Cakrawala 1
Aku mengagumi cakrawala bumantara karena jangkauan pandangku terhadapnya adalah angkasa tanpa tepi beserta isinya.
***
Aku berkedip pelan. Peluh menetes di dahiku, padahal suasana dingin dan membuat bulu kuduk meremang. Sepertinya, angin merasuk terlalu jauh melalui celah jendela kamarku. Aku terbangun dan merapikan selimut. Waktu menunjukkan kalau aku tertidur pun tidak ada gunanya lagi. Lebih baik terjaga sampai nanti tanda itu datang. Aku selalu enggan keluar lebih awal. Bukan berarti tidak semangat atau apa. Melainkan karena aku ingin merasakan kepedulian dari mereka.
Aku membalikkan tubuhku menatap langit-langit. Aku merasa sudah melangkah sangat jauh dan sudah telanjur jauh melekatkan sifat yang seharusnya bukan berada padaku. Hidupku semakin hari, semakin tak beralasan. Mereka bahkan tidak mau tahu apa yang kupikirkan, apa yang kurasakan, dan apa yang kukerjakan. Boro-boro soal itu, keadaanku saja mungkin terabaikan. Mereka tidak mau tahu soal prosesnya. Mereka hanya mau tahu hasil apa yang kuraih sejauh dan seusia ini. Memikirkan hal itu, aku semakin merasa minder dan tertekan.
Jadi, seperti inikah diriku yang sesungguhnya?
Aku menganggap diriku sendiri sebagai orang yang berpandangan luas. Rasanya seperti main-main saja. Aku tidak tahu kalau suatu saat aku akan tertekan sendiri saat menyadari kesempitan dalam pemikiranku.
Yang jelas, omzet penjualan cenil lopis dan katering bulan ini merangkak naik. Tercatat Bulan November adalah prestasi yang cukup bagus sejak Bulan April 2020. Mungkin terdengar seperti catatan opini seorang wirausahawan. Penjualan terus turun sampai sebelum Ramadhan. Ramadhan datang membawa sedikit pertolongan tetapi kemudian kembali anjlok.
Siang-siang aku akan lebih banyak bermain gim atau menonton kartun. Buat apa pula belajar? Semua serba online dan taktik serta trik curang pun dilakukan secara online. Aku hanya terbengong-bengong ketika memergoki sesama teman sekelasku yang ada di dalam telepon grup untuk membahas soal bersama.
Lalu, aku juga hanya menatap malas soal-soal yang menurutku terlalu abstrak. Buat apa limit dan fungsi trigonometri dengan soal modifikasi sesulit itu? Mau membolak-balikan buku catatan dari guru tersebut saja aku tak akan menemukan jawabannya karena memang guru itu tidak mengajarkan soal sulitnya pada kami. Kami? Kurasa kurang tepat. Aku, tidak diajarkannya kepadaku karena aku tidak ikut tambahan bimbingan belajar dengannya. Rasa kesal merambat ke ubun-ubunku. Prasangka buruk selalu ada di dalam benakku terhadap guru-guru itu.
Ya, guru-guru itu. Mungkin tanpa nama atau memang bernama tetapi rasanya terlalu tawar untuk dikenang. Hal ini pula menunjukkan kalau aku berpikiran sempit hingga aku merasa tertekan.
Malam-malam aku punya jadwal tetap sampai pukul sepuluh untuk menjadi juru ulen dari bahan calon cenil lopis. Ini pekerjaanku. Sedari aku kelas tiga sekolah dasar, aku merasa sudah belajar dan tahu dengan baik. Semenjak aku terjun dalam pemikiran bisnis ini, semakin pula omset penjualan dan juga pasar semakin berkembang.
Saat aku tertidur, aku masih bisa merasakan kedua tanganku yang yang terasa ganjil. Mungkin mati rasa atau apa. Aku sendiri rasanya ingin memotong kedua tangan itu agar aku dapat tidur dengan nyenyak. Walaupun aku punya keinginan begitu, aku masih ingat dan merasa takut soal bagaimana nantinya. Bagaimana kalau aku akan tertidur nyenyak selamanya? Aku masih ingin merasai kehidupan ini walaupun rasanya kecut, tawar, pahit, atau asin.
Di posisiku sekarang, aku hanya bisa terus berprasangka buruk dan menikmati apa yang kupikirkan. Bagaimana kalau aku ada di posisi orang-orang? Apa aku akan lebih baik? Untuk saat ini, aku tidak peduli dan tidak ingin peduli sama sekali soal itu. Menurutku, urusan pribadiku lebih penting. Kedua orang tuaku, kepada mereka setidaknya aku harus melakukan sesuatu yang berguna. Sebelum kelak mereka pergi.
Rasanya seperti melakukan kejahatan saat memikirkan hal itu. Namun, rasanya pula seperti memakan cenil tanpa bumbunya, sedikit rasa tawar yang menuju masam yang gurih. Itu rasa sakit di hati. Tanpa kedua orang tuaku, aku tidak akan berpijak di atas Bumi. Itu jelas sekali. Aku menggigil merasakan runyam yang menerjang mental dan fisikku. Rasanya ingin meraih ponsel dan mencari teman di dunia maya saja. Namun, aku tak bisa melakukannya. Di mana-mana rasanya selalu sendiri. Aku terlalu takut membangun hubungan. Aku takut orang lain tahu apa pekerjaanku. Aku takut dirundung oleh rasa malu.
Seperti inikah karakterku? Orang yang selalu berdusta pada diri sendiri dan memainkan perasaan. Ck! Masa bodoh dengan hal itu! Sekarang aku hanya perlu melakukan apa yang perlu kulakukan. Terlebih untuk mereka.
Pada akhirnya, manusia hanya butuh uang untuk hidup. Namun, di akhir pula manusia tidak akan membawa harta saat mati. Yang kutahu hanya itu. Aku bukan mencari hasil, aku hanya berproses. Katanya Tuhan suka melihat orang-orang berupaya. Jadi, aku hanya butuh untuk melakukan sesuatu secara nyata tanpa banyak mengeluh.
Bamm!
Pintu kamarku sudah digedor oleh tangan Bapak.
Sudah waktunya. Aku berusaha tersenyum lebar untuk memulai hari ini bersama mereka. Mimpi dan kecamuk di otakku harus tuntas. Kalau memang mimpi-mimpiku hilang dengan lekas tanpa bekas, aku akan berusaha ikhlas. Mungkin ada mimpi-mimpi lain yang bisa kuraih dari sekadar kembang tidur manusia. Katanya, orang yang sukses bukan hanya mereka yang punya jabatan dan kaya, bukan? Namun, mereka yang lebih banyak melakukan proses dalam waktu yang sama.
Aku langsung bangun dan cuci muka. Lalu merapatkan jaket serta celana jeans panjang. Kupakai kaos kaki agar nanti saat jari-jariku berada di dasar sepatu bot selama beberapa jam ke depan tidak merasa kedinginan.
Saat keluar kamar aku langsung disambut dengan beberapa tong yang siap dimuat. Aku mengangkat tong-tong itu seperti mengangkat harta karun atau semacamnya. Mitsubishi mengkilap yang masih dicicil seperempat itu telah dipanaskan dan siap membawa kami ke medan perang. Gerilya dini hari. Harusnya, kalimat itu yang pantas menjadi judul kisah ini. Namun, di balik semua ini, aku punya tujuan yang lebih besar dan lebih penting dari sekadar gerilya dini hari.
Di ambang teras rumah, angin berembus meniupi dahiku yang selalu berpeluh. Seolah ingin membujuk mataku untuk kembali terpejam. Namun, aku lebih memilih melawan takdir.
Terdengar dengkusan napas Bapak. Suasana yang remang membuatku semakin enggan melihat wajah Bapak. Tidak penting. Yang penting adalah kami harus bergegas. Karena berkejaran dengan waktu itu seperti dikejar kematian.
Ada bahaya yang mengintai dan takdir-takdir tak beralasan milik Tuhan. Kusebut tak beralasan, karena memang hanya Tuhan yang tahu.
Mitsubishi anyar ini menderum halus membawa kami meninggalkan rumah. Tempat yang seharusnya masih nyaman untuk istirahat sampai pagi. Kami melaju menuju tempat yang selalu membuat lidahku kelu saat hendak menyebut namanya. Agar tidak menuai masalah yang berkepanjangan, aku tidak akan menyebutnya sampai kapan pun.
Fatma Cahaya
29-11-2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro