12. Hidup dan Mati di Poros yang Sama
Brian memegang kepalanya yang sakit mendengar ucapan Dash. Hal konyol apalagi sekarang? Apa yang terjadi pada putri tersayangnya itu?
Ah, Edena yang malang.
“Pegangi dia. Obati dan jangan biarkan dia ke mana-mana, apapun alasannya.”
Brian melepaskan Dash. Dia kembali ke ruangannya.
Segera, beberapa orang yang masih ada di sana segera melakukan perintah Brian. Dash tidak melawan. Dia membiarkan saja tubuhnya dibawa layaknya karung. Sudah tidak berminat lagi untuk melawan.
Sepeninggalnya Dash dan beberapa orang tersebut, semuanya bubar, pergi ke pos masing-masing. Menunggu perintah selanjutnya dari Brian, mengingat keadaannya cukup genting.
Mereka harus bersiaga atas segala kemungkinan.
Semua, kecuali satu. Senyum kepuasan jelas tercetak di sudut bibirnya yang terangkat.
“Lo ... bakalan mati kali ini, Edena.”
***
Brian duduk di kursi kebesarannya. Menikmati jus wortel hingga tiga gelas. Kebiasaannya jika sedang banyak pikiran. Apalagi kalau bukan tentang Edena?
Dulu Brian biasa meminum kopi dan merokok di saat seperti ini. Tentu saja. Kedua benda itu terasa lebih ampuh mengusir suntuk daripada jus.
Semua ini terjadi karena Edena.
Semenjak kedatangan gadis itu, hidup Brian jadi lebih tertata dan menemukan tujuan. Dapat melihat dengan jelas petakan-petakan masa depan yang gemilang bagi komunitasnya.
Adanya Edena, Brian bisa berpikir jernih tanpa selalu menggunakan kekerasan. Gadis lemah dan rapuh itu yang sayangnya malah mengajarkan kekuatan padanya.
Mengingat masa lalu putrinya yang jauh lebih mengerikan darinya ... membuat Brian sadar kalau dirinya harus berubah.
Maka haluan komunitas ini pun berubah kala Brian yang memegang posisi sebagai Bos. Pendahulunya banyak menjadi orang berada. Hidup nyaman dengan standar mereka masing-masing.
Terdengar suara pintu diketuk. Brian menyuruh orang itu masuk. Mencukupkan nostalgia masa lalunya.
“Ada apa?” Clack tidak menjawab. Lelaki dengan wajah penuh tato itu hanya menyodorkan map cokelat ke meja Brian, lalu pergi.
Brian lekas membuka isinya. Ditilik dari wajah Clack, sepertinya ini bukan berita bagus.
Sebuah surat. Tepatnya surat perintah. Isinya sangat singkat. Singkat sekali untuk ukuran satu lembar kertas.
Putrimu kupinjam.
Begitu saja bunyinya. Brian tertawa. Terbahak-bahak hingga akan terjungkal dari kursinya.
“Ini akan sangat menarik.”
***
Edena sudah berpakaian rapi. Dia—sekali lagi—dimandikan oleh para pelayan yang tak berhenti menyebut dirinya Nona Muda.
Awalnya Edena menolak. Dia berkata bisa mengurus dirinya sendiri, tetapi setelah tiba di kamar mandi, Edena menyerah. Menerima tawaran para pelayan cantik itu.
Oh, andaikan kalian bisa melihat seperti apa rupa kamar mandinya.
Lebih mirip kolam pemandian daripada bath up, atau bak mandi pada umumnya.
Yang ini luas sekali. Hampir satu ruangan, dan jangan tanyakan lagi tentang sabunnya. Berjejer banyak. Bejibun memenuhi lemari kaca yang ada di sana. Rasanya Edena tidak mandi di sini kemarin.
Wah, dunia orang kaya dipenuhi orang-orang gila.
“Apa kalian tidak merasa ini berlebihan hanya untuk sebuah kamar mandi?” tanya Edena saat itu. Kedua tangannya terlentang di tepi kolam—Edena menyebutnya kolam karena ukurannya yang sangat besar.
Kedua tangannya dilumuri sesuatu, entah apa, yang jelas aromanya wangi sekali. Wanginya tidak menusuk. Nyaman dinikmati hidung. Lembut.
“Tentu tidak, Nona Muda. Bagi Tuan, ini bukanlah apa-apa.” Pelayan yang memijit leher Edena menyahut. Dia yang paling tua di antara lainnya, tetapi wajahnya masih terlihat muda. Hebat sekali.
“Hm." Edena mengangguk pelan. "Setidaknya dia bisa menghamburkan uangnya di badan amal saja. Atau membantu orang lain. Kalian tau ... di dunia ini ada jutaan orang yang lebih kesusahan.” terutama aku.
Suara Edena terdengar sendu. Para pelayan di sekitarnya tak berani menyahut lagi. Mereka dengan cepat menyelesaikan prosesi mandi dan segera kembali ke kamar Edena. Mengerti suasana Nona Mudanya memburuk.
Kalian tahu, saat ini mati rasanya Edena kembali lagi. Rasa ketika antara keinginan hidup dan mati ada di porsi yang sama.
Rasa yang pernah Edena alami saat kematian ayahnya. Itu yang pertama.
Yang kedua ... adalah ketika dokter menyatakan ibunya sudah menyusul ayahnya ke alam sana
Hari itu Edena rasanya juga ingin menyusul jika tidak ingat dia masih punya Marlon.
Saat itu Marlon sudah bisa mencerna apa yang terjadi. Dia bukan anak-anak lagi. Fisiknya tumbuh dengan cepat. Lebih besar dan lebih tinggi daripada Edena. Otot-otot tubuhnya juga perlahan terbentuk. Replika ayahnya.
Tidak ada air mata. Edena hanya mematung dengan pandangan sempurna kosong saat mendengar kabar duka itu. Kejadian besar itu terjadi ketika Edena masih ada di Filipina. Bukan di New York seperti sekarang.
Kali ini bukan dia yang memeluk Marlon, menenangkannya. Namun, adiknya itu yang kini memeluknya. Memberikan ketenangan padahal sendirinya jauh tidak kalah berguncang.
Edena tidak lama dipelukan adiknya. Dia menepuk pundak Marlon dua kali. Meyakinkannya bahwa kakak perempuannya baik-baik saja.
Edena terbiasa. Edena terlanjur terbiasa dengan kematian di sekitarnya.
Jadi, dia tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Dia ... sudah tidak sanggup untuk mengalirkan nafas. Sudah tidak tahan ingin menggorok lehernya.
Menyakitkan. Sangat menyakitkan, dan yang bisa Edena lakukan hanya menatap jenazah ibunya yang perlahan ditimpa tanah merah.
Edena saat itu ... untuk kedua kalinya merasakan ada di titik hidup enggan, mati tak diizinkan.
“Hei, wanita! Apa yang kau pikirkan? Kau melamun kotor ya?”
Edena mendelik saat kepalanya digetuk keras oleh seseorang, dan semakin besar pelototan Edena ketika tahu siapa pelakunya.
Mengganggu saja.
“Wow, matamu awas tumpah. Mau kuambilkan wadah? Mungkin kau bisa memasangnya kembali jika mau.” Zirad mengambil cawan di nakas. Menaruhnya tepat di bawah hidung Edena. Menanti mata Edena yang akan jatuh dari rongganya.
Edena menyingkirkan wadah itu dari wajahnya. Terdengar bunyi pecahan benda setelahnya. “Kau pikir ini film kartun?! Bisa berbuat seperti itu tanpa takut mati?”
Zirad terbahak akan reaksi Edena. Pria itu manggut-manggut.
“Mungkin kau bisa meniru si tokoh utama di film one piece yang kau tonton itu. Si Manusia Karet. Kau bisa sesuka hati menarik matamu tanpa khawatir mati.” Zirad tertawa lagi.
Edena menggerung kesal. Receh sekali. Tidak ada lucu-lucunya.
Edena memalingkan wajah, dia menggumam lirih, “Hm, andai bisa seperti itu ... aku mungkin tidak akan pernah takut pada kematian.”
Tawa Zirad berhenti. Dia tiba-tiba merasaka aura di sekitarnya tidak nyaman. Mendadak suram. Dari mana asalnya ini?
Zirad menunduk. Melihat Edena di depannya yang tertunduk. Gadis itu masih setia di posisinya. Duduk dipinggiran ranjang dengan pakaian yang sudah disiapkannya.
Cantik. Cantik sekali, tetapi wajah menyedihkan itu merusak semuanya.
Zirad menghela nafas. Dia maju selangkah. Memeluk Edena lembut, mengusap rambutnya pelan. Zirad bisa merasakan tubuh Edena menegang karena sentuhannya. Dia terkekeh kecil.
“Sudah. Cepat turun ke bawah. Aku ingin kau ikut ke suatu tempat. Jangan mencoba kabur karena aku selalu tau di mana kau berada. Itu sangat jelas percuma saja.”
Zirad menjauh. Menjawel ujung hidung Edena sambil mengedipkan sebelah mata. Dia menuju ke arah pintu.
“Wira akan menjemputmu sebentar lagi.”
“HAH?!!” pekik Edena yang baru sadar dari keterkejutannya yang bertubi-tubi.
Telat sekali.
Zirad berdecak. “Hah-heh-hah-heh aja. Cepet sana siap-siap. Dasar, kambing hitam!”
“Siapa yang kau maksud kambing hitam?!”
Zirad melambaikan tangan. Terbahak sambil menutup pintu yang otomatis terkunci itu.
Dan yang ketiga ... adalah saat ini.
Edena menatap perih lantai dipijakannya.
***
Kambing hitam 😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro