Dirundung Jilatan Api Neraka
Teman adalah ampas kekosongan dan penggurit dusta. Sungguh tak lebih dari itu.
***
Aku kembali ke dalam kelas tepat sebelum Bu Suci datang. Namun, saat aku sampai di dalam kelas semuanya sudah berbeda. Cara teman-teman memandangku semakin buruk. Aku merutuki diri sendiri yang sudah ceroboh dan tidak bisa mengurusi urusan pribadi dengan benar.
Hari, anak yang duduk di depanku itu ikut prihatin dan beberapa kali berbalik mencoba untuk menenangkan diriku. Apa aku terlihat begitu marah? Apa aku terlihat begitu buruk?
Aku sudah mencoba berdamai tetapi kembali dianggap asing di sini. Sejak awal memang sudah asing kan? Kenapa harus diperparah dengan keadaan seperti ini? Aku mencoba duduk sambil tenang. Dalam hati aku begitu menantikan pulang sekolah.
***
Di teras belakang aku menemukan Rach dan Echal sedang mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Usia mereka yang sama membuat mereka selalu mengerjakan sesuatu bersama-sama. Rachel dan Echal masih terus asyik dengan apa yang sedang mereka kerjakan sekarang.
Aku menangkap pemandangan lain selain keasyikan dari Rachel dan Echal. Bapak. Bapak ada di kursi dalam sembari menatap kedua putra bungsu kembarnya dengan saksama.
Aku takut akan satu hal. Rachel dan Echal akan dituntut untuk melakukan pekerjaan yang sama. Selama mereka masih kecil saat ini, dan seperti saat aku kecil dahulu, kami dititipkan dengan saudara dari ibu.
Saudara-saudara dari Ibu kebanyakan tidak bisa memiliki seorang anak. Maka, mereka Terima mengasuh anak Ibu. Herannya aku, waktu itu pun aku merasa nyaman-nyaman saja. Padahal, jelas-jelas kalau kami kurang kasih sayang dari orang tua.
Namun, aku melihat Rachel dan Echal bahagia. Mungkin mereka tahu kalau tujuan orang tua mereka saat ini adalah berusaha sekeras mungkin demi masa depan yang sejahtera.
Yang aku khawatirkan adalah Bapak. Kalau semisal Bapak memang ingin menerapkan jiwa dagang kepada anaknya, mungkin seusia Rachel dan Echal masih terlalu dini. Mereka masih butuh bermain. Bukannya berkerja keras seperti diriku dahulu.
Ah, terserah Bapak. Di dalam keluarga ini kekuasaan Bapak adalah mutlak dan tak terbantahkan. Aku segera meninggalkan teras belakang dan hendak ke teras depan.
Baru saja aku ingin duduk berleha-leha, sebuah Supra 125 merapat ke rumahku. Itu Arief. Rasanya aku ingin masuk ke dalam saja. Tetapi hal itu tidak mungkin kulakukan sekarang atau Ibu dan Bapak ku akan merasa curiga.
Aku segera berdiri dan maju sampi ke ujung teras untuk memastikan kalau itu benar Arief.
Mau apa? Terakhir dia datang ke rumah mau minta diajarkan soal-soal Fisika. namun, dia sendiri tidak bisa memahami apa yang kuajarkan. Bagaimana lagi aku harus mengajarnya?
"Yo Bung. Aku mau minta ajari soal Matematika Peminatan yang kemarin aku liat beberapa keluar di ujian. Ah, pokoknya pusing. "
Arief nyengir lebar tetapi kemudian tersenyum hangat. Aku mempersilakan dirinya untuk duduk di bangku teras. Arief langsung duduk dan mengeluarkan isi ranselnya tanpa izinku.
"Kamu ada waktu kan?" tanya Arief tanpa melihatku.
"Selalu ada. Dan kemungkinan kamu yang akan selalu bikin jadwal waktu kosong itu penuh. "
Aku menggelengkan kepala. Arief sudah les dan sudah ikut bimbingan belajar. Kenapa pula aku harus mengajarnya? Kalau dia mau dia bahkan bisa minta guru lesnya untuk mengerjakan soal-aoal yang sulit.
Aku menatap Arief dengan malas.
"Begini, yang ini. Nah, ini... " Arief mengangkat sebuah buku paket latihan UTBK di depan wajahku.
Aku menatap soal itu dengan rasa mual. Ini sungguhan Arief ingin menanyakan soal-soal itu padaku?
"Please... " Arief merengek dengan gaya alaynya. Bagaimana kalau sampai nanti Bapak atau Ibuku liat tingkah teman SMAku yang kurang waras ini?
Aku langsung mengangguk dan membaca soal itu. Berpikir sejenak untuk mencari trik tepat tanpa membuka atau mencari rumus. Aku mengerjakan sekitar lima menit karena aku benar-benar buntu.
Di dalam dadaku aku bisa merasakan gejolak amarah dan juga gejolak rasa dongkol kepada Arief. Selesai sekitar sepuluh soal dengan variasi tingkat kesulitan berbeda aku menatap Arief dengan serius.
"Eh, ada apaan?" Arief melihatku dengan wajah penuh tanda tanya.
"Harus aku yang tanya begitu sama kamu. Ada apa sama kamu, huh? Kenapa kamu sekarang kayak gini. Kupikir aku bisa percaya kamu sebagai teman. "
"Tunggu Bung, ini ada apaan sih? Aku nggak paham. Emang aku berubah apa? Aku sama dengan Arief yang dulu. " Arief mengelak dan menggelengkan kepala.
Arief terlihat benar-benar tidak tahu.
"Kenapa kamu cerita soal pekerjaanku kepada orang lain? Sudah berapa kali aku bilang kalau itu privasiku? Aku nggak ingin orang lain tahu soal itu! Kenapa kamu cerita sama Alfian? "
Aku setengah berteriak dan tangan kiriku mencengkeram lengan bahu Arief. Tubuh Arief terhenyak dan melemas.
"Bagaimana teman-teman akan memandangku di kelas?" Aku menatap kedua bola mata Arief dengan serius.
Arief mengerjap.
"Sekarang, kita berhenti berteman. Kamu pulang sekarang. "
Fatma Cahaya
30-11-2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro