Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Burj Al-Mamlakah

Riyahd. Ibu kota negara Arab Saudi adalah destinasi Edena selanjutnya.

Dalam bayangan Edena Arab Saudi itu hanya akan ada padang pasir sejauh mata memandang, seperti dalam buku sejarah yang pernah dibacanya saat sekolah.

Tapi tidak di Riyadh. Di sini hampir sama dengan New York. Banyak bangunan tinggi, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan semua hal yang berbau modern. Satu yang paling mencolok dari semua itu.

Burj Al-Mamlakah.

Landmark termegah yang jadi lambang kemewahan di Riyadh.
Tinggi sekali. Edena bahkan sudah tidak sempat menghitung kisarannya saking terpesonanya dengan gedung tinggi itu.

Mungkin ... tingginya setara menara Eiffel di Paris?

Di dalamnya kabarnya ada pusat perbelanjaan dan beberapa hal lainnya. Edena tidak terlalu mendengarkan penjelasan Karla saat dia diberikan informasi. Edena terlalu sibuk membayangkan keindahan super car yang tiada duanya itu.

Lagi pula misinya bukan berada di Landmark Riyadh itu, tetapi di gedung seberangnya. Jauh ... nun jauh di sana. Sebuah gedung pribadi dengan tiga puluh lantai.

Juga, setelah mendengar beberapa informasi dari orang-orangnya, Edena jadi tau kalau mobil monster itu terkurung di lantai paling atas tanpa penjagaan siapapun.

Mulai dari lantai dua puluh delapan hingga tiga puluh tidak ada orang yang berjaga. Hanya ada ruang kosong dengan kamar-kamar kosong.

Edena pikir itu hal terbodoh yang dilakukan si pemilik mobil, membiarkan mobil monsternya dengan mudah dicuri. Memangnya mobil bisa menyelamatkan dirinya sendiri jika ada yang mau menculiknya?

Tapi Edena salah besar. Seratus persen salah.

Ternyata itu justru jurus jitunya. Mereka bahkan seribu kali lebih cerdas dan pintar dari Dash. Di setiap sisi dan sekat tiga lantai itu diberi kamera pengintai yang dapat merespon benda bergerak yang melintas. Jika tidak dikenali, maka serangkaian peluru mematikan akan menghabisi.

Menakutkan sekali!

Sejauh ini tidak pernah ada yang berani mencoba memasuki tiga lantai teratas itu. Baru menginjak lobi, mereka mungkin sudah langsung tertangkap.

Ah, berbicara Dash ... lelaki itu sekarang ada di sini. Bersama Edena.

Ya! Ternyata dia ditugaskan bersama Bocah ini. Haish, menyebalkan sekali!

“Seharusnya kalau kau hanya ingin mencicipi seluruh donat di dunia, tidak usah ikut denganku. Mengganggu saja!” sentak Edena keki saat lagi-lagi berurusan dengan Dash.

“Sudahlah. Diam saja kau, Pendek. Aku sedang tidak ingin meladenimu.”

Dash bersedekap. Menyamankan dirinya di mobil limosin yang mengantar mereka ke tempat istirahat sementara, berusaha tidur.

“Bilangnya tidak mau meladeni, tapi masih mengejekku Pendek. Kusumpahi kau jadi Bocah selamanya!”

Dash di sebelah Edena terkekeh kecil dengan mata tertutup. Ya, semoga itu terwujud. Karena sifat kekanak-kanakan miliknya yang membuat Dash berada di sini.

“Aku mau ikut Edena! Pokoknya aku harus ikut! Kau bilang akan mengabulkan apapun permintaanku jika aku berhasil tidak makan donat selama sebulan. Aku berhasil melakukannya, dan aku mau kau menepati janjimu itu, Kakek tua.”

Brian yang duduk di kursi kerjanya pening. Dash sedari tadi mencak-mencak di ruang kerjanya tanpa tau malu. Dia memaksa ikut diberikan misi yang sama dengan Edena.

Brian memang berjanji akan mengabulkan apapun yang diminta Dash jika dia bisa berhenti makan donat selama sebulan.

Bukannya Brian pelit, tapi donat yang Dash beli semuanya mahal, dari toko-toko berkualitas. Jadi mana mungkin Brian bisa setiap hari membelikan benda bulat itu jika masih banyak anaknya yang lain?

Dash bahkan akan tau jika donat itu dibeli di pasar atau jalanan. Dia pasti akan langsung membuangnya. Menjijikkan katanya.

Jika saja Dash bukan permata di komunitasnya, Brian pasti sudah menitipkan Dash di panti asuhan.

Menyusahkan saja.

“Baiklah, baiklah! Kau mendapatkannya!” teriak Brian frustasi. “Kau boleh pergi dengan Edena, tapi pastikan saja kau tidak mengacau, Bajingan tengik!”

Dash sekali lagi terkekeh pelan mengingat bagaimana cara dia ada di sini. Dia akan sangat berterima kasih pada Kakek tua itu nanti. Sekarang, dia harus tidur dulu.

***

Seorang gadis berumur sepuluh tahun berlarian mengejar adiknya yang baru pulang dari sekolah. Mereka bersekolah di sekolah yang sama, tapi beda tingkatan.

Jika si gadis kini duduk di bangku SMP, maka adik lelakinya yang baru berumur delapan tahun itu masih di Sekolah Dasar.

Mereka berlarian menuju sebuah rumah sederhana. Di sana ada dua orang yang tengah menunggu, Ayah dan Ibu mereka.

Si gadis tertawa keras ketika berhasil mendahului adiknya melewati pintu gerbang. Segera menghambur ke pelukan Ayahnya, tertawa kesenangan. Adiknya yang merengut segera di gendong Ibunya. Dicium bertubi-tubi. Mereka tertawa lagi.

Keluarga kecil yang bahagia.

Edena mengucek-ngucek matanya berkali-kali menyaksikan kejadian manis di depannya. Dia ada di mana? Bukankah ini ingatannya? Bukankah keluarga kecil itu adalah keluarganya?

Edena meraba-raba benda padat di sekelilingnya. Tidak bisa ia sentuh. 

Kilas balik?

Edena mungkin ada dalam mimpinya. Dia mungkin tengah bermimpi tentang masa-masa itu.

Ah, Edena seperti melihat layar lebar saja.

Edena tersenyum lebar. Menutup mulutnya dengan tangan melihat betapa harmonisnya keluarganya dulu. Ayahnya yang memeluknya agar tidak bertengkar dengan adiknya, Marlon, dan Ibunya yang berusaha menenangkan Marlon.

Edena menghampiri proyeksi ingatannya itu. Mencoba memeluk Ayahnya, tapi tidak bisa. Edena tidak bisa menyentuh apapun. Mereka juga tidak bisa melihat dan mendengar Edena jika andai dirinya berteriak.

Entah apa yang ingin penulis ini lakukan pada Edena sekarang?

Kilas balik itu berganti pada kejadian sore hari saat mereka tengah minum teh bersama.

Saat itu Edena ingat sekali kalau Ibu dan Ayahnya membagikan kisah cinta mereka pada anak-anaknya. Mengenang kejadian lampau yang manis, tapi juga menyakitkan. Saat bagaimana mereka bertemu.

Namun, kisah pilu itu bukan ada di sana, tetapi saat prosesi pernikahan kedua orang tuanya.

Pernikahan kedua orang tua Edena tidak direstui oleh kedua belah pihak. Tidak ada sama sekali. Mereka berdua diusir oleh keluarga masing-masing jika masih memaksa ingin menikah.

Saat itu keadaan Ayah masih mapan. Memiliki uang yang cukup setidaknya tanpa bantuan orang tuanya sendiri. Maka diwujudkanlah impian mereka.

Menikah.

Mereka pindah dari Meksiko ke Filipina. Melaksanakan pernikahan seadanya dengan cincin yang Ayah bengkokkan dari besi, dan dihias bunga dari pernak-pernik yang ada di baju Ibunya. Setelah itu mereka menetap dan memiliki Edena juga adiknya, Marlon.

Saat mendengar cerita pernikahan mereka, Edena entah harus menangis karena haru atau tertawa miris. Itu terlalu menyedihkan untuk jadi sebuah kenyataan.

Ingatannya terlempar lagi pada saat Ayahnya meninggal. Ini ingatan buruknya.

Rasanya Edena ingin pergi saja dari tempat yang entah apa ini hingga dia bisa melihat semua masa lalunya.

Namun, kakinya tak bisa ia gerakkan, seperti dipaku saja. Peristiwa itu terus berjalan meski Edena berteriak sekeras mungkin menyuruh siapapun untuk menghentikan semua lelucon ini.

Edena dipaksa menyaksikan kejadian tragis itu lagi dengan mata terbuka.

Rumahnya ramai oleh kerumunan tetangga. Banyak ibu-ibu di dalam rumah, menjaga Ibu Edena yang pingsan sejak berita kematian Ayahnya tiba.

Adiknya Marlon, diajak anak kecil lain untuk bermain. Mengalihkan suasana hatinya.

Hanya Edena sendiri di sana menyaksikan semua hal menyakitkan itu terjadi.

Tapi Edena tidak menangis. Tidak ada setetes air mata pun yang menggenang. Edena hanya diam. Terpaku menatap Ayahnya yang dipenuhi luka tusukan. Leher Ayahnya adalah yang paling parah.

Lehernya seperti digorok benda tajam. Menurut kabar polisi, Ayahnya ditikam dari belakang oleh teman kerjanya sendiri dari belakang lalu menghabisi Ayahnya dengan keji.

Ditemukan sebilah pisau besar berlumuran darah yang tidak jauh dari TKP. Polisi bisa memastikan kalau darah itu milik Ayah Edena. 

Tapi luka-luka Ayahnya sudah tidak terlalu menjijikkan karena sebelum tiba di rumah duka, mayat Ayahnya lebih dulu dibawa ke rumah sakit.

Dibersihkan dan dijahit lukanya.

Itu semua terjadi ketika umurnya masih sepuluh tahun. Edena anak perempuan sekaligus yang tertua. Dia harus kuat. Dia tidak boleh lemah untuk Ibu dan adiknya.

Maka hari itu hanya Edena sendiri yang menghadiri prosesi pemakaman Ayahnya. Ibunya pingsan, Marlon asyik bermain. Edena hanya ditemani para tetangga dan rekan kerja Ayahnya yang lain.

Edena hanya menatap kosong tanah merah yang menimbun mayat Ayahnya. Sama sekai tidak ada rasa sedih.

Edena marah! Marah pada orang yang tega sekali membunuh Ayahnya sekeji itu!

“Kemari kau, Bajingan! Kemari kau! Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu!”

“Hei, Edena sadarlah! Ini aku Dash! Kau mencekikku. Lephas—argh. Gadis ini kuat sekali cekikannya.”

Dash terpaksa mendorong Edena menjauh. Sedikit keras sebenarnya, tapi itu demi keselamatan nyawanya.

Edena terpental sejauh satu meter. Jatuh menubruk dinding.

Dash segera menghampiri Edena. Khawatir dorongannya melukai gadisnya. Edena tiba-tiba menyerangnya saat Dash menggendong gadis itu yang terlelap di mobil.

Berniat membawanya ke kamar hotel.

Dash memangku kepala Edena. Menepuk pipinya pelan. “Apa yang kau lakukan? Kau mengigau? Kau hampir membunuhku tadi.”

Nafas Edena putus-putus. Matanya masih terpejam. Dia mencari-cari tangan Dash. Menggenggamnya erat setelah ditemukan.

Edena menggeleng pelan.

Dia seolah masih terjebak di antara alam mimpi atau halusinasinya. Mengeratkan genggamannya pada tangan besar Dash.

Edena bergumam lirih, “Tolong, jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan aku.”

***

Penampakan Burj Al-Mamlakah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro