Asam Manis Pie Strawberry
halo halo halo... test test test... yang belum bobok ayoh cuuuung dulu... hehehhe 🙋🏻♀️🙋🏻♀️🙋🏻♀️
jadi, gimana, Guys? sejauh ini kalian yakin nggak kalau Abraham dan Jack itu kakak beradik? 😂😂😂
ehm, selamat menikmati part ini dan seperti biasa... jangan lupa vote dan komennya biar aku semakin semangat ngetiknya.... 😎😎😎
===========================================================================
Mata Edelia mengerjap-ngerjap ketika menatap Jack. Sedang pria itu terlihat keukeuh dengan pertanyaannya. Bahkan mendesak untuk segera dijawab dengan ancaman tak akan melepaskan tangan wanita itu.
"Coba kamu lihat, Del! Kamu rela-rela ke rumah saya. Bawain baju saya---"
"Itu kan karena saya nggak enak baju Bos kelamaan di rumah saya."
"Kamu juga bawakan saya pie strawberry---"
"Kan tempo hari Bos yang minta-minta ke saya."
Wajah Jack seketika berubah gusar. Ia terlihat begitu frustrasi ketika bertanya. "Susah ya buat ngaku kalau kamu juga suka saya?"
"Eeeeeeeeh?"
"Kalau kamu peduli saya?" todong Jack lagi. "Simpel aja, Del. Kalau saya bener-bener nggak ada arti untuk kamu, kamu nggak usah mikirin perasaan saya akan hancur seperti apa ketika ngeliat lapangan dan Kenan saat manggil kamu Mama." Jack mengeratkan genggamannya. "Iya kan?"
Edelia meronta. Berusaha menarik tangannya.
"Jadi, gimana? Kamu udah berubah pikiran buat nerima saya?" tanya Jack kemudian.
"Saya udah punya anak, Bos."
Jack terdiam.
"Bos masih bujangan, apa kata orang kalau Bos punya pacar kayak saya?"
Tatapan mata Jack berubah. "Kamu sungguh-sungguh nanya kayak gitu?"
Glek.
Entah mengapa, tapi Edelia merasa ada alarm kebakaran menyala di kepalanya. Membuat ia ketakutan setengah mati. Dan rasa takut itu membuat Edelia semakin menjadi-jadi untuk melepaskan diri dari Jack.
Tanpa pikir panjang, untuk kedua kalinya, Edelia menggigit tangan Jack.
"Aaaah!!!"
Jack berseru kesakitan. Mengusap-usap tangannya yang lagi-lagi pasti akan berbekas. Dan di saat itulah, memanfaatkan situasi, Edelia dengan secepat kilat naik ke motornya.
Mata Jack melotot. "Del!" jeritnya.
Edelia meneguk ludahnya. Dan dengan tangan bergetar menyalakan motor, menarik gas. Ia pun melaju. Melalui spion ia bisa melihat Jack yang memanggil-manggil namanya dengan murka.
Bos beneran marah gara-gara aku nggak ngejawab pertanyaannya?
Iiih, Edelia bergidik.
Sedangkan Jack, rasa-rasanya ingin melepas sepatunya dan melemparkan benda itu pada Edelia. Mencak-mencak dan menggerutu panjang lebar. Tak percaya bahwa wanita itu benar-benar meninggalkannya.
Meninggalkan Jack seorang diri.
Ralat, please. Meninggalkan Jack seorang diri di pinggir jalan di depan Rumah Sakit Jiwa.
"Dia nyadar nggak sih ninggalin aku di sini?!" Jack berkacak pinggang dan menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan emosinya. "Udahlah nggak mau ngaku soal perasaannya, eh ini malah ninggalin anak orang di pinggir jalan? Aku bilangin ke Mommy bakal kena omel kamu, Del. Di mana coba etikanya ninggalin anak orang di pinggir jalan kayak gini?"
Jack mondar-mandir.
"Wah! Bener-bener ini cewek." Pria itu misuh-misuh seketika. "Antara nggak punya perasaan atau justru nggak berperasaan. Maksudnya ngebuat aku kayak gini apa coba?"
Kepala pria itu lantas menengadah pada langit biru. Untuk beberapa saat, ia hanya termenung melihat langit biru itu. Seolah ingin meredakan emosinya dan menyadari sesuatu. Lagi-lagi menyadari hal yang sama.
"Jadi gini ya, Tuhan. Nggak ada Edel, hidup aku tenang sentosa. Nggak ketemu dia tiga hari aja, dunia aku teratur dan damai. Kalau ibarat laut, kehidupan aku kalau nggak ada Edel itu kayak laut mati. Tanpa ombak."
Satu tangan Jack mengusap pangkal hidungnya. Mengusir setetes keringat di sana.
"Tapi, lihat. Dia datang bentar aja. Nggak butuh waktu lama, dia udah buat semuanya bergejolak lagi. Kalau ibarat laut, kehidupan aku kalau ada Edel itu kayak laut di Pantai Banyuwangi yang masuk dalam kategori 7 ombak terbaik di dunia. Ombaknya tinggi."
Jack menurunkan pandangannya. Pada bingkisan pie dan bajunya. Ia duduk berjongkok. Bertopang dagu di puncak lutut dan berkata lirih.
"Aku harus gimana, Tuhan? Aku udah mau ngelupain juga malah dia muncul mendadak." Jack mengembuskan napas panjang. "Aku tau yang dibilang Edel benar. Dia udah punya anak yang besar dan---"
"Mas... Mas... misi..."
Satu sapaan lirih memutus gerutuan panjang lebar Jack dari tadi. Ia mengangkat wajah dan mendapati seorang petugas pria berbaju putih tengah menatapnya dari balik pagar.
"Iya?"
"Mas baik-baik aja kan?" tanyanya dengan dahi berkerut. Lalu, satu tangannya menunjuk ke dalam. "Apa mau ke dalam? Istirahat sebentar?"
Mata Jack melotot. "Walau saya ngomong dengan pie dan baju ini, bukan berarti saya lagi gila."
Petugas itu bengong.
Dengan kesal, Jack bangkit. Meraih pie dan bajunya. Kemudian ia mencoba menenangkan diri sambil menyurusi jalan ke arah perumahannya.
"Sekalinya datang dan bawa aku jalan," kata Jack geleng-geleng kepala, "aku malah ditinggal di pinggir jalan. Eh, endingnya malah disuruh istirahat di dalam Rumah Sakit Jiwa?"
Kaki Jack menendang-nendang kerikil.
"Dasar kebangetan itu cewek ya."
Jack menggeram. Mengamati jalan di depannya yang naik turun bergelombang. Seandainya saja bisa, ia tentu berharap bisa jadi bola sejenak. Biar menggelinding sampai ke depan rumahnya. Pusing pusing deh itu kepala.
Sesampainya di rumah, Jack nyaris tidak bertenaga lagi. Ayuhdia yang mendapati kedatangan Jack, terbengong-bengong melihat putra bungsunya itu menyeret langkah seolah tidak makan sebulan penuh.
Jack membuka pintu kulkas dan meneguk air putih dengan rakus. Ia terduduk lemas di meja makan.
"Kamu kenapa, Jack? Kayaknya capek banget."
Jack melongo mendengar pertanyaan Ayuhdia. "Capek, Mom?" Jack kembali minum. "Mommy tau? Aku nyaris nggak sampe ke rumah. Tenaga aku udah abis nggak tersisa."
"Eh?"
"Ibarat Ultra Man," lirih Jack menunjuk-nunjuk dadanya, "kristal aku bukan kelap-kelip warna merah lagi. Udah warna hitam dia. Persis kayak lampu yang putus itu."
Ayuhdia geleng-geleng kepala. "Makanya, kalau lari pagi itu nggak usah jauh-jauh. Tadi emangnya sampe ke mana?"
"Rumah Sakit Jiwa."
"Eh?"
"Kamu ngapain ke sana?"
Jack meringis. "Kan lari pagi, Mom. Masa periksa kejiwaan sih?" tanya Jack histeris.
Ayuhdia tergelak. "Ah, bener-bener. Kan tadi kita ngebahas lari pagi."
"Ih, Mommy kadang gitu ya."
Ayuhdia tersenyum dan mengusap kepala Jack. "Ngerasa lebih baik ya hari ini?"
"Apa, Mom?"
Ayuhdia menggeleng dalam senyumnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaannya. Alih-alih, ia menunjuk pada dua bingkisan di atas meja. "Ini apa?"
"Ah!" Jack bangkit mengambil pisau. "Sini, Mom, sini. Ada pie strawberry, Mom."
"Pie strawberry?"
Jack mengangguk. Mengeluarkan pie itu dari kantong plastiknya. Dan ia berseru takjub ketika membuka tutup kotaknya.
"Wah!"
Jack dengan cepat mengiris pie itu menjadi beberapa potong yang ukurannya tidak sama besar. Dan ia hanya tergelak melihat tatapan Ayuhdia saat ia dengan segera mengambil potongan yang paling besar.
"Eeehm..."
Jack mendesah nikmat saat mengunyah pie itu. Matanya merem melek seperti ayam terkena sirep.
"Kamu beli di mana, Jack?"
Jack membuka matanya. Melihat ibunya yang juga tengah menikmati pie itu. "Kenapa? Mau nitip? Sini uangnya."
Ayuhdia geleng-geleng kepala, merasakan tangannya gatal ingin menjewer putra bungsunya itu. Dan saat itulah ia melihat Michael yang baru saja mandi tampak melintas. Ia pun segera memanggil suaminya itu.
"Sini, Sayang. Jack bawa pie strawberry. Cobain deh. Kamu pasti suka."
Michael mendekat dengan tatapan heran. "Sejak kapan budaya Indonesia berubah?" tanyanya kemudian.
"Apa?"
"Bukannya budaya orang Indonesia itu habis lari pagi bubur ayam dua mangkok?"
Tawa Jack dan Ayuhdia pecah. Beruntung pie tidak sampai tersemprot keluar dari mulut mereka berdua.
"Tapi, ini malah pie strawberry?" tanya Michael seraya meraih satu potong dan mencicipinya. "Ehm... beli di mana, Jack?"
Jack tertawa dan meraih potongan berikutnya. "Ha-ha-ha. Rahasia."
"Dia bilang kalau kita mau biar nitip ke dia aja," kata Ayuhdia dengan tatapan tak percaya. "Dia nggak mau ngasih tau di mana dia beli."
"Pasti mau korupsi harga jualnya," vonis Michael. "Sama orang tua sendiri ya. Padahal udah kerja juga."
"Uang orangtua itu beda loh ya. Kayak yang ada manis-manisnya gitu," gurau Jack. Lalu, ia tertawa terbahak-bahak.
Ayuhdia beranjak untuk menyiapkan air minum Michael. "Pie-nya enak, Jack."
Jack menyeringai. "Iya dong. Kan gratis. Hahaha."
"Lagipula, rasanya segar aja," lanjut ibunya. "Asam manis dan warnanya merah cantik menggoda selera."
Michael mengangguk menyetujui perkataan istrinya. "Itu yang membuat dia terasa nikmat. Rasanya yang nggak hanya manis, tapi ada asamnya."
"Oh ya?" tanya Jack. "Iya, Mom?"
"Asamnya justru membuat rasa manisnya lebih kuat, Jack," kata Ayuhdia. "Karena itulah kenapa kadang beberapa masakan manis butuh garam atau perasan jeruk. Biar rasa manisnya terasa lebih klik."
Kunyahan Jack terhenti. Sesuatu terasa melintas dengan janggal di benak Jack. Ia menatap pie di tangannya.
Benar.
Pie strawberry itu terasa enak karena paduan antara rasa asam dan manisnya. Dua rasa itu bergabung menciptakan rasa enak yang membuat ketagihan.
Jack menarik napas dalam-dalam.
Asam manis.
*
"Edelia!"
Jack berjalan masuk ke dapur segera setelah ia menyerukan nama itu. Tatapannya terarah lurus ke depan. Pada Edelia yang terbengong pada dirinya, membuat wanita itu terlupa oleh lobak di tangannya yang harus ia kupas.
Tubuh tinggi nan tegap milik pria itu mendekat, melintasi dapur dalam langkah yang mantap dan teratur. Bahkan terkesan seperti mengikuti ketukan para pasukan pengibar bendera saat upacara Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus.
Di mata Edelia, entah bagaimana, tapi wajah Jack terlihat begitu berbeda. Mungkin karena pria itu menatap padanya tanpa kedip? Atau apa? Edelia tak yakin.
Tak butuh waktu lama, Jack telah sampai di hadapan Edelia. Membuat wanita itu mendongak karena menatap mata Jack di depannya. Berbagai pertanyaan seketika muncul di benak Edelia.
"B-B-Bos..."
Edelia meneguk ludahnya. Berusaha mengamati situasi di sekelilingnya dan mendapat bahwa Tim Dapur terdiam kompak di tempatnya masing-masing.
Seketika saja Edelia merasa ketakutan. Ada apa Bos datang ke dapur dan teriak manggil nama aku?
Glek.
"Ke-Ke-Kenapa, Bos?"
Jack menatap Edelia tanpa kedip. "Terima kasih untuk pie strawberry-nya."
Helaan napas lega langsung keluar dari mulut Edelia. Ternyata itu toh. Ya ampun, Bos udah buat aku ketakutan.
"Dan..."
Edelia mengerjap. Loh, belum selesai ngomong ya si Bos?
"...saya telah memutuskan dengan pertimbangan yang begitu matang. Saya putuskan untuk benar-benar menjalin hubungan serius dengan kamu. Dengan dapur ini jadi saksinya."
"Prang!"
"Prang!"
"Prang!"
Aneka peralatan dapur terjatuh ke dapur. Yang pisau, yang sutil, yang irus, dan bahkan keranjang sayur yang dibawa Milka pun terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai.
"Hubungan serius?"
"Dapur jadi saksinya?"
"Terus... kita-kita ini apa?"
Semua orang sama-sama terkesiap dan kemudian menutup mulutnya masing-masing, tapi justru membuka mata dengan begitu lebar.
"B-B-Bos..."
"Kalau kamu mau menyalahkan orang untuk tindakan saya ini," potong Jack seolah tak menghiraukan di mana ia berada saat ini, "berarti kamu harus menyalahkan diri kamu sendiri."
Jari telunjuk Edelia menunjuk hidungnya. "Sa-Sa-Saya, Bos?"
"Iya. Memangnya siapa yang nyuruh kamu ngantar pie strawberry itu ke rumah saya pagi ini?"
"Oh... itu alasan Edel nanya alamat Bos."
"Oalah. Mau ngejenguk maksudnya?"
"Kangen gitu?"
Edelia menggigit bibirnya.
"Kamu tau? Sepanjang saya makan pie strawberry itu, otak saya jadi mikir. Ini kok pie terasa enak banget? Apa Edel masaknya penuh cinta makanya terasa enak?"
Astaga.
"Ingat! Jangan bilang saya keracunan pie strawberry. Karena kalau iya, kamu yang saya laporkan ke polisi." Jack berkata dengan penuh penekanan sebelum bertanya. "Jadi, jujur aja. Yang kamu masukkan ke pie strawberry itu racun atau cinta?"
Edelia mengap-mengap. Perutnya bergejolak. Ia mendadak merasakan pusing tujuh keliling. Rasa-rasanya ia ingin melarikan diri saat itu juga.
"Saya tau kamu nggak bakal jawab pertanyaan itu. Jadi, kita skip bagian ini. Kamu tau selanjutnya apa?"
"A-Apa, Bos?"
"Dan yang terpenting adalah..." Jack menarik napasnya sekali sebelum melanjutkan. "Karena pie itulah saya menyadari sesuatu."
Edelia menunggu kelanjutan perkataan Jack. Di luar perkiraan, selanjutnya suara Jack terdengar lembut ketika berkata.
"Kalau cinta bisa diibaratkan pie strawberry, maka karena rasanya yang asam manis yang membuat pie itu terasa lebih nikmat."
Mata kucing Edelia kembali mengerjap-ngerjap. Bingung dengan perkataan Jack. "B-Bos ngomong apa sih?"
Jack meraih kedua lengan Edelia. Membuat orang di sana sama-sama mengamati dengan waspada. Tapi, tetap saja. Dengan mata yang semakin melotot lebar. Seolah tidak ingin kehilangan sedetik momen pun yang tengah terjadi.
"Saya akan menerima asam dan manis kamu. Apa pun itu." Jack berkata dengan mantap. Kedua bola matanya yang gelap menatap penuh keyakinan pada Edelia. "Karena itulah yang membuat cinta menjadi kuat."
*
tbc....
aku abis ngetik langsung jerit-jerit.... hahahaha.... ngebayanginnya buat aku merinding atas bawah... 🤣🤣🤣
yak... gimana? apa masih sedih di part ini? 😅😅😅 ah, iya... Sekadar sharing, petugas di RSJ tempat aku itu biasanya sih ramah. Bahkan dulu aku pernah ada pengalaman nginap di sana 🙈🙈🙈🤣🤣🤣 pasiennya juga kalau lagi ga kumat, itu pada baik. Kita duduk disapa, terus ditawari makanan 😂😂😂
Pkl 22.49 WIB...
Bengkulu, 2020.06.11...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro