Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jam Kosong

Dalam elegi yang berkepanjangan seseorang hanya bisa mengeluh. Namun, dalam dera bahagia yang teramat seru, seseorang hanya bisa memikirkan apa keinginannya.

***
Orang dengan cara berjalan tegak atau sedikit membungkuk seperti memikul beban berat di pundak mereka. Apa ada tugas-tugas yang lebih berat daripada cobaan dan ujian dari Tuhan?

"Mas, dibeli. Ini larisan, tinggal dua. Sepuluh ribu saja... " Seorang perempuan tua berusaha menghabiskan dagangannya yang berupa melon musim hujan.

Melon musim hujan kurang laku dalam keadaan seperti ini. Namun, perempuan tua itu tetap menjualnya. Seperti yang kulihat, perempuan tua itu hanya menjualkan. Barang itu bukan dagangannya sendiri melainkan milik orang yang menggunakan dirinya sebagai pekerja.

Kasihan. Walaupun begitu, aku sama menderitanya dengan dia, bukan? Aku di sini sendirian ditemani dua tong cenil lopis yang mulai tandas.

"Bu ayo bu... Ini masih seger... " Satu orang lagi yang mungkin hanya laku lima hingga sepuluh kali penjualan saja pagi ini.

Laki-laki paruh baya itu tampak sangat bersinar di mataku. Dia tidak laku. Namun, mentalnya paling top di seluruh pasar ini.

Aku tersenyum tipis. Di dalam keramaian aku merasakan kebahagiaan. Mungkin memang benar karena aku orang yang sangat materialistis soal keuangan.

Ada beberapa hal yang mungkin harus kubenahi dalam diriku. Tetapi aku butuh lebih banyak waktu. Sementara itu, saat ini aku hanya punya sedikit waktu untuk melakukan apa yang harus kulakukan. Apa benar aku bisa melakukan apa yang kulakukan?

Aku meringkas buku harian sebelum aku berniat untuk urung pergi keluar dari gerbang tempat ramai ini. Uang sudah kusimpan rapi-rapi di dalam tas. Aku meraih sebuah buku dan menulis sesuatu di sana.

Orang-orang mulai pulang dan pedagang sudah mulai mengemasi dagangan mereka atau menutup kios mereka. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Fajar telah tiba dan urusan pasar pagi sudah selesai.

Selesai untuk itu, pencatatan omzet hari ini, aku langsung memindahkan tong untuk bersiap keluar dari gerbang pasar.

Namun, sebelum aku menyadarinya, sesuatu menabrakku kencang. Aku hampir terjatuh.

Jantungku berdegup karena terkejut bukan main dengan adanya hantaman keras itu. Saat aku menyadari, tasku terjatuh.

Aku langsung paham setelah memungut tas itu kemudian ikut berlari kencang mengejar si pelaku. Ada uang yang kusisihkan sekitar senilai lima ratus ribu rupiah sebagai hasil laba bersih hari ini. Dan uang yang kusisihkan dalam plastik itu raib dari tasku yang terjatuh.

Berandal laknat itu berlari terlalu kencang untuk dikejar. Aku kuwalahan dan terengah-engah. Udara pagi di dalam pasar sangat pengap. Du keloka paling ujung aku kehilangan jejak berandal laknat itu.

Dengan rasa kesal di ubun-ubun aku memilih berbalik dan pulang saja mengingat hari sudah semakin siang. Mungkin Bapak sudah menunggu di depan gerbang pasar menjemputku.

Namun saat aku berbalik, aku menemukan sosok yang membuatku lebih terkejut lagi.

Yasha. Sepupuku yang kemarin melabrak Koumei soal barang hilang itu. Yasha membawa sebungkus plastik dengan beberapa tusuk bambu mencuat dari tempat itu. Sate.

"Kamu ngapain di sini? Pasar sama siapa huh? " Tanyaku kepada Yasha yang wajahnya tampak berkeringat seperti habis lari.

Yasha menggaruk kepalanya sebentar dan kemudian menjawab dengan sedikit terbata. Bukan dengan nada nada tegasnya yang kemarin.

"Anu, aku beli sate. Sendirian Mas. Tadi jogging bentar ke sini. " Yasha menunjukkan bungkusan satenya dengan berlebihan kepadaku.

Aneh. Aku curiga. Namun, menatap sepatu kets yang melekat di kaki Yasha, keraguanku memudar. Sepertinya Yasha memang sehabis jogging dan mampir ke pasar untuk beli sate.

"Ngomong-ngomong mas kenapa? Kok kayak bingung gitu? "

Yasha berbalik bertanya padaku. Aku menggelengkan kepala.

"Aku kemalingan. Tadi ada berandal yang nyerempet sambil ngambil duwit dagangan Mas. Lah, jejaknya ilang di sini. Cepet banget larinya. Kamu lihat? " Aku menyelidik kepada Yasha.

Yasha tampak sejenak mengeraskan rahang tetapi kemudian menggeleng. Air wajah Yasha sulit diartikan. Antara sedikit takut, percaya diri, dan ikut bingung. Entah yang mana yang benar.

"Kamu yakin nggak tahu? Tadi soalnya bener-bener aku yakin lihat berandal itu larinya ke sini. Dan kamu ada di sini." Aku bersedekap berusaha menekan Yasha.

Yasha masih menggelengkan kepala. Hemmn, apa mungkin aku yang salah tuduh ya? Atau memang Yasha ingin menutupi sesuatu?

Tetapi melihat sepatu kets dan juga bungkusan sate itu, aku merasa yakin kalau Yasha tidak tahu sama sekali. Bocah itu memang kadang terlihat seram tetapi juga kadang terlihat sedikit bodoh.

"Yaudah deh. Kamu pulang aja. Aku mau pulang saja, ini udah pagi. Bapakku mungkin ada di depan. " Aku pamit kepada Yasha yang masih terus diam menatapku.

Itu bukan sifat aslinya. Yasha jarang sekali berdiam diri seperti itu. Apalagi dengan Bapakku, Pakdhenya sendiri. Biasanya dia akan antusias untuk sekadar memperoleh angpau.

Ah, sudahlah. Aku segera kembali dan mengangkat tong kosong keluar. Sebelum keluar, aku teringat sesuatu untuk segera menemui Pak Yatno. Beliau harus tahu soal berandal baru yang meresahkan ini.

Fatma Cahaya
30-11-2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro