Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Berlari di Langit?


Guru adalah lentera ilmu di zamannya
Siswa adalah produk cendekiawan tiap generasinya

***

Aku ingin mematahkan anggapan dunia soal guru. Semua orang hanya manusia biasa. Tidak ada yang istimewa. Mereka punya akal yang digunakan untuk berbuat licik kepada sesama untun keuntungan yang lebih banyak dan lebih besar. 

Aku mendengkus kasar ketika memakai dasi. Hari ini adalah hari keberangkatan sekolah untuk pertama kalinya setelah satu setengah semester pembelajaran jarak jauh. Simulasi dua bulan lalu saja hanya membuatku muak. Siswa hanya disuruh belajar tiga mata pelajaran lalu pulang. Buang-buang waktu saja. Belum lagi saat penilaian akhir semester kemarin. Sudah tahu kalau server tidak kuat kenapa harus tes memakai aplikasi sampah itu?

Waktuku sangat tersita di hari-hari itu. Pagi-pagi aku sudah antusias hingga pukul sembilan, tetapi error-nya masih naudzubillah. Tes pun dimulai pukul sepuluh. Apa orang-orang itu sudah gila? Permasalahan ini terlalu pelik bagiku. Sore hari, sesi dua baru berakhir pukul empat. Jika jam karet molor lagi, pukul lima menjadi finish kegiatan yang faedahnya sangat sedikit itu.

Aku sampai kekurangan tidur. Malam hari mencekam pula dengan kecamuk dalam benakku. Aku takut dengan masa depan, tetapi aku berusaha untuk tidak peduli. Aku harus bagaimana?

Bayanganku di depan cermin tampak jangkung dengan mata sayu. Garis-garis samar tercetak disekitar mataku. Hidungku serasa semakin panjang atau mancung karena aku terus berbohong pada diri sendiri dan berambisi mencari pundi-pundi rupiah. Dasi tampak miring dan lusuh karena aku memang sudah lupa cara melipatnya dengan benar. 

Apa aku melewatkan sesuatu? Apa aku membuat kesalahan? Bukan aku yang salah. Namun, keadaan ini.

Ampas! Semuanya ampas!

Aku berlari keluar menuju meja makan. Sampai di depannya, aku urung membuka tudung saji itu. Aku tahu isinya, tahu persis. Kosong. Tidak pernah ada sarapan tersedia di meja makan kalau aku hendak pergi ke sekolah. Hal ini karena Ibu ada di pasar. Di ruang tamu, Bapak tengah memakai sepatu bersama Rachel dan Echal. Mbak Rika menemani Ibu bergerilya sampai siang karena memang kuliahnya masuk siang.

Rachel dan Echal pasti akan berangkat bersama Bapak dengan Avanza yang baru dicicil dua pertiga itu. Aku lebih baik berangkat sendiri daripada harus bersama Bapak. Beruntung pula karena angkutan umum jalur rumahku melimpah.

Alat transportasi yang belum habis dicicil itu, membuatku malu. Bapak berpikir kalau harta bisa membuat mata orang berubah dalam memandang. Aku tidak akan banyak berkomentar soal itu. Namun, aku memutuskan untuk tidak berangkat bersamanya.

Angkutan umum terasa sangat sesak. Seperti rasa sesak yang tak karuan dihatiku. Lubang menganga terlalu dalam dan kalau keterusan aku sendiri yang rugi. Maka, di dalam angkot ini aku hanya menatap seorang perempuan tua yang memangku cucunya. Ada sebotol susu dan sebungkus roti seribuan yang terselip di pangkuan sang nenek.

Sedangkan di samping sang nenek ada seorang perempuan paruh baya yang membawa anak kecil berusia balita pula. Dari nenek dan perempuan paruh baya itu aku melihat satu hal perbedaan yang sangat besar. Mana yang sudah benar-benar memahami jauh makna kehidupan dan mana yang baru merasai dan merasa kacau.

Nenek dengan tenang dan lembut menyuapi sang cucu dan si cucu diam. Anteng. 

Sedangkan perempuan paruh baya itu tampak rusuh. Anaknya pun terus berkicau mengalahkan deru mesin angkot. 

"Shhht, udah diem! Bentar lagi nyampe. Kenapa? Haus?" Si perempuan paruh baya itu berseru lebih keras sambil menowel kencang lengan si kecil. Tanpa bertanya pun aku tahu kalau si kecil merasa kesal dan kesakitan oleh perlakuan ibunya itu.

Si ibu dengan grusah-grusuh mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dalam hal ini aku mengamati kalau bulir-bulir keringat menempel memenuhi bawah hidung dan dahi si ibu. Tampak dempul yang kandel itu mulai meluntur. Sepertinya aku tahu bedak apa yang dipakai olehnya.

Saat tangan si ibu menyodorkan teh kotak kepada anaknya, tangan si ibu yang lain mengusap dahi. Goresan tampak lumayan jelas di dahi itu. Aku merasa kasihan, soal membayangkan berapa lama si ibu berdandan untuk pergi ke kota.

Sedang anaknya jelas merengek karena belum bisa mencoblos sedotan plastik pada lubang kecil tempat sedotan di teh kotak dengan benar. Si ibu mendengkus kesal dan merebut teh kotak lalu dicoblosnya.

Satu hal lagi yang tak luput dari pandangan mataku. Si ibu meminum seteguk terlebih dahulu sebelum teh kotak itu diberikannya kepada anaknya. Apa artinya? Banyak arti relatif yang bisa diambil. Mungkin relativitas Einstein pun berlaku dalam kelajuan dan keadaan angkot ini.

Melihat teh kotak itu aku teringat akan satu hal. Bu Ary, guru Fisika kesayanganku sewaktu kelas satu. Benar, kesayangan karena waktu itu aku merasa sangat antusias untuk merasakan indahnya masa SMA di kelas satu. Bu Ary adalah orang yang sarkas. Kata-katanya penuh sindiran dan ejaan sarkas lainnya yang mungkin menurut orang terlalu kasar dan tidak pantas diucapkan seorang guru.

Namun menurutku, semua hal yang dikatakan beliau adalah kebenaran. Kebenaran soal dunia ini. Beberapa yang kuingat adalah kata-kata yang kutemukan untuk kegiatan sehari-hari. Salah satunya melekat pada perempuan paruh baya dan anaknya ini.

"Jajal, ana wong duwe anak cilik. Ibune dempulan kandel, bengesan abang koyo ntes  mangan bayi. Anake ngelak, sik diwehke teh kotak sik 3500an kae. Coba bayangkan anak-anakku sekalian... Anak itu diberikan teh yang sudah dibuat dan diseduh tahun-tahun lalu. Apa tidak ada waktu untuknya sekadar membuatkan susu atau teh hangat baru? Bukankah dia ada waktu untuk menghias dirinya sendiri? Luar biasaa..."

Suara Bu Ary bergema saat angkot ini berhenti dan perempuan paruh baya itu menyeret anaknya untuk turun. Melihat tempat yang mereka tuju, aku tidak ingin menyebutkannya. 

Angkot kembali berjalan dan membuatku turun di depan gerbang candradimuka. Ganesha. Tempatnya ambisi dan segala ampas itu berada. 

"Katanya kalian anak Ganesha? Tetapi kenapa Ibu harus jungkir balik, koprol, rol, dan gantung diri untuk memikirkan nilai kalian? Kalian harus siap diperkosa di sini!"

Suara Bu Ary membuatku merinding. Beliau sangat benar dan aku ingin beliau mengajarku lagi. Tetapi jantungnya sedang dalam masa gawat. Aku bahkan mempertanyakan usianya. Jahatnya diriku. Kenapa aku tidak mempertanyakan usiaku sendiri?

Hari pertama. Namun, sudah seribu rasa enggan menghinggapi diriku saat melewati batas kuning save point keberangkatan sekolah. Rasanya, aku ingin pulang saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro