Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 04 - kErja sama

Sebelum lanjut gue mau tanya dulu, 
Ada yang bisa nebak nama si Kakak? belum ya? 

ps; sobat ambyar, jangan terlalu hanyut sama lagu yang di nyanyiin Aldo, takutnya keterusan dan terngiang-ngiang di kepala wkwkwk.

skkrrtteeuu! kita lanjut aja, enjoy!

-------

Pagi ini aku berangkat lebih pagi setelah menyiapkan makanan untuk Kak Kev, dan Papa. Jujur saja, perasaanku jauh lebih baik setelah pergi bersama Aldo semalam, dan berakhir pulang pukul dua belas malam hanya untuk menghabiskan banyak waktu bertukar cerita.

Aku dan Aldo memang sering seperti itu, menghabiskan malam-malam kami dengan menjelajah, terkadang kami juga menghabiskan waktu dengan bermain di rumah, seperti shift jika hari ini dirumahku, maka besoknya dirumah Aldo.

Minggu depan kami berdua akan menghadapi ulangan semester ganjil. Tidak tahu mengapa waktu terkesan berjalan cepat saat aku mulai menikmati hari. Aldo sering mengatakan hal ini padaku, anggap saja sekolah seperti rumah, biar lebih tahan lama nggak kepikiran minta pulang mulu. apa itu kata Bastian dari kelas sebelah? Nggak mau pulang sebelum di goyang? Aku tertawa sendiri setiap mengingat ucapan Aldo.

Rasanya kami berdua saling melengkapi satu sama lain, saling menutup dan memperlihatkan kelebihan kami sesuai porsi. Membuka pintu kelas pelan, aku melihat Aldo dan Fakhra yang sedang menikmati musik dengan kedua tangan yang di angkat tinggi bahkan keduanya sampai naik keatas meja.

"Cendol dawet cendol cendol dawet! Pironan? Limo ngatusan!" ujar Aldo dengan tubuh yang menghadap ke jendela, membelakangi pintu.

"Dek, opo salah awaku iki.. koe janji mblenjani janji!!" itu suara Fakhra, nama lengkapnya Fakhra Wahyu Ghayda, seorang kapten futsal di sekolah, bahkan memiliki klub penggemarnya sendiri, karena sering melepas baju saat mencetak angka ke gawang lawan.

"Aku mundur alon alon mergo sadar aku sopo!"

Aku terdiam melihat tingkah aneh kedua manusia itu. bahkan saat ini Aldo duduk di atas meja dengan tangan yang terangkat di depan bibir, dan satunya di memegang dada. Dengan wajah penuh penghayatan Aldo melanjutkan nyanyiannya dengan Fakhra di sebelahnya yang ikut duduk di sebelahnya.

"Mung digoleki pas atimu perih.."

"Aku ngalah dudu mergo aku wis ra sayang, aku mundur dudu mergo tresnoku wis ilang."

Aku menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal, selain tidak mengerti apa yang di nyanyikan oleh Fakhra dan Aldo, aku juga tidak tahu lagu apa itu dan darimana. Masuk kedalam kelas, aku melihat Fakhra menyadari kedatanganku, lalu menepuk bahu Aldo yang masih sibuk bernyanyi.

"Diam deh lo! Nggak tahu apa, gue sedang menikmati arti dari setiap lirik!" protes Aldo dengan kedua mata yang masih tertutup.

Aku terus memperhatikan, sebelum menyuruh Fakhra pergi ke tempat duduknya. Menarik kursi kayu, aku duduk di meja dekat tembok, membiarkan Aldo terus menyanyikan lagu itu dengan kedua mata yang masih setia menutup.

"Aaaku mundur alon alon mergo sadar aku sopo, mung digoleki pas atimu perih," ujar Aldo dengan sedikit menaikan suaranya, bersamaan dengan sebuah buku tulis menghantam kepala Aldo dari meja Fakhra yang berada di sebelah kami.

"Woy! Apaan sih! Gue tahu suara gue ba–" Aldo terdiam saat melihat aku sudah duduk di kursiku dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. "–gus.." menengok kearah Fakhra, Aldo mengambil buku tulis itu lalu menggulungnya kemudian turun dari meja dan memukuli Fakhra menggunakan buku tulis tadi. "Bikin malu aja! Bilang dong kalau dia sudah datang!"

"Dari tadi juga udah gue pukul juga malah galakan lo!" sunggut Fakhra.

"Kalian lebih baik tenang, jangan berlebihan," kataku.

Aldo dan Fakhra sama-sama diam, bahkan keduanya kini mendekat kearahku, dengan Aldo duduk di kursinya, dan Fakhra duduk di depan mejaku. Dahiku mengerut saat melihat ekspresi wajah Fakhra yang terlihat jelas penasaran, namun ragu untuk bertanya.

"Kenapa?" tanyaku karena tidak tahan dengan tatapan keduanya.

"Kamu nggak tahu itu lagu apa tadi?" ucap Fakhra balik bertanya.

Aku menggelengkan kepala dengan dahi yang masih mengerut. "Memangnya itu lagu apa? pernah dengar sekilas sewaktu makan seafood semalam dengan Aldo." Kini giliran kedua mata Fakhra yang membola saat mendengar ucapanku barusan. menampar bahu Aldo kencang, Fakhra seolah bertanya melalui pandangan matanya ke Aldo, dan membuat sahabatku itu mengangguk, membenarkan ucapanku.

"Gila!"

"Kok gila?" tanyaku.

Fakhra langsung diam saat aku menanyakan ucapannya, bahkan Aldo langsung duduk sedikit menjaga jarak, tidak sedekat yang sebelumnya. Menatap keduanya dengan tatapan mengintrogasi, aku menarik telinga keduanya sampai mereka berteriak kesakitan.

"Jujur! Kalian nyembunyiin apa dari aku?"

"Nggak ada Tar, seriusan!"

"Iya benar, tadi gue reflek aja bilang gila!"

"Bohong!"

"Nggak Tar, suer! Demi Yuki Kato nikah sama aku!"

"Iya Tar, demi Maudy Ayunda mau jadi pacar gue dah!"

Melepas tanganku yang sebelumnya ada di telinga Aldo dan Fakhra, aku menghela napas pelan, lalu memilih untuk mendengarkan lagu menggunakan headset yang sebelumnya tergantung di leher, karena sebelum masuk ke kawasan sekolah, aku melepas headset.

"Tar, jangan marah.."

"Tau Tara, jangan marah dong."

***

"Naura!" panggil seseorang dari belakang, ketika aku, Aldo, dan Fakhra ingin pergi ke kantin. Menyuruh keduanya untuk pergi terlebih dahulu, walaupun Aldo beriskeras ingin menungguku, namun Fakhra langsung menarik Aldo agar mereka bisa mencari tempat dan memesan makanan terlebih dahulu.

Sedangkan aku, aku menunggu Kak Abiyyu agar berdiri di sebelahku. Senyum di wajahnta terlihat mengembang saat aku tidak mengabaikan keberadaannya. Menyodorkan minuman soda lalu mengambilnya, saat aku mengucapkan terima kasih, Kak Abiyyu mengusap kepalaku, namun segera ku tepis karena, entah mengapa saat ada seseorang yang mengusap kepalaku, aku selalu teringat dengan lelaki itu.

"Sorry Naura,"

"Nggak apa Kak, maaf juga, tadi itu reflek." Membuka minuman soda, aku menoleh kearah Kak Abiyyu yang tiba-tiba berubah diam. "Ada apa Kak?"

"Ada novel baru di Gramedia, mau pergi kesana setelah pulang sekolah?" tanya Kak Abiyyu.

Mengerutkan dahi, aku meminum minuman soda tadi dengan kepala yang mengangguk. "Boleh, tetapi aku mengajak Aldo, kemungkinan Fakhra juga, nggak apa?" raut kecewa terlihat jelas saat aku menyebutkan dua nama tadi, bahkan kedua matanya berlarian menghindari tatapanku.

"Bisakah hanya kita berdua?"

"Akan aku kabari nanti Kak," tersenyum lembut, aku menunjuk kearah kantin dengan jari telunjuk. "Mau ke kantin bareng?"

Raut wajah yang sebelumnya menggelap, sekarang berubah menjadi cerah saat aku mengajaknya pergi ke kantin bersama. Menganggukkan kepala antusias, Kak Abiyyu merangkul bahuku lalu pergi ke kantin, mungkin jika ini di dunia komik, akan ada banyak bunga yang menghiasi belakang tubuh kami.

***

Aku menatap serius papan tulis dengan menggunakan kacamata yang terpasang. Pelajaran Sosiologi mengharuskan aku duduk di barisan ketiga dekat meja guru yang mengajar, karena menurut guru itu, di dalam kelasnya, hanya aku dan beberapa orang yang fokus belajar.

Di sebelahku bukan Aldo atau Fakhra, tetapi Ghazala, nama lengkapnya Ghazala Kadra Arwa seorang cowok yang terkenal dengan kutu buku dan senang menghabiskan waktu di ruang lab komputer, kalian pasti bingung, kenapa Ghazala menghabiskan waktunya di ruang lab komputer di bandingkan perpustakaan 'kan? Itu karena Ghazala tidak senang suasana yang terlalu sepi, mungkin juga itu hanya caranya agar tidak di cap terlalu kutu buku.

"Apa disini ada yang bisa menjelaskan kriteria hubungan antarkelompok menurut Kinloch tanpa membuka buku?" tanya guru Sosiologi dengan mengedarkan pandangannya keseluruh kelas. "Bapak hanya mengulang materi semester ganjil, sekaligus mengasah daya ingat kalian."

Semua teman-temanku diam, tidak ada yang berani menjawab. Aku melihat pergerakan tangan Ghazala, saat aku ingin tersenyum senang, lelaki itu malah mendorong siku kananku keatas, dan reflek membuat semua mata menengok kearahku, dengan santainya, Ghazala malah menahan tawa dan sibuk membaca catatannya.

Akan aku balas nanti! Ancamku dalam hati.

"Ya, coba sebutkan kriteria menurut Kinloch, Naura."

"Menurut Kinloch, hubungan antarkelompok memiliki empat kriteria, yaitu; Pertama, Kriteria fisiologis, kriteria ini di dasarkan pada persamaan jenis kelamin, usia, dan ras. Kedua, Kriteria kebudayaan, kriteria ini mencakup kelompol yang diikat oleh persamaan kebudayaan, seperti kelompok etnik seperti, Batak, Minangkabau, Sunda, Ambon. Walaupun Kinloch tidak menyebutkan faktor agama, dalam banyak kasus, pengelompokkan berdasarkan agama pun dapat dimasukkan dalam kategori ini," terdiam sebentar, aku mengingat kelanjutannya sampai dahiku mengerut. "Lalu yang Ketiga, Kriteria ekonomi, kriteria ini dibedakan antara mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi dan yang tidak memiliki kekuasaan ekonomi. Yang Keempat dan yang terakhir adalah Kriteria perilaku, kriteria ini didasarkan pada cacat fisik, cacat mental, dan penyimpangan terhadap aturan masyarakat."

Semua orang terdiam, hanya guru pengajar yang memberikan tepuk tangan untukku, kemudian di susul oleh teman-teman yang lain, karena menurut mereka aku menyebutkan empat kriteria tadi dengan sangat tepat, bahkan tidak ada yang salah sedikitpun, walaupun tanpa harus membuka buku.

"Benar, jawaban yang Naura berikan barusan sangat benar dan akurat! Bapak akan memberikan nilai tambah untuk Naura karena mampu menjawab pertanyaan Bapak dengan benar."

Satu kelas berteriak heboh saat guru Sosiologi mengatakan jika akan menambahkan nilai tambah untukku. Bahkan mereka semua saat ini mengajukan untuk diadakan kuis dadakan jika itu mampu mendongkrak nilai mereka agar semakin bagus.

"Kamu hebat, aku tahu kamu bisa," kata Ghazala pelan, namun aku bisa mendengarknya dengan jelas.

"Sebutkan 5 macam dimensi pada hubungan antarkelompok, nilai jika di sebutkan dengan sempurna akan mendapat nilai sembilan puluh." Ghazala mengangkat tangan pertama kali, dan membuat guru itu menoleh kearah meja kami. "Iya Ghazal, coba sebutkan."

"Dalam hubungan antarkelompok, terdapat berbagai macam dimensi, di antaranya adalah dimensi demografi, sikap, gerakan sosial, dan tipe utama hubungan antarkelompok." Mendengar jawaban Ghazala, beberapa teman terdengar berdecak kesal karena jawaban yang diberikan oleh Ghazala sangat benar.

"Itu yang barisan tiga dari depan, makan buku paket atau gimana, jawabannya bisa persis banget sama buku?" celetuk salah satu temanku yang sepertinya tidak terima karena aku dan Ghazala mampu menjawab pertanyaan dengan tepat.

"Tenang, kalian jangan berbicara seperti itu, kalau Ghazal dan Naura bisa, kalian harus yakin jika kalian juga bisa, bahkan lebih mampu menjawab pertanyaan Bapak. Sekarang kerjakan tugas halaman sembilan seratus tiga puluh dua, sampai seratus tiga puluh lima, untuk tulisan yang rapih dan tidak ada tipe-x akan bapak berikan nilai tambahan."

"Kita nggak kuis lagi Pak?"

"Nanti kuisnya di lanjut, sekarang kerjakan dulu, setelah itu kumpulkan kedepan."

***

Aku terdiam saat melihat tasku terisi satu coklat dan satu senter berukuran kecil yang bisa di jadikan gantungan tas. Mengambil senter berwarna biru gelap, aku menekan tombol yang ada di tengah, lalu mengarahkan senter tepat ke wajah Aldo yang saat ini sedang fokus memainkan ponsel.

Aldo berkata, "Kamu ngapain deh main senter, mana kecil banget lagi ukurannya!"

Terkekeh kecil, aku mematikan senter itu, lalu memasangnya pada sreting tasku. "Nggak tahu, itu tiba-tiba ada di dalam tas, ada coklatnya juga, mau nggak?" Aldo melirik coklat yang ada di tanganku, lalu mengambilnya.

"Fakhra, ini coklat buat lo," ujar Aldo dengan melemparkan coklat yang sebelumnya aku tawarkan padanya.

"Kok di kasih ke Fakhra?"

"Hari ini aku nggak makan coklat, libur dulu."

"Memangnya kenapa?"

"Kemarin 'kan makan seafood banyak, jadi hari ini di kurangin sedikit jatah makannya." Menganggukkan kepala, aku memainkan ponsel untuk mengecek salah satu akun media sosial yang dipakai oleh banyak teman-temanku. "Kamu tahu nggak, tadi sewaktu kamu datang ke kantin bareng Abiyyu, banyak yang tanya hubungan kalian."

"Oh ya? terus kamu jawab apa?"

"Ya aku jawab, kalau kamu nggak punya hubungan apapun sama Abiyyu," menyandarkan kepala di bahu kanan Aldo, aku terus mendengarkan cerita Aldo yang kesal karena banyak orang yang menyangka jika aku dan Kak Abiyyu memiliki hubungan, karena kakak kelas itu selalu berusaha mendekatiku. "Mereka buta kali ya, jelas-jelas kamu lebih dekat sama aku dibanding sama Abiyyu, tapi bisa-bisanya mereka bilang, kamu yang pacaran sama Abiyyu!"

Aku tertawa kecil, membuat Aldo menoleh kearahku yang masih bersandar di bahunya. "Kamu itu mirip seperti dulu, nggak berubah, setiap ada yang dekat sama aku, pasti deh kamu marah-marah seperti sekarang." Mengangkat kepala, aku menatap Aldo dengan tatapan lembut. "Ke kantin yuk! Mumpung nggak ada guru sampai pulang nanti!"

"Mau kemana nih berdua? Ikutan dong!" tanya Fakhra.

"Nggak, gue mau berduaan sama Tara."

"Bos, nggak boleh berduaan, yang ketiganya itu setan!"

"Iya paham, yaudah boleh deh, boleh, sekalian bawa tas kali ya?"

"Jangan lah, nanti kita malah di sangka mau kabur!"

"Benar, aku setuju sama Fakhra." Terdiam sebentar, aku teringat sesuatu. "Nanti aku pulang sekolah mau pergi ke toko buku dulu dengan Kak Abiy–" ucapanku terpotong saat Aldo menatapku dengan tatapan tajam, aku sudah tahu, pasti jawabannya tidak. "Nggak! Kalau mau pergi, aku sama Fakhra ikut kalian. kamu dengar 'kan Fakhra bilang apa barusan? kalau kamu berduaan sama dia, yang ketiganya setan!" benarkan? Sesuai dengan dugaanku.

"Yasudah, nanti kalian ikut, tapi jangan sampai ketahuan ya?"

"Memangnya kenapa sih, sampai aku dan Fakhra nggak boleh ikut?" tanya Aldo penasaran.

Menggidikkan bahu, aku beranjak dari tempat dudukku. "Yang penting jangan sampai ketahuan aja, ayuk, ke kantin!"

***

Bel pulang sekolah berbunyi beberapa menit yang lalu, dengan cepat, aku, Aldo, dan Fakhra kembali ke kelas untuk mengambil tas dan bergegas pulang. Masuk kedalam kelas, aku langsung memakai tasku, sebelumnya aku mengambil jaket berwarna hitam, dan topi pemberian Aldo.

"Berangkat sekarang kita?" tanya Fakhra.

"Iya, kita berangkat ke parkiran duluan, biar di sangka nggak ikutin si Tara," jawab Aldo.

"Yaudah, kebetulan banget itu si Abiyyu udah senyum-senyum di depan kelas!"

"Mana?"

Aku menoleh kearah pintu kelas, dan menemukan Kak Abiyyu yang melambaikan tangannya kearah kami bertiga. Aku mendengar jelas suara helaan nafas yang berat dari Aldo, aku ingin membatalkannya saja jika seperti ini.

Fakhra menepuk bahuku pelan, dan berlalu pergi bersama Aldo yang berada di sebelahnya. "Duluan Kak," ujar Fakhra yang bersusah payah menarik Aldo agar ikut dengannya pergi ke parkiran.

Melepas topi, aku menyisir rambutku kebelakang menggunakan sela-sela jari, lalu kembali memasang topi. "Ayuk, Kak!"

Kak Abiyyu tersenyum senang saat kami berdua berjalan beriringan. Namun, senyum itu seketika luntur saat melihat seseorang yang menghalangi jalan kami berdua dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Bahkan aku bisa melihat senyum puas di wajah Aldo saat ini, walaupun lelaki itu tertutup lelaki tinggi di hadapanku dan Kak Abiyyu saat ini.

"Maaf, permisi, gue sama Naura mau lewat," kata Kak Abiyyu.

"Oh, silahkan, tetapi lewat sendiri saja, Naura ikut dengan saya hari ini."

"Maaf?"

"Naura, pulang bersama saya hari ini. kamu bisa pergi sendiri ke toko buku, kan?" setelah mengatakan itu, laki-laki dihadapanku ini langsung menarik tanganku, membawaku pergi bersamanya, namun tanganku di tahan oleh Kak Abiyyu yang saat ini menatap tajam kearah lelaki itu.

"Sebentar, gue yang terlebih dahulu buat janji, benar 'kan Naura?" tanya Kak Abiyyu saat laki-laki itu melepas pegangan tangannya pada tanganku. "Naura, kasih tahu orang ini, kalau kamu punya janji sama aku."

"Maaf kak, aku nggak bisa pergi sama kakak, hari ini aku ada acara.." melirik Aldo yang berada di belakang punggung laki-laki itu, sahabatku memang punya dendam kusumat sepertinya dengan Kak Abiyyu, sampai menghalalkan segala cara untuk menggagalkan acaraku hari ini. "Aku.. aku ada acara keluarga hari ini, ini Kakakku, namanya Kak.." Aldo menyebutkan sebuah nama dengan sebelah mata yang berkedip-kedip. "Namanya Kak Aero! Iya, namanya kak Aero!"

Kak Abiyyu terdiam, dalam hati aku berharap, semoga Kak Abiyyu tidak sadar jika aku berbohong. Setidaknya jangan saat ini, nanti saja saat dia sudah sampai dirumahnya, baru menyadari jika aku berbohong.

"Ah.. begitu, yasudah, mungkin lainkali," ucap Kak Abiyyu yang terdengar sedikit putus asa. "Kalau begitu, aku pergi ke toko buku, jika ada novel bagus akan aku belikan."

"Te–"

"Nggak perlu repot-repot, nanti Naura bakalan beli novel sama gue Biy, jadi simpan uang lo untuk hal yang lebih berharga!"

Aku menoleh kearah Aldo yang sejak tadi diam, kini malah berani mengeluarkan suara dengan tatapan yang terlihat jelas jika Aldo mengibarkan bendera perang pada Kak Abiyyu. Mendongakkan kepala, aku menatap lelaki itu dengan pandangan harap, berharap jika lelaki itu bisa mendinginkan suasana antara Aldo dan Kak Abiyyu.

Lelaki itu melirik sepintas kearahku, lalu tersenyum hangat dengan telapak tangan yang menepuk-tepuk kepala Aldo, seperti memberi tanda agar tetap tenang. "Abaikan ucapan Aldo, dia sepertinya salah makan tadi, tapi.. saya setuju, saya bisa membelikan novel untuk Naura jika Naura memintanya, jadi gunakan uangmu sebaik mungkin."

Aku melongo, "Kak Abiyy–" belum sempat aku mengutarakan apa yang ingin aku sampaikan, Kak Abiyyu menepuk punggungku dengan seulas senyum yang menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "It's okay, mereka mengatakan hal yang benar. mungkin lainkali, mungkin, sampai bertemu lagi Naura." Setelah mengatakan hal itu, Kak Abiyyu benar-benar pergi meninggalkan kami bertiga.

Mengambil headset yang ada di dalam saku jaket, aku memasang kabelnya pada ponsel, lalu mendengarkan lagu dengan volume keras, seraya berjalan melewati Aldo dan laki-laki itu, tanpa menoleh, tanpa memperdulikan eksistensi mereka berdua.

Aku ingin berenang, lalu main ketempat billiard, apa ketempat yang lain saja? Ajak kak Ev? Sepertinya ide bagus! kataku menyusun rencana dalam hati.

Setiap adatangan yang menyentuh lenganku, aku segera menepisnya, lalu menaiki taksi yangkebetulan lewat di depanku. Masuk kedalam taksi, aku menyampaikan tujuanutamaku, hari ini aku benar-benar tidak ingin diganggu, benar-benar tidakingin.

------

Masih berlanjut ternyata, maaf ya, ini cerita kesukaan gue, semoga  kalian juga suka sama ceritanya, jadi kalo ada kritik dan saran dari cerita ini kalian bisa lebih jujur dalam mengungkapkan pendapat kalian, bakalan gue catat dan terima,

terima kasih! jangan lupa bahagia, dan selalu sehat!


satu dua ikan duyung, 

ini bukan pantun aowkwkwk.

salam,

Ws-etv(Ws : nama asli) (etv : nama akun ini!)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro