20. Apakah Luka Setara dengan Cinta?
DOR! DOR!
Zirad mewujudkan permintaan Edena. Pistol yang ada di samping tubuhnya meletus, menembak kakinya sendiri. Membunuh dirinya sendiri.
Dua peluru yang keluar secara beruntun itu masuk di lubang yang sama di kaki Zirad yang berlapis sepatu. Si pemilik sama sekali tak meringis. Zirad hanya terus menatap Edena dengan mata merah selama melakukan itu. Hatinya tercabik luar biasa sakit.
Bahkan jika Zirad sudah kehilangan akalnya, dia ingin menembak kepalanya saja tadi.
Pernah dengar teori menembak satu peluru ke dalam dua kaleng? Misinya adalah bagaimana cara kalian bisa membuat peluru itu berada dalam kaleng. Jika secara normal, ditembak berkali-kali pun hanya akan membuat kalengnya rusak saja.
Bolong-bolong tak beraturan.
Namun, jika kau adalah penembak yang memakai otak, maka kau akan menaruh dua kaleng secara urut, memfokuskan tembakan lalu hanya cukup satu peluru saja maka peluru itu sudah ada di dalam kaleng.
Memang bukan di dalam kaleng pertama karena kaleng pertama pasti tertembus dengan mudah, tetapi bagaimana dengan kaleng kedua?
Kecepatan peluru yang berkurang saat melintasi kaleng pertama akan dengan mudah membuat laju peluru berhenti di kaleng kedua. Tidak keluar menembus kaleng lagi.
Dan ya, sama seperti itu ... kaki Zirad serupa perumpaman di atas. Kakinya yang besar dan memuat daging juga tulang itu mirip dua kaleng, sedangkan pelurunya tetap saja berperan layaknya peluru. Ditembak dua kali, artinya ada dua peluru yang tertanam di kaki Zirad.
Tembakan pertama di bawah, tembakan kedua di tengah karena berhasil menggeser peluru pertama. Tenggelam bersama darah dan daging.
Kembali ke dunia nyata.
“EDENA!”
Dash berteriak melihat Edena pingsan setelah Zirad menembak kakinya sendiri. Gadis itu pasti syok melihat perbuatan gila Zirad.
“Kau! Brengsek—“
Makian Dash ditutup bogeman keras dari Wira. Lelaki maniak donat itu ikut pingsan.
Wira sudah ada di sana sejak Edena berhasil melarikan diri darinya. Menyaksikan tuannya, untuk pertama kalinya melukai diri sendiri. Wira mengikuti ke mana pandangan tuannya itu.
Seperti dugaan Wira, tuannya memang mencintai gadis bernama Edena ini.
“Anda baik-baik saja, Tuan?” Pertanyaan bodoh itu Wira layangkan bukan pada kaki tuannya yang terus mengeluarkan darah, tetapi pada bagian dalam tubuh tuannya yang sekarang pasti lebih banyak mengeluarkan darah.
Tatapan terluka itu. Tatapan tidak berdaya itu ... Wira baru kali ini melihatnya. Wira baru kali ini melihat tuan yang selalu diagungkannya selemah ini.
“Kau bereskan dia.” Menunjuk Dash dengan ujung dagunya. “Terserah mau kau apakan.”
“Baik. Sesuai pemintaan Anda.”
Usai Wira berkata begitu, sebuah mobil menepi. Sopir segera turun. Membukakan pintu untuk Zirad.
Zirad menoleh ke arah Edena yang tergolek di tanah. Dia menggeret kakinya yang perlahan kaku. Nyeri hingga menggigit kepala saat dipaksakan bergerak. Zirad tidak perduli. Dia mendekati gadisnya, berjongkok, menaruh tangannya di kepala dan betis Edena lalu mengangkatnya.
“Argh!”
“Tuan!”
Zirad menahan Wira. Menghentikan lelaki setia itu membantunya. Zirad dapat merasakan dua peluru dalam kakinya itu bergesekan. Letaknya bergeser saat ia banyak bergerak.
Zirad tetap melangkah. Menggendong Edena di pelukannya erat. Memasuki mobil, menuju gedung pribadinya.
***
Sepanjang perjalanan menuju gedung hingga memasuki gedung, Zirad sama sekali tidak melepaskan Edena. Dia terus merengkuh gadisnya. Terus menatap gadis yang tertidur begitu dekat dengannya tanpa berkedip sekalipun.
Para pelayan sampai harus menggunakan ranjang dorong rumah sakit untuk mengangkut mereka berdua—para pelayan itu mana berani menyuruh tuannya duduk di kursi roda.
Melewati lift khusus, menuju ruang perawatan setara rumah sakit kelas atas.
Proses operasi kaki Zirad berjalan lancar tanpa halangan. Dijalankan di ruang operasi seperti di rumah sakit pada umumnya. Bedanya ... semuanya milik Zirad. Dokter bedah dan semua tetek bengeknya itu kepunyaannya sendiri.
Oh ayolah, ini sudah chapter dua puluh dan kalian masih tidak peka siapa Zirad?
Saat menjalani operasi kakinya ... Zirad sama sekali tidak melepaskan tangan Edena.
Para pelayannya sampai harus repot membawa ranjang rawat Edena sendiri ke dalam ruang operasi. Diletakkan di sebelah Zirad agar tuannya itu bisa terus bersama gadisnya.
Zirad bahkan tidak berniat diberi obat bius untuk menghilangkan rasa sakitnya. Dia hanya membentak saja dokter yang tak mengikuti perintahnya itu. Bilang obat biusnya selalu ada di sampingnya.
Akhirnya, daripada nyawanya melayang, dokter itu melakukan pekerjaannya.
Zirad begitu takut. Dia begitu paranoid kehilangan Edena untuk kesekian kalinya.
“Tidak dulu, tidak sekarang, kau akan selalu di sisiku apapun yang terjadi.”
***
Edena membuka matanya perlahan. Dia melihat pakaian yang dikenakannya. Rumah sakit? Ah, dia pingsan lagi.
Ini sudah ketiga kalinya.
Edena merasa tangan kirinya berat. Menoleh ke samping, Edena terkesiap melihat Zirad di sana.
Tidur sambil memegang, tidak. Menautkan kelima jari-jari mereka hingga rasanya tak akan terlepas. Edena membiarkan. Melihat kaki Zirad yang dibalut perban.
Edena mendesah. Dia sendiri tidak tau harus bersikap seperti apa sekarang.
Tentu saja Edena masih kesal dan benci dengan kelakuan Zirad yang hampir membunuh Dash. Namun, mengingat lagi bagaimana Zirad bisa melukai kakinya sambil terus menatap dirinya ... Edena terenyuh.
Edena merasa sakit. Tatapan terluka Zirad mengingatkannya pada dirinya dulu saat ayahnya tiada.
Mata merah Zirad seolah berteriak, ‘Jangan pergi! Jangan pergi!’ dan Edena tidak bisa tidak tau itu.
“Apa dia merasa sendirian selama ini? Apa dia merasa kesepian selama ini?”
Bahkan setelah kejadian semalam, Edena tidak bisa memalingkan wajahnya dari Zirad. Iba. Itu alasannya. Tidak ada kemungkinan lain yang dapat membuat Edena masih bisa membiarkan Zirad seperti sekarang.
Edena merasa dia bisa mengerti kesakitan Zirad. Edena merasa dia bisa melihat rasa sakit akan kehilangan yang sama pada pria itu.
Sama seperti masa-masa kelam Edena ditinggal orang-orang terkasihnya.
Orang-orang yang dicintainya.
Edena bangkit. Duduk dan memperhatikan wajah Zirad saksama. Gurat wajah yang tegas, rahang kokoh dan kulit kecokelatan, dan bekas luka di leher ... mengingatkan Edena pada seseorang.
Seseorang dari masa lalu.
“Kau mau apa? Mengagumi ketampananku sampai selama itu?”
Edena memundurkan wajahnya. Terkejut melihat Zirad yang sudah membuka mata. Edena mencoba melepaskan genggaman tangannya, tetapi Zirad menggenggam lebih kuat.
“Mau ke mana? Tolong, tetap di sini.”
“Aku mau ke toilet, Brengsek!” Edena menatap Zirad jengah.
“Memangnya kau mau mengekor?”
“Memangnya boleh?”
“Jangan harap!”
Zirad terkekeh. Melepaskan genggaman tangannya.
“Mungkin suatu saat nanti?” Zirad masih berteriak serak, mengganggu Edena.
“Bahkan tidak dalam mimpimu, Sialan!”
“Aku akan menunggu!”
“Teruslah menunggu sampai kau mati, Otak Mesum!”
Zirad akhirnya terbahak. Geli sekali melihat Edena kesal karena godaannya.
“Hah ... rasanya aku akan hidup panjang setelah ini.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro