
13. Tentang Edena
Bagi Zirad, jantung kepunyaannya yang paling berharga di tubuhnya. Bukan karena jika tidak ada benda berdenyut itu Zirad akan mati, bukan.
Tetapi ... jika saja dulu Zirad memutuskan memberikan jantungnya pada seseorang, mungkin sekarang dia tidak akan menemukan cintanya.
Jantungnya itu unik. Benda dalam tubuhnya ini akan berdegup kencang. Berdetak seolah ia akan keluar dari rongganya. Zirad pikir saat itu ia terkena serangan jantung. Namun, dokter yang memeriksanya hanya tertawa kecil. Bilang kalau itu disebabkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang akan membuat hidupnya berwarna.
Sampah macam apa yang dokter itu katakan?!!
Zirad rasanya ingin membanting dokter itu ke tanah, jika tidak ingat dia adalah dokter pribadi keluarganya. Ibunya bisa mengamuk nanti, dan Zirad jelas akan dihukum.
Merasa penjelasan si dokter gila itu tidak benar, Zirad tetap meminta resep untuk ‘penyakitnya’. Mau tak mau juga dokter itu memberikan apa yang Zirad inginkan saat kepalanya berada di bawah ancaman pistol.
Dia bisa saja kehilangan gelarnya sebagai dokter karena memberikan obat kepada orang yang tidak sakit, tetapi kepalanya tidak bisa tercipta dua kali.
Zirad rutin meminum obat itu. Pagi dan sore. Apalagi ketika jantungnya bereaksi dari kebiasaannya. Satu hal yang Zirad sadari, semua obat yang pahit itu tidak berguna. Jantungnya masih berlarian di dalam sangkarnya. Nafasnya sesak. Udara yang masuk ke dadanya serasa menipis. Keringat sebesar kecambah membanjiri pelipis dan kedua tangannya.
Zirad merasa paru-parunya juga ikut menyempit, mencekiknya, dan Zirad pasti sudah mati setelah ini.
***
Edena yang sedari tadi diam saja, panik melihat Zirad sudah seperti orang tercekik. Wajahnya merah dan tangannya memegang dadanya erat
Apa yang terjadi? Apa dia akan mati?
Limosin hitam yang mengangkut dirinya dan Zirad hanya dikemudikan oleh Wira, pelayannya. Di dalam mobil panjang itu ada sekat kecil yang menjadi pemisah antara si pengemudi dengan penumpang.
Edena tidak tau cara membukanya. Dia hanya mengetuk-ngetuk saja. Mencoba memanggil Wira untuk memberitahukan keadaan tuannya.
Tetapi tidak ada respon. Edena makin panik. Ia lagi-lagi dihadapkan pada dilema kematian. Sesuatu yang Edena takutkan terjadi pada orang sekitarnya, dan Edena sendiri yang menyaksikannya.
Edena mencoba mendekati Zirad yang sudah terduduk di lantai mobil. Dia benar-benar tersiksa. Sebenarnya di kesempatan ini Edena bisa kabur. Namun, panggilan hatinya berteriak lebih keras.
Edena mendekati Zirad. Mencoba menyentuh tangannya dan mengusapnya pelan. Edena membisikkan kalimat-kalimat penenang dengan terus mengusap tangan Zirad.
Edena pernah mendengar dari Karla tentang kejadian semacam ini. Serangan panik namanya.
Itu terjadi jika sesuatu di sekitarmu dapat membangkitkan kinerja tubuh dua kali lebih cepat. Benda yang memiliki kenangan buruk atau kau anggap berbahaya sehingga ketika kau melihatnya, itu akan menimbulkan kecemasan dan intensitas tubuh naik.
Edena terus mengusap tangan Zirad. Kali ini tangan kanan Edena menepuk pundaknya. Mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja.
Zirad perlahan tenang. Dia mulai bisa bernafas dengan baik. Tangannya yang berkeringat perlahan terkulai di sisi tubuhnya.
Matanya masih terpejam rapat. Menikmati rangsangan perkataan dan sentuhan Edena yang menenangkannya. Sorot jahil dan angkuh yang biasa ditunjukkannya pada Edena kini tidak berbekas.
“Ayo, kubantu kau naik ke atas,” ucap Edena. Berbaring di kursi mobil jauh lebih enak daripada terus-terusan menggelosor di lantai.
Saat Edena akan mengangkat Zirad dengan tenaga kecilnya, tangannya tiba-tiba ditarik ke atas. Tubuhnya diputar, dihadapkan ke depan. Pinggangnya ditarik, dan Edena mendarat di pelukan Zirad.
Pria itu memeluknya dari belakang.
“Sebentar saja. Tetaplah seperti ini, my medicine.”
Zirad makin menyamankan pelukannya saat dirasa Edena tidak melawan. Menaruh dagunya di pundak Edena.
Hm, bau lavender. Kesukaannya.
Zirad sekarang yakin obat-obat sialan itu memang tidak ada gunanya. Jantungnya juga bukan karena penyakit, tetapi gadis ini. Hanya menyebut namanya saja jantungnya sudah tidak terkendali, apalagi berada di dekatnya.
Zirad tidak tahu jika berada di pelukan Edena dan merasakan sentuhannya membuat dirinya lebih baik. Dia bisa bernafas dengan normal kembali.
Jadi ... gadis kecil bernama Edena ini yang menjadi sumber sakit dan obatnya.
“Sebentar saja,” gumam Zirad lirih, yang kemudian tertidur sambil memeluk Edena.
***
Dash melirik lima kotak donat di depannya tidak tertarik. Dia sedang tidak ingin mengunyah apapun. Ini pasti kerjaan kakek tua bangka itu. Maaf saja. Dirinya tidak akan bisa dibujuk semudah itu.
Di pikiran Dash hanya ada Edena dan Edena saja. Ya ampun ... gadis itu benar-benar menguasai otaknya sekarang!
“Argh, aku bodoh sekali tidak memprediksi akan dipergoki pemiliknya."
Lagi pula, siapa yang akan tahu jika tempat mobil yang akan dicuri dan hotel yang mereka tempati untuk tidur juga milik targetnya.
Padahal jarak kedua gedung itu sangat jauh. Maklum jika gedung itu nampak sepi-sepi saja. Ternyata kedatangan mereka sudah disambut.
Lalu ... siapa yang membocorkan rencananya dan Edena? Tidak. Lebih tepatnya, siapa penghianat dalam sangkar ini?
Itu yang menjadi teka-teki besarnya. Ada penghianat di antara mereka. Dash akan mencari tahu itu nanti jika ia sudah bebas dari kurungan sialan ini.
“Hei Hellyan,” teriak Dash ketika melihat Hellyan melewati kamarnya yang dikunci dari luar. Kamar Dash dan setiap orang di sini memiliki jendela kecil yang diberi besi di tengahnya. Mirip pintu penjara saja.
“Ya, Dash?” jawab pria bersahaja itu dengan senyuman andalannya.
Hellyan hampir tidak pernah tidak tersenyum. Pria dengan tinggi bagaikan tiang listrik itu tak tampak pernah sakit atau merasa sedih. Bahkan dalam pertarungan sekalipun, saat ia berhasil dilukai lawan, Hellyan tetap saja tersenyum.
“Terima kasih,” kata Hellyan dengan senyum manisnya. Membuat lawannya terbengong karena baru menemukan seseorang yang dilukai bisa mengatakan terima kasih untuk hal itu.
Dan di saat itulah, Hellyan memegang tangan dan kaki lawannya, lalu membawanya ‘terbang’ hingga tidak bernyawa lagi. Hebat bukan?
Dash memamerkan semua gigi apiknya. Memasang ekspresi imutnya berharap itu bisa melancarkan aksinya.
“Jika kau mau membukakan pintu ini untukku, kau bisa memakan semua donat di sana. Lihat? Menggiurkan bukan? Kau pasti—“
“Aku sudah makan.”
Dash tercekat. Berkedip tidak paham. “Tapi itu donat mahal. Kau—“
“Ya.” Sekali lagi perkataan Dash di potong Hellyan. “Aku sudah makan donat yang seperti itu dua biji dan aku sangat kenyang sekarang. Jika makan lagi, aku akan muntah.”
Sial! Rutuk Dash.
“Siapa yang memberikan kau donat?”
“Tentu saja Ayah. Dia sedang mengadakan perayaan sepertinya. Semua orang di sini ia berikan donat atau apapun yang mereka inginkan. Sudah. Aku pergi dulu. Kau makan saja donat milikmu itu. Kami tau kau sangat rakus pada makanan itu.”
Hellyan pergi. Meninggalkan Dash yang menggelosor kesal di lantai. Dia memukul pintu bertubi-tubi. Berteriak, “Kakek Tua brengsek!! Aku tidak akan mengampunimu jika aku bisa bebas dari sini!”
Terdengar suara tawa membahana setelahnya. Itu Brian. Orang tua itu pasti senang berhasil mengerjai Dash.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro