22. Geng Bandit
“Jadi ... kau benar-benar suka cokelat?”
Mereka sudah jauh dari gedung berlantai tiga puluh itu. Gedung yang ternyata menyisakan kenangan.
Edena mengangguk. Dia sudah memakan dua cokelat di dalam bingkisan itu dengan lahap. Sudah lama sejak terakhir kali memakan cokelat ini. Kapan ya? Ah! Itu sudah dulu sekali. Saat keluarganya masih utuh.
Merk ini dulu sangat mahal. Makanya Edena hanya bisa memakannya jika dia bisa memenangkan sesuatu agar ayahnya mau membelikan cokelat ini.
Seperti jadi juara kelas, memenangkan lomba atau semacamnya.
“Hm. Rasanya masih saja seenak dulu.” Edena memejamkan matanya. Tersenyum ringan sambil menghabiskan cokelat di mulutnya.
Dash meneguk ludah. Sepertinya memang seenak itu. Edena membuka mata. Memergoki Dash yang memperhatikannya.
“Kau mau?”
“Tidak.”
“Kenapa? Kau sepertinya mau? Ludahmu saja rasanya akan menetes.”
“Enak saja kau bicara!” Dash refleks menyentuh mulut dan bagian dagunya. “Mana? Mana tidak ada?! Jangan asal bicara kau ya!”
Edena tergelak. “Kau mudah dikibuli ternyata. Lucu sekali ya ampun!”
“Kurang ajar. Aku dikerjai. Kemari!” Dash mencuri cokelat yang hendak Edena makan. Memasukkan semua sisa cokelat itu ke mulutnya lalu menyeringai senang.
Uwah ... memang enak sekali.
“Brengsek! Beraninya kau mengambil cokelatku. Kembalikan! Aku harus menunggu bertahun-tahun agar mencicipinya lagi!”
“Pelit sekali! Kau 'kan masih punya banyak, Pendek!”
“Biarkan. Muntahkan! Muntahkan kubilang!”
Edena menekan pipi Dash agar memuntahkan cokelat berharganya. Membuat mulut Dash maju ke depan. Tidak mau kalah, Dash segera mengunyah sisa cokelat di mulutnya lalu menelannya. Edena yang melihat itu melotot. Tangannya berpindah ke pinggang Dash lalu menggelitik bocah nakal itu.
“Hahaha. Ampun! Ampun Nenek! Aku kalah!”
“Siapa yang kau panggil Nenek, hah? Beraninya kau!”
“Ten—tentu saja kau! Memangnya siapa lagi—ahahaha ampun!! Kubilang ampun. Hentikan!”
Edena masih terus menjahili Dash hingga tubuh Dash melompat ke sana kemari seperti cacing kepanasan. Dash itu sangat tidak bisa digelitik. Biasanya dia akan marah jika ada orang yang melakukan itu padanya, tetapi jika pelakunya Edena ... Dash senang-senang saja.
Edena masih terus menjahilinya. Satu pikiran licik terbit di otak Dash.
Dia tiba-tiba bangkit dan memeluk Edena. Benar saja, Edena langsung terdiam dan menatap Dash bingung. Tidak membuang waktu, Dash mendekat. Dia memiringkan wajahnya perlahan, menatap Edena intens, meminta perhatian penuh darinya.
Edena hanya diam. Dia tidak tau harus melakukan apa saat kedua tangan Dash semakin terjulur ke belakang, sedangkan tubuh dan wajah Dash kian dekat.
Waktu serasa berjalan lambat, membuat kegiatan mereka makin mendebarkan.
Sedikit lagi dan ...
“Aku mendapatkannya! Haha.” Dash segera menjauh. Mengacungkan tangannya yang berhasil mencuri lima cokelat Edena. Dia hanya menipu Edena tadi.
“Heh? Apa, apa yang—kau mengambil cokelatku lagi?! Beraninya!”
Dash tertawa. “Memangnya kau pikir apa? Ohoho ... pasti kau—“
“Diam kau pencuri cokelat!”
“Lihat wajahmu semerah tomat! Bahahaha.”
“Sialan!”
***
Ruangan bernuansa minimalis itu nampak temaram. Lampu oranye yang menggantung di atap memberikan kesan manis.
Seorang koki kelas dunia tengah sibuk memasak di bar kecil dalam ruangan itu. Di meja bar, duduk seorang pria yang bertelanjang dada. Dia habis mandi. Hanya menggunakan celana kainnya saja.
Itu Zirad.
Tangan kanannya terangkat. Koki itu berhenti sejenak. Dia mengisi gelas Zirad dengan koktail hingga setengah gelas. Kemudian melanjutkan memasak. Koki sekaligus bartender. Tersedia dengan bar dan menu masakan kelas dunia.
Zirad meneguk koktail di gelasnya dengan sekali tenggak. Zirad mengernyit saat tenggorokannya merasakan panas yang nikmat. Dia menaruh gelasnya. Matanya memandang langit sore yang beranjak pulang.
Oranye. Menarik dan adanya dalam hitungan menit.
Sama dengan dirinya.
Sama dengan gadisnya, Edena.
Namun, tidak pernah sama dengan rasa cinta di dalam dadanya. Zirad dulu tidak punya apa-apa, sekarang pun juga tidak.
Hampa. Begitu-begitu saja jalan hidupnya. Berada di jalanan, perkelahian antar geng, mengais uang di ruang judi, hingga dia bertemu orang tua yang tengah diserang di dalam gang kumuh. Menolongnya, membuat hidup Zirad berubah.
Zirad perlahan bisa menatap cahaya dengan berani. Dia perlahan beranjak ke permukaan. Tidak lagi menjadi tikus got seperti yang sudah-sudah. Hidupnya perlahan baik dan semakin baik saat ia bertemu seorang ibu yang bekerja di toko jam antik.
Dia masih muda dan bersahaja, tetapi kehidupan merampas kebahagiaannya dengan cara mengambil suaminya secara tragis.
Zirad makin merasa tertantang untuk tidak menyia-nyiakan hidupnya. Zirad makin terbakar untuk lebih menghargai hidupnya sendiri yang memang sudah tercabik.
Lalu dia bertemu Edena di sana. Bekerja paruh waktu bersamanya. Hingga Zirad sadar, kalau perjumpaan dengan ibu itu dan perjanjiannya dengan orang tua yang ditolongnya di gang ... bermuara pada satu orang yang sekarang jauh darinya.
Edena.
Dia. Dia yang telah membangkitkan hidup Zirad dan dia juga yang menghancurkannya.
Semua yang terjadi pada diri Zirad, pada dirinya, tidak pernah sebaik ini. Tidak pernah seistimewa ini.
Lau penantian ini ... akankah menjadi sia-sia?
“Makanannya, Tuan.”
Zirad tersenyum. “Terima kasih, Bornaleto.” Zirad mengambil pisau dan garpu. Mulai mengiris daging di depannya. “Hm. Rasanyaaa masih saja membuat lidahku mati, Bornaleto.”
Bornaleto terkekeh. “Itu karena di dasar hati Tuan telah redup. Maka apapun rasa yang menyapa indera Tuan ikut padam. Serupa rumah yang tidak memiliki genset cadangan, ketika terjadi pemadaman listrik, dia akan membiarkannya gelap.”
Zirad mengangguk-nggagguk. Mengiris dagingnya lagi lalu memasukkannya ke mulut.
“Kau masih sebijak dan sepuitis biasanya.” Zirad menelan makanannya. “Aku ingin tau apa lagi keahlianmu selain menjadi koki, bartender, dan seorang sastrawan.”
Bornaleto meletakkan topi kokinya. Dia berjalan keluar bar lalu duduk di samping Zirad.
Hanya Bornaleto yang dapat bersikap seperti itu pada Zirad. Dia sudah Zirad anggap bagian dari keluarga. Lebih cocok dipanggil Ayah sebenarnya. Umurnya sudah lima puluh tahun.
Dia sudah sepuluh tahun mengabdikan hidupnya pada Zirad, dan tidak pernah sekalipun mengecewakan.
Zirad menemukan Bornaleto di Spanyol. Dia sedang dikeroyok di belakang sebuah restoran ternama gara-gara tidak bisa melunasi hutang. Zirad menolongnya dan Bornaleto mengikutinya hingga sekarang.
“Bagaimana masakanku kali ini?”
“Enak seperti biasanya.”
“Itulah dirimu. Padahal aku sudah menambahkan bumbu rahasia agar kau berpendapat lebih. Wira saja mengatakan kalau masakanku kali ini luar biasa enak.”
“Kau suruh Wira mencicipi ini?” Bornaleto mengangguk. Zirad tersenyum tipis. “Dia mana tahu soal rasa? Cecunguk itu hanya tau memukul saja.”
Bornaleto menggeleng takdzim. “Tidak, Nak. Letak kesalahannya kali ini bukan pada Wira atau lidahmu, tapi ada di sini.” Bornaleto menunjuk dada Zirad. “Ada apa, Nak?”
Zirad meletakkan pisau dan garpunya. Dia mengusap kasar rambutnya yang setengah basah. Ini dia. Ini dia pembicaraan yang selalu dihindarinya jika bersama Bornaleto.
Bornaleto masih menunggu. Menunggu jawaban Zirad yang tak pernah bosan ia dengar.
Zirad butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya berkata, “Dia pergi lagi, Bornaleto.”
Pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka secara kasar. Bornaleto dan Zirad langsung berdiri. Wira. Dia masuk dengan peluh di seluruh wajahnya. Pucat pasi seperti habis dikeroyok orang yang lebih kuat darinya.
“Ada apa?”
“Nona Muda!”
Cukup satu seruan itu sudah membuat tubuh Zirad menegang. Dia segera mengambil kemeja di kursi bar dan memakainya.
Zirad berpamitan pada Bornaleto. Bornaleto mengangguk, mengerti kalau situasinya genting.
“Dapatkan dia kembali!” teriak Bornaleto saat Zirad sudah melewati pintu.
“Apa yang terjadi?” tanya Zirad sambil berjalan cepat menuju ruang bawah tanah.
“Nona Muda ditangkap geng bandit itu.”
Tanpa aba-aba Wira sudah terlempar hingga membuat guci yang berdiri di belakangnya pecah. Wajah Zirad memerah. Otot-ototnya seketika menghiasi tangan dan wajahnya.
“KAU TIDAK BECUS ATAU MEMANG INGIN MATI, HAH?”
***
Foto selfie dulu sebelum perang 😎 nanti kalo ada lebamnya berkurang cakepnya 😂
Btw yang moto ini si Arga, hasil dipaksa Dash.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro