Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Dash dan Donat

Hari sudah beranjak malam. Langit perlahan menggelap, dan kebanyakan orang mulai terlelap.

Edena duduk berselonjor kaki di atap bangunan tanpa pembatas. Bangunan ini belum jadi, tetapi kemudian ditinggalkan pemiliknya entah sebab apa.

Edena baru saja membatalkan perayaan ulang tahunnya. Menolak keras usaha Brian untuk mengadakan pesta besar-besaran hanya demi menyenangkan Edena.

Yang benar saja, 'kan?

‘Anak’ Brian itu banyak. Edena tidak ingin memiliki hak itu secara pribadi. Perayaan tadi saja sudah cukup. Juga, ada banyak hal yang harus diurus olehnya. Ulang tahunnya tidak akan jadi begitu penting jika polisi itu tidak datang.

Edena melihat lututnya yang terluka. Darahnya sudah kering. Edena mendongak lagi, menatap langit kelam. Biarkan saja. Dia akan mengobati lukanya besok.

“Ah! Kau di sini rupanya.” Edena menoleh. Mendapati Karla yang datang membawa kotak obat.

“Aku mencarimu ke mana-mana. Lupa kalau tempat ini biasa jadi tempatmu merenung.”

Karla diberitahu Dash kalau Edena terluka di bagian lututnya karena tersandung kakinya sendiri. Jadi dia mencari Edena untuk mengobati luka gadis itu.

“Aku tidak merenung!” tolak Edena keras. Emosinya tiba-tiba melonjak, tetapi hanya ditanggapi kekehan oleh Karla. Edena memalingkan wajah. Menyahut lirih, “Aku ... hanya melamun.”

Karla terkekeh. “Bukankah kedengarannya sama?”

Edena memanyunkan bibir merahnya. Membuat Karla gemas dan mencubit pipinya pelan. Edena tidak melawan. Dia pasrah saja. Sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Juga, saat Karla dengan telatennya membersihkan lukanya dengan alkohol.

Edena bahkan tidak meringis sama sekali. Gadis itu tetap santai menatap ke depan seperti tidak terjadi apapun pada dirinya.

Iseng, Karla menuang lebih banyak alkohol pada kapas lalu menekannya secara berlebihan pada luka Edena.

Sayang. Ekspektasi tak sesuai realita.

Edena masih saja bungkam. Tatapannya terus menerawang ke depan.

Manik hitamnya perlahan kosong.

Karla memperhatikan. Apa yang dipikirkan gadis itu?

“Hei, Edena. Kau baik-baik saja?”

Tidak ada jawaban. Edena masih saja dalam ruang sunyinya.

Di depannya, Edena seolah bisa melihat gambaran itu dengan jelas.

Peti. Mayat. Tanah merah. Tangisan ibunya. Adiknya yang bermain.

Pupil Edena melebar. Kerongkongannya serasa dicekik. Tiba-tiba kering dan sempit.

Ingatannya berpindah lagi pada mayat ayahnya sebelum dirapikan. Banyak luka tusuk di sana. Di dada dan punggung, terutama bagian leher yang terlihat seperti digorok, hampir putus. Hanya karena telah dijahit, lukanya terlihat lebih manusiawi.

Ingatannya terlempar lagi saat ibunya tak berhenti menangis. Pingsan berkali-kali karena tak sanggup menerima kematian ayahnya yang tragis.

Pupil Edena benar-benar akan meledak ditelan amarah jika saja Karla tidak mengguncang tubuhnya kuat.

“Hei, Edena! Sadarlah! Keluar dari sana!” teriak Karla sambil mengguncang tubuh Edena berkali-kali.

Edena mengerjap-ngerjap. Dia menoleh. Menatap Karla dengan pupil membesar yang membuat Karla mundur ke belakang.

Dia ... sedikit takut dengan Edena yang sekarang, tetapi Karla juga khawatir.

“Kau baik-baik saja?” tanya Karla takut-takut.

Edena mengangguk tanpa bersuara. Sorot matanya perlahan kembali seperti semula. Dia berdiri. Meninggalkan Karla tanpa sepatah kata lagi.

Karla berdecak gemas. Menatap punggung Edena yang hilang di kelokan tangga. “Aku harus bicara dengan Brian. Gadis itu pasti mengingat masa lalunya lagi.”

***

“Argh, aku mengingat hal itu lagi. Aku pasti akan gila!” Edena menendang angin kesal. Merasa marah pada dirinya sendiri yang membiarkan ingatan itu datang lagi.

Edena pergi ke tempat dia terakhir kali meletakkan lambo oranyenya.

Masih ada. Sama sekali tidak bergeser sedikit pun. Edena lupa kalau polisi-polisi itu sudah mati.

Orang mati tidak mungkin bisa mengambil barang. Terlebih mereka mati juga karena Edena.

Nyawa manusia memang semurah itu.

Edena membuka pintu mobil kesal. Menghempaskan diri di jok pengemudi yang empuk. Lebih baik dia berkendara malam ini.

Mencari hiburan.

Edena mengelus setiap lekukan bodi bagian dalam mobil. Semua yang ada di dalamnya sangat bagus dan baru. Kualitas nomor satu memang.

Setirnya saja dibuat khusus dari tulang hewan. Edena tidak tau apa, tetapi yang ia tau kemudi mobil pada umumnya tidak akan seperti ini.

“Ternyata aku masih memiliki keberuntungan selain kesialan di hari ini.” Edena menepuk atap mobil dua kali. “Mari kita jalan-jalan. Aku sedang suntuk.”

Edena sudah memasukkan gigi mobil saat tiba-tiba pintu mobil di sisi kiri terbuka. Seseorang masuk dan dengan tak tau dirinya duduk di samping Edena.

Dash.

Bocah itu menoleh. “Aku ikut, dan ...” dia mendekat. Meraih sealt beat milik Edena lalu memasangkannya. “... sebaiknya kau memasang sabuk pengaman,” ucap Dash.

Posisi mereka begitu dekat hingga Edena bisa merasakan hela nafas bocah di depannya. Edena terpaku. Dia menatap Dash lekat.

“Sedang apa kau di mobilku?”

“Bukankah sudah kubilang aku ingin ikut. Jalankan saja mobilmu.”

“Terserah.” Edena langsung menginjak gas. Membuat Dash terpental ke depan karena belum memasang sabuk pengaman.

Dash mengerang sakit. Menatap Edena dengan sorot membunuh. “Kau mau membunuhku, Nona?!”

Edena terkekeh. Dia tetap tidak menurunkan kecepatannya. “Pasang sabuk pengamanmu, Bocah. Jangan sok dewasa di hadapanku.”

“Cih! Aku memang lebih dewasa dari dirimu. Umurku saja yang lambat.” Dash memasang sabuk pengamannya cepat saat Edena sama sekali tidak berniat menurunkan kecepatannya, padahal jalanan sedang ramai.

Ini New York. Tidak ada istilah sepi. Malam hari bukanlah halangan bagi manusia-manusia ini.

Lepas dari tikungan, Edena berhadapan dengan dua mobil di sisi kiri yang berjalan lamban, dan satu pengguna motor di sisi kanan. Penuh.

Tidak ada ruang untuk menyalip, tetapi Edena memang tidak berniat menyalip.

Dia mau menerobos.

Bibir Edena terangkat sebelah. Ini bagian serunya berada di jalanan.

“Berpegangan, Bocah. Aku sedang ingin mengamuk.”

“Apa yang kau--“ 

Perkataan Dash di putus gerungan mesin mobil yang menyalak kencang. Seperti ditembakkan, lambo oranye itu meluncur dengan mulus. Menyalip dua mobil lambat yang berjalan bersisian dengan hanya jarak beberapa meter dari si pengendara motor tunggal.

Suara klakson mobil dan serapahan orang-orang mengiringi kepergian Edena. Bisa dibilang mustahil melewati celah sekecil itu.

Tetapi ayolah, ini Edena. Pembalap wanita jalanan yang tidak pernah terkalahkan.

Berbelok di ujung jalan lengang, ban mobil Edena mendecit. Berputar lalu melaju lagi. Gerakan yang masih berusaha Edena kuasai. Berputar dengan tetap mempertahankan kecepatan dan menginjak rem di waktu yang tepat.

Lagi-lagi serapahan orang.

Edena tertawa senang. Bermain di jalanan selalu saja menyenangkan.

Dash di sampingnya sudah akan muntah. Berkali-kali melongok ke luar jendela, tetapi tidak kunjung keluar.

“Hahahaha. Dasar, Bocah!”

“Diam kau Nenek! Kalau aku tau akan seperti ini, aku tidak akan ikut denganmu.” Dash meludah ke luar jendela. Kerongkongannya tidak nyaman. Muntahannya serasa tersendat di sana, tetapi tak bisa ia keluarkan.

“Aku pasti akan membalasmu!”

“Ya, ya. Bicarakan itu nanti. Sekarang temani aku mengebut lagi.”
Edena sudah melaju kencang sebelum Dash berteriak menyuruhnya berhenti.

Benar-benar sengaja menggoda Dash.

***

Edena menghentikan mobilnya di SPBU. Mengisi bahan bakar mobilnya. Mobil super car ternyata boros juga.

“Tenang lambo. Aku akan segera menjualmu. Kau hanya boleh menyusahkanku kali ini saja.” Edena menoleh ke arah toilet SPBU. Menunggu Dash yang tak kunjung keluar dari sana.

Dash benar-benar muntah. Hampir saja Edena tendang jika mengotori mobilnya. Edena segera berbelok menuju SPBU terdekat agar bocah itu dapat menuntaskannya di toilet, selagi Edena mengisi bahan bakar mobilnya.

“Dia tidak bisa disebut laki-laki. Julukan Bocah memang cocok dengannya. Diajak berputar sedikit saja sudah muntah. Apalagi nanti--“

Edena tiba-tiba merasakan getukan keras di kepalanya. Dash datang. Melotot pada Edena. “Apa yang kau bicarakan tentangku, Bocah?! Dasar Bocah-“

“Kau itu yang Bocah!”

“Enak saja! Aku ini seorang pria. Kau itu-“

“Sudah, sudah! Jangan berisik di sini. Kalian sesama Bocah jangan menyalahkan satu sama lain. Pergi sana! Aku mau mengisi bensin juga. Ayo!”

Edena dan Dash menoleh saat mereka ternyata diteriaki bocah SMA yang juga mengantri di belakang mobil Edena. Posisi mobil Edena yang sedikit asal membuat antrian dibelakangnya tersendat.

Tanpa kata maaf dan ucapan lainnya, Edena dan Dash segera pergi dari tempat itu. Mereka sama-sama dimaki bocah oleh bocah. Sama-sama tidak tau diri.

Keterlaluan.

“Belikan aku donat," kata Dash.

“Hah?” Edena hampir saja menerobos lampu merah dan menabrak pejalan kaki yang melintas jika kakinya tidak spontan menginjak rem.

Mereka--Edena tepatnya--berencana kembali ke ‘rumah’ mereka. Namun, Dash sepertinya berkehendak lain.

“Kau bilang apa, Bocah?”

“Jangan memanggilku Bocah jika kau sendiri Bocah!”

“Dan kita berdua diteriaki Bocah oleh Bocah SMA. Mengenaskan. Jadi kau juga jangan mengejekku. Kau masuk hitungan.” Setidaknya aku lebih tua dua tahun darimu dan dari bocah SMA brengsek itu.

“Apa katamu tadi?” tanya Edena saat tadi telinganya mendengar sesuatu.

“Donat. Belikan aku donat.”

Edena terbahak. Demi apa?! Dash itu benar-benar bocah! Lihat, lagak minta dibelikan donat saja pipinya sendiri sampai menggembung.

Mungkin Dash tidak sadar, tetapi itu lucu sekali. Jarang-jarang Edena melihat ekspresi Dash seperti ini.

Gemas, Edena mencubit pipi Dash.

“Ya, ya baiklah. Aku juga merasa kasihan padamu setelah membuatmu muntah tadi. Haha.” Edena mengacak rambut Dash pelan. Mobilnya berjalan pelan menuju toko kue  terkenal di kota ini.

Dash memang akan memakan roti bundar itu jika keadaan hatinya sedang memburuk.

Dash diam di tempat duduknya. Wajahnya sesaat seperti panas. Entah kenapa.

Dash menatap Edena lama. Perlahan ... senyum terbit di wajahnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro