Kata Setajam Pisau
Diam adalah salah satu cara untuk mengeksplorasi mimpi. Namun di sisi lain, diam adalah salah satu cara untuk menyembunyikan hati yang rapuh.
***
Aku berkedip pelan.
Kantuk menyergap. Ini bukan main-main. Dan memang bukan main-main. Fix pelajaran sastra adalah pelajaran paling mengesalkan. Kenapa mereka harus memakai bahasa seperti itu? Bu Partinem juga selalu mengelu-elukan rasa, karsa, dan keselarasan jiwa manusia dengan seni berbicara dan menulis. Dan parahnya untuk pemahaman. Semuanya berawal dari literasi. Literasi mengawali seseorang memahami seni.
Tiada seni yang aku kuasai secara mumpuni. Aku hanya tahu musik, itu pun karena Bapak yang masih suka bermain gitar atau ukulele di rumah. Sekadar iseng dan permainan hampa rasa. Bu Partinem mengulang pembelajaran kelas XI yang isinya tentang aturan mengutip, sitasi, dan menulis catatan kaki. Belum lagi beliau memaksa kami belajar untuk ikut SBMPTN. Event itu memang sebentar lagi, dua-tiga bulan ke depan. Tetapi buat apa? Kami lulusan wabah yang separuh masa kelas XIInya dihabiskan di rumah.
Tidak ada ujian nasional, buat apa belajar mati-matian?
Selain itu...
Aku memandang seisi kelas yang beberapa mencatat penjelasan Bu Partinem. Sekolah dengan semester akhir setelah wabah sama saja dengan sekolah di semester sebelumnya. Manusia-manusia di sini hanya menghabiskan waktu. Semua isi kelas ini sungguh pendusta. Mungkin guru tidak tahu kalau saat ulangan, saat penilaian akhir semester, anak-anak yang terkotak-kotak dalam sama rasa sama rata berdiskusi ria. Mereka hanya kepala kosong yang disinggahi materi, trik licik sejenak lalu musnah. Toh, mereka akan kembali jadi tanah.
Mungkin siapapun yang mendengar pikiranku akan merasa kalau berada di dekatku itu sangat riskan, tertular virus tanpa nama yang menggerogoti mental. Tetapi begitulah. Di sini pun aku hanya singgah. Untuk tidur sejenak dan pulang dengan semangat empat lima.
Di rumah, satu baskom besar berisi pati yang harus diuleni tengah menanti. Dan pekerjaan itu harus selesai sebelum maghrib sebelum di teruskan ke tahap berikutnya. Pukul sembilan malam masih dalam pengemasan. Pukul sepuluh adalah batas minimal untuk tertidur. Dua dini hari adalah waktunya bangun. Menyiapkan segala perlengkapan dan berangkat ke pasar pagi. Pukul lima tepat adalah waktunya say good bye dengan hiruk pikuk pasar beserta sisa-sisa bau makanan yang tidak habis terjual.
Seratus...
Dua ratus...
Tiga ratus...
Empat ratus...
"Ali!!"
Aku hampir terjengkang. Dan aku tahu, berhenti di hitungan keempat ratus adalah sebuah kerugian. Aku memijit kening yang berdenyut dan tangan yang lain mengelus dada sendiri. Jantung yang berdenyut dengan intensitas rendah, fase istirahat, dipaksa terpacu kencang oleh rangsang mengerikan dari wanita di depanku. Aku ingin bilang, kalau aku sedang mengalami reflek moro. Tetapi, demi melihat Bu Partinem yang wajahnya pias, aku sadar kalau aku memanglah bukan bayi. Dan bayi pun tidak tahu dia punya reflek spesial.
Aku masih diam menatap beliau. Lebih sedikit rasa jeri di dadaku daripada rasa kesal akut di sana.
"Ali! Apa kau pikir sekolah itu main? Ujian Nasional memang tidak ada, tetapi jangan menyepelekan ujian sekolah! Selain itu, ini pengetahuan penting."
Aku mengangkat kepala, menemukan sosok yang seharusnya tersenyum manis dan cantik. Tetapi kini dia hanya seorang wanita yang galak, tidak lebih, tidak kurang.
Aku hanya mengangguk karena tidak tahu harus menjawab apa, memberikan tanggapan kalimat yang mana, dan hal apa yang dipermasalahkan Bu Partinem. Aku berada di kelas dengan bersahaja. Berangkat lebih pagi dari pada siapapun, tidak pernah telat, dan juga tidak bolos saat jam kosong.
Kenapa aku masih salah? Seolah dunia ini begitu mmbenciku.
"Kupikir kamu bakalan tobat. Kenapa kelas dua belas ini kamu malah semakin tidak peduli? Kamu ini bagian dari Ganesha, sekolah ini punya misi menjadi pengembang kepribadian pemimpin bangsa! Kenapa kamu malah acuh pada guru? Sifat macam apa ini?"
Benar saja, aku disemprot habis-habisan oleh Bu Partinem. Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal, aku hanya merasa risih dilihat orang satu kelas. Anak-anak dengan mata bambu yang selalu menyebalkan.
"Maafkan saya, Bu."
"Kamu menyadari kesalahanmu?"
"Apa? Tentang visi sekolah tadi? Itu visi sekolah, Bu. Bukan visi saya. Saya memang tertidur, tetapi saya selalu mengikuti pelajaran ini dengan baik, bukan?"
Wajah Bu Partinem memerah. Ini kesekian kalinya aku melihat Bu Partinem bisa seperti ini. Kelas mendadak dipenuhi bisik-bisik dan kikik geli anak-anak. Aku sudah telanjur tidak peduli.
"Kamu memang mengikuti pembelajaran dengan baik, tetapi setidaknya kamu tahu sopan santun. Dan di mata pelajaran bahasa ini, kamu sedang-sedang saja. Apa kamu tidak punya keinginan untuk menjadi lebih baik?"
"Tidak Bu."
"Astaga! Jangan-jangan kamu masih belum memiliki cita-cita dan belum tahu akan meneruskan ke mana?"
"Benar Bu."
Betapa sopan dan jelasnya aku saat menjawab pertanyaan guruku.
Bu Partinem menyerah dan segera pergi, melanjutkan pembelajaran dan melupakanku. Ya, memang itu yang kuharapkan. Aku bisa tertidur dengan nyaman lagi bukan?
Karena dibangunkan paksa tadi oleh Bu Partinem, aku tidak bisa lagi tertidur. Aku curiga kalau Bu Partinem punya mantra khusus yang digunakannya padaku sehingga aku tidak bisa tertidur lagi.
Pelajaran selesai begitu saja, menyisakan rasa mangkel akut di hatiku. Aku keluar kelas saat istirahat tiba. Seperti biasa, Arief membuntut di belakangku. Aku melirik sebentar ke arah sosok yang istirahat selalu berada di kelas sibuk membaca.
Into The Water. Buku yang tengah dibaca oleh sepasang lingkaran kacamata. Anak yang sudah tingkat advanced di dalam berbahasa tetapi seperti krupuk bantat saat berada di kelas eksak. Si psikopat yang banyak teman. Mei.
Mendadak aku urung ke kantin Pak Robert karena melihat Yasha berjalan tergesa-gesa ke arah kelasku. Dia adik sepupuku. Anak Tante Indah. Ada apa? Masalah lagi?
Alfian, Revan, dan Yudhis yang ada di gelanggang koridor segera ingin tahu. Terutama setelah melihat Yasha tidak sendiri. Dia bersama orang yang paling dihindari di sekolah ini. Dia datang bersama Ragil dengan wajah yang tidak enak dipandang.
Harusnya adik kelas datang ke kelasnya kakak kelas dengan wajah sumringah dan sopan. Bukan seperti yang mereka lakukan saat ini.
Aku membuntuti mereka. Mereka berdiri di depan Mei yang sedang baca buku. Awalnya Mei tampak acuh. Tetapi kemudian segera mengangkat wajah dengan raut yang pias saat melihat Ragil. Ada apa? Aku ada di belakang Arief, sedangkan Arief ada di belakang rombongan Alfian.
"Mbak Koumei!"
Suara Yasha memang menggetarkan hati. Seisi kelas itu benar-benar sunyi.
"Kembalikan apa yang mbak ambil ya. Atau urusan ini akan panjang. Pemiliknya mencari, tetapi sungguh dia bukan pemilik yang sebenarnya. Jadi, tolong kembalikan." Yasha masih terus bicara dengan aura kegelapannya.
Menguasai dan mencekik. Aku ingin keluar saja.
"Aku tidak mengambil apapun!" Mei berteriak sampai berdiri.
Tetapi kedua tangannya gemetaran memegang novel yang masih setengah baca.
"..." Ragil maju dan hanya berbisik kepada Mei. Mei tersentak. Yasha dan Ragil buru-buru pergi sebelum kelas semakin ramai.
Semuanya ikut bubar saat Yasha dan Ragil pergi.
"Bung, keren ye kan komandan pleton duanya." Arief berbisik saat kami meneruskan perjalanan ke kantin.
Yasha adalah komandan pleton II dari Pasukan Keamanan Lingkungan Sekolah. Auranya memang mencekam. Dia menekan psikopat seperti Mei.
"Ya." gumamku tidak jelas.
Aku masih memikirkan apa yang kusaksikan. Ragil mengatakan kalau Mei adalah seorang kleptomania. Apa yang diambil oleh Mei? Apa yang sudah dicurinya? Siapa korbannya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro