14. Bos Mafia Kerdil
Edena tidak tau mengapa dirinya bisa menerima semua perlakuan manis pria yang sampai saat ini belum ia ketahui namanya. Berkali-kali Edena mendapatkannya, berkali-kali juga tubuhnya menerima.
Edena mungkin mengatakan pada dirinya sendiri kalau ia sudah lelah. Sudah menyerah dan pasrah akan hidupnya yang sekarang ini, akan tetapi berlari dari sarang buaya dan masuk ke sarang singa, bukanlah sesuatu yang Edena inginkan.
Mungkin sesekali Edena akan mengikuti permainannya, dan sesekali juga tidak.
Lengan besar Zirad masih mengurungnya. Menyalurkan hangat dari dingin yang Edena rasakan selama bertahun-tahun. Nafasnya sangat teratur. Dia pasti sudah benar-benar terlelap. Limosin hitam ini juga tidak kunjung berhenti.
Sebenarnya mereka mau ke mana?
Edena melihat sebuah kulkas di ujung kirinya. Kulkas kecil yang Edena yakini ada seteguk air dingin di sana.
Edena haus. Kerongkongannya sama sekali tak terkena cairan dari semalam. Jujur, meski di kamarnya itu selalu tersedia segalanya, Edena tak pernah sekalipun menyentuhnya. Apalagi makanan.
Siapa yang tahu kalau makanan itu diracuni?
Edena mencoba menggerakkan lengan besar Zirad di perutnya. Pelan sekali. “Haduh, dia ini gajah apa badak? Lengannya saja berat.”
“Nggh ... kau mau ke mana Deyana?”
Tubuh Edena langsung menegang. Terkejut mendengar penuturan Zirad.
“A—aku ingin minum. Aku haus. Lepaskan dulu lenganmu ini.”
“Dan kau akan pergi lagi, Deyana? Aku lelah berlari bersamamu. Bisakah kita istirahat saja?”
“Ya, ya baiklah.” Edena mendesah lesu. Orang mengigau ini ... menyusahkan sekali. Tidak dalam kesadarannya atau sedang tidur, tetap saja menyebalkan.
“Boleh kutanya sesuatu?”
Lama tak ada jawaban, lalu terdengar suara pelan, “Apa?”
Oh, dia benar-benar terjaga ternyata.
“Kita mau kemana? Dan ... siapa namamu?”
“Kita akan ke suatu tempat.” Zirad menggesek kepalanya di bahu Edena. Menyamankan diri. “Panggil saja aku Zirad.”
Zirad? Edena berpikir. Tidak. Nama itu baru kali ini terdengar. Dia jelas tidak mengenal pria gila ini.
“Kau itu—“
“Bisakah kau biarkan aku tidur? Aku sangat mengantuk.”
Edena mendesis sebal. “Hei, di sini aku yang sakit. Punggungku kau jadikan bantal berjam-jam. Kau pikir aku tidak lelah? Setidaknya berterima kasih padaku karena telah menyelamatkanmu tadi.”
Selesai Edena berkata begitu, tanpa aba-aba Zirad menarik Edena dalam rengkuhannya. Membuat Edena menyandar di dada Zirad. “Hm. Sekarang kau bisa tidur.” Zirad mengeratkan pelukannya lagi. Kakinya diluruskan. Sengaja benar agar Edena tenggelam di antara tubuhnya yang lebih besar.
Edena diam saja. Dia sudah biasa dipeluk. Seringnya oleh orang tuanya dulu, Marlon, Brian, dan terkadang Karla, tetapi ini ‘kan beda?
Harusnya dirinya dan Zirad tidak seperti ini? Harusnya mereka bertengkar, adu mulut, atau hal buruk lainnya. Sebab, mereka adalah musuh!
Edena seorang pencuri dan Zirad adalah korban pencurian.
Lalu kenapa Zirad memperlakukan Edena begitu lembut? Mulai dari perkataannya yang merindukan Edena, mencium kening, menjawel hidung, dan memeluk Edena layaknya boneka seperti sekarang.
Kenapa? Apa ini untuk hal yang lebih buruk nantinya?
“Lepaskan aku.” Edena kali ini menuruti otaknya. Melepas rangkulan Zirad di tubuhnya. Mudah ternyata. Edena hendak berdiri, tetapi pergelangan tangannya di pegang, menahan langkahnya.
“Apa lagi? Aku ingin minum. Kau mau aku mati kehausan ya?”
Zirad tersenyum tipis. Melepas tangan Edena. “Jika itu membuatmu bahagia.”
“Kau yang bahagia, Brengsek!”
Zirad terbahak. Dia masih setia menutup mata seolah tidur, sedangkan mulutnya menganga lebar.
Edena mengabaikannya. Beranjak ke arah kulkas dan mengambil sekaleng soda. Edena mengambil satu dan di lemparkannya begitu saja pada Zirad. Berharap ia mengenai kepala pria yang tengah lelap itu.
Namun, Zirad dapat menangkap kaleng soda yang Edena lempar, masih dengan mata tertutup. Membuka pengait soda lalu meminumnya.
Edena mencebik. Gaya sekali.
Hm. Begini lebih baik. Setidaknya sesuatu dalam diriku masih bisa kutamengi.
Edena melihat ke luar jendela. Sejak tadi, berjam-jam dia masih saja duduk di mobil payah ini. Jalanan masih mewarnai pemandangan di matanya. Mereka ini mau ke mana, sih? Gaun Edena saja sampai kusut.
“Kita akan segera sampai.” Zirad bangun dari duduknya. Dia membuka mata. Menatap Edena tajam. “Kau akan menemui Ibuku. Bersiaplah.”
“APA?!! Apa ini yang kau sebut persyaratan? Persyaratan gila macam apa ini? Dan untuk apa juga aku menemui Ibumu? Mau mengajak arisan? Maaf saja. Aku benci hal semacam itu.”
“Jangan macam-macam denganku, Edena. Kau sudah menyepakatinya. Ah ya, aku lupa memberitahu kalau kau ingin kabur dari sini. Mereka ...” Zirad menggantungkan kalimatnya. Senyum brengseknya muncul. “... tahu kau ada di sini.”
Zirad menikmati wajah pias Edena. Merasa masih kurang, dia berkata lagi. “Dan mereka juga tahu kalau kau jadi simpananku.”
“Apa yang kau—“
Tiba-tiba sebuah truk menabrak mobil mereka dari samping.
***
“Gadis itu ada di Riyadh Bos. Orang kita yang ada di sana baru saja melihatnya.”
“Gadis yang mana?”
Pria kerdil bermata satu itu menatap anak buahnya dengan sorot jenaka. Kaki yang hanya sepanjang kaki anak kecil berumur tiga tahun itu berdiri di atas meja. Menyejajarkan tinggi mereka yang tetap jomplang.
Dia lebih layak disebut bocah daripada seorang bos mafia.
“Siapa. Yang. Kau. Maksud?” tanyanya sekali lagi. Bertanya dengan penekanan di setiap katanya.
Pembawa pesan itu gugup bukan main. Kepalanya yang menunduk rasanya ingin ia tenggelamkan ke tanah. Bersembunyi dari kemarahan bosnya. Meski kerdil, bosnya itu bisa mematahkan leher orang secepat mata berkedip.
“O-orang yang dulu pernah memukul dua anak buah kita di toko jam antik itu.”
Si kerdil menerawang. “Ah, gadis cantik itu ya? Di Filipina? Mana bisa aku lupa?” Dia tersenyum culas. Berbalik badan ke arah jendela kumuh dan kusam dari semua tempat di dunia. “Kau menemukannya di mana?”
“Riyadh, Bos.” Suara pembawa pesan itu tak segugup saat bosnya bertatapan langsung dengannya, tetapi tubuhnya belum berhenti bergetar.
“Hm, hm, hm. Apa yang dilakukan gadis kecil itu di sana? Dia ... mau lari lagi?”
Jika kalian bisa mendengarnya, cara bicara si kerdil itu pelan dan lirih. Menyiratkan ancaman yang halus dan remang. Dia tertawa kecil.
“Kalau begitu—“
“Ada satu berita lagi—“
“KAU BERANI MEMOTONG PEMBICARAANKU?!!” sekelebat dalam remang cahaya ada kilatan besi yang melintas dengan cepat, dalam sekedip, sebuah potongan kepala tergeletak, menggelinding di lantai. Tubuh tinggi itu roboh. Bersamaan dengan leher yang terus menyemburkan darah.
Si kerdil menatap nyalang tubuh mati itu. “Maka akan kupotong kepalamu!” ucapnya melanjutkan kata-katanya yang tertunda.
Pintu dibuka dari luar. Seorang wanita. Dia masuk dengan tenang dan sama sekali tak bergidik ngeri melihat kepala dan tubuh manusia yang tergeletak sembarangan. Pemandangan biasa.
Wanita itu mendekati si kerdil.
“Hei, kau mengambil tumbal lagi, Sayang?”
“Hm. Dia melakukannya duluan.”
Wanita itu menghela nafas. Duduk di meja kerja si kerdil. “Kalau kau terus begini, lama-lama aku tidak akan menemukan anak buah lagi. Berhentilah. Kuasai emosimu itu. Dengar, Sayangku?”
“Ya, ya. Terserah kau saja.” Si kerdil membuang pisau lipat di tangannya. Tangan yang penuh darah dijulurkan ke arah wanita itu.
Mengambil tisu, dengan cekatan wanitanya mengelap tangan penuh darah itu hingga bersih.
“Gadis itu katanya ada di Riyadh.” Si kerdil bicara.
“Hm. Aku tau.”
“Kenapa dia terus lari? Padahal aku ingin mengampuninya?”
“Aku sudah kirimkan beberapa orang ke sana. Mereka sedang dalam perjalanan suatu tempat, dan kita akan mengacaukannya," katanya. Mengabaikan bicara si kerdil.
Mendengar penuturan wanitanya, si kerdil hendak mencekik lehernya, tetapi wanita itu dengan cepat menepisnya. “Jangan sekarang. Kulitku sedang perawatan. Kau tidak akan mau menggantikan pembayarannya jika kau merusak kulitku,” jelas wanita itu.
Dia sudah biasa dan hafal betul kelakuan si kerdil ini. Jika dia terlambat sedetik saja, habislah seluruh uang yang ia keluarkan untuk perawatan kulitnya.
Si kerdil memalingkan wajah tak berselera. Dia kehilangan mainannya.
Telepon di meja kerja si kerdil berdering. Wanita itu buru-buru mengangkat sebelum dering kedua berbunyi.
“Katakan.”
“Kami sudah ada di tempat. Kami melihat mobil mereka.”
“Ya sudah tabrak saja! Hal remeh begini saja kau masih melapor. Kabarkan padaku kalau kau berhasil membuat mereka mati saja!”
Telepon ditutup dengan kasar. Si kerdil tertawa. Memainkan pipi wanitanya yang lucu karena marah. “Kau lihat ‘kan, Sayang? Mereka itu memang Bodoh dan menyebalkan. Kau saja yang tetap lucu meski aku sudah pernah mematahkan lenganmu.”
Wanita itu mendecih. Si kerdil makin keras tawanya. Dia mendekat. Mencium pipi wanitanya sekilas. “Kau sangat cantik jika marah. Teruslah marah. Agar aku mempunyai alasan untuk merusak wajah cantikmu itu.”
“Terserah kau saja.” Wanita itu melenggang pergi. Kakinya melewati kepala manusia malang itu. Kesal, dia menginjak wajahnya, lalu ditendangnya ke dinding layaknya bola.
Si kerdil makin terbahak. Dia sangat menyukai pemandangan manis itu.
Telepon di meja tiba-tiba berdering lagi. Kabar bagus datang.
“Kami berhasil menabrak mobilnya, Bos!”
***
Udah otw ke klimaks nih! Pada siap? 😄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro