Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 Tahun Yang Lalu

Selamat malam semuanya... 👋🏻👋🏻👋🏻

Part 46 ini adalah part terpanjang untuk cerita Ehm... Mamma Mia sejauh ini... total di word ada 5.000++ kata... di part ini juga semua pertanyaan kalian akan terjawab. buat kalian yang ingin mengetahui ayah Kenan dan berharap agar ayahnya muncul, di sini kalian akan mendapatinya...

aku nggak tau apa part ini akan membuat kalian marah atau sedih, tapi yang pasti tisu aku bertebaran... 

kalau bisa, part ini tidak pernah aku tulis, tapi dengan berat hati aku mengakui bahwa ini adalah satu poin penting di cerita ini. 

jadi, selamat meresapi...

PERINGATAN: BILA MERASA GA NYAMAN, SKIP LANGSUNG!

==============================================================================

14 Februari 2008.

Di sebuah kampung kecil di Kabupaten Bengkulu Tengah.

"Bu, Ibu!"

Terdengar suara seorang gadis bernada ceria memanggil ibunya. Gadis berkulit putih dengan senyum manis itu dengan cepat memasuki rumah dan langsung menuju ke dapur.

"Bu! Ibu..."

Teriakannya terhenti ketika ia telah berada di dapur. Ia melihat ibunya yang baru saja selesai merapikan perkakas yang telah dicucinya di rak piring. Ibunya menoleh.

"Dari mana, Del?"

Edelia tersenyum lebar. Sekilas saja tampak bahwa gadis berusia 14 tahun itu merupakan gadis yang ceria dan hangat.

Seraya beranjak untuk duduk di kursi, Edelia menjawab. "Dari main ke rumah Ani, Bu." Ia menarik napas dalam-dalam. "Tadi juga ngeliat Bapak ke kebun sendirian."

Ibu Edelia yang bernama Susanti mengangguk. "Iya, tadi katanya Bapak mau nyari singkong buat dibakar nanti malam."

Edelia manggut-manggut. "Makanya itu tadi pas Bapak lewat teman-teman aku pada nanya loh, Bu."

"Kenapa kamu nggak kayak Bapak?" tebak Susanti bertanya geli. "Iya?"

"Ck." Edelia berdecak. "Tapi, aku juga mau loh, Bu, kayak Bapak. Kulit Bapak putih, rambutnya pirang, kan kayak orang di film-film itu loh, Bu."

Susanti tertawa. "Orang kamu kayak gini aja udah cantik kok. Rambut kamu hitam tebal, kulit kamu putih, dan kamu juga punya senyum yang manis."

"Aku nggak cantik," gerutu Edelia. "Yang cantik itu kayak anaknya Pak Burhan itu, Bu. Si Mirna. Nah, dia kan sama kayak Bapak. Kayak orang di film-film."

"Terus kamu mau dipanggil turis asing sama teman-teman kamu?" tanya Susanti.

Edelia menarik napas seraya mengedip-ngedipkan matanya, setengah merenungkan pertanyaan ibunya di dalam pikirannya. Dan berat mengakui, Edelia menyadari hal itu.

Sebenarnya, bukan hal aneh kalau mendapati satu dua warga di daerah sana memiliki fisik yang menyerupai fisik orang Eropa, Belanda lebih tepatnya. Dengan tubuh tinggi, kulit putih, rambut pirang terang, dan hal-hal lainnya, orang-orang akan menjuluki mereka sebagai turis asing.

Nyatanya, hal ini diyakini adalah karena dampak masa penjajahan dahulu. Tak sedikit orang Belanda yang menikahi orang-orang pribumi dan menjadikan pernikahan itu sebagai awal pencampuran sifat-sifat tersebut. Dan hingga beberapa generasi, terkadang dampak dari pernikahan beda ras itu kembali muncul. Tak heran bila kemudian orang-orang asli yang memiliki kulit gelap dan tubuh rendah justru memiliki anak berkulit putih dan bertubuh tinggi. Seperti halnya Anwar, ayah Edelia. Pria itu persis terlihat seperti orang asing. Dan seringkali membuat Edelia iri karena tidak memiliki kondisi fisik seperti ayahnya. Satu-satunya yang ayahnya wariskan pada dirinya adalah kulitnya yang bewarna putih terang.

"Dipanggil turis asing nggak enak sih sebenarnya," gumam Edelia. "Tapi, nggak apa-apa deh. Kayak gini aja udah cukup."

Susanti terkekeh pelan. "Oh iya. Kamu jangan lupa. Bentar ini siap-siap mandi. Nanti sekitar jam empat kita pergi ke rumah Pak Kades."

"Baik, Bu," jawab Edelia. "Nggak ada yang perlu kita bawa ke sana, Bu?"

"Nggak. Semua bahan-bahan udah disiapkan di sana. Kita cuma diminta buat masak-masak kok."

"Ehm... memang enak jadi orang kaya. Baru pergi sebentar saja, pulangnya langsung diadakan pesta."

"Hush! Anaknya itu bukan pergi sembarang pergi. Anaknya itu kuliah di Jawa. Pasti Pak Kades dan Bu Kades bangga dong. Lagipula, acara itu cuma acara kumpul Agus dengan teman-temannya kok."

Edelia hanya manggut-manggut. Sejurus kemudian, ia bangkit. "Aku mandi dulu ya, Bu."

"Ah, iya. Pake celana dan baju panjang. Jaket juga. Soalnya sekarang malam lagi dingin-dinginnya."

"Baik, Bu."

Edelia dengan patuh kemudian bangkit dari duduknya. Beranjak ke kamar untuk mengambil handuk dan mandi. Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk kemudian selesai bersiap.

Sekitar jam empat, Edelia dan Susanti kemudian keluar dari rumah. Tak lupa mengunci pintu, mereka berdua berjalan kaki menuju ke rumah Pak Kades. Jarak yang memisahkan rumah mereka sebenarnya cukup jauh, tapi mereka memilih melewati jalan pintas di antara kebun-kebun tetangga. Hingga tak sampai tiga puluh menit kemudian, mereka pun tiba melalui halaman belakang rumah Pak Kades.

"Permisi, Bu Kades."

Susanti mengetuk pintu belakang rumah itu. Tak lama, pintu itu terbuka. Menampilkan satu wajah yang tersenyum ramah pada dirinya. Irma berkata.

"Eh, Bu Santi. Sini masuk." Ia melirik pada Edelia. "Ngajak Edel?"

Susanti dan Edelia masuk ke dalam. Ia menjawab. "Iya, Bu. Biar kerjaannya cepat selesai."

Irma tertawa. "Hahaha. Iya iya."

Wanita paruh baya itu kemudian menunjuk ke atas dipan kayu yang berada di dapur. Beberapa sayuran dan bahan makanan tersedia di atas sana.

"Ini bahan-bahannya, Bu. Dimasak apa aja terserah ibu dan Edel," katanya. "Teman-teman Agus ntar datang sekitar jam delapan."

"Baik, Bu."

"Ini saya tinggal ke depan ya. Ada ibu-ibu, nggak enak kalau saya tinggal."

Susanti mengangguk. "Iya, Bu, iya. Nggak apa-apa."

Semenit kemudian, tinggallah Susanti dan Edelia di dapur yang luas itu. Mereka berdua dengan segera membersihkan sayuran, ayam, dan mengupas aneka rempah.

Di saat Susanti memerah santan, di saat itu pula Edelia telah berdiri di depan kompor. Menggoreng bakwan untuk camilan. Kemudian ia pun dengan gesit memotong-motong kentang yang akan digulai dengan ayam potong. Ketika jam menunjukkan jam setengah delapan malam, pekerjaan mereka selesai. Pisang goreng, bakwan, gulai ayam, sambal terong ikan teri, ikan goreng, dan aneka lalapan rebus dan segar pun telah tersaji.

Susanti mengumpulkan perkakas kotor ketika ia berkata. "Del, tolong bawa ke depan. Biar kerjaan kita cepat selesai, jadi kita cepat pulang."

Edelia mengangguk. Mengambil dua piring di masing-masing tangannya dan bergegas langsung menuju ke ruangan di depan.

Di ruang tamu, tampak ramai beberapa orang remaja tanggung yang sedang berkumpul. Menundukkan wajahnya, Edelia mengucapkan permisi dengan pelan dan menyajikan piring camilan itu di meja.

Semua berjalan dengan lancar, hingga kemudian ketika Edelia menyajikan piring lalapan. Ia mendengar dirinya ditegur.

"Ini kamu yang masak?"

Edelia sontak mengangkat wajah dan mendapati bahwa Agus yang bertanya pada dirinya. "Sama ibu di belakang, Kak," jawabnya pelan.

Agus, pria yang disambut pesta kepulangan oleh orang tuanya itu tampak manggut-manggut seraya tersenyum kecil. "Kamu Edelia kan? Anak Pak Anwar yang rumahnya dekat jalan masuk itu kan?"

Edelia mengangguk. "Iya, Kak," jawabnya kemudian sebelum akhirnya menarik diri kembali ke belakang.

Dilihatnya Susanti selesai mencuci perkakas kotor. Tanpa merapikannya, Susanti berkata.

"Itu antar nasinya, Del. Habis ini kita pulang."

Edelia mengangguk senang. Jujur saja, tubuhnya terasa letih saat ini.

Membawa empat baskom nasi sekaligus di atas nampan besar, Edelia kembali ke depan. Nasi yang berat itu nyaris saja jatuh andai Agus tidak sigap menolong dirinya.

"Aduh! Sini biar aku yang bawa."

Edelia menyerahkan nampan itu. Menunggu hingga Agus selesai meletakkan keempat baskom nasi itu di atas meja.

Ketika menyerahkan nampan itu, Agus bertanya. "Kamu nggak mau ikut gabung makan di sini?"

Edelia menggeleng. "Nggak, Kak. Ini aku mau pulang kok sebentar lagi."

"Eh..." Agus menarik tangan Edelia. "Nggak apa-apa makan di sini."

"Nggak enak, Kak." Mata Edelia dengan cepat menyusuri keadaan di sana. "Teman-teman Kakak semuanya cowok."

Agus melirik teman-temannya. Benar juga, pikirnya.

Ia menarik napas dalam-dalam. Sedikit beranjak dari keramaian.

"Kamu mau kita makan berdua?" tanya Agus.

"Apa, Kak?"

Agus tampak menilai Edelia hingga gadis itu merasa resah. "Kamu udah punya pacar?"

Edelia menggeleng pelan.

"Kenapa nggak punya? Kamu cantik begini."

Lagi-lagi Edelia hanya menggeleng. Ia mulai merasa tidak nyaman, terutama ketika mendapati bagaimana sepasang mata Agus dengan liar menatap dirinya.

"A-Aku permisi dulu, Kak."

Tak menghiraukan Agus, Edelia dengan cepat beranjak dari sana. Menuju ke dapur. Jantungnya terasa kacau. Berencana mengajak ibunya segera pulang, Edelia justru mendapati ibunya tengah menanak nasi kembali.

"Ibu? Kok masak nasi lagi?"

Selesai meniup api di tungku, Susanti berdiri. "Tadi Bu Kades minta dimasakin nasi lagi. Katanya takut kalau nggak cukup."

Edelia mengembuskan napas panjang.

"Kenapa?"

"Aku pikir kita udah mau pulang," katanya. "Ini udah malam, Bu."

Susanti mengangguk. "Tapi, ini nggak enak kalau belum selesai masak nasi kitanya udah pulang."

Resah, Edelia duduk.

Susanti mendekati putrinya itu. "Atau kalau kamu capek, kamu pulang duluan aja gimana?"

Edelia terdiam. Entah mengapa dirinya mendadak gelisah berada di dalam rumah itu. Sesuatu terasa meminta dirinya untuk waspada.

Susanti mengusap punggung Edelia. Menyerahkan senter pada dirinya. "Kamu pulang duluan aja ya? Bilang ke Bapak kalau Ibu pulangnya agak telat."

Edelia menyambut senter itu. Ia mengangguk. "Aku pulang duluan ya, Bu."

"Hati-hati di jalan."

*

Cahaya terbatas dari senter menerangi perjalanan pulang Edelia malam itu. Suara jangkrik dan kodok terdengar bersahut-sahutan. Sejenak Edelia melirik ke langit gelap. Apa akan turun hujan?

Edelia tak bisa menerka. Nyatanya akhir-akhir ini suhu malam memang terasa lebih dingin dari biasanya. Termasuk malam itu hingga Edelia semakin menarik resleting jaket yang ia kenakan.

Menyusuri jalan setapak yang hening, Edelia semakin mempercepat langkah kakinya. Ingin tiba di rumahnya secepat mungkin.

Namun, mendadak kemudian Edelia melihat ada satu sinar terang yang menyinari dari belakang tubuhnya. Pun terdengar suara deru motor yang halus. Menyadari kalau jalan setapak itu begitu kecil, Edelia pun kemudian menepikan diri. Kakinya menginjak rerumputan liar yang berada di sisi jalan setapak itu. Memberikan jalan untuk pengendara motor tersebut untuk lewat.

Tapi, ketika motor itu melajut, Edelia hanya bisa tercengang mendapati motor itu berhenti di depannya. Terlebih lagi ketika melihat siapa adanya pengendara tersebut.

"Kak Agus..."

Agus tersenyum lebar. "Kamu mau pulang, Del?"

Edelia mengangguk. "Iya, Kak."

"Bareng aku aja," kata Agus kemudian. "Kebetulan aku mau ke warung bawah. Mau beli rokok buat kawan-kawan."

Edelia menggeleng. "Nggak usah, Kak. Kakak duluan aja."

"Eh?" Agus memutar kontak motornya. Suara mesin motor berhenti seketika. "Kenapa?"

"Nggak kenapa-napa, Kak."

"Kamu takut sama aku?"

Edelia menggeleng.

Agus menatap Edelia. "Kamu mau jadi pacar aku nggak?"

Pertanyaan itu sontak membuat Edelia mengangkat wajahnya. Matanya yang besar bening tampak melotot seketika. Terkejut dengan pertanyaan itu.

"Mau?"

Edelia meneguk ludahnya. Kembali menggeleng. "Maaf, Kak. Aku nggak mau."

"Eh? Kenapa? Katanya kamu belum punya pacar."

Edelia berusaha menenangkan dirinya. Mendapati Agus bersama dirinya, sedang mereka berada di antara kebun-kebun membuat ia merasa tak tenang.

"Nggak boleh pacaran, Kak."

Agus tertawa. "Alah! Semua orang juga pacaran kok. Anak SD aja udah pacaran. Gimana? Jadi pacar aku ya?" Ia menilai Edelia dari atas hingga bawah. "Kamu cantik banget sih."

"Ma-Maaf, Kak," tolak Edelia lagi. "A-Aku mau pulang. Nanti dicariin Bapak."

Edelia ingin beranjak dari sana, tapi sedetik kemudian langkah kakinya terhenti. Tepat ketika Agus mencekal pergelangan tangannya dengan begitu erat.

"Kak..." Edelia berusaha menarik tangannya, tapi tak bisa. "Lepasin tangan aku, Kak."

Agus menyeringai. "Jadi pacar aku dulu, baru aku mau lepasin."

Edelia meronta. Masih berusaha melepas tangannya ketika Agus justru turun dari motornya.

"Gimana? Mau?"

Edelia masih menggeleng. Dan cekalan itu justru terasa semakin kuat. Membuat Edelia meringis karenanya.

"Kenapa sih nggak mau?" tanya Agus penasaran. "Aku kan anak Kades, Del."

Edelia tidak menjawab, tapi justru semakin meronta.

Agus terlihat mulai tak sabaran mendapati penolakan berkali-kali Edelia. "Jadi pacar aku enak loh, Del. Ntar aku kasih jajan. Kamu juga bisa sombong ke teman-teman kamu."

"Nggak, Kak."

Dan dengan sekuat tenaga, Edelia menarik tangannya. Terlepas. Tapi, sayangnya hal itu justru membuat dirinya jatuh terjerembab ke belakang. Menimpa semak-semak yang ada di sana. Senter terlepas dari tangannya. Menggelinding sebentar hingga terhenti di dalam rimbun semak dan rerumputan. Memeluk sinar lembutnya yang tak seberapa.

Edelia melenguh kesakitan.

Lalu, ia merasakan bagaimana terdengar suara motor Agus yang perlahan bergerak. Semula Edelia pikir bahwa pria itu akan pergi, tapi ia keliru. Agus ternyata justru menepikan motornya. Menyembunyikan motor itu di balik pepohonan gelap dan semak belukar yang rimbun.

Ketika Edelia berusaha bangkit, ia mendapati Agus yang meraih kedua tangannya.

"Aku nggak apa-apa, Kak," katanya seraya berusaha menarik tangannya. Tapi, kemudian Edelia tercekat ketika menyadari bahwa tangan Agus yang berhasil ia tepis untuk menggenggam tangannya justru kemudian menyentuh bagian tubuhnya yang lain.

Edelia dengan cepat menepis tangan Agus yang menyentuh pinggangnya.

"Kak!" serunya melotot marah.

Agus tampak meneguk ludahnya. Melihat bagaimana mata besar Edelia yang melotot justru membuat dirinya merasakan sesuatu yang berdesir.

"Kamu mau jadi pacar aku kan?"

Edelia menggeleng. Berusaha menjauh, tapi tak bisa. Ketika ia melangkah mundur, ia mendapati Agus justru maju mendekati dirinya.

Melihat penolakan Edelia untuk yang ke sekian kalinya, Agus merasakan dadanya bergemuruh. Egonya tersentil. Tidak percaya bahwa ada seorang gadis yang menolak dirinya berkali-kali.

Merasa emosi, Agus justru kemudian melakukan tindakan yang membuat Edelia panik. Pria itu dengan cepat merengkuh tubuh Edelia. Menariknya dalam pelukannya yang erat.

Edelia kaget mendapati Agus yang memeluknya dengan kuat. Gadis itu berusaha melepaskan dirinya. Tapi, tak bisa.

Merasakan rontaan Edelia di pelukannya, alih-alih membuat Agus tersadar dari perbuatannya justru semakin membuat cowok itu gelap mata. Rontaan Edelia justru menyulut gairah anak mudanya. Hingga kemudian, tak cukup dengan hanya memeluk Edelia, Agus justru membawa tangannya untuk menelusuri lekuk tubuh gadis itu.

Edelia menjerit. Semakin berusaha memberontak. Ketika ia mendapatkan kesempatan, dengan sekuat tenaga ia menggigit tangan Agus.

Kali ini Agus yang menjerit kesakitan.

Memanfaatkan kesempatan itu, Edelia berlari. Mengabaikan semak-semak yang menjerat kakinya, ia berusaha untuk tetap berlari menelusuri jalan setapak sepi itu.

Tapi, tak butuh waktu lama. Agus menyusul dirinya. Dengan geram pria itu menarik tangan Edelia. Dan di detik yang tepat, pria itu melayangkan satu tamparan kuat di pipi Edelia. Membuat pandangan Edelia seketika menggelap.

Edelia merasakan tubuhnya kehilangan kekuatan. Kakinya terasa lemas karena sakit tamparan itu. Yang bisa ia lakukan hanyalah melenguh.

Detik selanjutnya, Edelia merasa dunianya terbalik. Ia merasakan bagaimana tubuhnya yang tidak berdaya dipanggul oleh Agus. Kedua tangannya terjuntai di belakang tubuh pria itu. Rambutnya yang panjang menjuntai menutupi wajahnya.

Edelia berusaha mengumpulkan tenaganya. Aku mau dibawa ke mana?

Tapi, pertanyaan itu tak pernah terlontar. Hanya sanggup terngiang di benaknya saja. Rasa sakit dan pedas di pipinya membuat kepalanya terasa kosong.

"Kreeek..."

Agus membuka satu pintu pondok kosong yang berada di dekat kebun warga di sana. Mengamati sekilas keadaan dalam pondok itu, gelap.

Pria itu dengan cepat menutup pintu pondok. Lalu dengan hati-hati membaringkan Edelia yang masih tak berdaya di atas lantai tanah yang lembab.

Ia lantas mengeluarkan korek gas dari saku celananya. Menyalakannya seraya mencari-cari keberadaan lampu teplok di sana. Dan detik selanjutnya, pondok gelap itu memiliki cahaya kuningnya sebagai penerangan.

Agus menyeringai. Melihat Edelia yang terbaring tak berdaya di atas tanah. Gadis itu tampak berusaha bangkit, tapi terlihat kesusahan.

"Ssst.... sakit ya, Del?"

Edelia melenguh. Berusaha menepis tangan Agus yang mengusap pipinya. Pria itu hanya menyeringai mendapati penolakan itu.

Agus membawa tatapannya menelusuri tubuh Edelia yang terbaring. Tanpa membuang waktu ia menarik turun resleting jaket yang dikenakan oleh Edelia.

"Kak!"

Edelia menjerit. Berusaha mempertahankan jaketnya, tapi tak bisa. Agus dengan beringas membanting kedua tangan Edelia masing-masing ke sisi yang berbeda. Tak hanya itu, kedua pergelangan tangan itu ia kunci sekuat tenaga di sisi kepala Edelia.

"Kenapa? Kamu kenapa nggak suka aku?" tanya Agus dengan napas menderu.

Edelia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika ia melihat, ia merasakan kengerian saat matanya bertatapan dengan mata Agus. Ia merasa begitu ketakutan.

Mengabaikan tangannya yang tak bisa bergerak, Edelia tak menyerah. Ia menggerakkan kedua kakinya. Berusaha untuk menendang pria itu.

Agus menggeram. Menahan rasa sakit akibat tendangan Edelia, ia justru kemudian menjatuhkan diri di atas tubuh Edelia.

"Masih mau melawan, Cantik?" tanya Agus dengan napas menderu di telinga Edelia.

Edelia terisak. "Kak, lepaskan aku."

"Ssst... Nanti aku lepaskan kamu," bisik Agus. "Kalau kita sudah bersenang-senang ya?"

"Nggak, Kak. Aku mau pulang," pinta Edelia dengan ketakutan. "Aku mau pulang."

Agus menyeringai. Merasakan bagaimana dampak lekuk tubuh remaja Edelia di bawah tubuhnya yang membuat ia seketika menegang. Darahnya terasa berdesir dan sesuatu di dirinya meminta untuk pelampiasan.

"Adek cantik nanti dulu pulangnya..."

Edelia semakin ketakutan. Sebisa mungkin ia berusaha untuk melepaskan diri. Menarik kedua tangannya, menendangkan kakinya, tapi geliat tubuhnya justru berdampak lain bagi laki-laki yang tengah digelapi oleh nafsu birahi itu. Pemberontakan Edelai justru semakin menyulut nafsunya. Membuat Agus semakin merasa tertantang untuk makin menyentuh Edelia.

Edelia merasa dirinya bergidik. Tangan Agus dengan begitu liarnya menyusup ke balik pakaian yang ia kenakan. Membuat Edelia seketika menjerit.

"Tolong! Tolong! Kak, lepaskan aku!"

Agus kaget.

"Tolong! Tolong!"

Tangannya sontak melepaskan genggamannya pada tangan Edelia. Gadis itu dengan cepat berusaha untuk memperbaiki pakaiannya, tapi yang terjadi kemudian adalah dua tamparan bergantian mendarat di kedua pipinya.

Edelia merasa pening. Dunia terasa bergoyang-goyang di pandangannya.

Agus terkekeh melihat kedua mata Edelia yang bergerak-gerak tak fokus. Memanfaatkan itu, pria itu dengan cepat mendudukkan tubuh Edelia. Dengan gesit ia melepaskan jaket yang gadis itu kenakan. Ketika Agus berusaha melepaskan kaos lengan panjang Edelia, gadis itu menahan tangannya dengan lemas. Bibirnya berkata dengan lirih.

"Kak... jangan..."

Tapi, permintaan itu bagai angin lalu di telinga seorang laki-laki yang telah dibutakan oleh nafsu birahinya. Dan ketika Edelia berusaha mempertahankan bajunya, Agus justru dengan gelap mata membanting tubuh Edelia di atas tanah. Sepuluh jarinya kemudian merobek kaos itu.

Napas Agus semakin menderu. Melihat bagaimana robekan-robekan kaos itu memberikannya pemandangan bagian intim tubuh Edelia. Sepasang payudara yang baru menunjukkan tanda-tanda pertumbuhannya hanya tertutup sehelai pakaian dalam yang tak seberapa.

Agus meneguk ludahnya. Nafsu terasa begitu memabukkan dirinya. Dengan cepat ia bangkit. Hanya untuk melepaskan resleting celana yang ia kenakan.

Di bawah, Edelia berusaha untuk melarikan dirinya. Membalikkan tubuh, ia merayap di lantai tanah yang dingin. Tapi, kemudian ia merasakan pergelangan kakinya dicekal dengan kuat. Ia berusaha menendang, tapi cekalan itu menyentak tubuhnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, Edelia mencengkeram lantai tanah itu. Berusaha untuk melarikan diri.

Agus menarik kedua kaki Edelia. Menelentangkan kembali tubuh gadis itu. Dan tanpa perasaan mendaratkan tamparan berulang kali hanya agar Edelia tak melawan.

Sudut bibir Edelia pecah. Tapi, Agus tak peduli. Yang ia lakukan hanya menarik turun celana yang dikenakan Edelia secepat mungkin beserta dengan pakaian dalam yang menutup organ intim gadis itu.

"Jangan, Kak..."

Edelia terisak.

Hawa dingin menyergap tubuhnya yang nyaris tidak tertutupi apa-apa lagi selain robekan kaos yang ia kenakan di sana-sini.

Agus tertawa. "Hahaha. Kamu cantik sekali, Del. Kamu harusnya mau jadi pacar aku."

Edelia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lemas. Ia berusaha untuk memohon, tapi yang bisa ia lakukan selanjutnya hanyalah melenguh ketika merasakan bagaimana tubuh Agus menindih dirinya. Sebisa mungkin, menggunakan kekuatannya yang terakhir, Edelia mencakar tubuh pria itu.

Agus meringis. Perutnya terasa panas karena cakaran Edelia, tapi itu sama sekali tidak meredakan nafsunya. Justru semakin membuat ia membabi buta.

Edelia berusaha menjauhkan diri. Ketika Agus dengan beringas berusaha untuk mencium bibirnya yang luka, ia membuang muka. Agus hanya terkekeh ketika bibirnya justru menyasar pada leher gadis itu. Dengan kasar, ia menggigit kulit putih Edelia. Dan untuk itu, jangankan memberontak, bahkan untuk sekedar menjerit pun ia sudah tak mampu lagi. Semua tenaga yang ia miliki telah habis. Yang ada justru sakit yang mendera tubuhnya. Membuat ia meminta pada Tuhan agar mati saja.

Air matanya menetes. Hanya sebagai usaha terakhir agar pria tak berperasaan itu akan tergugah hatinya, tapi percuma. Pria itu benar-benar layaknya manusia yang terlahir tanpa hati nurani.

Dan di malam itu, di lantai tanah yang lembab, menahan rasa sakit, seorang anak manusia merasakan kematian dengan nyawa yang masih ada di dalam tubuh. Wajahnya yang cantik tampak dingin basah karena air mata. Sedangkan di antara kedua pahanya, hal yang serupa terjadi pula. Dingin basah karena darah.

*

"Anak itu ke mana? Kenapa sampai sekarang belum pulang?"

Susanti tampak resah mendengar pertanyaan Anwar. "Tadi aku suruh dia pulang duluan, tapi mampir ke mana anak itu ya?"

Anwar melihat jam dinding. "Ini hampir jam satu malam."

"Apa dia kepleset di kebun ya?"

Anwar tak menjawab.

Kedua orang tua itu tampak sama-sama panik, hingga kemudian telinga mereka mendengar suara kaki yang diseret. Secepat mungkin Anwar dan Susanti beranjak membuka pintu depan dan mereka sama-sama terdiam membeku di tempat masing-masing.

Dari tempat mereka berdiri, satu pemandangan memilukan hati terbentang nyata.

Dengan langkah terseret, Edelia berusaha untuk tetap berjalan. Rambut hitamnya yang lebat tampak kusut masai. Wajahnya yang cantik lebam menyisakan warna merah keunguan. Di sudut bibirnya terdapat darah yang mengering.

Menggenggam jaketnya dengan erat di depan dada, mata Edelia tampak kosong. Ia menyeret kakinya perlahan mendekati kedua orang tuanya. Tepat di hadapan kedua orang tuanya, Edelia lantas jatuh pingsan.

*

"Agus, Bu. Agus."

Edelia memeluk lututnya dengan erat. Mengatakan hal yang sama berulang kali pada ibunya.

Susanti menggigit bibirnya. Sedang Anwar hanya bisa memejamkan matanya melihat kenyataan yang terpampang di hadapannya. Putrinya semata wayang terenggut kesuciannya.

Dan tak butuh waktu yang sebentar, kejadian itu dengan cepat tersebar ke seluruh penjuru. Membuat Edelia yang masih duduk di bangku SMP terpaksa harus izin sekolah. Lagipula, remaja mana yang masih sanggup sekolah setelah kejadian yang mengerikan itu?

Edelia menghabiskan waktu berhari-hari menangis di kamarnya. Terkadang ia menjerit pilu. Lalu, ia kembali menangis terisak-isak. Kedua orang tua Edelia menemui keluarga Agus.

Terjadi perdebatan antara kedua keluarga itu, seolah meragukan anak mereka yang berpendidikan bisa melakukan hal yang sekeji itu. Dan tak hanya orang tua Agus, beberapa dari warga pun berpikir demikian.

"Agus anak orang kaya, mana mungkin mau dengan cewek seperti Edel."

"Biasa itu, lagi mau nyari calon suami yang kaya. Jadi, pake cara cepat."

Ketika bisik-bisik itu sampai di telinganya, Edelia hanya bisa meringis dalam tangisannya. Hingga kemudian saat Irma dan suaminya, Dirman, datang ke rumah Edelia, ia berkata.

"Aku sempat mencakar perut Kak Agus," katanya kemudian. "Kalian bisa membuktikan omongan aku."

Dan cakaran itu nyatanya terlalu dalam hingga menyisakan luka yang butuh waktu lama untuk sembuh. Agus dan kedua orang tuanya tak lagi mampu mengelak.

"Baiklah," kata Dirman kemudian. "Kita anggap saja ini kecelakaan anak muda."

Mata Anwar membesar. "Maksud Bapak?"

"Agus masih kuliah, sedangkan Edel juga masih sekolah. Mereka pasti nggak sengaja berbuat seperti itu."

Amarah seketika meledak di dada Anwar. "Mereka?!" bentak Anwar. "Anak saya korban! Dan Bapak bilang mereka?"

Dirman menarik napas seraya melirik istrinya. Irma kemudian berkata.

"Kita nggak tau apa yang terjadi di antara mereka, Pak. Siapa tau mereka memang sama-sama suka."

"Bu! Kalau mereka sama-sama suka, Edel nggak mungkin nyaris mati berjalan sendirian di tengah malam!" balas Susanti. "Bapak dan Ibu sama-sama nggak ada hati!"

Mendengar keributan itu, Edelia hanya bisa menutup wajah di atas bantal. Telah hampir sebulan sejak malam terkutuk itu, tapi semua yang terjadi hanya seperti ini. Berulang kali Edelia mendesak orangtuanya untuk melaporkan itu pada polisi, tapi mereka bergeming. Lagipula, orang tua Agus memiliki kedudukan penting.

Dan seakan semua tak lagi cukup gelap untuk menutupi dunia Edelia, pagi itu semua kembali membuat dunianya terguncang hebat. Di saat matahari belum sepenuhnya menunjukkan dirinya, Edelia tersentak bangun dari tidurnya. Merasakan bagaimana perutnya bergejolak hingga ia memuntahkan semua isi di dalam sana.

Tak cukup hanya dengan penderitaan satu malam yang menyisakan kepahitan seumur hidup, Edelia kembali harus menerima kenyataan. Ada nyawa yang tumbuh di dalam rahimnya.

Edelia nyaris gila. Atau mungkin dia benar-benar sudah gila.

"Pergi kamu, pergiiiiiiii!!!"

Edelia menjerit meraung-raung. Memukul perutnya berkali-kali. Tak puas dengan itu, ia bahkan menjambak rambutnya sendiri. Menampar pipinya. Melakukan apa pun yang bisa ia lakukan untuk menyakiti dirinya. Ia hanya ingin melenyapkan janin yang hidup di dalam sana.

Susanti tak bisa melakukan apa-apa selain memeluk erat putrinya. Air matanya mengalir deras. Terasa hidup tak bernyawa melihat penderitaan yang ditanggung putrinya.

"Bu! Lapor Agus ke polisi, Bu!" jerit Edelia. "Dia penjahat, Bu!"

Susanti mengelus punggung Edelia berulang kali. Berusaha untuk menenangkan putrinya itu. Menyadari bahwa beban itu teramat berat untuknya.

Anwar yang hampir gelap mata karena menuntut keluarga Dirman, berusaha untuk melupakan rasa malunya. Berkali-kali mendatangi rumah Kepala Desanya itu. Berharap untuk bisa bertemu dengan Agus.

Dirman menghadang di depan pintu. "Sudah, Pak. Kita ambil jalan damai saja. Kita nikahkan mereka. Mau bagaimana pun juga, Edel hamil anak Agus."

"Menikah?"

"Mereka juga sudah besar. Nggak mungkin, Pak, Agus sekali menyentuh Edelia dan langsung hamil," lirih Irma. "Anak berdua itu pasti diam-diam sudah sering berhubungan. Jangankan Bapak, saya saja malu ketemu warga, Pak."

Menimpali perkataan istrinya, Dirman berkata. "Semua sudah jadi bubur, Pak. Kita nikahkan saja mereka. Toh mereka sama-sama suka. Biar kami bertanggungjawab, Pak. Kami siap menikahi mereka."

Anwar termenung mendengar perkataan Dirman dan Irma. Memikirkan perkataan mereka berdua. Dan merasa bahwa mungkin pernikahan adalah satu-satunya jalan keluar.

Tapi, ketika Anwar mengatakan itu pada Edelia, pria paruh baya itu justru mendapatkan jeritan Edelia sebagai balasannya.

"Agus akan menikahi kamu, Del. Jadi, anak itu bisa memiliki ayahnya. Ini juga satu-satunya cara untuk menyelamatkan muka keluarga kita," kata Anwar kala itu.

Edelia menjerit. Meraih bantal dan melemparkannya pada ayahnya sendiri. "Aku nggak mau! Aku mau Agus dipenjara! Kita laporkan ke polisi, Pak."

Susanti berusaha menenangkan Edelia.

"Ibu, kita ke polisi, Bu. Agus harus dipenjara, Bu!"

"Memangnya kamu pikir gampang mau buat anak Kades masuk penjara?!" bentak Anwar. "Bapak sudah malu punya anak yang digauli sama orang, Del! Orang-orang ngomongi keluarga kita terus."

Edelia terisak. Ia menangis meraung-raung. "Itu bukan salah aku, Pak." Tangannya memukul dadanya berulang kali. "Dia yang jahat, bukan aku. Kenapa Bapak malah marah-marahi aku?"

"Kamu pikir kalau Agus dipenjara, semua masalah selesai?! Anak di perut kamu ini bagaimana? Siapa yang mau menghidupinya?"

Edelia menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Tangannya meremas perutnya.

"Makanya, kamu nikah saja dengan Agus. Toh dia bapak dari anak kamu. Mumpung mereka mau bertanggungjawab."

Air mata yang hangat mengalir dengan deras membasahi kedua pipi Edelia. Napasnya terasa putus-putus mendengar perkataan Anwar. Tak percaya bahwa ayahnya sendiri tega mengatakan hal itu pada dirinya.

"Kalau anak ini memang akan lahir, Pak," kata Edelia parau di sela-sela tangisnya, "aku nggak mau dia punya Ayah yang nggak punya hati nurani seperti Agus." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Melepaskan diri dari pelukan Susanti. "Aku nggak mau hidup satu rumah dengan pria penjahat seperti itu seumur hidup aku." Gelengan kepalanya semakin kuat. "Aku nggak mau."

Anwar mengembuskan napas panjang. "Memangnya nanti siapa yang mau menghidupi anak itu?! Kamu jadi wanita udah nggak ada harga diri lagi, Del. Ini mumpung mereka mau bertanggungjawab."

Edelia menekuk lututnya. Memeluknya dengan erat. Menumpahkan semua kesedihannya di sana.

Dan ternyata, memang bukan hanya orang tuanya yang berkata seperti itu. Tak jarang ketika orang-orang berkumpul, maka topik Edelia-lah yang dibicarakan.

"Agus sudah mau tanggungjawab, apa kurangnya toh?"

"Hidup Edelia pasti terjamin kalau jadi menantu Pak Kades. Orang kebunnya luas."

"Bener itu. Lagipula, emangnya nanti ada yang mau menikahi dia kalau bukan Agus?"

"Mana ada juga laki-laki yang mau menikahi perempuan yang udah nggak perawan lagi. Eh, punya anak juga."

Kata-kata seperti itu, bukan sekali dua kali mampir ke indra pendengaran Edelia. Setiap mendengar hal seperti itu, Edelia kembali menghujat Tuhan. Apa salah aku sampai harus seperti ini?

Semakin hari keadaan Edelia semakin mengenaskan. Menangis menjadi rutinitass yang tak pernah ia tinggalkan. Berhari-hari, ia hanya mengurung diri di kamar. Menumpahkan kesedihannya dalam luapan air mata dan hujatan. Dan ketika rasa mual, pusing, serta tak enak badan melanda dirinya, ia benar-benar berpikir untuk mengakhiri hidupnya saat itu juga.

Menahan sakit karena pemerkosaan sudah teramat menyakiti hati remaja itu, sekarang? Ia pun harus menerima takdir dengan kehamilannya?

Namun, seakan semua orang buta dengan apa yang diderita oleh dirinya, Susanti justru berkata padanya di suatu siang.

"Besok malam, keluarga Agus akan datang ke rumah untuk melamar kamu. Kamu istirahat ya, biar besok bisa didandan buat lamaran."

Sepeninggal Susanti, Edelia tertawa. Ia tertawa kencang. Lalu, tangannya mengusap perutnya. Ia berkata lirih pada janin di dalam sana.

"Nak, itu bukan bapak kamu. Aku nggak akan pernah membiarkan kamu punya bapak berhati binatang seperti dia."

Di malam hari, ketika semua orang lelap dalam tidur dan mimpi, Edelia memutuskan untuk pergi. Membawa sedikit pakaian yang ia punya dan beberapa uang tabungan yang tak seberapa.

Ketika kakinya menyelusuri gelap jalanan malam, kata-kata Anwar terngiang di benaknya.

"Memangnya nanti siapa yang mau menghidupi anak itu?! Kamu jadi wanita udah nggak ada harga diri lagi, Del. Ini mumpung mereka mau bertanggungjawab."

Edelia menguatkan hatinya. Aku yang akan menghidupi anak ini. Setidaknya hingga ia lahir ke dunia.

*

Perjalanan yang Edelia tempuh tidak mudah. Di malam itu, dengan keadaan fisik dan mentalnya yang terguncang, ia harus berjalan kaki seorang diri. Rasa pening menghujam kepalanya. Membuat langkah kakinya terseok-seok. Dan ketika itulah, ia merasakan ada sinar lampu besar yang menerangi langkah kakinya. Tepat ketika ia terjatuh di jalan.

Satu mobil truk berhenti seketika. Pengemudi truk tersebut segera turun, begitu pun dengan kernetnya.

"Bos, ini cewek pingsan," kata kernet tersebut.

Sopir itu mengangguk. "Kayaknya kelelahan ini. Gimana ya, Le?"

"Bawa ke rumah Bos dulu kali. Biar diobati sama Ibu. Terus baru kita tanyain, Bos. Apa kita bawa ke kantor polisi gitu," jawab Tole. "Kasian loh tengah malam jalan kaki. Masa Bos tega."

Sopir yang bernama Erdi itu menarik napas dalam-dalam. "Ayoh, kita bawa ke truk."

*

Pagi itu, Edelia merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Rasa mual membuat ia seketika terbangun dari tidurnya. Tapi, alangkah kagetnya ketika ia membuka mata. Satu kamar berdinding putih bersih adalah hal pertama yang ia lihat.

"Sudah bangun, Nak?"

Edelia tersentak duduk. Beringsut mendapati seorang ibu paruh baya mendekati dirinya seraya membawa sebuah nampan. Aroma wangi dari mangkok di sana membuat perutnya bergemuruh.

Ibu itu dengan tersenyum duduk di pinggir ranjang. Menawarkan sarapan bubur ayam yang hangat pada Edelia.

"Sarapan dulu."

Takut-takut dan didorong oleh rasa lapar, Edelia menyambut nampan itu. Meletakkannya di atas pangkuannya. Dengan lahap ia menghabiskan semangkok bubur tersebut.

Ketika ia selesai menghabiskan sarapan itu, Edelia melirik pada ibu tersebut. Ibu itu masih duduk di tempatnya dan menemani dirinya menghabiskan sarapan.

"Nama saya Mega," kata wanita paruh baya tersebut. "Malam tadi suami saya pulang dan menemukan kamu pingsan di pinggir jalan."

Edelia menunduk. Lalu, mencari-cari keberadaan tasnya. Ada di meja.

"Kamu mau pergi ke mana?"

Edelia tak menjawab.

"Kamu ada keluarga?"

Edelia masih tak menjawab. Lalu, rasa mual itu kambuh. Membuat Edelia tak tahan dan menutup mulutnya. Mega tampak terkejut dan dengan segera membawa Edelia ke kamar mandi.

Ketika Edelia selesai muntah-muntah, ia menjatuhkan diri di kaki Mega. Terisak. "Jangan kasih tau Bapak dan Ibu kalau aku di sini, Bu. Jangan. Aku nggak mau menikah dengan penjahat."

Mega tertegun. "Pen-Penjahat?"

Edelia mengangguk.

Dibutuhkan kesabaran ekstra hingga akhirnya Mega bisa mengorek cerita dari mulut Edelia. Ketika Edelia selesai bercerita, ia mengiba-ngiba.

"Aku akan cari kerja, Bu. Aku akan melahirkan anak ini, tapi aku nggak mau menikah dengan penjahat itu."

Mega menarik napas dalam-dalam. Memutuskan bahwa ia perlu mendiskusikan hal itu pada suaminya.

Malam itu, ketika Edelia telah tertidur, mereka membicarakan hal tersebut.

"Besok aku akan mencoba membawanya untuk konseling," kata Mega. "Kasihan anak itu. Dia terlihat benar-benar terpukul."

Erdi menarik napas. "Selanjutnya, dia mau tinggal di mana?" tanya Erdi. "Di sini?"

"Tergantung kamu dengan anak-anak. Lagipula, di rumah ini cuma ada Galih. Anak kita yang lainnya sudah punya rumah dan keluarga masing-masing."

"Aku khawatir dengan Galih. Mungkin sulit bagi dia buat menerima orang asing di rumah. Seumuran dengan dia, tapi sayangnya sedang hamil."

"Benar juga." Mega mengangguk. "Sebenarnya, Edelia bisa bantu-bantu aku di rumah. Daripada dia mencari kerja di luar dengan kondisinya yang seperti ini," lirihnya. "Aku akan mencoba membicarakan ini dengan Galih. Bagaimana pun juga, seandainya Edelia itu anak kita, apa kita tega?"

Erdi mengangguk. Paham betul dengan empati istrinya itu.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Mega mengajak Galih berbicara. Putra bungsunya itu saat ini sedang duduk di kelas 3 SMP. Satu angkatan dengan gadis yang ditolong oleh suaminya. Tapi, sayangnya memiliki nasib yang berbeda.

"Dia siapa, Ma?"

Mega tersenyum. "Papa nemui dia di pinggir jalan. Sendirian. Nggak punya keluarga."

"Terus? Dia mau tinggal di sini?"

"Kalau kamu juga setuju. Lagipula, dia nggak tau mau tinggal di mana. Dia bisa bantu-bantu Mama di rumah. Kan kamu nggak mau bantuin Mama beres-beres rumah."

Galih terdiam.

"Coba seandainya kita yang ada di posisi dia," lanjut Mega. "Kita pasti mengharapkan bantuan orang kan?"

Helaan napas panjang Galih lepaskan. "Tapi, dia nggak bakal ngangguin aku kan, Ma?"

Mega menggeleng. "Dia nggak mungkin nganggu kamu. Yang ada malah kita harus membantu dia."

"Maksud Mama?"

Mega menarik napas dalam-dalam. Entah bagaimana caranya, tapi pada akhirnya ia terpaksa memberitahu keadaan Edelia pada Galih. Bagaimana pun juga, Galih adalah seorang remaja cowok yang sedang dalam tahap pertumbuhan. Memaksa dirinya untuk menerima seorang perempuan seumuran dirinya, tapi tengah berbadan dua pasti tidak mudah. Kemungkinan ia akan merasa canggung. Tapi, Mega bersyukur. Galih menerima dengan dewasa. Pun tidak terlihat sedikit saja Galih merendahkan Edelia.

"Anggap aja Mama punya anak perempuan lagi," kata Galih suatu ketika.

Penerimaan Galih mempermudah niat Mega. Setelah memastikan semua anggota keluarganya menerima Edelia, wanita paruh baya itu pun mengajak Edelia untuk konseling. Di usia remaja mengalami pemerkosaan, terpaksa mengandung di usia belia, dan melarikan diri dari keluarga, siapa yang bisa bertahan? Yang penting adalah bagaimana mental Edelia tidak mempengaruhi janin di dalam rahimnya.

"Melahirkan bayi bukan suatu kesalahan, selagi ia bisa bertahan, itu artinya ia ingin hidup."

Edelia tertegun. Menatap makan siangnya setelah pulang dari konseling. Matanya kosong menatap piring.

"Aku nggak tau apa bisa menghidupi anak ini nanti, Bu."

Mega meraih tangan Edelia. "Kalau kamu nggak sanggup, nggak apa-apa," katanya lembut. "Di luar sana banyak sekali pasangan yang ingin memiliki anak, tapi mereka tidak bisa."

Wajah Edelia terangkat.

"Kamu memang masih muda, kamu bertahan sampai sekarang itu sudah hebat."

Tanpa sadar, tangan Edelia mengelus perutnya yang mulai tampak membesar.

"Kalau pun kamu memilih untuk menitipkannya pada orang lain, itu bukan salah kamu. Ibu bisa mencari orang tua yang baik untuk bayi kamu nanti dan kamu bisa melihatnya sewaktu-waktu."

Edelia tertegun.

"Yang penting, kita lahirkan dulu dia ke dunia ini."

Pelan dan tak kentara, Edelia mengangguk. Mungkin benar apa yang dikatakan Mega. Tidak ada yang salah dengan melahirkan bayi. Bila tak mampu, ia bisa menitipkan bayi itu pada orang yang bisa dipercaya dengan cara yang benar. Lagipula, daripada Edelia harus melihat bayi itu menderita bersama dirinya yang tak tau harus melakukan apa dengan kehidupannya.

Tapi, ketika bulir-bulir keringat memercik di wajahnya. Ketika napasnya terasa terenggut paksa. Ketika jantungnya berdebar dengan kencang. Ketika rintihannya memekakkan telinga. Ketika rasa sakit seolah mencabik-cabik tubuhnya. Dan ketika suara tangisan itu pecah, Edelia hanya bisa tertegun. Sesosok bayi tampan yang begitu kecil menggeliat di gendongannya.

"Kenan..."

Di saat lidahnya bergetar pelan memanggil bayi itu, seketika itu juga Edelia tau. Tak mungkin bisa ia berpisah dari bayi yang sembilan bulan hidup di dalam dirinya. Tak mungkin bisa ia berpisah dari makhluk yang menjadi setengah nyawanya. Tak mungkin.

*

tbc...

jadi, gimana? apa yang kalian rasakan sekarang?

menyisakan sekitar 4 part lagi, Guys... sampai jumpa besok...

Pkl 21.00 WIB...

Bengkulu, 2020.07.09...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro