Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 03 - Sehangat matahari

Sebelum lanjut, ayo main  sebuah permainan, menurut kalian semua yang baca ini, siapa nama si 'kakak' itu?  clue? judul di setiap chapter.

Kita lanjut, enjoy!

---------

Aku terdiam, sepanjang perjalanan aku tetap diam dengan laki-laki itu yang berada tepat di sebelahku saat ini sedang mengendarai mobil. Rasanya asing, asing karena dekat dengan orang lain yang bahkan kalian tidak mengenal namanya namun mau di ajak pergi seperti aku sekarang. Tetapi jika boleh jujur, aku merasa tenang saat berada di sebelahnya.

"Hei," ujarnya, membuat lamunan ku buyar, lalu menoleh kearahnya saat ini. "Jangan terlalu larut dalam lamunan." Sambungnya dengan tangan kiri yang mengusap rambutku.

"Aku tahu benar, jika rumahku tidak melewati jalanan ini,"

"Memang, tidak ada yang bilang ingin mengantarkanmu pulang bukan sejak awal?"

"Lalu.., sebetulnya kita ingin pergi kemana?"

"Kesesuatu tempat yang bisa membuatmu tenang."

"Masih jauh?"

"Tidak, kita akan tiba beberapa menit lagi setelah melewati tikungan di depan."

"Siapa namamu? Dan kenapa kamu memanggilku effulgence?"

Hening. Suasana mobil yang sebelumnya perlahan hidup pun kembali redup saat aku menanyakan nama dan alasannya mengapa memanggilku dengan panggilan seperti itu. menoleh kearah samping, aku menatap keluar jendela saat mobil yang aku tumpangi berbelok di tikungan pertama.

"Tidak apa jika kamu tidak ingin menjawabnya," kataku.

Tidak ada jawaban, hanya ada usapan lembut yang aku rasakan di kepalaku sebelum mobil berhenti di depan sebuah rumah bercat putih gading dengan pintu dan jendela yang berwarna coklat, bahkan atapnya juga berwarna senada dengan pintu dan jendela.

"Kita sampai, lebih cepat dari dugaan."

Aku tetap diam dengan pandangan mengamati. Tempat ini termasuk baru dan belum pernah aku datangi sebelumnya, mungkin jika ada satu petunjuk, aku bisa mengenali dengan cepat daerah ini, namun tidak ada petunjuk sama sekali.

"Tenang.., aku tidak memiliki niat jahat padamu, ayo turun."

Melepas sabuk pengaman, aku membuka pintu mobil lalu memutar posisi dudukku kesamping dengan kaki yang keluar dari mobil, lalu keluar. Lelaki itu sudah menutup pintu mobil sesaat setelah aku menutup pintunya.

Anehnya aku merasa aman, dan tidak merasa takut sama sekali, walaupun tingkat waspadaku masih tetap sama seperti sebelumnya. Aku berjalan mengekor tepat di belakangnya dengan raut wajah datar, aku benar-benar tidak ingin berekspresi namun hatiku rasanya tentram, aman, dan merasa terlindungi.

"Berjalan di sebelahku, jangan di belakang."

"Aku hanya berjaga-jaga, siapa tahu ada perampok di dalam rumah itu, lalu membawa senjata, kan tidak ada yang tahu."

"Imajinasi dan pemikiranmu yang di luar nalar itu, effulgence."

"Memangnya apa yang salah, yang kita perlukan hanya–"

"Hanya sebuah kotak dan imajinasi," Lelaki itu tertawa dan lagi-lagi telapak tangannya mengusak rambutku dengan tangan kirinya yang merangkul bahuku erat. "Kamu tahu, terkadang menonton televisi apalagi kartun memang baik, namun jangan terlalu sering."

"Aku melakukannya sesuai porsi!"

"Iya sesuai porsi, namun menonton kartunmu yang berlebihan,"

"Lalu aku harus menonton apa selain kartun?"

"Menonton film juga bagus, beberapa film."

"Contohnya?"

"Film Habibie dan Ainun,"

"Aku menonton itu dengan sahabatku waktu itu,"

Lelaki itu mengetuk pintu bercat coklat dengan tangan kanannya, namun kepalanya menunduk dengan wajah yang menatap kearahku. "Biar aku tebak, kamu menangis?"

"Iya, aku menangis sampai di bilang cengeng oleh sahabatku, padahal dia juga menangis saat menonton film itu! itu tidak adil bukan?"

Coba lihat, bahkan aku bisa mengadu sepuas dan sejujur ini pada lelaki yang bahkan aku tidak tahu asal usulnya, ah tidak kita perkecil lagi, namanya saja deh, aku bahkan tidak tahu namanya. Pintu coklat itu terbuka dan menampilkan seorang gadis kecil yang aku tebak berusia sepuluh tahun dengan seorang perempuan cantik berkerudung soft pink di belakangnya.

"Paa!"

Aku reflek menjauh saat mendengar anak kecil itu memanggil lelaki yang berada di sebelahku dengan sebutan pa, hatiku dongkol, raut wajahku mendadak berubah dengan rahang yang mengetat. Maksudnya apa, mau mengenalkan aku sebagai selingkuhannya?! Sebentar, apa yang aku fikirkan?

Telapak tangan lebarnya lagi-lagi menepuk kepalaku pelan dengan senyum hangat yang membuat rasa dongkol ku hilang seketika. Apa-apaan ini, dia punya sihir apa sampai emosiku mendadak hilang?

"Jangan berpikir yang aneh-aneh dahulu, ayo masuk."

Masuk kedalam rumah, aku terdiam saat melihat satu orang anak kecil dengan wajah yang sama, namun berbeda gender sedang berdiri beberapa jarak dari pintu masuk. Menolehkan kepala kearah lelaki itu, aku mengernyitkan dahi tidak mengerti apa maksudnya.

"Perkenalkan diri kalian, twins!" ujar nya dengan melepas kemeja yang sebelumnya melekat di tubuh, menyisakan kaus hitam di tubuh bagusnya. "Mbak, tolong buatkan minuman, si kembar tidak merepotkan, kan?" tanyanya lalu menghilang di balik tembok yang entah menghubungkan kemana.

Dua anak yang memiliki wajah mirip itu menatapku dengan pandangan bertanya, "Kak, kakak teman paa?" tanya gadis kecil tadi dengan mendekat kearahku.

"Paa?" tanyaku dengan dahi yang mengernyit.

Anak kecil itu mengangguk heboh, membuatku menahan dagunya agar tidak melakukan hal itu lagi, takut-takut kepalanya tercengklak atau yang lebih parah lagi tidak berhenti, menggelengkan kepala, sepertinya benar, aku harus mengurangi acara menonton kartunku.

"Iya kak, Paa!"

"Papa?"

"Bukan, tetapi Paa!"

"Apa itu?"

"Orang yang tadi, yang datang bersama kakak!"

Satu orang lagi maju dan ikut berbicara, tersenyum lembut, aku mengangguk lalu tanganku tertarik masuk kedalam ruangan keluarga yang memperlihatkan foto-foto lelaki itu dengan perempuan berkerudung soft pink dengan dua orang anak kembar.

Hatiku seakan di remas kuat dari dalam, kenapa, apa yang salah sebetulnya? Kenapa rasanya sesak? Saat perasaan di hatiku tidak menentu sebuah tangan mengusap rambutku lembut dan lagi-lagi membuat semua emosi dan perasaan kesal itu meluap pergi entah kemana.

Menoleh ke samping, aku menemukan dia tersenyum dengan tangannya yang terulur agar duduk di sebelahnya, namun aku menepis tangannya dan duduk di tengah-tengah dua anak kembar tadi.

"Hei.., kok diam-diam aja?" sapa perempuan yang mengenakan kerudung soft pink tadi dengan kerutan di dahi. "Kids, kalian nggak nakalin kakaknya 'kan?"

"No, Jis.."

"Good, that's my child!"

Aku mengerutkan dahi, mendengar keempat anak tadi memanggil perempuan itu dengan sebutan Jis, sedangkan pada dia, mereka memanggilnya Pa.

"Ayo minum dulu, nama aku Jisyana ka–" belum menyelesaikan kalimatnya, bibir perempuan itu sudah terlebih dahulu di bekap oleh lelaki yang ada di sebelahnya.

"Di minum ya kak," ujar ku dengan mengangkat cangkir hitam yang berisi kopi.

"Kopi?" kataku dengan hidung yang mengerut.

"Eh ya ampun! Kamu salah minum, itu punya si anak satu ini."

Aku terkekeh kecil, lalu meletakkan gelas diatas meja kembali. "Nggak apa kak, kebetulan aku juga suka kopi, jadi tidak terlalu bermasalah."

"Maaf ya, aku lupa misahin beneran deh!"

Menyentuh lutut Jisyana, aku tersenyum lembut sesekali mengatakan kalimat 'tidak apa' walaupun perempuan itu terus mengucapkan kata-kata maaf dan tidak enak karena lupa meletakkan gelas yang seharusnya di minum oleh lelaki itu.

"Kak, aku punya pekerjaan rumah, tapi aku nggak bisa ngerjainnya."

"Iya, abang juga sama, gimana kalau kakak ajarin kami?"

Aku terdiam, lalu melihat lelaki itu ingin melarang mereka semua. dengan senyum kecil telapak tanganku terangkat, kemudian menyentuh kedua tangan si kembar tadi bersamaan dengan kepalaku yang mengangguk.

"Boleh, tugas apa, biar kakak bantu."

***

Aku masuk kedalam kamar setelah mengisi botol untuk persediaan di kamar. Kepalaku tertunduk dengan dagu yang bersandar pada kedua lututku. Rasanya di sana lebih hangat di bandingkan rumah ini, bahkan rasanya aku enggan untuk kembali kesini setelah mendengar ucapan mereka berdua sewaktu di sekolah tadi.

Drt.

Melirik ponsel yang bergetar di atas meja, aku mengambil benda kotak pipih itu lalu menggeser tombol hijau sebelum mengangkat telepon dari Aldo, mengambil headset yang tergantung, lalu memasangnya, aku memakai satu headset di telinga kiri.

"-Lo! Halo!"

Aku masih diam tidak menyahut Aldo yang sejak tadi berteriak-teriak di sebrang sana. Terkadang aku suka tertawa sendiri jika mengingat kelakuan sahabatku yang satu itu, sahabat yang benar-benar unik sekaligus ajaib, tidak seperti aku yang hidupnya biasa saja.

"Halo! kamu kenapa nggak kasih kabar aku! Aku tahu ya, kamu mendengarkan ucapanku sekarang!"

"Baterai ponselku habis karena kamu terus-terusan menghubungiku," kataku asal.

"Heh! Nggak usah mengarang, kita nggak belajar Bahasa Indonesia! Aku tahu kamu bohong!"

"Terus?"

"Jelasin! Tadi kamu kemana sama si Om tadi, terus kenapa baru pulang pukul tujuh malam?"

"Beri aku lima belas menit, Do."

"Untuk apa? memangnya tidak cukup dari pulang sekolah sampai jam tujuh malam kamu tidak memberikan kabar padaku? Aku khawatir setengah mati, takut kamu di apa-apakan sama Om itu!"

Aku terdiam.

Aldo benar, aku terlalu banyak menghabiskan waktu bersama orang yang tidak aku kenal, bahkan aku sampai tidak memberikan kabar ke Aldo, dan orang rumah. Aku yang menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan, dan tersadar saat Aldo berteriak keras dari sebrang sana bahkan dengan reflek, aku melepas headset dari telingaku, lalu memasangnya kembali.

"Halo, kamu kenapa? Kamu nggak di apa-apain 'kan sama orang itu? jawab aku Tara!"

Nadanya terdengar khawatir, bahkan aku bisa merasakan emosi yang benar-benar di tahan oleh Aldo saat ini. tubuhku memanas saat mendengar Aldo menanyakan keadaanku sampai seperti itu, menggelengkan kepala, aku berusaha mengatur nafas agar suhu tubuhku kembali normal.

"Do, beri aku waktu lima belas menit, nanti kita pergi makan dan aku ceritakan kemana seharian ini aku pergi."

"Iya, nanti aku jemput ke rumah, kebetulan mereka semua sudah pergi, bebanku sedikit terangkat."

"Yasudah, aku tutup ya teleponnya?"

"Iya, see you Tara."

Mematikan sambungan telepon, lalu melepas headset, aku beranjak dari tempat duduk untuk mengambil celana jeans hitam selutut, dan jaket yang berukuran besar dan beberapa benda lain di lemari sebelum masuk kedalam kamar mandi. Setelah merasa semua berada di tangan, aku bergegas masuk ke kamar mandi, tentunya untuk mandi dan bersiap.

Lima belas menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap, mengambil ponsel, aku menghubungi Aldo agar dia menjemputku sekarang juga, sebelum Papa dan Kak Kev pulang kerumah.

Mengeringkan rambut, aku hanya perlu berdiri di depan cermin, lalu menyisir rambut yang masih basah dengan sela-sela jari tangan. Mengambil fanypack yang berisi dompet, charge, minyak wangi, aku mengambil topi hitam pemberian Aldo yang tersangkut di sangkutan baju, lau bergegas keluar kamar saat mendengar suara klakson motor sahabatku.

Membuka pintu rumah, aku melihat Aldo berada di luar pagar dengan melambai-lambaikan helm milikku di udara. Mengunci pintu, lalu memasukkan kedalam fanyapck, aku bergegas menghampiri Aldo dengan menutup gerbang dari luar dan menguncinya dari luar.

"Wes! Tumben kamu awet sama barang pemberian aku?" tanya Aldo.

"Topinya di beliin dari Jepang sih, mangkanya aku jaga bener-bener."

"Bagus deh kalau gitu," memberikan helm, Aldo tersenyum hangat. Walaupun aku tahu, di balik senyum hangat itu, tersimpan banyak rahasia dan rasa sakit yang di simpan sendiri. Mengingat hal itu aku jadi ingat seseorang.

Naik keatas motor, aku duduk seraya memasang helm. "Ayo berangkat, sesuai aplikasi ya Pak!"

"Siap Mas, Warfood Pak Xavi yang terkenal seafood nya 'kan?"

"Iya Pak, pokoknya sesuai aplikasi saja."

Setelah menjawab itu, kami berdua tertawa melepas beban yang memberati hati dan badan, bersamaan dengan motor yang membelah kota Jakarta di malam hari.

-------

Ada yang mulai jadi tim hanyut? 
atau 
tim baca tanpa ekspresi?

terima kasih karena kalian masih membaca cerita ini, semoga rasanya sampai ke kalian, kalau belum, akan di edit, tanpa unpublish, karena cerita ini berarti sekaliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii /jangan di hitung i nya.

sampai jumpa besok di chapter selanjutnya!

Salam!

Ws-etv.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro