Bos! Bos kita! Pemilik Hotel Gajah Putih!"
"E---? Chef becanda ah! Masa cowok nggak waras gini---" Edelia menoleh dan tatapannya langsung tertangkap tatapan tajam Jack. "Di-Dia Bos kita, Chef?"
Seketika, kekuatan Edelia seakan lenyap terbang ke angkasa. Memanfaatkan itu, Jack dengan segera menyentak tangan Edelia lepas dari mulutnya. Wajahnya terlihat mengelam.
"Aaah. Jadi ini asisten koki yang Chef pilih kemaren?" tanya Jack. "Wanita yang seperti ini?"
Chef Junan meneguk ludahnya. "B-B-Bos, saya minta maaf. Saya nggak tau kalau cewek ini terlahir tanpa otak di dalam kepalanya."
Edelia membeku di tempatnya berdiri. Kakinya seakan tak mampu berdiri lagi. Terutama ketika Jack malah mendekatinya, berkacak pinggang di hadapannya, dan menunduk demi menatap kedua matanya.
"Ehm..." Jack mendehem. Membawa tatapan matanya yang tajam untuk mengamati wajah Edelia yang memucat dalam hitungan detik yang cepat. "Jadi, aku atau kamu yang penguntit di sini, heh?"
Glek.
Jantung Edelia terasa tak lagi berdetak di dalam dadanya. Ia bahkan tak bisa menarik napas karena pertanyaan itu.
"Well... kamu tinggal pilih," lanjut Jack tanpa sedikit pun melarikan tatapan matanya dari Edelia. "Aku yang pergi atau kamu yang pergi?"
Edelia tak berdaya dengan pertanyaan itu.
Dipecat tanpa sempat bekerja? Hebat sekali kamu, Del!
Lalu, semuanya terjadi begitu saja. Para Tim Dapur yang sahut-sahutan mengembuskan napas panjang. Tapi, dengan raut wajah merinding karena untuk pertama kalinya melihat Jack diperlakukan seperti itu. Belum lagi dengan Chef Junan yang dengan wajah memerah tampak ingin menelan Edelia hidup-hidup. Dan Edelia yang bingung harus melakukan apa sehingga tak menghiraukan keriuhan di sana, langsung saja berlari keluar mengejar Si Bule Imitasi. Eeeh... maksudnya Si Pak Bos.
"Bapak! Bapak! Bapak!"
Jack tak menghiraukan panggilan itu. Alih-alih berhenti,ia terus saja berjalan dengan cepat menuju ke mobilnya yang terparkir.
Edelia seketika berlari melihat Jack yang tak menghiraukannya. Aduh, alamat beneran dipecat sebelum bekerja ini aku ceritanya.
Tidak!
Itu tidak boleh terjadi!
Jack mengeluarkan kontak mobilnya, Edelia dengan panik berlari dengan cepat. Mengulurkan tangannya untuk meraih bahu lebar Jack. Tapi, Jack yang kesal langsung saja menarik bahunya. Alhasil, tangan Edelia hanya berhasil menangkap kaos yang dikenakan Jack.
"Breeettt!"
Tangan Jack yang membuka pintu mobil berhenti bergerak. Kakinya yang semula ingin masuk ke dalam mobil berhenti bergerak.
Mata Edelia membola besar. "Tuhaaan..."
Jack menarik napas dalam-dalam. Matanya terpejam dramatis untuk beberapa saat. Lalu, membanting mobil dengan kesal.
Tangan Edelia yang memegang kaos Jack yang telah robek di bagian bahu hingga separuh punggung itu, dengan gemetar bergerak. Melepas robekan kaos itu hingga ia menjuntai lemas terjatuh di tubuh Jack.
Jack berbalik.
Edelia seketika mengangkat kedua tangannya ketakutan mengepal di depan mulut. Aneka warna sudah mewarnai wajah Edelia. Merah padam, putih pucat, hingga hitam mengelam.
"Ba---pak...," lirih Edelia takut-takut.
"Kamu ini bener-bener," desah Jack dengan suara bergetar. "Sebenarnya mau kamu ini apa?"
Edelia menciut. Ini pasti nggak bakal jadi urusan yang mudah, Tuhan.
"Pak... jangan pecat saya."
Jack mengerjap.
"Saya mohon, Pak."
"Menurut kamu saja. Setelah apa yang kamu lakukan ke saya, mana masuk akal? Saya pecat kamu atau saya biarkan kamu tetap kerja?"
"Ya... Bapak pecat saya sih."
Mata Jack membesar. "Itu kamu tau kan?"
"Tapi, Pak. Saya mohon. Beneran, Pak. Saya nggak tau kalau kamu adalah pemilik hotel ini. Kalau tau kan saya nggak mungkin ngomongi kamu yang aneh-aneh."
Mata Jack semakin membesar.
"Bapak." Edelia menepuk mulutnya. "Maksud saya Bapak."
"Coba kita putar balik ke belakang," kata Jack kesal. "Saya nolongin kamu. Whatever! Kamu nganggapnya pertolongan atau nggak, nyatanya kamu bukannya ngucapin makasih, eh justru marahin saya. Ngomongi saya bule kesasar lah, sok jadi pahlawan lah, terus tadi? Cowok rambut kuah sate padang?"
Ups!
"Cowok gila? Nggak waras?" Jack menatap Edelia berapi-api. "Bule Imitasi?"
Ups!
Edelia rasanya benar-benar ingin mengubur dirinya hidup-hidup.
"Fuuuh!"
Jack membuang napas panjang sekali. Lalu menarik napas dalam-dalam.
"Dan setelah kejadian itu," sambung Jack. "Bagaimana bisa saya tetap ngizinin kamu kerja di sini heh?"
Edelia meneguk ludahnya yang terasa pahit menggumpal.
"Pak," kata Edelia, entah sadar entah tidak memegang satu tangan Jack. "Saya mohon. Maafin saya. Ya, Pak? Saya benar-benar butuh pekerjaan ini, Pak."
Lamat-lamat, Jack menatap Edelia. Mengamati bagaimana sepasang mata kucing itu menatap padanya dengan berair. Terutama bibir Edelia yang tampak polos bewarna merah muda mengerut takut karena dirinya.
"Berikan alasan dan keuntungan kenapa saya harus tetap memperkerjakan cewek yang sudah mengatai saya mati-matian?"
Glek.
Edelia memaksa otaknya untuk berputar. "Alasan... alasan... ehm..."
Jack menarik napas dalam-dalam. Mulai berpikir untuk menyudahi obrolan itu.
"Saya pekerja keras, Pak. Saya benar-benar akan bekerja keras. Bapak nggak akan menyesal memperkerjakan saya di sini, Pak." Edelia berkata dengan penuh ketekadan di suara dan sorot matanya. "La-La-Lagipula... saya dengar Bapak kan orangnya baik. Bapak nggak mungkin kan memecat karyawan karena masalah pribadi?"
"Eh?"
"Kejadian malam itu kan, Pak, masalah pribadi kita. Nggak boleh dicampuri dengan urusan pekerjaan, Pak."
"Wah!" Jack geleng-geleng kepala melihat Edelia. "Lihat bagaimana kamu bicara ke saya sekarang."
Edelia menciut. "Saya dengar... katanya Bapak itu Bos yang cakep dan baik hati. Masa karena kesalahpahaman itu Bapak jadi memecat saya? Bapak harusnya bisa melihat dari sudut pandang saya, Pak. Kalau Bapak ada di posisi saya, Bapak pasti juga mikir kalau ada semacam penguntit yang ngikuti Bapak. Ya saya khawatirlah itu bisa menyebabkan masalah untuk saya. Padahal saya baru saja kerja di sini."
Jack mengerutkan dahi.
"Tadi saya khawatir kalau Bapak akan membuat kehebohan di tempat saya kerja dan membuat saya dipecat."
"Kenapa kamu sampai mikir begitu?"
"Ka-Karena..." Edelia menggigit bibirnya seraya menunduk. Merasa bersalah. "Karena saya takut Bapak mau balas dendam. Karena saya mengata-ngatai Bapak malam Minggu kemaren. Bukannya ngucapin makasih untuk niat baik Bapak, eh justru marah-marah karena satu sandal yang hilang."
Jack mendengus. "Makanya... kalau merasa bersalah, ujung-ujungnya pasti berpikiran negatif ke semua orang."
Ah, benar-benar, deh, rutuk Edelia.
"Maafkan saya untuk malam itu, Pak," ulang Edelia. "Tapi, saya sungguh-sungguh akan menjaga sikap saya, Pak. Saya benar-benar butuh pekerjaan ini. Saya harus membayar uang kontrakan saya. Saya harus hidup, Pak."
"Eh?" Jack menatap horor pada Edelia.
"Saya mohon, Pak. Saya jamin Bapak nggak akan menyesal memperkerjakan saya." Edelia mengangkat wajahnya. Menampilkan matanya yang berkaca-kaca, mengiba. "Ya, Pak? Saya mohon, Pak. Apa pun yang Bapak suruh nanti pasti akan saya kerjakan, Pak. Nggak cuma kerja di dapur hotel, kerja di dapur Bapak pun saya siap." Edelia menarik-narik tangan Jack. "Ya, Pak? Tolong bantu wanita seperti saya untuk mencari pekerjaan yang halal, Pak."
"Eeeh?"
Sontak saja kalimat itu membuat imajinasi Jack meliar. Menampilkan beberapa opsi pekerjaan yang tak semestinya dilakukan oleh wanita.
Jack langsung menarik tangannya. Bagaimana pun juga, ia tak suka dengan imajinasinya barusan.
Ternyata benar, pikir Jack. Aku ini memang orang baik.
"Ya sudah!" kata Jack. "Kamu masih bisa kerja. Tapi, sekali saja kamu buat masalah, bakal saya tendang kamu sampai nyasar ke Antartika sana."
Edelia berkedip-kedip. Antartika itu di mana ya?
Tak menghiraukan Edelia, Jack memutar tubuhnya. Berniat masuk ke dalam mobil.
"Eh, tunggu, Pak!"
Tangan Jack terhenti lagi di pintu mobil. "Apalagi?" tanya Jack kesal.
"Ehm... makasih untuk kesempatannya, Pak," kata Edelia takut-takut. "Dan... tentang kaos Bapak."
Jack melirik melewati bahu kanannya. Sontak ia memejamkan mata dengan frustrasi.
"Saya bisa menjahit baju itu di rumah, Pak."
Jack menatap Edelia gusar. Tanpa kata-kata, ia dengan segera meloloskan kaos itu melewati kepalanya.
Edelia mendadak butuh napas bantuan, terutama ketika Jack melempar kaos itu padanya.
Dengan begitu acuhnya, seolah tak menyadari dampak topless yang ia lakukan pada Edelia, Jack malah berkata.
"Ngomong-ngomong, saya perlu mengakui kalau kamu hebat."
Edelia mengerjap. Berusaha menatap mata Jack, alih-alih terpaku pada susunan otot-otot Jack dari dada hingga ke perut itu.
"Eh? Apa, Pak? He-He-Hebat?"
"Ya, hebat." Jack mengangguk seraya mengangkat jari telunjuk dan tengahnya bersamaan. "Dalam dua kali pertemuan, kamu berhasil membuat saya melepaskan baju saya sebanyak dua kali."
Ups!
Seketika saja Edelia tak lagi mampu berkata-kata.
*
tbc...
wah! part ini panjang loh ya... 3.000++ kata... semoga puaslah kalian bacanya... 😂😂😂
sejauh ini, gimana tanggapannya guys? hehehehe... jangan lupa vote dan komennya yak... 😅😅😅
see ya di part selanjutnya, Guys... 👋🏻👋🏻👋🏻
Pkl 10.30 WIB...
Bengkulu, 2020.05.19...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro