Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍯8: Pusing

Di satu sisi ia merasa senang karena banyak murid yang terhibur dengan aksinya itu, tapi di lain hal ia harus berhati-hati akan keberadaan Daun.

Ya ... gadis ini masih belum berubah setelah mendapatkan ocehan dari Daun. Ia masih mengulangi semuanya. Edel janji, ini adalah hari terakhir 'tuk melakukan kebodohan. Walau sebenarnya ia sendiri pun tak yakin.

"Hai, Edel. Kamu mau duduk di mana? Sama aku aja, yuk! Rame, loh ...." ucap seorang siswi yang datang menjemput Edel seusai mengantarkan makanan milik Regan, Josh, dan Doxy.

Edel terdiam, kemudian membiarkan cewek itu membawanya ke meja lain 'tuk duduk bersama.

Benar, meja itu sangat ramai. Ketika Edel mendaratkan bokongnya pun, banyak yang melempar senyum ramah—seolah senang dengan kehadiran Edel.

Edel benci keramaian, tapi jika bukan karena paksaan Regan untuk datang ke kantin setiap hari 'tuk menjadi babu, pasti tak akan ia lakukan. Masih lebih nyaman menyendiri di dalam kelas sembari menikmati semburan ac yang bersuhu delapan belas derajat celcius.

"Edel, kamu cantik, ya, kalau diliat dari deket," ucap salah satu dari mereka yang sedang menikmati semangkuk bakso sapi.

Edel hanya tersenyum tanpa mengeluarkan satu kata pun.

"Kamu kok diem banget, sih? Ayo, dong, ngobrol sama kita-kita. Nggak bosenkah?" Kini siswi lain di meja itu ikut mengeluarkan suara.

Diem itu salah satu bentuk kenyamanan, batin Edel menjawab.

"Woi, nanti semuanya lo yang bayar, 'kan, kayak kemaren?" Seorang siswa datang menghampiri meja tempat Edel duduk.

Edel mengangguk pelan. Sebenarnya ada sedikit tasa bersalah karena tak mendengarkan perkataan Daun. Aduh ... bagaimana jika ancaman itu benar-benar ia lakukan?

Edel sibuk mengecek sekitar. Raga Daun masih tak terlihat. Semoga saja laki-laki itu sibuk belajar di dalam kelas untuk ujian nanti.

"Kamu kenapa?"

Edel menggeleng.

"Kamu nggak makan?"

Jawaban yang sama kembali Edel berikan pada siswi kepo tersebut.

"Besok kamu traktir kita lagi?"

🐛🐛🐛

Sesampainya di rumah, jari-jari mungil itu bergerak lincah—menghitung uang yang tersisa untuk bulan ini. Jumlah uangnya sudah berkurang setengah dari yang biasanya ia miliki di bulan-bulan lalu.

Kepalanya menggeleng pelan. Menyesali akan semua perbuatannya, tapi masih ragu untuk mengambil keputusan. Baru teringat soal kebutuhan Ariyanto. Ia harus berjaga diri agar tak mendapat pukulan apabila tidak memberikan uang.

Jika dihitung lebih lanjut untuk pembagian ke depannya, sudah pasti tak akan cukup sampai akhir bulan nanti. Tak mungkin meminta uang tambahan dari Tiara yang sudah rela bekerja keras di luar negeri demi menghidupi sang putri. Akan terkesan sangat boros pastinya.

"Aku harus gimana?" tanya Edel pada diri sendiri.

"Kerja?"

"Tapi kalau kerja, nanti papa ngamuk, nggak, ya, karena nggak ada yang bukain pintu waktu dia selesai judi?"

Edel benar-benar pusing sekarang. Berbelok ke kiri salah, ke kanan pun begitu. Benar ternyata kata Daun, perbuatannya ini justru merugikan diri sendiri.

Matanya melirik ke meja di sebelah kasurnya. Sebuah meja kayu yang sudah keropos itu menyimpan sekotak rokok yang sudah lama tak disentuh Edel.

"Pengen."

Edel masih berusaha 'tuk menahan diri. Ia harus ingat, Ariyanto sedang ada di rumah. Jika sampai tertangkap basah, akan habis pula nasibnya sekarang. Tapi tubuhnya terus berteriak—meminta Edel untuk mengisap batang berwarna putih tersebut.

Tujuannya memang untuk menghilangkan penat, bukan karena candu. Sebab rasanya nikmat. Edel pun dapat melihat beberapa gambar horror di belakangnya, tapi sudahlah. Semua itu tak akan lagi ada di pikirannya jika otaknya sudah terasa penat.

Pokoknya lo nggak boleh ngerokok lagi. Kata-kata ini terbayang di kepala Edel. Larangan dari Daun yang sudah ia hiraukan beberapa kali saat menatap bungkus rokok miliknya. Apakah kali ini akan ia langgar lagi?

Memang tak ada Daun di sana yang bisa mengawasi kegiatan Edel secara detil, tapi Daun selama ini sudah baik. Apakah ia harus mengkhianati nasihat yang sudah didapat? Baiklah ... mungkin kali ini akan terjadi lagi.

Dengan semangat jari Edel menarik gagang lemari kayu berwarna cokelat tersebut. Tubuhnya masih terbaring di atas kasur, hanya tangannya yang bergerak. Diambilnya satu batang rokok di dalam sana bersama sebuah asbak dan juga mancis.

Edel segera mengubah posisi menjadi duduk, kemudian menggesekkan jarinya di roda mancis untuk menciptakan sepercik api yang siap berbaring di ujung puntung rokoknya.

"Akhirnya," ucap Edel senang. Sudah lama rasanya tidak menyentuh benda itu. Rasanya rindu.

Setelah selesai, kedua bibirnya terbuka—sudah siap menjepit batang rokok itu. Asap rokoknya mengepul ke udara—terus menari ke sana-kemari. Sepertinya ia pun ikut senang karena akhirnya bisa bebas melayang di udara. Bisa keluar dari sarang penuh serbuk.

Pikiran Edel sekarang menjadi tenang. Tak ada lagi yang terus bertengkar 'tuk memikirkan bagaimana hari esok. Matanya mengerjap bersama napas yang terembus kasar. Rasanya semua beban sudah pergi.

"Nggak tau hari esok harus gimana, aku capek mikir." Tangannya meruntuhkan abu yang sudah tak sabar berbaring di atas asbak.

Jika bisa memejamkan mata sembari menikmati rokok dalam posisi berbaring, pasti rasanya akan lebih nikmat, apalagi jika dibarengi dengan setetes air mata. Rasanya akan benar-benar lega.

Tiba-tiba saja, di tengah ketenangan yang berhasil Edel ciptakan sendiri, Ariyanto mengeluarkan suara sakti dari kamar yang terletak di ujung sana.

Mata Edel terbelalak lebar. Bagaimana jika Ariyanto justru datang dan mendobrak pintu kamarnya, lalu mendapati Edel yang masih memegang sebatang rokok? Walau rasanya berat 'tuk melepaskan, tapi ia harus rela demi keselamatan jasmani.

"Tata ...!" teriak Ariyanto untuk yang kedua kali. "Di mana lo?! Cepetan sini!"

Dengan cepat Edel meletakkan rokok yang masih menyala di atas asbak, kemudian memasukannya ke dalam laci. Aduh, belum sempat pula ia menyikat gigi untuk menghilangkan bau.

Baiklah, ia akan berusaha untuk menutup mulut, tapi yang sekarang harus ia lakukan adalah berganti pakaian.

"Woi! Nggak usah ilang napa?!" Ariyanto sudah dibuat semakin geram, apalagi cacing di perutnya yang terus berdemonstrasi membuat emosinya semakin melunjak naik.

Dor ... dor ... dor!

Edel semakin cepat menyemprot parfum ke seluruh isi ruangan, lalu membuka pintu yang ia kunci rapat.

Ariyanto menatap Edel garang—penuh dendam—sebab kesal karena dibiarkan terlalu lama menunggu.

"Ngapain lo dalem kamar?! Nonton bokep, ya, lo?!"

Edel menggeleng pelan sembari menundukkan kepala. Ingat, ia tak boleh berbicara sampai Ariyanto pergi.

"Cepet beliin gue makanan! Awas lo lama-lama."

"I-iya, Pa." Astaga apa yang Edel lakukan? Bibirnya sama sekali tidak terkontrol.

Sedikit aroma rokok kini menyusup ke dalam hidung Ariyanto. Ia sangat hafal bau-bau ini. Sudah sangat sering ia temui, apalagi saat berkumpul 'tuk berjudi dan meminum alkohol.

"Lo ngerokok, ya?!"

Mati pula nasib Edel hari ini.


Hah cewek macem Edel ngerokok?!🤣

Cie ... kagetz.

Manusia nggak ada yang sempurna gaes, jadi walau keliatan suci sekali pun, pasti dia masih punya kekurangan. Kalian aja yang nggak tempe🌚

Happy reading, btw

Love u,

Bong-Bong

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro