30. Kehangatan Senja
Turun dari mobil limo itu, Edena lagi-lagi ditarik. Wanita bernama Dilana itu menangis terus-menerus dari kafe, di mobil, hingga tiba di rumahnya.
Rumah? Bukan. Ini istana!
Tapi Edena tidak peduli itu. Tidak kalah jauh dari Dilana, dia juga khawatir pada Zirad. Ingin tau 'bentuk menyakiti' seperti apa yang di maksud Dilana?
"Ohoho ... Tuhan! Terima kasih karena engkau masih mau menolongku! Ohohooo." Dilana masih saja mengusap ujung matanya dengan tisu di tangannya.
Para pelayan yang menyambut mereka segera sigap menangkap tas milik Dilana yang ia lempar. Sepatu yang ia gunakan juga di lepas begitu saja, yang segera dibereskan pelayannya.
Dramatis sekali.
Edena masih ditarik. Mereka naik ke lantai dua.
"Ya ampun, gadis cantik ... aku sungguh berterima kasih padamu, sayangku, cintaku, kasihkuuu!"
Mereka berhenti di sebuah pintu berukiran emas. Edena meneguk ludah gugup. Pintunya saja diberi emas. Orang kaya gila!
Dilana mencium Edena bertubi-tubi di sekitar wajahnya. Mengucap terima kasih berkali-kali.
Kalian tidak akan tau betapa jijiknya Edena mendapatkan ciuman ganas itu. Pasti banyak bekas lipstik berwarna merah. Tante-tante rempong.
"Ya sudah. Tidak perlu basa-basi lagi. Kau masuk, dan aku akan menunggu hasilnya di luar."
Dilana membukakan pintu untuk Edena, mendorongnya pelan. "Cepat, cepat. Kau akan menemukannya di sudut kiri."
Edena mengangguk. Dia sempurna gugup sekarang. Perasaan gugup ini berbeda dengan biasanya. Edena seperti tersiksa, tapi dia menikmatinya.
Edena menoleh ke arah kiri seperti yang diperintahkan Dilana. Wanita itu juga masih setia di pintu, menunggu. Mengangguk-angguk memberi semangat.
"Cepaaat," katanya setengah berbisik.
Edena tersenyum kikuk. Dia melihat ke arah kiri dengan baik. Benar. Di sana memang ada Zirad yang kini juga tengah menatapnya. Mereka sama-sama terkejut, tetapi dengan keterkejutan yang berbeda.
Jika Zirad terkejut melihat Edena yang tiba-tiba ada di sini ... maka Edena lebih terkejut melihat pria itu nampak sangat sehat wal afiat. Duduk dengan kaki terangkat di meja kerjanya, bermain ponsel.
Apanya yang melukai diri sendiri!
"April mop!!" Pintu seketika tertutup. Edena yang menyadari dirinya dikerjai mentah-mentah segera menarik gagang pintu, berharap bisa keluar dari sini sekarang juga.
Sayang, pintunya dikunci.
"Nona! Nona Dilana! Tolong bukakan pintunya!" Edena menggedor. Aura di belakang tubuhnya tidak nyaman. Sial sekali! Bisa-bisanya dia terenyuh oleh akting wanita itu dan mau-mau saja dibawa ke sini.
"Itu pasti kerjaan Ibu angkatku. Maafkan dia. Dia memang selalu berbuat seenaknya."
Edena membalikkan tubuhnya mendengar suara yang terdengar dalam itu. Edena panik. Zirad ada di dekatnya.
"Aku tidak tau mengapa dia bisa bertemu denganmu dan mengajakmu ke sini. Aku juga tidak tau kenapa kau mau-mau saja dibohongi dia."
"I--itu ... anu, aku tadi--"
"Tidak apa." Zirad menyodorkan minuman kaleng rasa cokelat. "Kau bisa keluar jika pintu itu terbuka."
Edena menerimanya hati-hati. "Apakah pintu ini tidak bisa kau buka?"
"Tidak. Jika dikunci dari luar maka tidak bisa kubuka. Santai saja. Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu. Duduk saja di sofa itu."
Zirad bohong. Dia berbohong tentang pintu terkunci itu.
Zirad menekan sebuah tombol di tangannya. Sebuah tirai di tempat yang Edena duga adalah jendela, terangkat. Empat jendela berukuran besar itu juga bergerak otomatis. Edena tidak lagi kagum. Dia mulai terbiasa melihat hal gila di sekeliling Zirad.
Zirad melangkah menuju balkon. Dia menyesap minuman kalengnya hikmat. Kedua sikunya ditumpukan pada tembok tipis yang selintas terlihat seperti kaca.
Edena tidak bisa membayangkan bagaimana jika seseorang jatuh dari sini. Sensasinya pasti uwaw sekali.
Demi sopan santun, Edena mendekati Zirad. Dia berdiri tak jauh dari sisi pria itu. Melihat gadisnya mendekat ... Zirad rasanya ingin segera berlari memeluknya. Rindu. Zirad begitu rindu.
Beruntunglah ibunya itu melakukan hal merepotkan ini. Zirad tidak perlu susah-susah lagi mengintip Edena dari dalam mobilnya, dan diejek sopir tak tau diri itu.
Angin bertiup lembut sore ini. Melengkapkan pemandangan kota New York yang menawan. Gedung-gedung pencakar langit itu terlihat kecil dari sini.
"Kau baik-baik saja?"
Edena menoleh. Apa Zirad bertanya padanya? Selintas telinganya serasa mendengar sesuatu. "Em ... ya. Aku baik. Terima kasih sudah bertanya."
Hening lagi. Kicauan burung gereja terbang melintas. Menyuarakan sedikit hati kedua insan yang dibalut kelu itu.
"Kau ..." Edena angkat suara. "Kenapa bisa ada di New York? Bukankah kau tinggal di Riyahd?"
Tentu saja karena aku ingin bertemu denganmu. Tentu saja karena aku merindukanmu.
Tapi yang terucap di bibir Zirad, "Tentu saja karena aku ini kaya. Aku punya rumah di mana pun aku mau."
Edena mengangguk-ngangguk paham. Pantas saja.
Zirad mengumpat dalam hati. Bodoh! Kenapa aku punya alasan sebodoh itu!!
Edena meneguk minuman cokelatnya. Dia tersenyum menatap langit sore yang perlahan kemerahan. Indah sekali. Senja memang selalu menawan.
Zirad yang melihat itu segera mengambil ponsel di saku celana. Memotret momen langka ini.
Cekrek!
Berbunyi! Sial!
"Kau! Kau memotretku ya!" Edena meradang. Dia tidak suka ada yang mengambil gambar dirinya.
"Tidak. Enak saja. Memangnya kau siapa sehingga aku akan mengambil gambarmu? Aku, aku tentu saja memotret minuman ini tadi."
Suasana hening tadi segera mendapatkan isinya kembali.
Edena mengernyit. "Itu tidak masuk akal, kau tahu? Mana ada orang yang dengan bodohnya memotret kaleng minuman?!"
Ada. Itu aku, rutuk Zirad.
"Benar! Aku tidak bohong! Aku tadi memotret kaleng ini sebagai kenang-kenangan. Memangnya kenapa? Kenapa? Kau iri? Ingin kufoto juga?"
Zirad mengeluarkan ponselnya. Dia sengaja mengarahkan ponselnya dan memencet asal. Edena yang melihat itu langsung menghampiri Zirad dan mencoba merebut ponselnya.
"Kemarikan! Kemarikan kataku!"
"Eh, tidak bisa. Tidak bisa! Hahaha. Dasar, Pendek!"
Zirad mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. Perbedaan tinggi badan yang jomplang itu sangat tidak menguntungkan Edena. Meski dia berjinjit dan meloncat sekalipun, tangannya yang juga kecil sama sekali tidak membantu.
Zirad masih terus mengejeknya pendek dan itu membuat Edena makin kesal. Mencari inisiatif lain, Edena memegang kerah kemeja Zirad dan mencoba melompat sekali lagi.
Dan ... hap!
Edena berhasil mendapatkan ponselnya!
Tetapi sesuatu yang lain terjadi. Karena pergerakan Edena yang tiba-tiba tadi, Zirad kehilangan keseimbangannya dan terjatuh.
Mereka berdua jatuh terlentang dengan Edena berada di atas Zirad.
Mereka saling berpandangan. Edena melotot. Zirad tersenyum manis. Edena segera berdiri dari posisi memalukan itu. Dia duduk, hendak berdiri, tetapi sebuah tangan menahannya.
Hangat. Edena terkesiap atas sentuhan tiba-tiba itu. Wajahnya jelas menempel di dada Zirad. Tangan pria itu sempurna mengungkung tubuh Edena yang kecil. Seperti memeluk boneka, Edena seolah tenggelam.
"Izinkan kita seperti ini sebentar saja. Aku ... aku merindukanmu." Zirad bisa merasakan tubuh Edena perlahan rileks di pelukannya. Zirad memejamkan matanya sambil tersenyum. Dia semakin mengeratkan pelukannya.
Dan tanpa disangka ... Edena membalas pelukannya, melingkari pinggangnya.
Perlakuan tak terduga itu membuat senyum Zirad makin jelas tercetak.
Zirad mendapatkan dua hal bagus hari ini. Senja, dan kehangatan senja dari Edena.
Apakah ia harus berterima kasih pada Ibu angkatnya itu?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro