Ch. 48: Pulau Nomaden
Wordcount: 1.416 words
Saat membuka mata, kudapati diriku tengah duduk di meja makan berbentuk persegi yang hanya cukup ditempati empat orang. Tanganku memegang sendok di sebelah piring berisi nasi, tahu-tempe kecap, dan tumis kangkung.
Aku mengerjap-ngerjap, lantas mengedarkan pandangan. Duduk berseberangan denganku, ada Theo yang fokus memilih-milih agar hanya tempe yang masuk ke piringnya. Lalu, di sisi kiri dan kanan meja ada Ayah dan Ibu. Keduanya sesekali bercakap, tetapi telingaku tak mampu menangkap pembicaraan mereka.
Tunggu. Ini salah.
Ibu menoleh padaku, sebelah alisnya terangkat. "Feli? Kamu kenapa, Nak?" tanya beliau.
Tidak, tidak, tidak. Ini salah!
Sendok kujatuhkan dari genggaman. Aku kemudian berdiri, tak sengaja mendorong kursiku sampai jatuh terbanting. Kini Ayah juga menoleh, masih mengunyah. Theo hanya melirik sebentar, kembali sibuk memilih-milih makanannya.
"Feli, kamu sakit?" tanya Ibu seraya meletakkan sendoknya di piring. "Mukamu pucat sekali...."
Aku menggeleng keras sampai kepalaku berdenyut. "Nggak, bukan---aku nggak sakit."
"Terus, Kakak kok nangis?" tanya Theo, menatapku heran.
"Hah? Siapa yang nangis---" Tanganku yang spontan terangkat untuk menyentuh pipi mendapatinya basah. "Loh?"
Air mata tidak mau berhenti. Mereka terus mengalir keluar dari sudut mata, membanjiri pipi. Putus asa karena aliran air asin itu tidak mau berhenti, aku menutup wajah dengan kedua tangan dan mulai sesenggukan.
"Kak," panggil Theo, "Kakak harus bangun."
Tangisku akhirnya berhenti. "H-hah?" Kuturunkan tangan, lalu membuka mata. Sinar mentari yang begitu terik menyerang mata, membuatku menyipit disertai erangan pelan.
"Oh, Kak Feli udah bangun!"
Pandanganku perlahan menyesuaikan, disambut langit biru cerah yang terhalang kanopi daun rimbun. Perlahan aku menoleh ke kiri dan ke kanan, menyadari bahwa aku sedang terbaring di hutan, bukannya berdiri di depan meja makan bersama ... keluargaku.
Aku mengangkat tangan yang terasa kaku, mendekatkannya ke wajah. Kuharap kepalan tangan ini dapat mengubur isak tangis dalam-dalam agar tidak ada yang bisa mendengarnya, termasuk Nia yang sedang duduk bersila di samping kananku.
"Kak Feli kenapa? Mimpi buruk?" tanya Nia.
Aku menggelengkan kepala. Apa yang kualami barusan bukanlah mimpi buruk, justru indah. Keluargaku masih utuh dan kami duduk di meja makan bersama. Bodoh sekali aku tidak menikmatinya selagi mimpi itu berlangsung.
Nia menemaniku cukup lama sampai aku merasa tenang dan bisa bicara tanpa terbata-bata di sela tangis. Katanya, kami sudah tiba di Pulau Nomaden, kira-kira setengah jam yang lalu. Mereka memutuskan untuk istirahat karena kondisiku, Aiden, dan Julian tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan ke tengah pulau.
"Kak Aiden nggak apa-apa kok, cuman lemes," jelas Nia sebelum aku berpikir yang tidak-tidak.
"Baguslah," sahutku sambil mengelus dada; napas lega keluar dari mulut. Aku celingak-celinguk mencari keberadaan yang lain, hanya menemukan Nia dan ransel yang dijadikan bantal di tengah pepohonan yang jarang-jarang. "Mereka pada ke mana?"
Nia menunjuk ke arah debur ombak berasal. "Lagi nyantai sambil jagain baju basah."
Tanganku refleks meraba-raba pakaian yang kupakai. Kering. Aku menarik kaus yang bukan lagi hitam, melainkan abu-abu. Celana jeans longgar sudah digantikan dengan celana rumahan selutut. Ini pakaian yang aku kemas. Siapa yang menggantikannya?
Aku menoleh pada Nia dengan ekspresi menuntut jawaban. Dia langsung paham terus menjawab, "Nia sama Kak Lumi yang gantiin. Theo yang mastiin nggak ada yang ngintip." Senyum bangga terlukis pada wajahnya saat berkata demikian.
Terima kasih kuucapkan padanya, kemudian kami beranjak untuk bergabung dengan yang lainnya. Mereka sedang berteduh di bawah pepohonan, hanya beberapa langkah dari pasir pantai. Di atas pasir tersebar berlembar-lembar pakaian basah yang ditindih batu agar tidak hilang diterbangkan angin. Ya, termasuk pakaian dalam.
Seperti yang sudah-sudah, aku mengambil presensi dalam diam. George, Lumi, dan Marlo sedang bercakap-cakap; Theo sedang mencamil sekantong makanan ringan di sebelah Julian yang sedang tidur sambil menutupi mata dengan lengan; Aiden sedang memeloroti buah dari pohon kelapa terdekat pakai echros-nya.
Menengok ke tepi pantai, tidak kutemukan keberadaan kapal cepat yang kami tumpangi kemari. Di kejauhan, dinding air yang tadi menghalangi kami benaran sudah hilang. Artinya, dua orang bapak-bapak yang aku lupa namanya itu sudah berlayar kembali ke pelabuhan.
"Feli!" seru Aiden girang, lantas melambai-lambaikan tangan. Sebuah kelapa dibawa turun ke tangan kirinya oleh sebuah tali tambang merah semi-transparan.
Cowok itu berlari menghampiriku sementara yang lain hanya menoleh dan melambai pelan. "Mau kelapa? Barusan aku petik," tanya Aiden, memamerkan buah kelapa yang dipegangnya.
"Ekhem," Nia bersuara dalam kepalaku, barangkali dalam kepala Aiden juga. Perhatian kami berdua langsung tertuju pada dirinya yang sedang senyum-senyum sendiri. "Nia duluan, ya, Kak. Mau ngemil sama Theo." Dia kemudian berlari kecil meninggalkan kami.
Ada hening sejenak di antara aku dan Aiden. Lalu, aku bertanya, "Kamu nggak apa-apa? Kata Nia, kamu sampai lemes gara-gara nahan kapal tadi biar nggak kebalik."
"Udah mendingan, kok," jawabnya sambil menuntunku ke tempat teduh. Kami duduk agak jauh dari yang lainnya. "Kamu sendiri gimana? Tadi sampai mimisan terus pingsan."
Mendadak aku teringat akan mimpi belum lama ini. Cepat-cepat kutepis bayangan itu dari benak. "Sehat. Kayaknya cuma berlebihan pas make echros."
Kami duduk bersebelahan di bawah pohon yang batangnya hanya bisa jadi sandaran satu orang. Entah apa yang kupikirkan, mungkin karena yang lain tidak melihat kemari, aku menyandarkan kepalaku pada bahunya.
Dapat kurasakan dari gerak-geriknya kalau Aiden sedikit terkejut. Namun, dia tidak mengusirku, justru bertanya, "Mau minum air kelapa?"
"Boleh. Tapi bukanya gimana?"
Aiden tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan kirinya ke samping. Tak lama kemudian, echros-nya yang berbentuk tali-tali semi-transparan membawakan tempurung kelapa yang sudah terbelah dua dan dikeruk habis dagingnya. "Tadi aku jadi belajar sesuatu pas kepengen minum air kelapa."
Respons yang kuberikan hanya berupa gumaman. Kuperhatikan tangan Aiden mengendalikan echros yang keluar dari telapaknya. Sebelum dia melakukan apa pun pada buah kelapa malang di hadapan kami, aku bertanya, "Bentuk echros-mu emang dari sananya kayak tali tambang gitu?"
Gerakan Aiden terhenti. Dia hendak menoleh, tetapi ingat kalau aku sedang bersandar padanya. "Enggak, sih. Waktu pertama keluar pas aku kecil, bentuknya kayak cambuk kebakaran. Tapi cambuk sama apinya menyatu gitu, kayak satu barang," jelasnya kemudian tertawa kecil. "Bisa dibayangin nggak, sih? Bentuknya."
"Bisa, kok." Senyum mengembang pada wajahku. "Jadi, waktu itu kamu bohong, ya, kalau echros-mu sesimpel telekinesis. Aslinya punya wujud yang bisa dibentuk sesuka hati."
Aiden mengubah echros yang keluar dari tangan kanannya menyerupai bilah pisau. "Yah, waktu itu kamu yang nebak. Aku iyain aja biar nggak repot-repot jelasin," ucapnya sambil mengayunkan tangan itu dari atas ke bawah. Bilah echros-nya mengikuti, mengenai kelapa yang ditahan Aiden pakai echros dari tangan kiri.
"Terus, yang bener apa dong?" tanyaku.
"Aku nggak pernah mikirin nama, yang penting bisa dipake. Bilang aja echros."
Kelapa tersebut perlu dipukul beberapa kali baru terbelah sampai air segar di dalamnya keluar. Aiden berhati-hati agar yang tumpah tidak terlalu banyak saat mengisi dua belah tempurung yang dia ambil tadi.
Aku menarik tubuhku agar duduk tegak ketika echros-nya membawakan salah satu tempurung padaku. Bibirku manyun saat menerima wadah itu. "Masa gitu. Echros kan sebutan umum buat kekuatan kita. Kasih nama apa kek."
Aiden tersenyum kecut. "Nanti cringe, kayak nama-nama jurus di anime," sahutnya terus meneguk air kelapa bagiannya.
"Iya juga." Kulakukan hal yang sama. Ternyata air kelapa ini lumayan manis. Pantas saja Aiden sampai menggunduli pohonnya.
"Ngomong-ngomong, tadi pas masih di kapal, pas kita baru nyadar ada dinding air yang ngalangin,"--cowok itu menoleh padaku--"kok kamu langsung pucat?"
Aiden menghabiskan minumannya terlebih dahulu, lantas menatap jauh ke depan, ke arah bentangan air laut. Diambilnya napas panjang baru menjawab, "Aku keinget ... Rian, kembaranku. Dia bisa ngendaliin air."
"Ah ... elemen, kayak Julian gitu, ya?"
Dia mengangguk. "Tapi Rian cuma bisa ngendaliin. Nggak bisa tahu-tahu munculin atau ilangin."
Sial. Aku baru saja menyentil topik sensitif. Gara-gara itu, aku jadi takut membuka mulut, takut salah bicara. Minuman yang tersisa kuhabiskan dalam sekali teguk. Wadahnya kutaruh di pangkuan, terus kuketuk-ketuk pelan guna mengusir gelisah yang enggan pergi.
"Fel, kamu baru bisa lihat wujud echros habis diajarin Natha, ya?" tanya Aiden. Upayanya untuk mengubah topik kelihatan sangat jelas.
"Iya," ucapku sembari mengangguk samar. "Sebelumnya aku cuma bisa lihat yang kayak api Julian, atau listrik---petir Nia."
Aiden manggut-manggut. Aku pikir percakapan kami akan selesai di situ, tetapi dia kemudian berkata, "Kita jalan kalau Julian udah bangun." Sekarang gantian Aiden yang menaruh kepalanya di bahuku. "Aku juga mau tidur. Nanti bangunin, ya."
Jantungku sepertinya baru saja jungkir balik dan mulai lari maraton. Dengan wajah memanas seperti pantat wajan, aku mendorong bahunya pelan. "Jangan gini, ah. Nanti pegel pas bangun."
"Terus gimana?" Aiden memberengut. "Tidur di pangkuanmu, gitu?"
"Heh---"
"Woi, bucin-bucin! Mau sampai kapan kalian pacaran di sana!?" teriak Julian yang rupanya sudah bangun. "Bantu beres-beres, sini! Kita udah mau jalan!"
Seketika kami jadi pusat perhatian. Ini memalukan. Namun, kabar baiknya, aku tidak jadi salah tingkah brutal karena kelakuan Aiden. Haruskah aku berterima kasih pada Julian atau tidak? Benar, aku harus menonjoknya sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Clou's corner:
Satu chapter lagi + bonus chapter monolog salah satu tokoh! Bisa, yok, bisa!
Btw, gimana chapter ini? Hehe, mulai dengan angst yang kemudian jadi fluff~
Ending-nya begitu karena aku sebagai penulisnya sendiri nggak kuat nulis tingkah Aiden yang mulai menjadi habis dapat pencerahan. Semalem sampe mukul meja saking gak kuat ngetiknya
25-07-2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro