Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 46: Reuni Singkat

Wordcount: 1.237 words

Hari yang dinanti-nantikan akhirnya tiba, membuat degup jantungku tidak karuan. Aku bahkan nyaris tidak bisa tidur malam tadi usai bercakap dengan Natha. Pasti kantong mataku kelihatan jelas hari ini.

Meski sudah melakukan perpisahan dengan cara masing-masing kemarin hari, rupanya masih ada yang enggan melepas kami pergi. Salah satunya adalah Natha. Cewek itu berhamburan memelukku, lantas berseru, "Aku bakal kangen banget sama kalian!"

Di belakangnya, Riel bersedekap dengan cengiran khasnya. "Yah, kayaknya bakal ada yang kurang, deh."

"Maksudmu, nggak ada lagi yang bisa kamu ganggu?" tanyaku malas. Aku tahu betul maksudnya.

Riel mengangkat bahu tak acuh. "Masih ada Hana sama Rylo."

Aku hanya mengembuskan napas kasar sebagai tanggapan. Kalau dua orang itu---atau setidaknya Hana---ada di sini, Riel pasti langsung diamuk. Mungkin gendang telinganya juga akan pecah.

"Kak Ian jangan sama yang lain, ya! Tunggu Tia besar!" seru Tia di depan Julian, memasang wajah cemberut yang menggemaskan. Aku kepergok melihat ke sana dan dihadiahi tatapan sinis. Padahal, sudah beribu kali kukatakan padanya kalau aku sama sekali tidak tertarik pada cowok tempramen itu.

Feo dan Sera juga hadir untuk mengantar kami pergi. Keduanya bercakap ringan dengan Nia dan Theo sebagai teman sepermainan. Tidak ada dari mereka yang terlihat sedih, tetapi aku tahu bagaimana sakitnya baik meninggalkan atau ditinggalkan seorang teman. Ditambah, baru seminggu terakhir ini mereka jadi akrab sekali.

"Udahan, ah. Erna udah nunggu lama, tuh," ujar Julian ketus seraya membalikkan badan. Ketusnya kali ini kedengaran dibuat-buat. Yah, mau disembunyikan bagaimanapun, semua orang di sini tahu kalau dia hanya berusaha menghindar karena malu.

"Iya, ya," ucap Natha lantas melangkah mundur. "Maaf udah nahan kalian lagi, padahal kalian mesti cepat-cepat berangkat."

Marlo mengibas-ngibaskan tangan, tersenyum canggung. "Nggak juga, kok. Waktu berangkatnya masih setengah jam lagi."

"Hampir satu jam malah!" tambah Aiden, berkacak pinggang. Bibirnya mengerucut sebal. "Ini gara-gara Theo maksa buat berangkat cepat, padahal orang masih enak-enak tidur."

Adikku yang namanya disebut hanya melirik dengan tatapan malas. Sampai hari ini aku masih tidak mengerti dendam apa yang dia simpan terhadap Aiden. Mungkin karena isi kepala cowok itu kurang beres. Namun, sepertinya masih ada alasan lain. Dia tidak pernah mau membicarakannya sampai-sampai aku sempat tergoda untuk meminta Marlo membaca pikirannya.

"Ya, berangkat lebih awal itu keputusan yang bijak." Riel manggut-manggut, masih berlipat tangan di depan dada. "Kita nggak pernah tahu bakal ada halangan apa aja."

Dasar orang tua. Bahkan Kak Will yang lebih tua darinya kalah telak kalau soal aura sepuh. Di sampingku, Marlo kedapatan menahan tawa. Aku mengerling padanya sambil cengar-cengir.

"Woy! Mau sampai kapan kalian ngobrol gak jelas?" Julian kemudian berdecak sebal karena kami hanya menatapnya dalam diam. "Aku duluan. Dah," pamitnya dengan tidak ramah.

Melihat punggung Julian hilang ditelan batang pohon beringin, akhirnya kami tergerak. Nia dan Theo cepat-cepat menyusul, diikuti oleh Aiden, Marlo, baru aku.

"Da-dah! Jaga diri kalian, ya!"

Senyum mengembang di wajah. "Kalian juga!" balasku sebelum langkah kaki membawaku ke dunia luar.

"Kan, bener. Si Lemot yang keluar terakhir," celetuk Julian. Cowok menyebalkan itu tengah bersedekap di samping Erna yang kelihatan salah tingkah.

"Halo, Fel," Erna melambai, "udah lama nggak ketemu."

Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa di depannya, jadi aku hanya tersenyum tipis dan mengiakan. Jujur saja, perubahan suasana drastis ini membuatku merasa kurang nyaman. Tidak ada yang mau repot-repot berbasa-basi. Kami semua sudah tahu perihal Erna yang selama ini bekerja sama dengan BPE untuk alasan tertentu.

Walau paham dia melakukan itu demi keselamatan saudara tirinya, kami tidak bisa langsung terima. Jangankan kami, Julian yang jadi alasannya saja sampai masuk mode senggol-bacok selama seminggu setelah diberi tahu kebenarannya. Untunglah sekarang dia sudah biasa saja.

Erna memasangkan kami berdua-dua untuk diantar pakai teleportasi. Marlo dan Nia; aku dan Theo; Aiden dan Julian. Begitulah urutannya. Ya, dia yang menentukan pasangannya supaya cepat. Keputusan yang bijak, mengutip ucapan Riel.

Awalnya kupikir ini hanya pembagian asal. Ternyata aku sengaja dipasangkan dengan adikku dan alih-alih di depan kapal cepat yang akan kami tumpangi, kami berdua justru muncul di depan seorang pria yang keterlaluan kalau disebut asing.

"Kapalnya ada di sana kalau kalian udah selesai bicara," ujar Erna, menunjuk ke belakang kami. Dia kemudian menghilang untuk menjemput Aiden dan Julian.

Demi menghindari tatapan Paman Val, aku sampai berlama-lama menoleh ke belakang, pura-pura mencari keberadaan Marlo, Nia, dan kapal cepat tersebut. Padahal, siapa pun dengan penglihatan bagus bisa langsung menemukan mereka.

"Feli, Theo," panggil Paman Val, membuatku terperanjat. "Paman minta maaf."

Ragu-ragu aku melirik, mendapati wajahnya yang tampak letih dan sedikit memelas. Keinginanku untuk mengambil langkah balik dan berlari menghampiri teman-temanku di dekat kapal membuncah. Kalau saja Theo tidak bersamaku, aku sudah melakukannya sejak tadi. Aku hanya tidak ingin terlihat payah di depan adikku.

"Paman tahu, Paman salah karena nggak kasih tahu apa yang harusnya kamu tahu." Dia mengambil jeda. "Tapi percayalah, Paman sama sekali nggak bermaksud buruk sama kalian."

Aku ingin berteriak sambil menunjuk-nunjuknya seperti orang kesetanan, tetapi kuambil waktu untuk menenangkan diri. Dengan suara sedikit gentar di awal, aku pun bertanya, "Terus, kenapa Paman bawa Theo pergi ke tempat itu? Karena itu termasuk kerjaan?" Dapat kurasakan helaan Theo pada lengan jaketku makin kencang.

"Bukan," sangkal Paman Val. Dia memalingkan wajah. "Kalau petugas lain ... maksudnya, Paman cuma mau menghindari kemungkinan terburuk yang bakal kejadian kalau Theo ditemukan petugas lain."

Aku menoleh pada Theo. Dari wajahnya yang mengerut, aku mengerti, dia juga tidak suka terjebak dalam situasi ini. Maka, dengan niat buru-buru mengakhiri percakapan, aku bertanya, "Paman ke sini cuma buat bilang itu?"

Hening sejenak di antara kami bertiga. Indra pendengaran disibukkan oleh riuhnya pelabuhan dan kencangnya deru angin. Canggung sekali. Bisakah aku pergi sekarang?

Aku menoleh ke belakang, mengecek teman-temanku. Kelihatannya Aiden sedang mengejek Julian tentang sesuatu. Aiden lalu meloncat ke atas kapal cepat, membuat yang lain menjerit kaget dan panik saat kapal itu doyong. Kaki Julian masih terpaku di daratan dan dia masih marah-marah, justru tambah marah karena Aiden nyaris membuat kapal itu terbalik.

Tawa kecil lepas dari mulutku. Kelakuan mereka ada-ada saja.

"Kamu senang bareng mereka?" tanya Paman Val tiba-tiba.

Aku berjengit, terbata berucap, "Eh---senang? Emn...." Karena ragu untuk mengucapkan jawabannya, aku hanya mengangguk pelan, menghindari kontak mata. Saat aku meliriknya, kudapati Paman tengah tersenyum simpul.

Dia kemudian beralih pada Theo. "Kalau Theo, senang nggak?" tanya Paman yang adikku jawab dengan anggukan pula.

Paman Val tampak teramat lega saat berkata, "Syukurlah, kalian bisa ketemu teman-teman yang baik, ya."

Senyum mengembang pada wajahku. "Iya."

Dari raut muka yang Paman Val tunjukkan sejak tadi, kurasa dia bukan orang jahat seperti yang sempat kupikirkan sebelum ini. Mungkin saja Paman punya alasannya sendiri seperti Erna. Aku sangat ingin meminta penjelasan lebih, tetapi Julian mulai meneriaki kami dari kejauhan.

"Hati-hati di jalan," ucap Paman Val. Pria itu seperti orang tua yang melepas anaknya pergi merantau saja.

"Paman juga baik-baik, ya." Sebelum berbalik, aku menambahkan, "Kami pergi dulu."

Paman melambaikan tangan rendah, hanya setinggi bahunya. Aku dan Theo membalasnya sambil berjalan, menoleh ke belakang. Dengan demikian, kami sungguhan berpisah. Saat ini aku hanya berharap tidak ada dari Paman Val dan Theo yang menyimpan pahit dalam hati.

"Oi, Lemot! Cepetan dikit, woi!" Aku tidak perlu menjelaskan siapa yang berteriak.

"Iya, iya!" Kutarik tangan Theo agar dia tidak tertinggal saat kakiku mulai berayun lebih cepat menyusuri dermaga.

Pandanganku fokus ke depan, tetapi kala berpapasan dengan seorang cowok yang sedang mengangkut sebuah kardus di bahunya, langkahku terhenti. Cowok itu terus berjalan, jadi aku hanya bisa melihat punggungnya ketika menoleh. Terasa familier.

"Kak?" panggil Theo, menggoyangkan tanganku yang dia genggam.

Seketika aku tersadar. "Eh, iya," sahutku kikuk, lantas menyambung langkah menuju tempat teman-temanku menunggu.

Clou's corner:
Hehehe, maap malah nge-ghosting lapak ini sebulan terus selingkuh naskah. Tetep bakal tamat bulan ini, kok! Kira-kira sisa tiga chapter lagi~

Itu cowok yang papasan sama Feli siapa, ya? Duh burem

23-08-2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro