Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 9: Soal Rencana dan Setelahnya

Wordcount: 1.461 words

"Oke, karna sekarang udah lengkap, langsung aja kita bahas rencana itu," ucap Aiden dengan senyum lebar.

Pembahasan dibuka dengan pertanyaan dari Marlo. "Nanti siapa yang menyusup, siapa yang siaga di luar?"

"Rencanaku sih, yang menyusup sampai ke dalam itu aku, Feli, sama Julian. Erna cukup antar sampai ke jalan masuk terus pergi nyiapin pelarian kita." Aiden menoleh pada cowok yang duduk di atas sandaran tangan sofa. "Marlo, kaubisa nyetir, kan?"

Empat pasang mata langsung tertuju pada si pemilik nama. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangan. Telinganya sedikit merah. "Bisa kok. Tapi ... mobil siapa yang kita pakai?" Dia melirik Aiden.

Seketika jantungku mendobrak tulang rusuk. Sekujur tubuhku menegang. Mataku juga pasti memelotot.

"H-hei, kamu kenapa?!" Erna sontak merangkulku. Tangan satunya menyentuh tanganku yang gemetaran.

Perlahan aku kembali tenang setelah berhasil meyakinkan diri sendiri. Tidak akan ada kecelakaan mobil. Tidak akan ada kecelakaan mobil. Kami semua akan kembali dengan selamat bersama Theo.

Erna menarik kedua tangannya begitu melihat aku sudah tenang, tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya.

Ketakutan itu tidak menghilang. Aku masih dihantui bayang-bayang kecelakaan itu. Berbagai skenario terputar di benakku dalam waktu singkat. Skenario kejadian terburuk yang mungkin saja menjadi kenyataan.

Bagaimana kalau aku kehilangan ... lagi? Aku memang belum terlalu dekat dengan mereka ini, tetapi kehilangan tetap kehilangan. Rasanya sakit. Itu akan membuatku merasa seperti orang paling menyedihkan di dunia.

Di antara tatapan khawatir dan lega, ada satu tatapan yang membuatku merasa dongkol. Itu tatapan Julian. Dilihat sekilas saja aku langsung tahu. Dia sedang mengataiku dalam hati.

"Menyedihkan," ucap Julian dengan tatapan sinis yang jelas tertuju padaku, bukan pada Erna yang duduk di sampingku.

Sepertinya dia tidak sanggup menahan ucapan itu dalam hati. Aku tidak marah. Kenapa? Karena apa yang dia katakan itu benar. Aku memang menyedihkan.

"Perjalanan dengan mobil itu nggak bisa dihindari. Jalan raya juga nggak bisa dihindari." Julian berdecak, mengalihkan pandangan dariku. "Aku tahu kaupunya trauma tapi kau nggak bisa menghindar selamanya."

Semuanya bungkam selama beberapa detik. Aku termenung, sedangkan tiga lainnya menatap Julian cengo.

"Apaan kalian liat-liat?"

Aiden menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat. Tatapannya kembali tertuju pada Marlo. "Emangnya nggak bisa pakai mobil orang tuamu? Kami di sini gak ada yang punya mobil."

"Bisa, tapi gimana kalau orang-orang sana sempat ambil foto atau hafal plat mobilnya? Bisa-bisa orang tuaku kena masalah."

"Cabut aja platnya," celetuk Aiden terus terkikik. Tentu saja celetukannya mengundang pelototan dari kami semua.

"Aku serius, loh." Nada bicaranya berubah tenang, tak lagi menggebu-gebu. Ekspresinya juga. "Mobil siapa lagi yang bisa kita pakai? Terus kalau nggak pakai mobil, kita kabur pakai apa?"

Keheningan melanda untuk sesaat sebelum Aiden melanjutkan ucapannya. "Sekarang Erna bisanya bawa dua orang pas teleportasi. Pergi ke sana dengan cara itu memang nggak masalah. Tapi pas kabur?"

Aiden menghela terus mengembuskan napas panjang nan kasar. "Gak mungkin kita nunggu giliran buat kabur, apalagi kemungkinan besar kita bakal dikejar. Risikonya gede kalo kita maksa ganti-gantian teleportasi. Yang ditinggal bisa aja ketangkap."

Julian tertawa kecil dengan nada mengejek. "Emangnya mau jalan-jalan santai apa. Pulangnya ganti-gantian diantar Erna."

Aiden berdeham. "Oke, berarti udah fix. Kita kabur pake mobilnya orang tua Marlo. Teleportasi Erna jadi pilihan kedua. Sekarang lanjut."

"Hei, aku belum bilang setuju!" sela Marlo. Ekspresinya mengeras bersama kepalan tangan.

Julian mendengkus sebagai respons. "Jangan cemen gitu jadi orang. Kalau nanti dimarahin, itu bakal jadi terakhir kalinya kau dimarahin."

"Ya, habis itu kalian bakal jadi buronan BPE—mungkin buronan kota juga. Jadi buat apa ragu-ragu sekarang?" Erna mengendikkan bahu. "Ujungnya sama aja. Kalian berlima termasuk adiknya Feli bakal jadi bu-ro-nan," ucapnya penuh penekanan.

Mereka sudah bilang padaku hari itu. Sekalinya aku memutuskan ikut dalam rencana ini, aku tidak akan bisa kembali ke kehidupan yang lumayan normal ini. Berlaku juga untuk mereka, kecuali Erna yang bisa dengan mudahnya meloloskan diri karena tidak ikut menyusup.

Bahu Marlo melorot kala ia mengembuskan napas panjang. "Ya sudah. Tapi aku butuh bantuan Erna buat mindahin mobil itu agak jauh dari rumah. Soal kuncinya nanti aku cari cara buat ambil."

Ternyata dia bisa bicara panjang dengan jelas. Sejak kali pertama bertemu, baru hari ini aku mendengar bicaranya tidak patah-patah.

"Aku belum pernah mindahin barang sebesar mobil sih, tapi bakal kucoba. Setidaknya gak seribet manusia." Kulihat Erna sempat tenggelam dalam pikiran setelah berkata demikian.

"Oke, soal pelarian udah aman." Bergantian Aiden menatap Julian dan aku. "Pokoknya kita bertiga yang bakal menyusup gak boleh sampe kepisah, apalagi Feli. Kamu kan gak tahu rute. Julian mah gak terlalu hafal."

Aku hanya mengangguk, sedangkan Julian menyahut, "Ya, ya, ya. Kau kan yang paling sering main ke sana bareng Erna."

Aiden menggeleng-gelengkan kepala terus berdecak, "Itu namanya pemeriksaan lapangan, bukan main-main."

Jeda hening sebentar.

"Nah!" Tiba-tiba Aiden menepuk pahanya keras-keras. "Lanjut." Cuma mau melanjutkan pembahasan, dia sampai membuat kami kaget.

Ya, pokoknya begitu. Pembahasan berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Sesekali aku bersuara, kebanyakan diam karena belum terlalu mengerti. Aku berencana untuk mengikuti arus saja.

Pada momen inilah aku sadar bahwa pola pikirku dan pola pikir mereka berempat sangatlah berbeda. Mereka sudah menerima kenyataan, sedangkan aku belum.

Kadang aku masih berharap semua ini hanya mimpi. Pun sampai detik ini, setelah setuju mengikuti rencana gila, aku masih mendambakan kehidupan normal. Padahal setelah ini kami akan menjadi buronan.

Bertindak dan berakhir menjadi buronan kota atau berdiam diri menerima nasib. Aku pilih yang pertama, karena dengan begitu aku bisa bertemu dengan Theo lagi.

Setelah berhasil menyelamatkannya, akan kulakukan segala yang kubisa untuk menebus kesalahanku. Aku akan menjadi kakak yang lebih baik. Apalagi sekarang kami hanya memiliki satu sama lain sebagai keluarga. Ayah dan Ibu sudah pergi ke atas. Kalau Paman, dia tidak bisa dipercaya.

"Dan selesai sudah meeting kita sore ini." Aiden berdiri terus meregangkan tubuh. "Besok kita mulai jam empat pagi. Feli sama Marlo janjian dulu aja sama Erna mau ketemuan di mana."

"Pokoknya jangan terlalu dekat atau malah di dalam rumah kalian," tambah Erna.

"Oke." Aku dan Marlo menyahut serentak.

Hari ini Paman pulang cepat, jadi tadi sudah kubilang tidak akan berlama-lama. Sehabis basa-basi, Erna langsung menyambar lenganku. "Feli biar kuantar. Kalau Marlo pulang sendiri aja." Begitu katanya terus langsung berteleportasi bersamaku.

Seperti kemarin, kami muncul tepat di depan pintu rumah Paman.

"Makasih ya, Er. Udah ngerepotin nih," ucapku seraya menarik gagang pintu. Masih dikunci, berarti Paman belum pulang.

Erna menggeleng pelan dengan senyum. "Gak masalah. Biar kamu kebiasa teleportasi bareng aku. Udah gak kayak kemarin kan efeknya?"

"Udah aman kok." Aku terkekeh.

Kali ini Erna tidak langsung pamit dan menghilang. Dia menunggu sampai aku membuka kunci pintu. Sebelum aku melangkah masuk, dia berkata, "Aku kaget loh, Fel. Kamu sampai begini demi adikmu."

Peganganku pada gagang pintu mengerat. Sambil tersenyum tipis aku menyahut, "Tentu saja. Dia itu satu-satunya keluargaku yang masih hidup. Aku gak mau kehilangan dia juga."

"Terus kalo kalian berhasil, kamu sama adikmu mau ke mana? Kalian berlima bakal jadi buronan habis ini. Kalian berdua gak akan bisa balik ke rumah." Kekhawatiran tampak jelas pada air muka Erna.

Kulepas gagang pintu, membiarkannya terbuka sementara aku berbalik menghadap Erna. "Aiden bilang kalian membutuhkanku. Apa nanti aku sama adikku boleh tinggal di kontrakan itu aja?"

"Kamu serius?" Erna hampir meninggikan suaranya. "Aku tahu kamu gak nyaman sama Julian. Dia juga gak suka kamu ...."

Aku mengembuskan napas gusar. "Bukannya aku udah bikin perjanjian sama Aiden? Kalian bantu aku terus habis itu aku bakal bantu kalian. Kenapa masih nanya?"

"Memangnya kamu gak masalah kalo dimanfaatin sama Aiden. Anak itu ... bisa dibilang licik." Jeda sebentar. "Dalam kepalanya itu ada banyak rencana yang kadang gak kepikiran sama kita. Emang keliatannya baik, tapi kamu udah liat sendiri, kan? Kadang tingkahnya begitu."

Aku menangkap maksud Erna. "Tapi aku juga manfaatin tawaran dia biar ketemu adikku. Sama aja, kan?"

"Astaga, Feli!" Tiba-tiba Erna meraih kedua lenganku, pun dia mengguncangku dengan barbar. "Alasan sama tujuan kalian beda jauh. Dia itu pengen balas dendam. Dia pengen ngehancurin organisasi itu."

Oke, ini mengejutkan. Menghancurkan suatu organisasi bernama BPE yang punya markas sendiri juga memiliki jaringan dengan pemerintah kota.

Kucengkeram pergelangan tangannya secara spontan. Sekujur tubuhku menegang. "Apa barusan? Aiden mau manfaatin aku buat ngelakuin hal gila itu? Kenapa gak bilang dari tadi?" Aku merasa dikhianati.

Erna terdiam, menatapku nanar. Aku ingin berteriak di depan wajahnya, tetapi sadar itu akan mengundang perhatian tetangga. Jangankan itu, posisi ini saja sudah membuat orang yang berlalu di depan sana berpikir yang aneh-aneh.

Aku melepas tangannya dan dia melepas lenganku. Berbarengan mengambil satu langkah menjauhi satu sama lain.

"Kupikir kamu bakal nyerah, ternyata nggak. Sampai sejauh ini gak nyerah juga." Erna menghindari kontak mata denganku selama berbicara. "Beneran deh. Udah naif, nekat juga."

Kalau Aiden atau Julian yang bilang begitu, pasti akan terdengar seperti cemoohan. Namun, saat kata-kata itu keluar dari mulut Erna, aku menangkapnya bersama rasa kasihan.

Dia benar. Mereka benar. Aku naif, bodoh, dan nekat. Sejak dulu sudah seperti ini. Tidak bisa kubantah.

Setelah berhadapan dalam diam cukup lama, Erna akhirnya pamit terus berteleportasi pergi. Aku melangkah masuk dan menutup pintu.

.

.

.

Clou's corner:
P

endapat soal Aiden? Atau Feli?

Ah, semuanya aja sekalian ᐕ) aku penasaran~

18-08-2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro