Ch. 47: Kami Berangkat
Wordcount: 1.179 words
Daratan kian jauh seiring kapal cepat yang kami tumpangi melaju mengarungi lautan. Pelabuhan yang tadinya begitu luas saat aku menapakkan kaki di sana kini terlihat begitu kecil, dan semakin kecil saja sampai hilang dari pandangan.
Ini kali pertama aku naik kapal cepat. Debar jantungku tidak karuan dibuatnya. Aku tahu, orang-orang yang mengoperasikan kapal ini adalah ahlinya, dan mereka telah dipercaya serta dibayar oleh Paman Val---kata Lumi. Bapak-bapak ini tidak akan menjatuhkan kami ke dalam laut. Namun, bukan itu yang kutakutkan.
Tujuan kami adalah sebuah pulau misterius yang terus-terusan berpindah tempat. Pulau atau entitas yang mengendalikan pulau itu sepertinya mudah bosan, makanya dia berpindah-pindah, begitu kata Aiden tadi. Ya, intinya pulau itu aneh. Aku khawatir kalau-kalau akan ada yang menghalangi kami dalam perjalanan ke sana.
Demi meredakan kegelisahan, kuamati lagi siapa saja yang ikut dalam perjalanan ini. Ada Theo di sebelah kiriku, Aiden di sebelah kananku, dan Marlo di sebelahnya. Di tempat duduk yang menghadap kami---dari kiri ke kanan---ada Lumi, cowok teman Lumi yang namanya George, Nia, dan Julian yang memegangi kantong plastik keduanya.
Siapa sangka cowok pemarah itu ternyata mabuk laut. Pantas saja tadi dia kelihatan teramat enggan untuk menginjakkan kaki di atas kapal. Aiden tidak berhenti mengejeknya sampai dia lelah sendiri dan memilih untuk diam.
"Ehh ... Lumi," panggilku. Cewek itu menoleh. "Kamu udah pernah ke sana buat kemari, kan? Pulau itu ... tempat yang kayak gimana?"
Di sebelahku Aiden hampir menyembur. "Ke sana buat kemari," dia mengutip lalu cekikikan sendiri. Aku ikut tertawa, sedikit. Itu memang lucu kalau dipikir-pikir lagi.
Lumi berdeham guna menarik perhatian. "Nggak jauh beda sama pulau-pulau biasa, sih," jawabnya. Kemudian, dengan gerak mata dia memberi kode; memberi tahu kalau kami tidak seharusnya membicarakan hal ini saat ada orang luar. Maksudnya, bapak-bapak yang mengoperasikan kapal.
Aku dan beberapa lainnya hanya ber-oh ria sebagai tanggapan. Paduan suara kami begitu pelan sampai ditelan deburan ombak.
Kalau sudah begitu, pasti ada sesuatu yang tidak boleh disebarluaskan. Bisa jadi harta atau apa pun yang bisa membuat seseorang kaya secara materil. Namun, firasatku menolak pemikiran itu mentah-mentah. Akan ada bahaya yang menanti di pulau itu, aku yakin.
Feli, coba pikirkan baik-baik. Pasti ada alasan untuk pulau itu berpindah-pindah tempat, barangkali tidak ingin dijamah. Lalu, biasanya apa yang akan terjadi saat orang-orang menyentuh sesuatu yang jelas-jelas menunjukkan bahwa ia tak ingin disentuh? Mereka akan celaka.
Seketika bulu kudukku meremang. Lagi-lagi aku mengambil presensi penumpang kapal. Lumi, George, Nia, Julian, Marlo, Aiden, Theo, aku, dan dua bapak-bapak yang disewa Paman. Masih lengkap.
"Hei," ucap Marlo cukup keras mengalahkan deburan ombak. Perhatian semua orang kecuali bapak-bapak yang mengurusi kapal tertuju padanya. "Kayaknya ombaknya makin besar, terus...."
Pandangan kami mengikuti arah yang ditunjuk Marlo, ke depan. Pulau Nomaden sudah terlihat---puncaknya saja. Ya, hanya puncaknya karena ada dinding air yang menghalangi. Dinding air itu mengelilingi pulau tersebut, melindunginya.
Laju kapal melambat dan pada detik ini juga, aku merasa ingin pulang meski tidak tahu harus pulang ke mana.
Bapak yang mengemudikan kapal menoleh pada kami, para penumpang. "Maaf, anak-anak," dia menghela napas, "kita nggak bisa pergi lebih jauh lagi dari sini."
Lumi hendak berdiri, tetapi urung sebab hantaman ombak membuat kapal terombang-ambing dengan liar. "Kita masih bisa lewat, Pak! Percaya sama kami!" seru Lumi bersikeras. Itu kali pertama aku mendengar Lumi meninggikan suara.
Bapak tersebut menggeleng dengan tegas. "Nggak bisa, Dek. Mau dibayar berapa pun, saya tetep nggak mau nerobos dinding air itu. Kalaupun bisa masuk, nggak ada jaminan kami bisa keluar habis nurunin kalian di pulau itu."
Aku spontan menggigit bibir, lantas bertukar pandang dengan teman-temanku. Mereka sama khawatirnya denganku, kecuali Julian yang masih kelihatan seperti ingin memuntahkan isi perut sampai ludes.
Kedua tanganku yang masih memegang erat tempat duduk diraih terus digenggam; yang kiri oleh Theo dan yang kanan oleh Aiden. Wajah Theo masih menunjukkan keteguhan di tengah kecemasan, sedangkan Aiden benar-benar pucat. Jiwanya seakan dibawa terbang oleh angin laut.
Aku baru saja ingin menanyakan keadaan Aiden, tetapi Lumi lebih dulu berseru, "Feli, Aiden! Kita perlu echros kalian!"
"Y-ya?" Kami sama-sama tergagap.
"Keberuntungan, Feli. Pakai itu buat kapal ini sama kita semua," ujar George.
Lumi mengangguk, kemudian menoleh pada Aiden. "Terus Aiden, kamu tahan kapal ini biar nggak terbalik."
Pikiranku tidak lagi berkelana, fokus pada instruksi mereka. "Siapa aja, tolong tahan aku," pintaku seraya turun dari tempat duduk dengan perlahan. Aku perlu menyentuh titik tengah kapal ini.
Orang yang bergerak untuk membantuku adalah George. Satu tangannya memegang erat pundakku sementara yang satu lagi berpegang pada sandaran di belakangnya. Di depanku, Aiden berdiri bersebelahan dengan Lumi yang membantu menahan bahunya.
Marlo hendak ikut menahanku, tetapi kusuruh dia membantu Aiden saja supaya dia bisa menggunakan kedua tangan dan memaksimalkan echros-nya. Dalam posisi setengah duduk bersimpuh, George sudah lebih dari cukup untuk mencegahku terlempar ke laut seandainya ombak makin ganas.
Di sela-sela gaduhnya ombak, aku bisa mendengar bapak yang mengemudikan kapal bersungut-sungut setelah Lumi berhasil meyakinkannya. Tidak hanya itu, aku juga bisa mendengar Julian yang memaki-maki tanpa henti di belakang sana.
Fokus.
Suara-suara yang masuk ke telingaku perlahan redam menyisakan denging. Meski degup jantungku tengah menggila, kuusahakan untuk mengatur napas.
Keberuntungan.
Aku ingin dan aku harus memberikan keberuntungan pada kapal ini beserta penumpangnya. Aku ingin membawa kami menembus dinding air itu, menerobos amukan laut. Aku ingin kami tiba di Pulau Nomaden dengan selamat. Aku ingin kapal ini serta yang mengoperasikannya dapat kembali ke pelabuhan tanpa berkekurangan.
Sekujur tubuhku merinding kala rasa hangat membuncah dalam dada. Kehangatan itu mengalir menuju kedua telapak tanganku yang kutempelkan pada lantai kapal, lantas perlahan lenyap dari tubuh. Namun, aku masih bisa merasakannya, sedang menyebar untuk melingkupi apa yang ingin kulindungi.
Fokus. Aku harus tetap fokus.
Guncangan masih terjadi meski tidak separah sebelumnya, barangkali berkat Aiden. Meski tidak bisa melihatnya karena sedang menutup mata, aku bisa membayangkannya; wujud echros Aiden yang seperti tali sedang melilit kapal. Sama sepertiku, dia juga sedang berjuang.
Kapal seperti terantuk batu dan tubuhku sempat terlempar sejengkal dari lantai untuk sesaat. Aku memekik ketika diriku hampir terempas ke belakang. Untunglah ada George yang dengan cekatan menarikku agar kembali menapak lantai kapal. Sedetik kemudian, kami semua basah diguyur air berbarengan dengan munculnya sensasi merinding.
"Berhasil!" seru bapak yang menjadi awak kapal.
Buru-buru aku mengusap wajah dengan tangan yang bergetar hebat. Air menggenang setinggi satu jengkal di lantai kapal. Semua orang kecuali bapak-bapak yang berada di bawah atap basah kuyup.
"Kakak!" Theo berhamburan memelukku. George segera menyingkir.
Sebelum balas memeluknya, aku mengambil presensi dalam diam. Theo, Marlo, Aiden, Lumi, George, lalu Nia, dan Julian. Aman. Semuanya masih ada di sini bersamaku.
Kupeluk Theo erat-erat. Bendungan yang menahan air mataku runtuh. "K-kita selamat."
Panik serta ketakutan surut, berganti kelegaan. Beberapa orang berseru girang, melakukan selebrasi. Tawa mengudara, meringankan hati. Tinggal sedikit lagi untuk sampai ke pesisir, lalu kami bisa kembali menginjak daratan.
Laut sudah tenang, membiarkan kami berlayar dengan mulus. Di belakang sana, dinding air tadi telah luruh. Siapa atau apa pun yang menjaga Pulau Nomaden sepertinya sudah mengakui kami.
Pelukanku pada Theo melemas, kepalaku terasa ringan, dan telingaku berdenging. "Eh...?" Aneh sekali. Dunia mendadak buram, padahal setahuku aku tidak rabun jauh maupun dekat.
"Feli---astaga, Fel! Kamu mimisan!"
Seseorang menarikku dari Theo, lalu semuanya jadi gelap.
Clou's corner:
Faint count Feli: 4
Semoga protagonis kita ini nggak sering-sering pingsan di buku kedua :>
24/07/2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro