Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bintang Harapan

Selamat malam Minggu semuanya... 👋🏻👋🏻👋🏻

sudah pada makan malam? atau sekarang lagi jalan bareng pujaan hati? 😁😁😁

apa pun yang lagi kalian lakukan, sebelum baca ini siapkan tisu atau saputangan ya... cuma sekadar buat jaga-jaga doang sih... 😅😅😅

jadi, selamat meresapi... 🤗🤗🤗

===========================================================================

"Chef..."

Suara lirih Milka membuat Vindy memalingkan wajahnya. Kedua tangannya yang sedang menyobek-nyobek jamur tiram seketika berhenti mendapati Milka yang mendatangi dirinya.

"Kenapa, Mil?"

Milka tampak menundukkan wajahnya. Terlihat dari air mukanya bahwa ia tampak merasa resah.

"Kenapa?"

Lantas, Milka mengangkat wajah. "Aku..." Dia meneguk ludahnya. "Soal Chef Edel."

"Ah..." Vindy manggut-manggut. "Kenapa dengan dia?"

"Aku nggak enak, Chef. Aku sudah ngomongi dia di belakang yang nggak-nggak."

Vindy melepaskan jamur tiram itu dari tangannya. Menggunakan serbet yang bersih untuk mengelapnya. Lantas ia membalikkan badan, menyandarkan bokongnya di tepian meja. Bersidekap.

"Terus?"

"Chef temani aku ya?" tanya Milka meminta. "Buat minta maaf ke Chef Edel."

Vindy menarik napas dalam-dalam. "Edel pasti nggak pernah mikiri orang-orang yang ngomongi dia kok. Jadi, menurut aku kamu nggak perlu minta maaf."

"Tapi, Chef..."

"Kamu cukup nggak perlu mengulanginya lagi. Lagipula, sikap Edel ke kamu kan biasa-biasa aja. Nanti kalau kamu ngomong, justru khawatirnya dia merasa nggak nyaman sama kamu." Vindy tersenyum. "Keburukan yang kamu lakukan, kalau kamu menyadari itu salah, cukup kamu perbaiki. Nggak perlu melakukan hal yang bisa membuatnya jadi tambah besar ah. Kecuali kalau tindakan kamu membuat masalah gede, baru kamu harus minta maaf. Yah, bukannya aku mau ngomong kalau begosip itu masalah kecil sih, tapi cukupkan aja masalah ini sampai di sini. Jangan diperbesar atau diungkit-ungkit lagi."

Milka mengerutkan dahinya. "Beneran nggak apa-apa, Chef?"

Vindy mengangguk. "Aku tau, Edel pasti nggak mikirin hal kayak gini." Ia mengembuskan napas panjang. "Ah, udah. Daripada ngomong aneh-aneh, situ kamu ambilin brokoli. Dipotong-potong."

Milka mengangguk. "Baik, Chef."

Vindy tersenyum melihat kepergian Milka. Geleng-geleng kepala, ia kembali membalikkan badannya. Berniat untuk melanjutkan pekerjaannya, tapi malah melihat Bagas yang melihatnya dari seberang meja. Dari celah-celah rak yang berada di tengah-tengah meja besar itu, Vindy menukas.

"Ngapain lagi ini Botak ngintip-ngintip aku?"

Bagas menyeringai. Mengangkat seekor ikan tenggiri. "Menurut kamu ikan tenggiri enak nggak ya ditumis pake saos tiram?"

Vindy mendengus. "Kayak yang aku peduli aja."

Bagas menyembunyikan senyum simpulnya dan mulai memotong-motong ikan tenggiri tersebut. Sedang Tim Dapur yang lain juga tampak mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Terutama karena saat itu sudah menjelang jam dua belas siang. Menandakan bahwa sebentar lagi jam makan siang akan datang. Resto pasti akan kedatangan pelanggan. Tapi, ketika Tim Dapur sedang hilir mudik bekerja, beberapa saat kemudian Jack datang ke sana.

"Selamat siang semuanya!"

Tim Dapur kompak menoleh ke pintu.

"Selamat siang, Bos."

Jack tersenyum lebar. Ia tampak melangkah masuk. Mengitari sejenak ruangan itu dan kemudian mendehem.

"Ehm... Saya bisa minta waktu kalian sebentar?"

"Waktu?" tanya Agung.

"Untuk apa, Bos?" imbuh Rara.

Jack menarik napas dalam-dalam. Membiarkan Tim Dapur kemudian meninggalkan pekerjaannya masing-masing dan menghampiri dirinya.

Jack berdiri seraya mengusap-usap kedua tangannya. Terlihat seperti salah tingkah atau sulit untuk memulai perkataannya.

"Ada apa, Bos?" tanya Bagas.

Jack mengusap tekuknya. Lalu menarik napas panjang. Perlahan-lahan, ia mengedarkan pandangannya. Menatap satu persatu seluruh Tim Dapur. Akhirnya, dengan tersenyum Jack berkata.

"Saya mau pamitan dengan kalian."

"Eh?"

"Pamitan?"

"Bos mau pergi?"

"Ke mana?"

"Kapan balik?"

Mereka sontak bertanya ketika mendengar perkataan Jack. Tanpa sadar membuat Jack sedikit merasa geli karenanya.

"Saya mau balik ke Jakarta," kata Jack. "Saya harus menyelesaikan urusan saya yang belum selesai di sana."

"Lama ya, Bos?"

Jack menjawab pertanyaan Rara dengan anggukan sekali. "Sepertinya. Dan karena itulah saya merasa perlu untuk menemui kalian terlebih dahulu."

"Bos..."

"Saya minta maaf," kata Jack. "Selama ini mungkin saya selalu merepotkan kalian. Meminta kalian memasakkan saya banyak makanan. Bahkan mungkin mengganggu pekerjaan kalian. Saya minta maaf."

Mereka kompak menggeleng.

"Nggak, Bos."

"Syukurlah kalau nggak," kata Jack terkekeh kecil. "Selanjutnya juga, terima kasih. Kalian sudah membuat hari-hari saya di sini menyenangkan. Terutama dengan guyonan dan candaan kalian. Saya merasa awet muda di sini."

"Bos... jangan ngomong gitu."

Jack menarik napas dalam-dalam. "Dan sebelum saya pergi, kalau kalian berkenan membantu saya, saya ingin meminta bantuan kalian."

"Apa, Bos?"

"Kalau bisa, kami pasti bakal nolongin Bos."

Kali ini senyum di bibir Jack meredup. Tatapannya terlihat lesu ketika berkata. "Saya harap kalian mau menjaga dan menemani Edel." Sejenak, wajahnya tertunduk. Tapi, ketika ia mengangkat wajahnya kembali, sepasang bola mata hitam itu tampak berkabut. "Lama di hidupnya, ia selalu dipandang negatif dan rendah, tapi dia adalah wanita yang hebat. Kalau kalian bisa sedikit saja lebih mengenal dia, kalian akan tau. Edel itu adalah ibu dan wanita yang kuat."

Tim Dapur terlihat memandang Jack dengan tatapan haru. Untuk pertama kalinya, sepanjang mereka bekerja di sana, mereka melihat Jack yang jenaka seolah hilang.

"Saya hanya ingin kalian bisa menggantikan saya di sini untuk menemaninya. Dia nggak punya siapa-siapa selain kalian."

Beberapa saat, suasana heninglah yang ada. Tampak bagai terhipnotis dengan permintaan tulus Jack.

"Tentu, Bos. Kami kan sudah janji bakal menjaga Edel layaknya perawan desa terakhir!" celetuk Vindy mencoba mencairkan suasana. "Memangnya kami kerja di sini baru kemaren apa? Kita di sini semuanya keluarga."

"Benar, Bos. Bos nggak perlu khawatir. Siapa yang nganggu salah satu Tim Dapur, pisau daging siap melayang."

Jack tertawa dengan perkataan Agung. "Ingatkan saya untuk menaikkan gaji kalian ya?"

Tim Dapur tertawa.

"Dan Vindy," lirih Jack seraya mendekati wanita itu. Satu tangannya merogoh saku celana. Mengeluarkan satu amplop yang ia sodorkan padanya. "Tolong berikan ini pada Edel."

Vindy menerima itu dengan bingung. "Bos... Kenapa nggak ngasih langsung?"

"Penerbangan saya jam dua ini. Saya nggak sempat menemuinya," lirih Jack pelan.

*

Edelia baru saja selesai mengganti seragamnya siang itu. Senyum terkembang di wajahnya. Bagaimana pun juga, keadaan Jack yang membaik membuat ia senang. Kemaren pun ia sempat menemui pria itu dan memastikan keadaannya.

"Del..."

Edelia menoleh. "Ya, Vin?"

Vindy mendekati Edelia. Tangannya mengulurkan sehelai amplop padanya. "Ini surat untuk kamu."

"Surat?" Edelia menyambutnya. Membolak-balikkan amplop itu untuk melihat pengirimnya, tapi tak ada. "Surat dari siapa?"

"Bos..."

"Bos?" tanya Edelia bingung seraya menatap Vindy. Melihat anggukan Vindy, Edelia mendadak merasa takut. "Surat apa?"

Vindy menggeleng pelan.

Maka, dengan tangan bergetar, Edelia secepat mungkin merobek amplop itu. Membaca sehelai surat yang terlipat rapi di dalamnya.

Halo, Edel Miaw Miaw-ku.

Maaf sebelumnya, tapi ketika kamu membaca surat ini, itu artinya saat ini aku mungkin sudah berada di dalam pesawat.
Aku pergi, Del.
Tapi, aku pergi bukan untuk meninggalkan kamu.
Aku pergi karena ingin menyiapkan sesuatu untuk kamu.

Selama aku pergi, aku harap kamu bisa menjaga diri kamu dan Kenan baik-baik.
Jangan pingsan sembarangan, karena nggak bakal ada yang menggendong kamu seperti yang aku lakukan.
Jangan pergi ke mall sendirian, karena nggak bakal ada yang megang tangan kamu seperti yang aku lakukan.
Dan jangan ke pantai, karena takutnya kamu rindu aku seperti yang bakal selalu aku rasakan.

Ah, satu yang penting dan kamu harus tau.
Di hari pertama aku menyebut nama kamu di hadapan Mommy, harusnya aku sadar kalau mulai hari itu pula bukan aku anak bungsu Mommy.
Tapi, kamu.
Jangan pikir aku pergi karena keluarga aku nggak menerima kamu.
Aku pergi justru karena aku sadar, kalau kamu pantas untuk mendapatkan yang terbaik yang bisa aku berikan.

Del...
Selama ini aku selalu menganggap kamu layaknya seekor kucing.
Manis, imut, lucu, dan menggemaskan.
Tapi, kini aku sadar.
Kalau kamu memang kucing, maka kamu pasti Cat Woman.
Kamu kuat dan hebat, persis Cat Woman.
Dan harusnya aku sadar lebih cepat, untuk mendapatkan Cat Woman aku harus jadi Batman.
Hahahaha.
Kamu lagi ketawa kan sekarang?

Jadi...
Aku benar-benar ingin menjadikan kamu Ratu aku, Del.
Untuk itu, aku akan membangun istana yang megah. Menyediakan kereta kencana dengan empat ekor kuda yang gagah. Dan menyiapkan satu cincin dengan batu permata.
Aku ingin bersama aku, kamu akan semakin bahagia.
Aku ingin menjadi pria yang bisa kamu andalkan.

Untuk itu, Del.
Nanti, suatu hari nanti...
Bila aku kembali dan meminta hati kamu, aku mohon.
Jangan tolak aku ya?
Kamu sudah nolak aku dua kali loh ya...
Kali ketiga nanti, kamu terima ya?
Karena...
Aku memang bisa hidup tanpa kamu, tapi kamu yang membuat hidup aku menjadi layaknya sebuah kehidupan.
Aku cinta kamu, Del.

Tangis Edelia seketika pecah. Mendekap erat sehelai kertas itu di depan dadanya. Setiap kata-kata yang tertulis di sana membuat air matanya berontak ingin keluar. Membuat pipinya basah dalam sekejap mata.

Bibirnya bergetar.

"Kamu pikir aku ketawa, Jack?" tanya Edelia terisak. "Bagaimana bisa aku ketawa?"

Vindy mendekati Edelia. Berusaha menenangkan wanita itu. Sedang di ambang pintu Ruang Istirahat yang terbuka, Tim Dapur tampak menatap Edelia sendu.

Edelia berusaha menahan sesegukan tangisnya, tapi tak bisa. Derasnya air mata Edelia nyaris membuat wanita itu kesulitan untuk bernapas.

Tubuh Edelia merosot. Terduduk di lantai. Seraya masih mendekap surat itu, bibir Edelia bergetar ketika melirih dengan begitu pelan.

"Sudah sejak lama, Jack." Edelia memejamkan matanya. Membayangkan wajah jenaka Jack di benaknya. Memastikan bahwa pengakuannya hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "Sudah sejak lama kamu memiliki hati aku."

*

Dan malam itu, di sinilah Edelia berada.

Wanita itu terduduk seorang diri di bibir pantai.

Tempat di mana ia dan Jack pertama kali bertemu.

Tempat di mana ia dan Jack menghabiskan malam bersama setelah pria itu pulang dari rumah sakit. Di saat Jack menggandeng tangannya, mengajak dirinya menyusuri pantai. Lantas, mengalungkan satu kalung di lehernya.

Edelia tersenyum tipis seraya meraba kalung tua yang melingkari lehernya. Mana dia tau kalau kalung itu diberikan Jack sebagai tanda kenang-kenangan sebelum kepergiannya?

Angin pantai membelai pipi Edelia. Rambutnya yang terurai beterbangan dibawa angin malam yang nakal. Menatap air laut yang gelap di depan sana, Edelia berkali-kali memikirkan pertemuannya dengan Jack.

Dan dari malam itu, semua di hidupnya berubah. Mana pernah Edelia menduga bahwa dirinya masih bisa diberi kesempatan untuk bertemu dengan pria seperti Jack?

Sejurus kemudian, Edelia bangkit dari duduknya. Melangkah perlahan tanpa alas kaki. Meresapi rasa dingin pasir pantai di kakinya ketika ia mendekati garis pantai.

Jack...

Apa kabar kamu?
Ini sudah dua bulan aku nggak ngeliat kamu.
Dan kamu tau?
Keusilan kamu, ketawa kamu, dan sifat kamu yang selalu menggoda aku, membuat aku selalu teringat sama kamu.

Kamu curang, Jack.
Kamu pergi dan meninggalkan aku dengan kenangan-kenangan kita.
Aku harus pergi ke hotel setiap hari.
Melihat halaman parkir di mana biasanya mobil kamu berada.
Melihat pintu dapur di mana biasanya kamu muncul dengan senyum jenaka.
Melihat ruang penyimpanan di mana kamu mencium aku dengan singkat.

Aku tau, kamu meminta teman-teman untuk menjaga aku di sini.
Tapi, aku nggak sanggup, Jack.
Tadi aku sudah menemui Chef Junan dan berpamitan dengan mereka.
Aku nggak bisa terus berada dengan bayang-bayang wajah kamu.

Edelia menarik napas dalam-dalam. Sedikit memperbaiki jaket yang ia kenakan.

Chef Junan sempat nggak nyuruh aku berenti, Jack.
Dia bilang shift malam dapur ada kutukannya.
Yang bekerja jadi asisten di shift malam pasti nggak pernah lama.
Tapi, akhirnya mereka menerima keputusan aku.

Ah! Benar.
Kamu tau?
Dua minggu lagi Vindy dan Bagas akan menikah.
Kami kaget karena katanya Bagas mendadak datang ke rumah Vindy dan melamar dia.
Mereka tentunya berharap kamu bisa hadir di pernikahan mereka.
Tapi, kami tau.
Kamu sedang berjuang di sana.

Jadi, Jack...
Jaga diri kamu baik-baik.
Aku dan Kenan selalu mendoakan kamu di sini.

Ketika Edelia menengadah, menatap bintang-bintang yang bertaburan, dirinya tersenyum lebar.

Bersinarlah dengan terang, Jack.

*

tbc...

Apa yang kalian rasakan? 😁😁😁

jadi, Pemirsa... siap buat ending besok? 🤗🤗🤗

Pkl 19.24 WIB...

Bengkulu, 2020.07.11...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro