Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 6: Apa Keputusanku?

N E W C H A P T E R

Wordcount: 1.454 words

".... ke sini?!"

Ribut. Tidurku jadi terganggu. Eh, memangnya kapan aku tertidur?

Mata terbuka perlahan, disambut silaunya cahaya lampu ruangan. Butuh beberapa saat untuk menyesuaikan penglihatan. Langit-langitnya berwarna putih, begitu juga dinding di setiap sisi.

Saat ini aku terbaring di atas sebuah sofa yang sudah agak lapuk. Di balik sandarannya terdapat sumber keributan yang mengganggu tidurku.

"Memangnya mau dibawa ke mana lagi?" Kudengar suara Aiden dengan nada datar.

Satu lagi suara yang familier di telingaku. "Bawa dia ke rumahnya!"

Ada cewek yang mengembuskan napas penat. "Ayolah, Ian. Kita masih harus minta maaf dan bicara padanya. Pas selesai nanti bakal langsung kuantar balik ke rumah dia. Sebelum pamannya pulang," ujarnya. Sepertinya dia makin dekat dengan posisiku.

Seseorang mengintip dari balik sandaran sofa. Aku mengenalnya. Dia Erna ... cewek yang bisa teleportasi. "Ah, kamu udah bangun ternyata," ujarnya dengan senyum lega, lantas menarik diri ke belakang.

Seketika ruangan menjadi hening. Aku bangun untuk melihat siapa saja yang bersama Erna. Agak lega saat melihat Aiden, tetapi jantungku langsung meloncat saat mataku mendapati cowok tinggi di depannya.

Mengacungkan telunjuk pada cowok itu, aku pun berseru, "Kau! Yang—" Saking terkejutnya aku sampai terjungkal dari sofa. Punggung dan kepalaku membentur lantai, menghasilkan bunyi keras.

"Feli!" seru Aiden dan Erna berbarengan. Mereka berdua segera menghampiri, lalu membantuku bangun.

Di sisi lain, cowok yang seingatku bernama Julian itu melangkah pergi dengan tak acuh. "Kalian aja yang urus dia. Aku di kamar. Jangan ganggu."

"Ian! Kaumasih harus minta maaf!" seru Erna tak terima.

Tunggu. Barusan dia bilang kamar?

"Hei, ini di mana?" tanyaku setelah dibantu berdiri.

Aiden dan Erna menatapku, bertukar pandang, lalu menatapku lagi.

"Ini kontrakan kami bertiga," jawab Aiden.

Erna mengangguk setuju. "Kamu tadi pingsan di depan kamar kos Lumi. Kayaknya tenagamu habis karna ikut teleportasi terus dikasih liat rekaman masa lalu."

Ingatan sebelum pingsan seketika muncul kembali ke permukaan. "Theo—dia dibawa ke mana?!"

"Hei, hei, tenang dulu. Oke?" Erna mengarahkanku untuk duduk di sofa. "Kami membawamu kemari buat ngomongin soal itu. Tapi sebelumnya aku mau minta maaf atas kelakukan Julian sama Aiden tadi."

Aku terdiam sejenak, menatap Erna di sebelahku dan Aiden yang duduk di sofa lain secara bergantian. "Ya ... harusnya mereka yang minta maaf sendiri. Kamu kan gak salah, Er."

Sontak Erna menoleh pada Aiden, memberi pelototan tajam.

Aiden menangkap kodenya. Ia menghela napas, lalu mengembuskannya seraya menyatukan kedua telapak tangan di depan wajah. "Maaf banget, Fel!" Dia mengintip lantas menurunkan tangan. "Tapi beneran, kamu naif sama polos banget. Lain kali jangan langsung percaya orang, ya," ujarnya sambil cengar-cengir.

Dilihat-lihat lagi dia memang manis.

Eh, itu bukan hal penting sekarang! Demi apa Feli, fokus!

Aku bersedekap, menatap Aiden datar dari puncak kepala sampai ujung kaki. Tepatnya berusaha memasang muka datar bak tembok.

Dengkusan lolos seraya aku memalingkan wajah. "Ya, tadi kan aku udah putus asa. Pamanku lembur terus aku gak tau jalan pulang. Peta online juga menyesatkan. Kamu tuh teman pertamaku di sini ... makanya aku langsung percaya."

Hening sejenak baru Erna mulai bersiul. Alisnya naik-turun. "Ekhem, ekhem, ada sesuatu nih." Dia menghilang saat aku hendak menampar bahunya dan malah muncul di samping sofa. Erna terkikik geli.

Kurang ajar cewek itu. Wajahku jadi memanas. Di sisi lain, Aiden malah melongo. Dia menatap kami keheranan.

Astaga, manis—Feli, fokus!

Sekarang ini aku ingin sekali mengadu dahi dengan permukaan meja, lantai, atau lebih baik, tembok.

"Aku mau nyeret Ian kemari. Mulai aja duluan," katanya sambil mengibaskan tangan. Ia mengedip pada Aiden sebelum berderap pergi.

Setelah beberapa detik diselimuti kecanggungan, Aiden berdeham. "Kamu tadi bilang, kecelakaan yang keluargamu alami itu aneh, kan?" Ia bertanya dengan jemari dari kedua tangan ditautkan. Sikunya bertumpu pada lutut, membuat posturnya bungkuk.

Keningku langsung mengerut. "Iya. Terus kenapa?" Aku selalu merasa tidak nyaman kalau dia sudah bicara dengan nada datar.

"Mobil yang menabrak kalian kosong. Orang tuamu meninggal, adikmu hilang, dan kamu terlempar keluar dari mobil sebelum tabrakan terjadi," ucapnya seperti orang bosan hidup.

Bulu kuduk mendadak berdiri. Mataku memelotot. "Tahu dari mana soal itu? Aku cuma bilang garis besarnya pas ngobrol tadi." Kucengkeram rok seragamku saat berkata demikian.

Aiden mengangkat satu sudut bibir. "Jangan lupa, dunia udah nggak normal. Informasi kayak gitu gampang banget didapat kalo punya kenalan dengan echros yang tepat."

Aku mengembuskan napas gusar, menunggu kelanjutan penjelasannya. Saat ini aku kehabisan kata-kata. Aku masih belum terbiasa dengan segala hal yang berkaitan dengan kekuatan seorang Eccentric.

Maksudku, ini benar-benar tidak masuk akal. Mana bisa langsung mengiyakan dan mengikuti alur, kan? Ini dunia nyata, bukan cerita fiksi. Kadang aku merasa ini hanyalah mimpi buruk dan sebenarnya aku masih tertidur pulas di atas kasur empuk.

"Begini. Waktu MPLS aku sempet bicara sama anak yang punya echros meramal. Aku iseng nanya, siapa anak kelas kita yang katanya gak bisa ikut MPLS." Aiden kembali duduk tegak. "Mau tau dia bilang apa habis ngeramal?"

Aku beringsut maju sampai bokongku mencapai ujung sofa. "Pake nanya," sahutku ketus.

"Si Beruntung yang kehilangan Jendela Masa Depan."

Kalimat itu membuat otakku bekerja keras. Mungkin asap hitam sudah kelihatan di atas kepalaku. Lama-lama badanku memerosot turun ke lantai. Aku baru sadar ketika lututku terantuk meja.

Tawa Aiden pecah seketika. "Gak ngerti tuh," ejeknya.

Tiba-tiba Erna muncul bersama Julian di depan kami. Buru-buru aku bangun, lalu kembali duduk dengan benar di sofa.

"Hai, udah ngomong sampe mana?" tanya Erna dengan riang dan ramah seperti biasa. Cowok di sebelahnya menunjukkan ekspresi yang berbanding terbalik.

"Baru sampe di gimana aku tahu soal siapa yang gak ikut MPLS waktu itu," jawab Aiden sementara Erna dan Julian ikut duduk.

Julian duduk di samping Aiden, sedangkan Erna di sampingku. Mereka sempat bertukar tatapan sinis. Kurasa perang senyap baru saja terjadi di antara mereka sebelum kembali kemari.

"Nah, habis itu," ucap Aiden. Pandangannya bergeser padaku lagi. "Aku denger kabar soal kecelakaan yang katanya aneh. Denger dari orang yang papasan sama aku di jalan.

"Karna penasaran aku nanya ke dia. Katanya waktu itu kebetulan dia lewat, terus berhenti buat nelpon ambulans. Aku juga nanya lokasi tepatnya di mana."

"Karna makin penasaran, hari Sabtu kemarin dia nyeret aku sama Lumi ke sana," sambung Erna sambil bersedekap. "TKP udah diberesin sih. Gak ada tanda kecelakaan pernah terjadi di situ."

Eh? TKP dibereskan secepat dan sebersih itu?

Aiden mengembuskan napas panjang, tampak lelah. "Karna itu Lumi jadi kerepotan nyari benda yang paling dekat sama TKP."

"Oh," potong Erna, "echros Lumi itu ngeliat rekaman kejadian pas nyentuh suatu benda. Rekamannya dilihat dari posisi benda itu."

"Terus Lumi juga bisa nyimpan rekaman kejadian itu! Hebat, kan? Dia udah pro!" seru Aiden yang tiba-tiba semangat. "Bisa juga ngasih liat rekaman itu ke orang lain kayak ke kamu tadi."

"Tapi tenaga dua-duanya bakal terkuras banyak. Makanya kamu pingsan tadi," tambah Erna.

Kepalaku mau meledak rasanya. Informasi ini sulit diproses.

Julian terkekeh dengan wajah menjengkelkan. "Otak kecilnya overload tuh. Kasian."

Bukannya aku, malah Erna yang berjengit. "Hei! Harusnya kau minta maaf sama Feli!"

Aku tidak berkomentar. Kubalas tatapan sinis Julian dengan tatapan yang tak kalah sinis.

"Nah, nah, pokoknya begitu. Sekarang kita langsung ke intinya aja." Aiden menoleh padaku dengan tatapan yang berubah serius. "Udah tahu kan kalau pamanmu itu bukan orang baik-baik?"

Lagi-lagi kenyataan menamparku. Aku sempat menolak memercayai itu. Selama beberapa hari ini Paman sangat baik kepadaku. Namun ... kalau diingat-ingat, Paman tidak akur dengan mendiang orang tuaku, apalagi Ibu.

Semua yang bersangkutan dengan Paman itu mencurigakan. Hal-hal mencurigakan itu kurasa sudah cukup untuk aku memercayai kenyataan ini.

"Feli, kami butuh bantuanmu," ucap Aiden dengan lembut. Ekspresinya melunak. "Kalau kamu mau, kami bakal bantu bawa adikmu kembali. Kami tau dia ada di mana."

Di sampingku, Erna mengangguk, lalu menoleh dengan senyum tipis dan tatapan sendu. "Serius. Tapi, tapi, kami gak maksa. Kalau kamu gamau gapapa. Kamu yang ambil keputusan, bukan kami."

Mana mungkin aku bilang tidak. Mereka sadar akan itu. Hal yang paling penting sekarang adalah menemukan Theo. Dia satu-satunya keluarga yang kupunya. Dia itu saudara sedarahku. Aku harus menjaganya. Sebelum itu, aku harus menemukannya.

"Yah ...." Julian di samping Aiden menaik-turunkan bahunya sambil bersedekap. Wajahnya menyebalkan, tidak berubah di mataku. "Kalau dia gamau, biarin aja dia tinggal di rumah pamannya itu. Tinggal nunggu waktu sampe dia dibawa ke markas BPE buat dibedah atau apa."

Kulihat Erna mengepalkan tangannya erat. Percayalah, aku lebih ingin menonjok cowok itu sekarang. Namun, sekali lagi kenyataan menampar. Dia lebih kuat dariku, bahkan tanpa menggunakan echros yang dia punya.

"Jadi gimana?" Aiden bersuara lagi.

"Aku harus apa?"

Wajah Aiden dan Erna mendadak cerah. Berbeda dari mereka, Julian menatapku dengan satu alis terangkat sementara satunya tertekuk dalam. Kelihatan jelas dia sedang mempertanyakan pilihanku.

Mungkin mengiyakan ajakan mereka adalah hal paling bodoh yang kulakukan sejauh ini. Aku baru mengenal mereka pagi tadi dan Julian hampir membunuhku di kelas. Ini bukan pilihan aman. Aku tahu.

Akan tetapi, apa salahnya mengambil pilihan berisiko? Kalau akhirnya aku menyesal, yang salah adalah diriku sendiri bukan orang lain.

.

.

.

Clou's corner:
Author-nya kalo di posisi Feli mampus sih.

15-08-2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro