chapter 05 - jalaN
Nggak jadi hiatus, tangan gue gatel mau update ini.
Ada yang udah nebak siapa nama 'kakak'? di chapter ini ada jawabannya.
Take me as I am,
enjoy.
-----------
Aku melangkahkan kaki keluar dari kelas, hari ini ulangan terakhir di semester awal, artinya sudah seminggu juga aku menghindar dari Aldo, Kak Abiyyu, dan laki-laki itu, bahkan hebatnya laki-laki itu juga tidak muncul setelah membantu Aldo mengibarkan bendera perang pada Kak Abiyyu.
Memasang topi, aku melirik sekilas Aldo yang mengangkat telapak tangannya agar aku pulang dengannya hari ini. namun aku abaikan, aku tidak berniat sedikitpun untuk mengiyakan ajakannya. Biar tahu rasa, aku malas berurusan dengan Aldo untuk sementara waktu.
Namun, aku juga tidak bisa bohong, aku merindukan lelaki itu. aku ingin datang kerumah bercat putih gading, namun aku tidak tahu alamat lengkapnya, jika mengingat jalan, aku perlu motor agar bisa sampai di tempat tujuan. Biasanya aku akan meminjam motor Aldo, namun karena aku masih marah, aku tidak mau meminjam motor itu.
Saat aku hendak keluar dari gerbang sekolah, sebuah mobil Rubicon berwarna abu-abu berhenti tepat didepanku, membuatku melangkah mundur. Melihat mobil seperti itu, membuatku ingat ucapan Kak Kev dulu, mobil seperti itu adalah mobil penculik, mangkanya aku melangkah mundur sampai tidak sadar menabrak motor Aldo.
"Kamu kenapa?" tanya Aldo khawatir.
Aku berusaha bersembunyi, bahkan tanpa sadar aku sudah naik keatas motor Aldo dengan kepala yang aku tundukkan dibalik punggung sahabatku itu. "Ada mobil penculik Do, ayo buruan kita pergi! Nanti kita di culik terus dijual keluar Negri!" kataku.
"Hah?" tanya Aldo dengan memutar badannya agar bisa melihat aku yang bersembunyi. "Mobil penculik? Mana?"
"Itu yang di depan! Mobil abu-abu!"
"Ya ampun Tar, itu mobil mahal, bahkan aku nggak sanggup buat beli mobil itu! masa iya itu mobil penculik?"
Mendongakkan kepala, aku menatap mata berwarna champagne itu dengan tatapan tajam. "Kamu mau antar aku atau nggak?" lihat, betapa hebatnya aku, seminggu aku mendiaminya, bahakan aku menolak diajak pulang bersama, tetapi karena mobil penculik itu, aku malah sudah naik keatas motornya, bahkan dengan sedikit mengancam.
Menghela nafas, Aldo memberikan helm yang biasanya aku pakai, lalu menjalankan motornya saat pintu mobil itu terbuka lebar. Beberapa belas menit kemudian, kami sampai di depan rumah Aldo, melepas helm, aku membawa helm itu masuk kedalam rumah Aldo, meninggalkan pemilik rumah diluar.
Dan aku terkejut saat sebuah piring hampir mengenai wajahku jika aku tidak memiliki reflek yang bagus. aku bisa mendengar derap kaki yang terdengar sangat buru-buru masuk kedalam rumah. Aldo menarik tanganku, melewati dua orang tua nya yang bertengkar, lalu naik ke lantai dua rumahnya, kami berdua melewati mereka begitu saja, seolah menulikan telinga.
Aku menengok kearah Aldo yang terlihat tenang, padahal aku mendengar jelas jika Aldo menghela nafas berat tadi. masuk kedalam kamar, aku dan Aldo langsung duduk di atas tempat tidur berwarna hitam, dengan dekor dan cat kamar berwarna abu-abu.
Hanya di dalam kamar ini, aku merasa Aldo bisa menjadi dirinya sendiri. Aku ingat jelas saat pertama kali Aldo mendengar kedua orang tua nya bertengkar hebat, aku sangat ingat hal itu, karena saat itu aku sedang berada di rumah ini.
"Do.." panggilku.
"Udahlah Tar, aku nggak apa, aslian."
"Mereka dirumah sejak kapan?"
"Sejak kapan ya?" Aldo melepas dasi dan seragamnya, menyisakan kaus hitam yang melekat pada tubuhnya. "Seingatku, kayaknya ya, kayaknya loh ini," aku mentap Aldo dengan raut wajah kesal, membuat lelaki itu tertawa puas. "Serius, aku juga lupa kapan mereka datang, tahu-tahu ya ada ufo lewat, kamu nggak kena, kan tadi?" tanya Aldo dengan nada khawatir.
"Nggak kok, aku nggak kena, hanya sedikit kaget,"
"Syukurlah kalau kamu nggak kena," membalikkan badan, Aldo mengambil celana jeans dari dalam lemari. "Mau nonton nggak? Katanya ada film bagus yang baru tayang."
"Mau! Sekarang banget?"
"Iya, aku antar kamu ganti baju dulu, baru kita berangkat nonton, tempat bebas, mau di One Bel Park, di Sudirman, di Margo, atau dimanapun bebas, bahkan kalau mau nonton di Bioskop Bekasi pun aku jabanin, demi kamu," ujar Aldo dengan mengedipkan sebelah matanya sebelum masuk ke kamar mandi.
"Ganjen!"
"Nggak apa, kan sekali kali."
"Yasudah, aku mau nonton di Margo, dekat dari sini."
"Nggak mau di Solo?"
"Gaya banget kamu! Sekalian saja di Luar Negri!"
"Boleh, mau dimana? Chicago? Seoul? London? Las Vegas?"
"Kita ke Bulan aja,"
"Ke Mars aja,"
"Nanti matang, aku nggak suka, medium lebih enak."
"Kamu lapar ya? kodenya keras banget mau makan steak."
"Ketahuan ya?"
Aldo tertawa, wajahnya terlihat sekali menahan gemas saat berbicara denganku. Memang hanya Aldo yang bodoh, saat di kamar mandi tidak boleh berbicara, bahkan menyanyipun tidak boleh, tetapi Aldo berbeda, dia selalu membuat aturan sesuka hatinya, namun aku patut mengacungi jempol untuk sahabatku yang satu ini, dia tidak pernah melupakan kewajibannya untuk Sholat tepat waktu.
"Ayo! Aku punya firasat, kalau semakin lama kita disini, perang yang di bawah bisa naik keatas!"
"Kamu nggak latihan basket hari ini?" tanyaku saat kami berdua menuruni tangga.
"Latihan basket bisa nanti, hal terpentingku saat ini hanya kamu."
"Belajar darimana? Hari ini kamu ganjen banget!"
"Dari Fakhra, katanya biar aku bisa punya pacar, pecah telur biar nggak jomblo seumur hidup! Padahal si Fakhra itu jomblo, pas nyatain perasaan ke cewek malah di tolak, ceweknya bilang, 'maaf, kamu terlalu baik buat aku, aku nggak bisa jadi pacar kamu.' Miris, hahaha." kami berdua tertawa saat Aldo menceritakan penolakan yang dialami Fakhra.
***
Aku pulang kerumah setelah menghabiskan waktu bersama Aldo. Lelaki itu izin untuk langsung pulang karena Ibunya mentelepon Aldo saat baru sampai didepan gerbang rumahku. Membuka pintu, aku melihat Kak Kev sedang berbincang dengan lelaki itu, lelaki yang hampir seminggu menghilang.
Masuk kedalam rumah dengan memegang sepatu di tangan kiri, aku melewati mereka berdua tanpa menyapa keduanya. Hari ini, rencanya aku ingin tidur, atau tidak video call dengan Aldo, membahas tugas Geografi yang di kerjakan berkelompok.
"Wa'alaikum salam," ujar lelaki itu dengan tangan yang mengambil cangkir putih diatas meja. Apasih maunya satu orang ini! mengabaikan ucapan lelaki itu, aku terus melangkah masuk, saat ingin berbelok ke lorong kanan, suara Kak Kev, mengintrupsiku untuk berhenti.
"Naura, coba kesini sebentar," ujar kak Kev dengan senyum hangat di wajahnya.
"Ya Kak, kenapa?"
"Duduk dulu, kamu masih ingat dia, kan?" tanya kak Kev dengan menunjuk lelaki yang duduk membelakangiku.
Menganggukkan kepala, aku tentu sangat amat mengingat dengan jelas siapa lelaki di depanku ini, lelaki yang memiliki sihir mengerikan, dan hal-hal aneh yang berada di luar nalar, sekaligus orang yang menerima pukulanku dengan senang hati, tanpa membalas.
"Ya."
"Jadi begini, karena kakak besok harus mengurus perusahaan Papa yang ada di luar kota, kakak berniat untuk menitipkan kamu dirumahnya, hanya seminggu, mau ya?"
Aku melongo, "Maksudnya gimana?"
"Iya, selama seminggu kamu mengungsi dulu kerumah dia, Papa juga nggak bisa pulang karena kamu tahu, kan, Nenek sedang sakit?"
Aku duduk di sebelah Kak Kev dan berniat melakukan negosisasi agar aku tidak disuruh menginap dirumah lelaki itu. jangan-jangan Kak Kev sudah terkena sihir lelaki itu? ada apa ini, kenapa Kak Kev tiba-tiba menitipkan aku pada orang lain? biasanya juga, kalau mau pergi keluar kota atau luar Negeri hanya akan meninggalkan uang dan atm miliknya, lalu pergi semaunya! Pikiranku kalut, namun rasa takut lebih terlihat dari raut wajahku.
"Naura, kamu kenapa?"
"Kenapa harus dirumah dia? Kenapa nggak dirumah Aldo?"
"Lalu kamu mau tidur di kamar yang sama dengan Aldo, begitu?"
"Bukan begitu, maksudku.. kenapa tidak tinggal dirumah Kak Evan yang keluarganya sudah menerimaku? Jika kakak nggak memperbolehkan aku menginap dirumah Aldo, lagipula dirumah Aldo sekarang ada kamar khusus tamu Kak!"
"Evan dan keluarganya sedang pulang kampung ke Madiun, kamu nggak bisa mengiap dirumahnya, dan kakak melarang kamu untuk menginap dirumah Aldo, nggak ada yang bisa menjamin kamu dan Aldo tidak melakukan hal yang iya-iya saat kakak tinggal."
"Maksudnya iya-iya?"
Lelaki itu tertawa saat mendengar ucapan Kak Kev tadi, membuatku reflek memutar bola mata. Jujur, tawa itu mendengar menenangkan di indra pendengaranku, rasanya suara tawa itu menjadi irama kesukaanku mulai sekarang. Tunggu, apa? menepuk dahi, aku menyandarkan punggungku pada sandaran sofa.
"Maksud kakak, kakak nggak yakin kalau kamu sama Aldo tinggal di satu atap yang sama. Kalau dirumah dia, kan ada banyak orang, aman." Aku diam, tidak ingin menjawab apapun. "Hanya seminggu Naura, setelah itu, kakak akan langsung menjemput kamu pulang."
"Kakak mempercayai aku pada orang yang tidak aku kenal, apa kakak mengenalnya?"
Kedua alis Kak Kev menyentak bersama-sama, bahkan pupil matanya membesar saat mendengar satu fakta yang aku berikan. "Loh, kalian belum saling kenal?" aku menggeleng, sedangkan lelaki itu hanya menggidikkan bahu dengan senyum simpul yang menghias wajah. "Sebentar, lo ajak adik gue pergi kemarin-kemarin tapi belum kenalan?"
"Belum, tadi aku gagal menjemputnya, karena dia lebih memilih pulang dengan Aldo."
Eh? jadi mobil yang tadi itu mobil dia? Bukan penculik? Tanyaku dalam hati.
Kak Kev melirikku, "Kamu nggak pulang sama dia tadi? kakak kira kamu pulang sama dia, terus kamu janjian sama Aldo untuk nonton bioskop."
"Kata kakak kalau ada mobil penculik harus pergi! Tadi aku langsung naik motor Aldo pas mau pesan ojek online!"
Kak Kev terngaga saat mendengar penjelasanku, sedangkan lelaki itu malah tertawa puas bahkan tangan kanannya sampai menepuk-tepuk paha. Mengerutkan dahi, aku kesal di tertawakan, bahkan Kak Kev tidak memberikan pembelaan apapun padaku sekarang.
"Memangnya mobilmu apa?" tanya Kak Kev.
"Mobil Rubicon, aku tadi pulang dari kantor, sekalian saja mampir kesekolah Naura," jelas lelaki itu dengan menyeka air mata yang keluar. "Jadi kamu menghindar karena kamu kira aku penculik?" tanyanya padaku.
"Iya, Kak Kev sendiri yang bilang dulu!"
Lelaki itu kembali tertawa bahkan kali ini lebih keras, entah karena apa. "Ya ampun, haha, Kev! Apa yang selama ini kamu ajarkan padanya sampai pemikirannya out of the box begitu? Hahaha."
Kak Kev diam, aku rasa kakakku itu malu karena aku terlalu jujur, atau karena imajinasiku terlalu berlebihan? Sebetulnya apa yang salah disini? Mengapa rasanya aku seperti terlalu keluar dari batasan yang aku buat, kenapa aku bisa sejujur itu pada lelaki ini? pasti ada sihir yang membuat seseorang jujur, Stop Naura, stop! Hentikan imajinasimu yang berlebihan itu! ah astaga, sebetulnya apa yang terjadi?
"Sudah-sudah, jadi mulai besok kamu mulai menginap dirumah dia ya, Naura," ujar Kak Kev dengan tegas.
Aku bisa melihat kak Kev menyuruh lelaki itu berhenti tertawa dan mulai memperkenalkan diri, namun sepertinya dia masih harus mengatur nafasnya karena terlalu lama tertawa, aku takut, takut kotak suaranya terbakar, lalu suara itu berganti dengan suara tawa Kak Kev. Merapatkan bibir, rasanya seketika tubuhku merinding, membayangkan lelaki itu tertawa dengan suara Kak Kev.
"Sebentar," terbatuk pelan, dia mulai memperkenalkan diri. "Nama aku Rasendriya Mahendra, aku salah satu rekan kerja Kev, tetapi aku dua tahun lebih muda dari Kev. Untuk Naura, kamu boleh memanggilku dengan sebutan apapun, aku akan menerimanya, kecuali Om."
"Kak, umurmu sekarang dua puluh empat, kan?" tanyaku pada Kak Kev memastikan.
"Iya, bulan Maret nanti jadi dua puluh lima."
"Berarti umur Kak Rasen dua puluh dua?"
Kak Rasen tersenyum lembut dengan kepala yang mengangguk.
"Jadi kamu mau memberikan panggilan apa untuk aku?"
"Ya kakak, memangnya apalagi?"
"Nggak ada niatan panggil Mas, atau em.. oppa gitu?"
"Apa, Soba?" tanyaku bersamaan dengan kak Kev, dan sukses membuat kak Rasen mendengus kesal.
------
terima kasih, sampai jumpa lagi.
Ws-etv.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro