Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Berjalan di atas Titik Tumpu?

Dalam kausalitas kehidupan, selalu ada fakta yang tak bisa ditawar dan ada opini yang bisa dibolak-balikkan. Namun, dalam kadar tertentu pula, keduanya bisa dicampuradukkan.

***

Menimbang dan memutuskan. 

Dua kata itu mengganggu sekali. Surat sudah dilayangkan kepada orang tua soal kerutinan baru. Lalu kini, aku terjebak dalam praktikum Biologi bersama orang-orang asing.

Praktikum Biologi yang kemudian akan disambung dengan praktik Prakarya dan Kewirausahaan. Masih ada sesi ketiga yaitu praktikum Fisika. Tas-tas penghuni kelasku berisi perlengkapan masak dan dagang mereka. Lebih ribet dari yang kubayangkan. Ujian praktik ini seolah hanya menyesatkan siswa dalam kegerahan yang tidak jelas.

Praktikum Biologi selesai dan kebosanan kembali datang. Aku terduduk didepan mikroskop, menatap temanku yang bertugas beres-beres membersihkan sisa-sisa sampah dari sayatan objek. Preparat diambil dari mikroskop dan dibersihkan. Sedangkan mangkuk dan yang lainnya cepat-cepat dibawa ke meja semula. Takut kalau nanti ada yang rusuh dan memecahkannya. Bukan masalah, aku sudah tenang ketika aku sudah membereskan laporan dan mendapat nilai dari guru.

Aku mengamati mikroskop yang masih berdiri tegak di atas meja. Dari celah-celah mikroskop entah kenapa aku melihat penyendiri itu lagi. Tidak seperti yang lain cepika-cepiki bersama. Orang itu kembali sibuk dengan urusannya sendiri. Seolah dunia ini tidak ada sama sekali. Dia abai dan terlalu abai. Bahkan tidak peka dan menyadari soal dua laki-laki yang menunjuk-nunjuknya sambil tertawa.

Mei, cewek cerdas yang katanya bisa membaca memindai dengan cepat dan mnemonik. Pemandangan menarik untuk hari ini. Sebuah pisau di tangannya dan sebuah batang padi penuh jamur berwarna putih tengah diamatinya. Sepertinya aku tahu, itu Gibberella. Jamur mikro yang hanya tampak seperti noda-noda putih di batang tanaman.

Dari kejauhan aku menangkap kata-kata dari gerak bibir tipis Mei. Sepertinya Mei memang hanya menggerakkan bibir tanpa suara. Lebih dari itu pun aku tahu kalau Mei mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak didengar oleh siapapun. Pisau Mei langsung memotong-motong batang padi. Lalu segera membuangnya ke tempat sampah. Setelahnya, Mei kembali riang dan bercakap-cakap dengan Rhea teman satu kelompoknya yang aslinya adalah saingan ketatnya.

Mengesankan. Cewek psikopat sepertinya punya banyak teman. Aku nyengir sendiri. 

***

Prakarya berlangsung cepat. Masalah bisnis dan kewirausahaan aku selalu realistis. Presentasi selesai dan aku bebas ke kentin untuk sementara waktu. 

"Hei, Bung! Bareng yok!" Arief menepuk bahuku.

Aku tidak terkejut. Malahan sudah tahu kalau dia berlari-lari keluar dari kelas untuk mendekatiku.

"Mie Ayam Pak Robert sepertinya enak." Arief mengelus perutnya sendiri.

Berkutat dengan ketegangan ujian praktik, kinerja lambung meningkat. Butuh lebih banyak karbohidrat untuk mereset ulang keringat dan tenaga yang lepas.

"Yeah."

Kafetaria ramai penuh. Kantin A, B, dan C beserta koperasi siswa dan guru juga ramai sekali. Deretan tempat ini tampak melebihi tempatku bekerja. Tiga ratus lima puluh siswa setiap angkatannya. Total seribu siswa lebih. Menarik untuk dihitung secara matematis berapa keuntungan tempat-tempat dagang di sekolah ini.

Satu anak bisa menghabiskan sepuluh ribu rupiah hingga dua puluh ribu rupiah atau bahkan lebih jika mereka memang berasal dari orang berada. Terlalu lama melamunkan hal itu membuatku hampir melewati tempat yang akan kutuju. Kantin Pak Robert. Kantin paling ujung dekat bank sekolah. Kantin Pak Robert adalah kantin yang hanya menyediakan nasi rames, bakso, mie ayam, soto, dan mie instan. Mau telur goreng atau telur ceplok juga bisa.

Aku meraih kursi di bangku yang menghadap ke jendela. Di sini kami menghadap ke arah luar. Pemandangan lorong depan ruang karawitan, kamp robotik dan Ganesha Lens, serta Multimedia. Lorong itu adalah lorong paling gelap dan palig horor di malam hari.

Arief tanpa diminta sudah memesan mie ayam dua.

Sembari menunggu, Arief mencomot tempe goreng dari sebuah bakul nasi dari bambu yang di beri alas kertas minyak untuk meletakkan gorengan. Bu Robert adalah orang yang kreatif. Hanya di sini siswa bisa menemukan ubi goreng dengan harga murah. Selain itu, tempat ini tampak sepi tetapi penjualannya tak kalah dengan yang lain. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu.

Padahal, tempatnya sama saja menurutku. Hanya ada sebuah kipas yang entah berumur berapa puluh tahun dan kursi-kursi serta meja tua yang bentuknya kurang enak dipandang.

Walaupun begitu, kantin Bu Robert adalah paling the best kalau urusan luas sempitnya ruangan. Di sini luas dan ada halaman belakang di mana memang disediakan untuk orang-orang yang tidak ingin beramai-ramai atau terlihat oleh orang lain. Harusnya, orang sepertiku ada di sana. Namun, aku memilih di sini. Di samping Arief. Teman semasa SMPku.

"Ali."

"Humn?"

"Berapa persen persiapanmu untuk UTBK? Kau mau ikut seleksi yang itu ndak? Atau mau SNM saja? Nilai rapormu bagus, bukan? Mungkin aku yang bakalan mumet sendiri nih. Mamaku bilang aku harus pensiun main gim." Arief mengusap wajahnya sendiri.

Aku sendiri membenarkan kata Arief. Mungkin aku akan mengandalkan nilai rapor sedari semester satu. Namun, semenjak pandemi aku tidak pernah belajar dengan benar. Semuanya kuanggap sebagai sampah tanpa hikmah. Nilaiku seperti terjun payung. Saat pertama kali diterbangkan akan mengembang dan jatuhnya kempes tanpa isi.

Aku tertegun sendiri. Arief mungkin punya nasib lebih buruk dariku. Mendadak rasa simpati mekar di dadaku.

"Sabar, Ri. Mbok nanti ada jalan. Kamu belajar aja yang benar." kataku kepada Arief dengan nada lirih. Aku tidak ingin terlihat begitu mencolok saat mengatakan hal itu. Bisa jadi aku malah menjadi teman toxic buatnya.

Tunggu teman? Aku dan Arief saling mengenal sejak lama. Sejak bangku SMP masih menyemangatiku.

"Yaudah, kamu ajari saya saja." Arief menatapku sambil nyengir lebar.

Rasanya mual dan malas sekali mendengar hal itu. Namun, aku berusaha tampak biasa saja.

"Ajari apa? Eksak aku nggak pernah pakai rumus." tanggapku seadanya.

"Tapi aku pengen tahu. Watashi wa shiritaidesu!" Arief memohon.

Wajahnya tampak lebih menyeramkan daripada kumbang hitam yang sering muncul di bunga kecipir.

"Terserah. Jangan alay. Malu-maluin."

Aku mengembuskan napas panjang. Arief selalu begitu. Menarik perhatian baik orang sejenis maupun lawan jenis dengan wajah jenakanya. Siapa yang tidak tertarik dengan cowok seperti Arief? Sudah putih, tinggi, satu dekik, dan mantan komandan pleton.

"Sip! Makasih."

Mie Ayam itu datang panas-panas. Sepanas gejolak adrenalin di perutku. Ingin sekali aku mengatakan kepada Arief,

Ri, jangan bikin aku kecewa

Aku berpikir kalau mempercayai orang lain itu seperti berjalan di atas titik tumpu. Bisa jadi aku akan segera tergelincir atau tidak bisa lagi membedakan mana titik beban dan kuasanya. Alias mana yang batil dan mana yang hak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro