Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Trauma

Edena berjalan pelan di lorong sepi. Tetesan air dari atap bocor yang memenuhi sekitar menyamarkan ketukan sepatunya.

Edena memutar revolver di tangannya. Tersisa tiga peluru dengan kesemua isi pelurunya-jika utuh-adalah enam.

Dua hari yang lalu Edena menggunakannya untuk keadaan terdesak. Sekarang hanya ini saja yang ia punya untuk melindungi diri.

Di pikiran Edena hanya tentang Brian, seseorang yang sudah ia anggap seperti ayah sendiri. Usianya tak mungkin kurang dari lima puluh empat tahun, tetapi Brian masih bugar dan segar. Masih terlihat muda untuk seusianya.

Edena hanya khawatir. Dia sedang tidak ingin kehilangan seseorang sekarang.

Edena mendekati tumpukan kursi. Bersembunyi di sana.

Di mana para polisi jadi-jadian itu?

Ah, apa mereka ke sini hanya mengambil barang curian? Oh ayolah, dirinya belum mengambil benda paling berharga dari lambo itu. Ck!  

Edena mengacungkan senjatanya di sisi kepala ketika telinganya mendengar bunyi sesuatu. Entahlah. Seperti gesekan sepatu, tetapi tidak jelas.

Edena berdiri dari duduknya. Matanya yang serupa bola pingpong mengintai. Menganalisis sekitar.

Edena menurunkan revolvernya lega.

Tidak ada siapa-siapa

Namun ....

Mmph! Mmph!

Mulut Edena tiba-tiba dibekap. Matanya ditutup dengan secarik kain. Kemudian diseret dengan paksa.

Astagaaa apa ini? Gaya polisi yang baru? Menyeret tersangka seperti ini? Tidak keren sekali.

Edena meraba lengan yang membekap mulutnya. Kekar.

Sentuhannya beranjak ke atas, menyentuh wajah. Ada mata, hidung, telinga, mulut-

“Jaga tanganmu, Nona Cantik. Atau aku akan melemparmu hingga tangan lembutmu itu tidak bisa memegang sendok besok.”

Edena terkekeh mendengar suara itu. Memegang lengan kekar dengan kedua tangannya, Edena membalikkan tubuhnya, engeluarkannya dari kuncian si kekar, melepas penutup matanya lalu tertawa.

“Diam!” si kekar langsung membekap mulut Edena lagi saat gadis itu akan tertawa. “Kau ini Bodoh apa Dungu?” Desisnya setengah berbisik.

Edena tetap tertawa. Matanya menyipit saat kedua sudut bibirnya tertarik. Tenang saja. Ini temannya.

Namanya Dash. Lelaki tampan dan kekar yang selalu berbicara kasar. Dash tidak pernah bisa dikatakan memuji siapapun. Mulutnya terlalu pedas untuk berucap semanis itu.

Dia hanya menyumpah, mengumpat dan mengancam, tetapi satu. Dia tidak pernah bermaksud mengejek siapapun dalam umpatannya.

Selain itu memang aturannya, sebenarnya Dash hanya tidak pernah diajari saja. Di kehidupannya yang dulu dia ‘dididik’ menjadi keras dan seperti monster. 

“Mana Brian? Apa dia yang menyuruhmu menjemputku?” Tidak sadar keadaan genting, Edena masih bisa berbicara santai dengan Dash. Sedangkan lelaki itu sibuk memastikan sekitar aman.

“Dia duduk nyaman di sofanya. Kau tidak perlu menghawatirkan Kakek Tua itu. Aku juga terpaksa menjemputmu jika tidak ingat apa yang dijanjikan orang tua itu.”  

Edena melirik sekelilingnya. Mereka tidak berjalan melewati jalan yang biasa. 

Dash sepertinya mengajaknya melewati jalan lain. Laki-laki kecil yang masih berusia delapan belas tahun ini dapat diandalkan.

Selain mulutnya seperti bazoka, Dash memiliki otak cerdas dan daya ingat kuat. Jadi, jika kau berikan dia peta ... cukup sekali lihat saja dia sudah hafal petunjuknya.

“Lalu ... apa yang dijanjikan Ayahku itu?”

“Donat.”

“Haha-mphhhh!”

“Siapa itu?! Behenti di sana!!” Suara langkah beberapa orang berlari.

“Sial! Lari, Pendek!”

Edena terkekeh. Dia mengikuti perintah Dash. Lari sekuat tenaga berusaha mengimbangi langkah lebar Dash.

Tinggi mereka memang berbeda jauh. Jika Dash 175cm, Edena hanya sampai dadanya. Yaaa sekitar 145cm, mungkin?

Entahlah. Edena tidak pernah mengukur.

Mereka berbelok. Dikejar tiga polisi karena mendengar suara tawa Edena.

“Hei! Kalian berdua! Berhenti atau kami tembak!”

Edena menoleh ke belakang. Lima meter jauhnya. Ada tiga polisi yang tengah berlari mengejar.

Hm, seingatnya ada lima. Ke mana sisanya lagi?

“Fokus, Pendek! Perhatikan langkahmu atau kau akan tersan-“

BRUK!

Edena sudah jatuh sebelum Dash menyelesaikan ucapannya. Kaki Edena tersandung kakinya yang lain.

Menimbulkan luka gores di lutut.

“Hei, Pencuri! Kemari! Jangan lari kalian!”

Tiga polisi itu makin mendekat. Moncong sejata mereka mengacung, siap menembak.

Dash mendesis. Merebut revolver yang masih Edena pegang.

“Kau itu hanya bisa menyusahkan saja, Pendek. Jadi lebih baik kau tidur saja.” Sebelum Edena membuka mulut lagi, Dash sudah menotok bagian leher gadis itu. Membuatnya pingsan.

Tanpa ragu Dash mengacungkan revolver yang dipegangnya. Langsung melepas tembakan beruntun tiga kali sebelum tiga lawannya lebih dulu menghabisinya.

Dash melihat ketiga mayat polisi itu geram. Melihat Edena dan tiga mayat di depannya bergantian.

Mayat itu harus dibersihkan secepatnya. Tidak boleh ada yang tau ada yang mati di sini, termasuk Edena.

Dash menatap sosok kecil yang sangat pas dalam dekapannya. Mata bundar itu menutup. Tertidur pulas.

Tatapan Dash berubah sendu.

“Kau Malaikat Kecil Bodoh tak tau diri.”

***

“Apa dia baik-baik saja? Kau memukulnya?”

“Tidak. Kubuat dia pingsan saja.”

“Lalu dari mana asal suara tembakan itu?”

“Itu sebabnya aku membuat dia pingsan, Brian! Kau tidak--ah, sudahlah. Lupakan saja. Kau memang sudah Tua.”

“Hei, jangan begitu, Remaja. Aku ini masih bisa membuatmu mati hanya dengan satu pukulanku.”

Tidak ada jawaban. Hening.

“Apakah dia akan baik-baik saja?”

“Kau menghawatirkannya?”

Terdengar seseorang mendengus.

“Aku keluar.”

“Bagaimana donat--“

“Tidak berselera.”

Suara tawa akhirnya. Lalu hening lagi.

Edena mendengar semua itu samar-samar. Tidak terlalu jelas, tetapi Edena bisa mengerti apa yang mereka bicarakan.

Hanya saja ... Brian bicara dengan siapa?

Edena membuka matanya pelan. Silau. Edena mengalihkan pandangannya, menghindar dari sengatan cahaya lampu yang membuat kepalanya sakit.

Edena perlahan memangku tubuhnya dengan kedua siku, berusaha bangun.

“Oh, dia sudah bangun!” Suara seseorang.

Tiba-tiba Edena mendapat sebuah pelukan erat. Dia sedikit terkejut atas perlakuan tiba-tiba itu.

“Kau sudah bangun? Oh, syukurlah. Oh, terima kasih Tuhan. Untuk kali ini saja aku berterima kasih pada-Mu.”

Edena menepuk punggung orang yang memeluknya. Brian. Edena tau dari bau tubuhnya. Brian selalu memiliki bau yang khas. Bau kelaki-lakian bercampur rumput basah.

Menyegarkan.

Edena akan tau bahkan jika matanya tertutup seperti sekarang. Menikmatinya.

“Aku baik, Ayah. Aku baik. Kau juga harus terus berterima kasih pada Tuhan-Mu. Kau itu masih hidup hingga sekarang juga karena-Nya.”

Brian terkekeh. Melepas pelukannya. Menatap ‘anaknya’ sejenak. “Kau sudah besar ternyata.”

Mereka saling melempar tawa pada ucapan masing-masing. Brian mendesah lega. Dia mengelus surai Edena, sayang. Mengetahui tentang masa lalu gadis di depannya dan apa yang terjadi tadi membuat Brian sempat cemas akan keadaannya.

Namun, melihat Edena masih setengah linglung ... sepertinya gadis itu tidak tau apa-apa.

“Kau mau makan, Sayang? Minum? Kuambilkan.” Brian hendak berdiri, tetapi dia ditarik Edena duduk dan dipeluk.

Edena memeluk Brian erat. Air matanya mulai mengalir satu-satu.

“Terima kasih. Terima kasih karena membawaku dan mengizinkanku berada di sini.” Edena mulai terisak.

Brian mengusap punggung Edena. Membuat gadis itu kian sesegukan.

“Aku--aku tidak tau lagi apa yang akan terjadi padaku jika hari itu kau tidak menemukanku. Aku pasti sudah mati. Aku pasti sudah--“

“Sshhhh ... jangan katakan hal seperti itu. Tidak akan ada siapapun yang mati di sini. Tidak, selama aku masih hidup. Kau jug--“

“Tapi para polisi itu mati!” Edena semakin menggigil.

Ingatannya terlempar pada saat mayat seseorang dimasukkan ke dalam peti, bersiap menyatu dengan tanah. Ingatan masa lalu yang masih saja menghantuinya. Edena masih saja takut jika ada orang di sekelilingnya mati.

Dia trauma.

Sama sekali tidak bisa--bahkan mendengar ada mayat. Apalagi para polisi itu mati untuk menyelamatkan nyawanya.

Brian memejamkan matanya rapat. Sudah ia duga gadis cerdas ini tidak mungkin tidak tau.

Ck, anak kecil itu ... kenapa juga dia harus membunuh di saat ada Edena?

Awas saja nanti!

“Sayang, Sayang. Sudah. Jangan kau pikirkan lagi. Aku di sini. Aku akan selalu ada di sini bersamamu.” Brian melepas pelukannya. Memangku wajah Edena yang kusut. Dia menghapus air mata gadis itu. Mengalihkan pembicaraan. “Hari ini masih ulang tahunmu, bukan? Bagaimana kalau kita lanjutkan perayaannya? Kita akan adakan apapun yang kau inginkan. Setuju?”

Edena tersenyum kecil. Memukul dada Brian pelan. “Jadi kau sebenarnya tau ini hari ulang tahunku, tapi pura-pura bodoh?”

“Hei ... jaga perkataanmu gadis muda. Aku masih lebih tua darimu.”

“Oh, jadi sekarang kau bangga dengan umurmu?”

“Ya!” Brian berdiri. Berkacak pinggang. “Aku tua dan aku bangga!”

Edena tertawa. Menghapus air matanya lalu mengecup pipi Brian cepat. “Terima kasih ... Ayah.” Edena berlari keluar. Meninggalkan Brian di sana.

“Ahh, mereka tumbuh dengan cepat.”

***

Btw, yang jadi cover itu Edena 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro