23. Apakah Aku Harus Menyerah?
"Semuanya sudah tersedia, Bos."
"Bagus."
"Kami ikat, Bos. Di gedung belakang sana."
"Bodoh! Jangan ikat dengan tali! Ganti! Si Bocah lelaki itu pasti bisa dengan mudah melepasnya. Borgol mereka!"
Dua orang yang melapor itu langsung kocar-kacir menjalankan perintah si bos, karena diam sedetik saja kepala mereka dipastikan sudah menyatu dengan sampah.
Bocah kecil atau lebih tepatnya kerdil itu berjalan dengan dua kaki pendeknya. Dia naik ke kursi melewati sebuah tangga kecil yang dibuat khusus untuknya lalu duduk di kursi kebesarannya. Kalau ditilik dari umur, hampir sama dengan Bornaleto. Sekitar lima puluh tahun atau lebih. Entahlah. Dirinya sendiri juga tidak perduli itu.
Tangan mungil nan kasar itu memainkan benda berbentuk tabung berisi pasir. Bagian luarnya terdiri dari kayu apik sebagai penyangga dua tabung yang bagian tengahnya mengerucut itu. Ada ukirannya di sana.
"Semua berjalan sesuai rencana. Kau memamerkan baunya ... aku yang memakannya. Jadi, mari kita lihat secepat apa kau akan tiba di sini." Bos kerdil itu membalikkan jam pasir di tangannya, membuat pasir di bagian atas turun perlahan ke bawah seperti debu yang dikucurkan.
Kedua jari tangannya melipat takzim. Menatap ke arah pintu dengan tenang. "Aku akan menunggumu, Zirad!"
***
"Dia mengirimkan koordinatnya, Tuan."
"Oh ya?" Zirad berjalan cepat menuju sebuah ruangan. Ketika pintu dibuka, kepul debu yang pertama kali menyapa Zirad. Gelap. Sama sekali tidak ada penerangan meski cahaya matahari. Ruangan itu terisolasi dari mana pun.
Saat menerima berita itu kepala Zirad seketika dipenuhi pemikiran gila. Bajingan kerdil itu tidak akan segan membunuh siapapun sebagai kesenangannya. Apalagi Edena memang punya kaitan masa lalu tak menyenangkan dengannya.
Kenapa juga dirinya bisa lupa kalau gadis itu masih jadi incaran mereka? Rajungan! Kalau tau begini dia tidak akan melepaskan Edena.
Ada sekitar dua puluh orang dalam ruangan itu. Mereka datang dengan cepat saat menerima panggilan sang tuan besar.
Wira yang berjalan terseok-seok baru sampai di tempat. Segera berdiri tak jauh di belakang Zirad. Kakinya tadi yang paling parah. Pecahan gucinya ada yang menancap di kaki, tetapi sudah dibuang. Hanya belum diobati saja. Tidak ada waktu melakukan itu.
"Terima kasih kuucapkan kepada kalian karena dengan sigap segera menuju kemari. Aku tidak akan berkata banyak. Dipanggil ke sini, berarti kalian tau apa yang harus kalian lakukan."
"Ya!" jawab mereka lantang dan serempak.
"Katakan," bisik Zirad pada Wira.
"Mereka ada di sini, Tuan. Di Riyahd, daerah pasar. Di sana mereka menyandera mereka berdua."
"Hm. Itu tempat yang bagus. Banyak orang di sana." Zirad menyahut enteng. "Tapi tidak cukup berani jika harus menyekap seorang gadis dan bocah laki-laki hanya untuk memancingku. Kalau begitu kalian ..." Zirad menatap dua puluh prajurit di depannya satu persatu. Suaranya menggema di ruangan gelap itu. "... jangan ada belas kasih di pertempuran nanti. Bersihkan tanpa sisa."
Wira yang ada di belakang Zirad mengacungkan tangan kanannya yang terkepal. Berteriak, "Hidup Tuan Zirad!"
"Hidup!"
"Hidup Tuan Zirad!"
"HIDUP!!"
Rencana sederhana, tapi mematikan.
***
Ruangan tanpa jendela itu memuat lebih banyak cahaya mentari yang menyengat saat hari kian terik. Kepul debu tampak beterbangan ditiup angin. Halus dan jatuh perlahan seperti seorang wanita yang terduduk tak berdaya di kubangan lumpur.
Sebuah pergerakan menggesek lamunan Edena. Dia melirik lewat ekor matanya. Memperhatikan debu tadi membuatnya ingat lagi kalau dia tidak sendiran di sini. Ada Dash.
"Kenapa? Apa lagi sekarang?" tanya Edena tanpa riak.
"Sejak kapan kita diborgol? Sialan! Aku tidak bisa melepaskannya."
"Sejak tadi. Kau tidur. Jadi kau tidak tau."
"Kenapa kau tidak membangunkanku? Aku bisa saja memukul mereka dan kita bisa kabur!"
"Lalu apa?" Dash terdiam mendengar nada dingin itu. Dia menoleh ke arah Edena yang ada di belakangnya. Mereka didudukkan saling membelakangi.
Gadis itu terus menatap ke depan, seakan menerawang. Dash yang bisa melihat dari samping hanya mendapatkan pelipis Edena. Terhalang karena rambutnya sedikit terurai.
Ada apa? Sepertinya suasana hatinya tiba-tiba buruk.
Penampilan Dash juga tidak kalah buruk. Wajahnya, jangan ditanya lagi bagaimana penampakannya. Memar dan masih tersisa beberapa darah kering di sudut bibir juga kepalanya. Jas yang tadi dipakainya juga sudah tidak ada. Dia sempat melawan para penculik itu sebelum berakhir di sini. Menyisakan kemeja putih yang kusut dan kotor serta dasi tak berbentuk.
"Tidak bisakah kau diam dan biarkan saja apa yang seharusnya terjadi?"
"Apa maksudmu? Kau ingin mati?!"
"Bukankah kita di sini memang akan mati?"
"Edena! Ap—"
"Berhentilah memanggilku Edena karena itu bukan namaku." Dash bungkam. Dahinya mengeryit dalam. "Berhentilah mengusikku karena itu sangat mengganggu. Berhentilah menyelamatkanku karena dengan itu kau selalu menunda kematianku. Aku seharusnya sudah mati jika kau tidak selalu ikut campur dan sok hebat berpura-pura menjadi pahlawan. Kau pikir ini seru? Kau pikir hidupku seperti sebuah lelucon untukmu?"
Dash menelan ludah susah payah. Perkataan konyol macam apa itu?
"Kenapa kau—"
"Lihat? Kau mulai lagi. Kau mulai lagi, Dash!" Edena mengguncang kursinya sendiri berkali-kali hingga Dash akan terjungkal karena benturannya. Edena mengatur nafasnya yang memburu. Pergelangan tangannya terasa ngilu saat borgol itu bergesekan dengan kulitnya tadi. "Kubilang berhentilah bersikap seolah kau lebih dewasa dariku dan mengerti semuanya! Aku muak diperlakukan seperti orang lemah. Aku benci!"
Edena berdiri. Dia memisahkan dirinya dari Dash. Membawa kursinya sendiri dengan tangan masih terborgol. Menyendiri di sudut berbeda.
Dash tertohok. Wajahnya pias mendengar Edena untuk pertama kalinya menyalahkan dirinya untuk satu hal yang tidak dimengertinya. Memangnya dirinya melakukan kesalahan apa? Kenapa? Apa Edena juga sudah membencinya? Menjauh darinya?
Dash melihat ke arah Edena dengan sorot nanar. Dash mengepalkan kedua tangannya. Mungkin pada akhirnya tidak ada satu pun yang akan menerimanya. Mungkin pada akhirnya tidak akan ada satu orang pun yang sudi berada di sisinya.
Dash memang tidak pantas mengharapkan hal itu dari orang lain, tetapi Edena? Gadis yang ternyata mulai dicintainya?
Dash memalingkan wajahnya. Kenapa? Kenapa sakit sekali? Dash mungkin bisa menanggung segala sakit yang diberikan orang tuanya dulu. Dash mungkin bisa menerima ejekan, umpatan, pukulan orang sekitarnya yang membencinya dan menganggapnya monster.
Tetapi ... penolakan ini terasa begitu nyata membanting Dash dari ruang sadarnya.
Apakah ... apakah sudah tidak tersisa lagi ruang bagi Dash berada di sisi gadis itu?
Apakah benar-benar tidak ada jalan lagi untuk Dash memperbaiki kesalahannya?
Dash menoleh ke arah Edena. Menatap gadis itu lama. "Apakah aku harus menyerah sebelum memulai?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro